Masa Kecil Safira
Kaliurang 1959-1964
Kaliurang merupakan tempat wisata di kaki Gunung Merapi, letaknya di sebelah utara Yogyakarta. Tempat yang indah di pegunungan yang hawanya segar. Bunga-bunga indah bersemi di berbagai penjuru tempat. Banyak tempat pariwisata yang sering dikunjungi oleh wisatawan dalam dan luar negeri.
Safira gadis kecil, dengan rambut selalu dikuncir dua, selalu tersenyum, menandakan selalu gembira, selalu menyapa siapa saja yang dijumpainya. Bila berjalan sering sambil menyanyi.
Keluarga Safira tinggal di Kaliurang di tahun 1959 sampai tahun 1964. Ayahnya sebagai perangkat ABRI TNI AD, berpangkat bintara ditugaskan di Kaliurang, di sekolah Musik Angkatan Darat. Sebelumnya mereka tinggal di Bandung.
Menurut cerita ibunya, bahwa mereka pindah ke Kaliurang tahun 1959, ketika itu usia Safira dua tahun. Seiring berjalannya waktu, dan Safira mulai mengingat masa itu. Duduk di kelas TK, waktu itu belum ada istilah TK Kecil dan TK Besar. Kata Ibunya, Safira mulai sekolah di TK sejak usia 3 tahun karena ikut kakaknya yang tidak mau sekolah kalau tidak dengannya. Sewaktu TK, ketika guru tidak hadir, kebetulan tinggalnya di Yogyakarta, Safira dengan berani menggantikan mengajar. Ternyata sampai di usianya enam puluh lima tahun, ia masih mengajar.
Safira kecil mulai sekolah di bangku SD ketika usianya 5 tahun, siswa paling muda,
Safira punya teman bermain boleh dikatakan sahabat, Namanya Akira, ayahnya berkebangsaan Jepang dan ibunya asli dari Sunda.
Setiap pulang sekolah, Safira bermain ke rumah Akira. Rumah idaman, menurut Safira, karena di rumah yang besar itu, tersedia kamar belajar lengkap dengan segala peralatan belajar dan kamar bermain. Terpikir di benar Safira, berharap, jika suatu saat ia punya uang banyak dapat mewujudkan impiannya. Mempunyai ruang bermain dan belajar yang memadai.
Suatu hari, sepulang dari sekolah, Safira berjalan melewati rumah Akira. Rumah Akira di dekat sekolah, setiap hari Safira pasti melewatinya.
“Safira..” panggil Akira sambil tersenyum.
“Ya… Ada apa Akira?” jawab Safira.
“Ayo main ke rumahku. Papaku baru saja membelikan pewarna, pasti kamu suka.” jawab Akira sambil menarik tangan Safira.
Safira mengikuti Akira pergi ke rumahnya. Benar sekali, pewarna yang diperlihatkan Akira bagus dan pasti harganya mahal, batin Safira.
Safira mencoba pewarna yang diperlihatkan Akira. Ia mencoba mencoret gambar orang, meskipun sama sekali tidak proporsional kala itu, tapi kelihatan ada busana yang digambarnya. Ia membayangkan kalau jadi tukang gambar baju, istilah sekarang fashion designer.
Sekitar pukul 03.00 sore, Safira pamit untuk pulang, takut ibunya mencarinya. Meskipun ibunya sudah tahu jika Safira pulang terlambat pasti bermain di rumah Akira.
Hubungan Ibu Safira dan Ibu Akira sangat bagus, maklum di desa kecil, sama-sama perantauan.
Mereka bersahabat sejak TK sampai kelas tiga SD. Persahabatan mereka semakin dekat, tetapi waktu juga yang membuat mereka harus berpisah, dimana Safira harus pindah ke Jakarta mengikuti ayahnya yang berpindah tugas.
Jakarta 1964
Kepindahan Ayah Safira ke Jakarta sudah berjalan selama satu tahun, keluarga baru menyusul di tahun 1964, menunggu masa kenaikan kelas.
Suasana sekolah di Jakarta yang tentunya kota besar sangatlah berbeda dengan di Kaliurang. Safira kadang merasa minder, karena kemampuan berbahasa Indonesianya masih belum bagus, tetapi ia tak berputus asa.
Safira mempunyai beberapa teman baru, seperti Yuni, Rika, Ningsih dan masih banyak lagi. Hari-hari ia lalui dengan penuh semangat, kebiasaan berjalan sambil bernyanyi tetap dilakukan, dan tersenyum kepada siapapun yang dijumpainya. Tidak terasa ia sudah duduk di kelas lima. Nilai berhitungnya selalu baik karena sewaktu belajar selalu di kawal ayahnya.
Jakarta, November 1968
Di suatu malam sunyi hanya alunan jangkrik yang terdengar tanda malam semakin larut. Safira di rumah hanya tinggal dengan kakak-kakak, Ibu dan adik menunggui ayah yang sudah satu bulan di rumah sakit. Ayah divonis sakit maag yang sudah parah. Safira merasakan malam yang semakin mencekam. Hingga pukul 00.40 hati Safira tidak tenang, mau tidur pun sulit. Sekilas bayangan ayahnya melintas dengan senyum yang selalu ada di wajah pria paruh baya itu, yang selalu memberi semangat untuk menjadi wanita yang kuat. Ayahnya selalu berpesan bahwa berbuat baiklah kepada siapapun, insya Allah kamu akan mendapatkan kebaikan pula.
Pagi harinya, ibunya Kembali dari rumah sakit, mengabarkan ayahnya sudah tiada. Safira ingin menangis, tetapi tak ada air mata yang keluar. Hari ini akan diadakan pemakaman, jenazah langsung dari rumah sakit menuju pemakaman Pahlawan Kalibata. Ayah Safira seorang anggota ABRI sehingga dimakamkan di TMP Kalibata.
Ibu, kakak-kakak Safira, Ardi dan Bimo, berangkat menuju rumah sakit Gatot Subroto di Jakarta Pusat.
Iringan jenazah dan para pelayat menuju TMP Kalibata, dengan iringan sirine, membuat Safira miris mendengarnya. Upacara pemakaman dilakukan secara militer dengan inspektur upacara Bapak Kolonel Sumarsono.
“Selamat jalan Ayah, doaku mengiringimu pergi, semoga tempat yang mulia di sisi Allah SWT sudah menantimu…” bisik Safira, masih tetap tidak menangis.
Ia teringat ketika ayahnya mengajaknya pergi ke daerah Wonosari, Yogyakarta, akan menghadiri temannya menikah. Ia dan ayahnya tersesat karena alamatnya tidak jelas. Sepanjang jalan ayahnya bercerita banyak, jika Safira lelah, ayahnya selalu menggendongnya. Setelah hari menjelang Maghrib, ketika ayahnya sudah putus asa dan memutuskan Kembali ke Jogja, mereka sampai di terminal Wonosari. Di situlah ayahnya bertemu dengan teman-teman yang lain yang kebetulan baru sampai. Akhirnya bersama teman-teman ayah Safira, pergi menuju tempat pesta pernikahan. Malam itu Safira dan ayahnya bermalam di Wonosari.
Kenangan lain yang tak terlupakan, ayahnya selalu mengajak keliling Jakarta jika hari Minggu, dengan mengendarai mobil dinas yang disebut gaz, bahkan pernah sampai Kebun Raya Bogor.
Ketika para tetangga dan teman-temannya datang menyampaikan duka cita, dia hanya tersenyum meskipun dalam hati remuk redam tak dapat dilukiskan dengan kata-kata.
Jakarta, 1969
Memasuki kelas 6 SD, dimana Safira harus mempersiapkan ujian, tanpa didampingi ayahnya, agak sulit untuk konsentrasi. Bayangan ayahnya yang selalu mendampinginya belajar sudah tidak ia rasakan lagi. Biasanya ayah membantunya untuk mengerjakan berhitung terutama yang menggunakan rumus-rumus. Hal tersebut berdampak pada hasil ujian yang minim, dengan jumlah NEM hanya 21.
“Ibu…” Safira memanggil ibunya.
“Ya Fira, ada apa?” tanya ibunya.
“NEM Fira sedikit sekali,” jawab Safira sambil menahan tangis, “biasanya nilai Fira kan bagus, Bu.”
“Tidak apa-apa, kamu sudah berusaha. Nanti di SMP belajar yang rajin lagi, pasti nilaimu akan baik,” jawab ibunya menenangkan Safira.
Safira mengikuti tes di SMP Negeri, di dekat rumah Uwak, dan diterima. Akan tetapi, jaraknya cukup jauh dari rumah, sudah tentu membutuhkan dana transport lebih banyak. Safira tidak mendaftar ulang, ia memutuskan untuk sekolah di dekat rumah saja. Beruntung ia dapat diterima di SMP swasta di dekat rumah, jadi untuk ke sekolah cukup jalan kaki. Kebetulan teman-teman dari perumahan dimana ia tinggal, banyak diterima di sekolah tersebut. Menjadikan Safira lebih bersemangat.
Kreator : Sicilia Sawitri
Comment Closed: Merajut Asa Chapter 2
Sorry, comment are closed for this post.