Awan menggantung di atas langit pematang sawah. Tampak mulai gelap, menutupi sinar sang mentari. Memaksa para pekerja bergerak cepat, memindahkan gabah padi hasil panen ke atas truk pengangkut. Rona kegembiraan tampak jelas di wajah mereka. Sesekali mereka tertawa dan saling bercanda. Bahagia tanpa rekayasa. Walaupun tak bisa dipungkiri, tubuh mereka terlihat letih dan lelah. Aku melewati mereka sambil melempar senyum tipis. Sedikit membungkuk memberi tanda hormat.
Panorama panen raya harapan semua petani. Merasakan nikmat setelah berjibaku melawan terik panas matahari. Apapun hasilnya, yang pasti harus disyukuri.
Aku teringat kisah 2 orang sahabat dalam surah Al-Kahfi, keduanya petani namun kondisinya berbeda.
Orang pertama, memiliki 2 kebun buah anggur, dikelilingi pohon kurma yang rindang dan berbuah lebat, ditambah ladang di antara pepohonan kurma, plus irigasi air tidak pernah kering. Kata anak muda sekarang, tajir melintir.
Sedangkan orang kedua, hanya memiliki satu kebun, yang hasilnya pas-pasan. Memang berbuah namun tidak selebat kebun orang pertama. Orang pertama kaya, tapi sombong dan kikir. Orang kedua, beriman dan rendah hati.
Melihat kondisi yang timpang, si kaya mulai bersikap angkuh. Tak segan ia berucap, aku lebih banyak harta dan pengikut (pekerja) dari pada yang kamu miliki.
Sebagai seorang sobat, ia tidak ingin temannya tenggelam dalam kesombongan. Berbagai cara digunakan, sekadar ingin menyadarkannya. Ia menasehati awal penciptaannya, betapa Allah Swt. telah menjadikan bentuk tubuhnya sempurna, diciptaan dari tanah dan air mani yang hina. Mengingatkannya akan bahaya bersikap kufur atas nikmat Allah. Betapa lemahnya manusia, dan betapa butuhnya terhadap kuasa dan kekuatan Allah Swt
Namun, asa menyadarkan sobatnya tertolak. Akibat sekat dan penghalang dalam hatinya. Semakin menjadi-jadi takaburnya. Hingga suatu malam, Allah Swt. turunkan petir membawa hawa panas. Menyambar seluruh pohon hingga membakarnya. Hangus dan musnah tak tersisa. Esok harinya, betapa terkejutnya si kaya, saat ia ingin memanen hasil kebun yang melimpah. Kondisi kebun telah rusak, tersabit-sabit, tidak satupun pohon tersisa. Ia pun tertunduk lesu, sambil membolak-balikkan tangannya tanda menyesal. Ia pun bertaubat atas sikap sombongnya.
Setiap dari kita mempunyai pohon kehidupan. Yang dijadikan Allah sebagai sumber rezeki dalam hidup, apapun bentuknya. Setiap insan hendaknya menyadari, bahwa berbagai profesi hidup ia jalani, hanya sekedar satu batu loncatan dan media untuk ingat kuasa Allah atas dirinya.
Petani menabur biji, Allah yang menumbuhkan hingga menghasilkan buah. Ibarat seorang yang makan, ia hanya memastikan makanan yang masuk halal dan thayib, sesuai aturan Islam. Selebihnya, proses makanan dicerna dan diolah oleh tubuh hingga menjadi energi, semuanya Allah yang mengaturnya.
Ibarat seorang yang berolahraga. Berjalan, berlari, berenang dan lain-lain. Adapun lancarnya aliran darah, terjaganya imun dalam sistem metabolisme tubuh yang stabil, adalah wilayah kuasa Allah. Artinya, Allah yang menentukan kondisi seseorang itu sehat atau sakit. Filsafat Arab tampaknya perlu ditanamkan dalam diri kita. Bahwa sesungguhnya kita tidak lebih hanya berikhtiar dengan wad’u habbah (menaruh biji).
Maka, jaga dan rawatlah pohon kehidupan sesuai dengan aturan Allah. Mindset dan pola pikir harus dibangun atas kesadaran penuh, diatas pondasi kehambaan bukan keakuan.
Kreator : Arief Budiono
Comment Closed: Merawat pohon kehidupan
Sorry, comment are closed for this post.