Pagi itu, rumah terasa lebih cerah daripada sebelumnya. Sinar matahari yang menembus tirai jendela memberi nuansa kehangatan yang anehnya justru terasa lebih dingin di dalam hatiku. Aku duduk di meja makan, mencoba menikmati sarapan yang disiapkan oleh Mama. Roti panggang dan kopi yang baru diseduh tampak begitu menggugah selera, tetapi rasa makanan itu tak mampu mengusir kegelisahan yang masih merayapi pikiranku.
Mama sedang sibuk di dapur, memasak sesuatu dengan penuh perhatian. Bau roti panggang yang hangat memenuhi udara, bercampur dengan aroma kopi yang baru diseduh. Suasana pagi itu terasa nyaman, seolah-olah dunia di luar rumah ini tidak pernah ada. Namun, meskipun semua itu terasa menenangkan, ada perasaan yang tetap membebani hatiku.
Aku duduk di kursi meja makan, mencoba menikmati sarapan yang sudah disiapkan Mama. Makanan itu tampak lezat, namun rasanya tetap terasa hambar bagiku. Aku mencoba mengingatkan diriku untuk bersyukur, untuk menerima kehadiran ini, tetapi ada sebuah ruang kosong yang mengisi hatiku. Rumah ini—meskipun tampak indah dan penuh kasih—masih terasa seperti milik orang lain.
Willy masuk ke ruang makan dengan wajah ceria, seperti biasa.
“Pagi, May! Teh lagi?” tanyanya sambil membawa cangkir teh untukku.
Aku mengangguk pelan.
“Iya, terima kasih, Wil.”
Dia duduk di sebelahku, membuka percakapan dengan semangat.
“Kamu kelihatan lebih tenang hari ini. Ada yang berubah?”
Aku terdiam sejenak, menatap teh yang baru disodorkan. Aku ingin mengatakan bahwa ada yang berubah—bahwa aku mulai merasa sedikit lebih bisa menerima dunia ini—tapi aku tahu itu masih jauh dari kenyataan.
“Aku… hanya butuh waktu,” jawabku, mencoba tersenyum meskipun hatiku masih penuh keraguan.
Willy tersenyum kecil.
“Aku tahu, May. Semua butuh waktu. Kami tidak terburu-buru. Tapi, kalau ada yang ingin kamu bicarakan, aku ada di sini.”
Aku mengangguk.
Kehadiran Willy selalu memberikan sedikit kenyamanan, meskipun aku merasa ada banyak yang belum aku pahami.
Tiba-tiba, suara Mama terdengar dari dapur.
“Nak Mayang, jika ada yang kau inginkan, bilang saja pada Mama, ya?”
Aku mengangguk pelan, namun senyum yang kuberikan terasa begitu berat. Aku merasa mereka berusaha sekuat tenaga untuk membuatku merasa nyaman, tetapi aku tidak tahu bagaimana menghilangkan perasaan bahwa aku adalah orang asing di rumah ini.
Aku menatap Mama dari balik meja, mencoba memberikan senyum kecil.
“Baik, Ma.”
Namun, di balik senyuman itu, aku merasa sedikit menahan perasaan. Mama begitu penuh perhatian, begitu penuh kasih, tetapi aku merasa ada dinding besar yang membatasi kami. Aku belum bisa sepenuhnya menerima kasih sayangnya. Dunia ini begitu baru, begitu asing.
Setelah sarapan, aku merasa gelisah lagi. Perasaan tidak tenang kembali menghantui pikiranku. Aku keluar dan berjalan-jalan ke taman belakang, tempat yang sering aku kunjungi ketika aku merasa bingung. Angin pagi yang dingin masih terasa di kulitku, tapi ada sesuatu yang menenangkan di dalam kebisuan itu. Aku duduk di bangku taman, melihat bunga-bunga yang bermekaran dengan warna cerah, namun perasaan di dalam diriku tetap gelap.
Setelah beberapa waktu, aku memutuskan untuk kembali masuk ke rumah. Langkahku berat, tapi aku tahu aku harus menghadapi kenyataan ini—dan orang-orang yang kini menjadi keluargaku.
Tiba-tiba, aku mendengar suara Jay di ruang tamu.
“Mayang, kamu sudah pulang?” tanyanya dengan nada yang lembut, seolah tahu aku sedang berjuang dengan perasaan sendiri.
Aku mengangguk pelan dan duduk di dekatnya. Jay sedang membaca buku, tetapi dia segera menutupnya dan menatapku dengan penuh perhatian.
“Kamu kelihatan lebih cemas hari ini. Apa ada yang mengganggu pikiranmu?” tanya Jay.
Aku terdiam sejenak, mencari kata-kata yang tepat untuk menjelaskan kekacauan dalam diriku.
“Aku… merasa asing di sini, Jay. Rasanya semuanya terlalu cepat. Aku ingin menerima dunia ini, tapi aku tidak tahu bagaimana cara untuk benar-benar merasa di rumah.”
Jay menghela napas dan memandangku lebih dalam.
“Aku tahu ini berat untukmu. Tapi kamu tidak sendirian, May. Kami semua di sini untuk membantu kamu menyesuaikan diri. Ini bukan tentang kamu harus langsung merasa nyaman. Ini tentang memberi waktu untuk diri sendiri dan menerima perubahan yang terjadi.”
Aku mengangguk pelan, merasa sedikit lega meskipun keraguan itu masih ada.
“Aku merasa seperti orang luar. Keluargaku yang dulu, mereka selalu ada. Aku merasa terlupakan, bahkan meskipun aku baru tahu tentang kalian.”
Jay menghela nafas panjang.
“Aku mengerti, May. Kami semua pernah merasakannya, merasakan adanya jarak dan waktu yang hilang. Tapi satu hal yang harus kamu tahu adalah, kami ingin kamu ada di sini. Tidak ada yang memaksa, tapi kami akan tetap berusaha menjadi bagian dari hidupmu.”
Kata-kata itu terdengar begitu tulus, dan untuk pertama kalinya, aku merasa bahwa mungkin—hanya mungkin—aku bisa mulai mencoba membuka hatiku sedikit. Namun, masih ada perasaan takut yang terus menggelayuti pikiranku.
“Aku tidak tahu apakah aku bisa sepenuhnya menerima ini, Jay,” kataku pelan.
“Tapi… aku akan mencoba.”
Jay tersenyum, dan ada kehangatan dalam tatapannya.
“Itu sudah lebih dari cukup, Mayang. Cobalah. Tidak perlu terburu-buru. Kami akan ada di sini, selalu.”
Setelah selesai berbicara dengan Jay, aku merasa lebih ringan, meskipun ada banyak hal yang masih bergelayut dalam pikiranku. Aku berjalan menuju dapur, di mana Mama masih sibuk menata makanan di meja. Bau harum roti panggang memenuhi udara, dan dia tampak begitu fokus pada pekerjaannya. Untuk pertama kalinya, aku berhenti di ambang pintu, memperhatikan gerak-geriknya.
“Mama butuh bantuan?” tanyaku tiba-tiba, tanpa berpikir panjang.
Mama menoleh, sedikit terkejut, tetapi segera tersenyum lebar.
“Oh, Nak Mayang, terima kasih! Kalau kamu tidak keberatan, tolong ambilkan sendok dari laci, ya?”
Aku mengangguk dan melangkah ke arah laci, mencari sendok seperti yang dimintanya. Tangan Mama sibuk memindahkan adonan roti yang dituang ke loyang, tetapi aku melihat matanya sesekali mencuri pandang ke arahku. Ada sesuatu dalam cara dia memandangku yang membuatku merasa aneh—seperti rasa lega bercampur keraguan.
“Mama suka masak?” tanyaku, mencoba memecah keheningan.
Mama tersenyum lagi, kali ini lebih lembut.
“Sebenarnya, dulu Mama tidak terlalu pandai memasak. Tapi setelah Papa meninggal, dan Jay serta Willy mulai beranjak remaja, Mama merasa harus belajar banyak hal. Masak adalah salah satunya.”
Aku meletakkan sendok di atas meja dan duduk di kursi dekat dapur.
“Kenapa Mama tidak menyuruh orang lain saja?”
Mama terdiam sesaat, seolah pertanyaanku membawa kembali ingatan lama.
“Karena memasak untuk mereka membuat Mama merasa lebih dekat dengan keluarga. Bahkan ketika semuanya terasa sulit, ini adalah cara Mama menunjukkan cinta. Walaupun… Mama tahu kadang itu tidak cukup.”
Aku memandangi wajah Mama yang mulai terlihat lelah. Ada bekas luka di sudut hatinya yang bisa kurasakan, meskipun dia berusaha menutupinya dengan senyum. Aku tahu perasaan itu—perasaan tidak cukup.
“Mama tidak perlu terlalu keras pada diri sendiri,” gumamku pelan, nyaris tak terdengar.
Mama mendongak, matanya membulat karena terkejut, lalu mengangguk perlahan.
“Terima kasih, Nak Mayang. Tapi Mama hanya ingin memastikan kalian merasa dicintai.”
Kata-katanya menyentuh sesuatu yang dalam di hatiku. Aku tidak tahu apa yang harus aku jawab, jadi aku hanya tersenyum kecil dan mengangguk. Namun, ada perasaan hangat yang perlahan-lahan tumbuh, menggantikan rasa canggung yang biasanya hadir.
Sore itu, aku duduk di ruang tamu, membaca buku yang baru saja aku temukan di rak kecil dekat tangga. Suasananya tenang, dengan hanya suara jam dinding yang berdetak pelan. Willy muncul dengan senyum cerianya seperti biasa, membawa dua cangkir teh.
“Buat kamu,” katanya sambil meletakkan satu cangkir di meja di depanku.
Aku menatapnya dan tersenyum kecil.
“Terima kasih.”
Dia duduk di sebelahku, menyeruput teh panasnya dengan santai.
“Jadi, kapan kita akan jalan-jalan?” tanyanya tiba-tiba.
Aku mengerutkan kening, bingung.
“Jalan-jalan?”
“Iya,” katanya sambil tertawa.
“Aku tahu kamu belum terlalu nyaman di sini. Mungkin kita bisa pergi ke suatu tempat, hanya kita berdua. Atau kamu mau Jay ikut juga?”
Aku tertawa kecil, meskipun perasaan canggung masih ada.
“Aku… nggak tahu. Aku belum siap mungkin.”
Willy menatapku, kali ini tanpa senyuman yang biasanya dipakai untuk mencairkan suasana.
“Kamu nggak harus siap, May. Kadang, kamu hanya perlu mencoba.”
Kata-kata itu sederhana, tapi entah kenapa terasa begitu benar. Aku mengangguk pelan, tanpa benar-benar memberikan jawaban. Tapi dalam hatiku, aku mulai berpikir mungkin aku bisa mencoba membuka diri lebih banyak.
Malam itu, aku berjalan pelan menuju dapur. Suara langkahku hampir tak terdengar di lantai marmer, tetapi rumah ini tidak lagi terasa sebesar biasanya. Mama masih sibuk menata sesuatu di meja makan, dengan wajah yang terlihat lelah namun tenang. Jay duduk di ruang tamu dengan bukunya, tatapannya serius namun penuh konsentrasi. Di sudut lain, Willy memetik gitar kecilnya, memainkan nada-nada yang terasa akrab tetapi tidak aku kenali.
Suara senar gitar memenuhi ruangan, menciptakan irama yang pelan namun menenangkan. Aku berdiri di ambang pintu dapur, memandangi Mama yang tersenyum kecil ketika melihatku.
“Kamu nggak apa-apa, Nak?” tanyanya lembut, nada suaranya seolah menyentuh sisi terdalam hatiku.
Aku terdiam sejenak, mencoba mencari jawaban. Perasaan asing masih ada, tetapi malam ini, kehangatan rumah ini mulai mengalir sedikit demi sedikit ke dalam diriku. Aku mengangguk pelan, memberikan senyuman kecil.
“Iya, Ma. Aku baik-baik saja.”
Mama tampak lega mendengar jawabanku. Dia melanjutkan pekerjaannya, tetapi aku tahu dia memperhatikan aku dari sudut matanya, memastikan bahwa aku benar-benar baik-baik saja.
Aku melangkah ke ruang tamu, duduk di sofa di sebelah Jay. Dia menoleh, memberikan tatapan penuh perhatian seperti biasa, tetapi kali ini, aku tidak merasa terlalu canggung. Willy berhenti memetik gitarnya sejenak, lalu tersenyum padaku.
“May, kamu tahu lagu ini?” tanyanya, memetik nada-nada lembut.
Aku menggeleng pelan. “Nggak. Lagu apa?”
“Lagu lama Papa,” jawab Willy sambil melanjutkan permainannya.
“Dia sering memainkannya waktu aku kecil.”
Aku hanya mengangguk, membiarkan suara gitar itu mengisi keheningan. Rumah ini, meskipun masih terasa asing, mulai memberiku sedikit kehangatan. Untuk pertama kalinya, aku tidak merasa seperti tamu lagi. Langkahku menuju penerimaan memang kecil, tetapi malam ini, aku merasa cukup.
Kreator : Fati Nura
Part 15: Warung Kopi Klotok Sesampainya di tempat tujuan, Rama mencari tempat ternyaman untuk parkir. Bude langsung mengajak Rani dan Rama segera masuk ke warung Kopi Klotok. Rama sudah reservasi tempat terlebih dahulu karena tempat ini selalu banyak pengunjung dan saling berebut tempat yang ternyaman dan posisi view yang pas bagi pengunjung. Bude langsung memesan […]
Part 16 : Alun – Alun Kidul Keesokan paginya seperti biasa Bude sudah bangun dan melaksanakan ibadah sholat subuh. Begitupun dengan Rani yang juga melaksanakan sholat subuh. Rani langsung ke dapur setelah menunaikan ibadah sholat subuh. Tidak lama disusul oleh Bude dan langsung mengambil bahan masakan serta mengiris bahan untuk memasak. Rani dan Bude sangat […]
Dalam dunia pendidikan modern, pendekatan sosial emosional semakin banyak dibahas. Salah satu model yang mendapatkan perhatian khusus adalah **EMC2 sosial emosional**. Namun, apa sebenarnya yang dimaksud dengan Definisi EMC2 sosial emosional? Mengapa pendekatan ini penting dalam pembelajaran? Mari kita bahas lebih lanjut untuk memahami bagaimana EMC2 berperan dalam perkembangan siswa secara keseluruhan. Definisi EMC2 Sosial […]
Part 14: Kopi Klotok Pagi hari yang cerah, secerah hati Rani dan semangat yang tinggi menyambut keseruan hari ini. Ia bersenandung dan tersenyum sambil mengiris bahan untuk membuat nasi goreng. Tante, yang berada di dekat Rani, ikut tersenyum melihat Rani yang bersenandung dengan bahagia. “Rani, kamu ada rasa tidak sama Rama? Awas, ya. Jangan suka […]
Part 13 : Candi Borobudur Keesokan harinya Rama sibuk mencari handphone yang biasa membangunkannya untuk berolahraga disaat Rama berada di Jogja. Rama tersenyum dan semangat untuk bangun, membersihkan diri dan segera membereskan kamarnya. Tidak lupa Rama juga menggunakan pakaian yang Rapih untuk menemui Rani hari ini. Sementara Rani seperti biasa masih bermalas-malasan di dalam kamarnya […]
Buy Pin Up Calendar E-book On-line At Low Prices In India After the installation is complete, you’ll have the flexibility […]
Karya Nurlaili Alumni KMO Alineaku Hampir 10 bulan, Pandemi Covid -19 telah melanda dunia dengan cepat dan secara tiba-tiba. Hal […]
Karya Lailatul Muniroh, S.Pd Alumni KMO Alineaku Rania akhirnya menikah juga kamu,,, begitu kata teman2nya menggoda, Yaa,,,Rania bukan anak.yang cantik […]
Karya Marsella. Mangangantung Alumni KMO Alineaku Banyak anak perempuan mengatakan bahwa sosok pria yang menjadi cinta pertama mereka adalah Ayah. […]
Karya Any Mewa Alumni KMO Alineaku Bukankah sepasang sejoli memutuskan bersatu dalam ikatan pernikahan demi menciptakan damai bersama? Tetapi bagaimana […]
Comment Closed: menyentuh hati yang terluka
Sorry, comment are closed for this post.