Oleh : Herman Palemmai
Langit cerah. Sangat cerah malah. Gerak jarum jam baru melewati angka 10. Kapal-kapal di dermaga masih diam. Termangu. Orang-orang di dermaga menyebut kapal-kapal itu dengan “jalloro”. Itu Bahasa Makassar untuk kapal, ternyata. Air di dermaga masih diambil laut dan hanya menyisakan lumpur bercampur pasir di tepi sungai yang disulap jadi dermaga. Wajah-wajah menatap lesu. Kehabisan bahan obrolan. Bosan mengendap merasuki hati. Menunggu laut mengirimkan air. Pasang. Kios-kios makan yang berjajar di dermaga mulai menghasut rasa lapar. Angin pun mulai mengencang. Penanda ombak membesar?
Azan mengalun tanpa estetika. Syahdu menjauh, apalagi merdu. Sekedar diteriakkan sebagai penanda bahwa saatnya pendidikan dan penegasan sebagai hamba. Shalat. Di halaman depan masjid ada kerumunan yang meluber hingga di tepi jalan. Juga ada keranda mayat. Kebiasaan rutin yang acapkali melahirkan resah di batinku sebab amat sering aku melihat jenazah disholatkan di masjid padahal jenazah tersebut semasa hidupnya amat jarang muncul di masjid, kecuali sholat Jumat kadang. Itupun masuk masjid saat iqomah dikumandangkan. Gejala apa ini? Inikah penegas bahwa betapa berartinya masjid bagi seorang Muslim hingga walau jarang muncul semasa hidup, toh banyak orang di saat wafatnya tetap hendak dilepas dari dunia ini melalui berkah masjid. Entah.
Dhuhur telah berlalu. Sholat jenazah sudah ditunaikan. Keranda telah dipikul menuju pemakaman. Masjid kembali diterpa sepi sejam yang lalu. Kini laut diam-diam mulai mengirimkan air pasang ke sungai. Buritan kapal terlihat geli. Bergoyang-goyang digelitik arus air yang pasang. Kapal-kapal yang agak kecil mulai tak sabar bagaikan anak kecil melihat genangan air. Satu-satu mulai didorong agak ke tengah supaya bisa mengapung untuk melaju. Air yang pasang mulai menggapai-gapai bibir dermaga. Wajah-wajah mulai cerah. Bosan telah menyisih. Lega. Puluhan menit lagi ke depan, para penumpang yang lesu menunggu bisa berangkat. Kapal-kapal yang agak besar juga sudah mulai bermunculan dengan perkasa, merapat ke dermaga. Setelah sekian jam menanti di dekat muara, tak bisa menyusuri sungai menuju dermaga karena air sungai menyusut ke laut.
Barang segala macam mulai diangkat dan menyesaki kapal. Bahan bangunan, barang campuran, dos-dos air minum mulai menata diri. Rapih dengan selimut “karoro” atau terpal plastik yang tebal dan lebar, yang menutupi agar tidak terjamah oleh tumpahan air ombak yang mengusik kapal. Bahkan springbed ikut ngangkang di atas kapal. Sentuhan kehidupan modern ternyata begitu lincah menjamah kampung-kampung, menggusur kehangatan kasur kapuk. Ah, springbed yang ngangkang menyulitkan penumpang lewat. Tapi manusia adalah makhluk yang berakal. Akal berpikir menghadirkan cara melepaskan diri dari rintangan apa pun. Apatah lagi cuma springbed ngangkang seenaknya.
Sopir kapal jolloro mulai menyalakan mesin dengan engkol dan dengan energi dan keahlian yang tidak gampang. Asap hitam mengepul dari mulut cerobong. Membuat sesak dan pusing bila asap buangan mesin itu menghinggapi hidung. Volume asap hitam yang dihembuskan mesin diesel tersebut tidak banyak dan segera dimangsa angin sehingga belum sanggup mengotori kejernihan udara yang membawa hawa laut.
Kapal jolloro bergerak menjauhi tatapan mata orang-orang di dermaga. Ada lambaian tangan, memang. Juga teriakan-teriakan saling bersahutan yang mengandung gurauan. Kapal melesat dan sekelebat telah menjauhi dermaga. Lalu, melaju menantang terik yang dilepaskan mata hari. Menantang dengan arti yang telanjang setelanjang kapal yang tanpa atap sama sekali untuk sekedar menyaring terik matahari. Dan terik itu terasa seperti memanaskan otak di kepala. Kapal jolloro terus bergerak. Asap hitam juga terus muntah dari cerobong mesin lalu raib ditelan angin. Muara Lamangkia mulai nampak dan makin dekat. Angin meniup kencang. Ombak menggertak dengan buih memutih dari kejauhan. Penumpang mengatur diri dan waspada. Ombak besar!
Atas izin Allah, penguasa segala, kapal bergerak lincah melalui sela-sela ombak yang berjajar rapat. Muara Lamangkia terlewati menuju tengah. Gertakan ombak yang memutih bukan sekedar gertakan. Nyata. Tali “guling” dipaksa berderik setiap setir diputar untuk menyesuaikan arah, memaksa baling-baling di buritan bekerja rodi, memaksa “guling” beradu dengan desakan arus ombak yang kuat. Guling tak kuasa. Ia terlepas dan mesin kapal terpaksa dimatikan. Ombak bersorak dan dengan leluasa menghempas dan mempermainkan kapal. Sopir terpaksa merayap ke ujung belakang kapal, tempat guling terpasang. Kerja keras dan kerja tegang. Ombak yang menghempas bisa sewaktu-waktu melemparkannya bila tak fokus. Ombak yang berkejaran juga membuat kapal oleng tak karuan menitipkan pening di kepala. Juga mual. Mabuk laut. You cannot change the direction of the wind, you can adjust your sails to always reach your destination, kata orang bijak. Kita tak sanggup mengubah arah angin dan arus ombak, tapi kita bisa menyesuaikan layar kita untuk bisa tetap mencapai tujuan kita. Dan itulah masalahnya. Guling sebagai perangkat untuk menyesuaikan arah yang justru terlepas.
Kesadaran akan kebutuhan pertolongan Allah makin kental terasa. Watak dasar manusia! Dalam situasi tak berdaya, kecintaan kepada Allah tiba-tiba amat mendalam. Dan itu beberapa puluh menit saja. Sebab, kapal telah kembali melaju di sela-sela ombak yang bagaikan gunung-gunung dengan tinggi dua meteran berkejaran di hamparan laut. Air berkecipratan di kanan kiri kapal tapi tak sanggup menggapai para penumpang yang telah ditabiri “karoro” sebagai penghalang. Cipratan air dari ombak yang diterjang kapal membasahi bagian depan kapal membuat penumpang terkadang pula oleng ke belakang dan ke depan. Bukan hanya ke kiri dan kanan. Botol air minum yang tak lagi terpegang mengelinding kesana kemari seirama dengan goyangan kapal yang bermain dengan ombak. Setiap penumpang waspada dan berjaga. Sopir kapal berkonsentrasi penuh apalagi pada saat hendak memasuki muara Balangdatu. Ombak berjajar dan menghempas makin sengit ditimpali doa yang juga dirapal makin fasih. Siluet cinta bermunculan: kepada anak istri yang ditinggal, kepada sanak keluarga yang dituju, dan terutama kepada Allah yang “diiba-iba” pertolongan-Nya. The winds and the waves are always on the side of the ablest navigators, kata orang Inggris. Angin dan ombak selalu menyertai para nahkoda hebat. Dan angin beserta ombak selalu pula meneror para penumpang yang hanya “menaruh percaya” pada kepiawaian nahkoda.
Aku teringat sebuah puisi dari Tjahjono Widijanto, “Lirung” (Kompas 30/12/2017)
melintasi laut dalam bayang-bayang kelam
bersama malam dan bulan mengambang
samudra beku dalam mataku
biduk oleng dari sepasang dayung
wajahmu hilang di balik pasang
pintu-pintu laut yang asing
buih perlahan berubah warna
di pinggir-pinggir karang kubasuh luka
di pantai-pantai tandus tak bertepi
cinta yang terdampar digulung ombak …
Dan wajah-wajah kembali lega setelah kapal kini melaju di tengah kebun rumput laut. Segala canda mulai bermunculan. Balangdatu telah jelas terlihat di depan mata. Beberapa anak kecil berdiri di pinggir dermaga. Tepatnya di atas pematang empang. Memandang dengan mata tak berkedip. Ada kebahagiaan membayang di wajah mereka. Orang tua yang pergi ke seberang telah pulang membawa ole-ole. Ada teriakan-teriakan kecil dari kapal untuk anak-anak itu. Kegembiraan meraja karena ombak terlewati dengan selamat. Semoga tak satupun dari penumpang yang terkena sindiran Allah dalam QS Al-Ankabut: 65-66: “Maka apabila mereka naik kapal mereka berdo’a kepada Allah dengan memurnikan keta’atan kepada-Nya, maka tatkala Allah menyelamatkan mereka sampai ke darat, tiba-tiba mereka [kembali] mempersekutukan [Allah], agar mereka mengingkari nikmat yang telah Kami berikan kepada mereka dan agar mereka (hidup) bersenang-senang [dalam kekafiran]. Kelak mereka akan mengetahui [akibat perbuatannya].”
Semoga cinta terhadap Allah tidak ikut redup di tengah kegembiraan yang meraja ini. Sebab, cinta-Nya dibutuhkan setiap detiknya dalam setiap keadaan dan di setiap tempat. Ittaqullah haetsu maa kunta. Bertakwalah dimana pun engkau berada. Siapa pun yang telah terselamatkan dalam perjalanannya hingga sampai ke tempat tujuan dengan aman, hendaknya tumbuh menjadi diri-diri yang pandai bersyukur. Sebab seperti itulah janji orang-orang yang telah terselamatkan sebagaimana diabadikan Allah dalam QS. Al An’am (6): 63 “Katakanlah: “Siapakah yang dapat meyelamatkan kamu dari bencana di darat dan di laut yang kamu berdoa kepadaNya dengan rendah diri dan dengan suara yang lembut dengan mengatakan “Sesungguhnya jika Dia menyelamatkan kami dari (bencana) ini, tentulah kami menjadi orang-orang yang bersyukur.” Semoga nikmat keselamatan tidak melalaikan kita untuk berterima kasih (bersyukur). Semoga!
Part 15: Warung Kopi Klotok Sesampainya di tempat tujuan, Rama mencari tempat ternyaman untuk parkir. Bude langsung mengajak Rani dan Rama segera masuk ke warung Kopi Klotok. Rama sudah reservasi tempat terlebih dahulu karena tempat ini selalu banyak pengunjung dan saling berebut tempat yang ternyaman dan posisi view yang pas bagi pengunjung. Bude langsung memesan […]
Part 16 : Alun – Alun Kidul Keesokan paginya seperti biasa Bude sudah bangun dan melaksanakan ibadah sholat subuh. Begitupun dengan Rani yang juga melaksanakan sholat subuh. Rani langsung ke dapur setelah menunaikan ibadah sholat subuh. Tidak lama disusul oleh Bude dan langsung mengambil bahan masakan serta mengiris bahan untuk memasak. Rani dan Bude sangat […]
Dalam dunia pendidikan modern, pendekatan sosial emosional semakin banyak dibahas. Salah satu model yang mendapatkan perhatian khusus adalah **EMC2 sosial emosional**. Namun, apa sebenarnya yang dimaksud dengan Definisi EMC2 sosial emosional? Mengapa pendekatan ini penting dalam pembelajaran? Mari kita bahas lebih lanjut untuk memahami bagaimana EMC2 berperan dalam perkembangan siswa secara keseluruhan. Definisi EMC2 Sosial […]
Part 14: Kopi Klotok Pagi hari yang cerah, secerah hati Rani dan semangat yang tinggi menyambut keseruan hari ini. Ia bersenandung dan tersenyum sambil mengiris bahan untuk membuat nasi goreng. Tante, yang berada di dekat Rani, ikut tersenyum melihat Rani yang bersenandung dengan bahagia. “Rani, kamu ada rasa tidak sama Rama? Awas, ya. Jangan suka […]
Part 13 : Candi Borobudur Keesokan harinya Rama sibuk mencari handphone yang biasa membangunkannya untuk berolahraga disaat Rama berada di Jogja. Rama tersenyum dan semangat untuk bangun, membersihkan diri dan segera membereskan kamarnya. Tidak lupa Rama juga menggunakan pakaian yang Rapih untuk menemui Rani hari ini. Sementara Rani seperti biasa masih bermalas-malasan di dalam kamarnya […]
Buy Pin Up Calendar E-book On-line At Low Prices In India After the installation is complete, you’ll have the flexibility […]
Karya Nurlaili Alumni KMO Alineaku Hampir 10 bulan, Pandemi Covid -19 telah melanda dunia dengan cepat dan secara tiba-tiba. Hal […]
Karya Lailatul Muniroh, S.Pd Alumni KMO Alineaku Rania akhirnya menikah juga kamu,,, begitu kata teman2nya menggoda, Yaa,,,Rania bukan anak.yang cantik […]
Karya Marsella. Mangangantung Alumni KMO Alineaku Banyak anak perempuan mengatakan bahwa sosok pria yang menjadi cinta pertama mereka adalah Ayah. […]
Karya Any Mewa Alumni KMO Alineaku Bukankah sepasang sejoli memutuskan bersatu dalam ikatan pernikahan demi menciptakan damai bersama? Tetapi bagaimana […]
Comment Closed: Menunggang Gelombang
Sorry, comment are closed for this post.