KATEGORI
  • Adat & Budaya
  • Agrikultur
  • Aksi
  • Arsitektur
  • Artikel
  • Asmara
  • Autobiografi
  • autobiography
  • Bahasa & Sastra
  • Berita Alineaku
  • Bisnis
  • Branding
  • Cerita Anak
  • Cerita Pendek
  • Cerita Rakyat
  • Cerpen
  • Cinta
  • Cita – Cita dan Harapan
  • Dongeng
  • Drama
  • Ekonomi
  • Epos
  • Event
  • Fabel
  • Fantasi
  • Fiksi
  • Gaya Hidup
  • Hiburan
  • Hobi
  • Hubungan Antarpribadi
  • Hukum
  • Humanis
  • Humor
  • Ilmu Manajemen
  • Inspirasi
  • Istri
  • Kampus
  • Karir dan Kewirausahaan
  • Keagamaan
  • Keluarga
  • Kesehatan & Kecantikan
  • Kesehatan Mental
  • Ketenagakerjaan
  • Kisa Masa Kecil
  • Kritik Media
  • Kuliner
  • Legenda
  • Lifestyle
  • Lingkungan Hidup
  • mengelola toko
  • Mental Health
  • Moralitas
  • Motivasi
  • Novel
  • Nutrisi
  • Nutrition
  • Otomotif
  • Parenting
  • Pendidikan
  • Pendidikan Karir
  • Pendidikan Keuangan
  • pengalaman hidup
  • Pengembangan Diri
  • Perjalanan Hidup
  • Pernikahan
  • Persahabatan
  • Pertemanan
  • Petualangan
  • Petualangan Alam
  • Pilih Kategori
  • Pilih Menu
  • Politik
  • Psikologi
  • Psikologi Sosial
  • Puisi
  • Romansa
  • Romantisme kehidupan
  • Rumah Tangga
  • Satir
  • Sejarah
  • Self-Acceptance
  • Self-Awareness
  • Seni & Budaya
  • Sosial
  • spiritual journey
  • Strategi
  • Teknologi
  • Tempat Wisata
  • Traveling
  • Uncategorized
  • Wanita
  • Beranda » Artikel » Merengkuh Cahaya Harapan (Part 10)

    Merengkuh Cahaya Harapan (Part 10)

    BY 03 Agu 2024 Dilihat: 27 kali
    Merengkuh Cahaya Harapan_alineaku

    Bab 2 Memahami Anak Putus Sekolah

     A. Definisi dan Klasifikasi Anak Putus Sekolah

    Anak putus sekolah (APS) umumnya didefinisikan sebagai anak usia sekolah yang tidak lagi mengikuti pendidikan formal secara definitif, baik karena mengundurkan diri, dikeluarkan, maupun tidak pernah bersekolah sama sekali. Menurut UNESCO, APS adalah anak-anak yang berusia di atas usia resmi masuk sekolah dasar tetapi tidak bersekolah atau telah meninggalkan sekolah sebelum menyelesaikan pendidikan dasar.

    Klasifikasi Anak Putus Sekolah (APS) dapat dilakukan berdasarkan beberapa kriteria, yang mencakup rentang usia dan tingkat pendidikan. Pertama, berdasarkan usia, APS dapat dibagi menjadi beberapa kategori. APS usia dini mencakup anak-anak dalam rentang usia 7-12 tahun yang entah tidak pernah bersekolah atau telah meninggalkan pendidikan formal sebelum menyelesaikan kelas 3 SD.

     Kemudian, ada APS usia remaja, yang mencakup individu dalam rentang usia 13-15 tahun yang telah meninggalkan sekolah sebelum menyelesaikan kelas 6 SD atau tingkat pendidikan yang setara. Sementara itu, APS usia dewasa muda merujuk pada individu berusia 16-18 tahun yang telah meninggalkan pendidikan formal sebelum menyelesaikan pendidikan menengah pertama.

    Selain itu klasifikasi APS juga dapat dilakukan berdasarkan tingkat pendidikan yang telah ditempuh oleh individu tersebut sebelum meninggalkan sekolah. Pertama, terdapat kategori APS belum pernah sekolah, yang mengacu pada anak-anak yang belum pernah mengikuti pendidikan formal sama sekali. Selanjutnya, ada APS putus sekolah SD, yang mencakup anak-anak yang telah meninggalkan pendidikan dasar sebelum menyelesaikannya. Kemudian, terdapat kategori APS putus sekolah SMP, yang merujuk pada individu yang meninggalkan sekolah setelah menyelesaikan pendidikan dasar, tetapi sebelum menyelesaikan pendidikan menengah pertama. 

    Terakhir, kategori APS putus sekolah SMA mencakup individu yang meninggalkan pendidikan menengah pertama sebelum menyelesaikannya sepenuhnya, tetapi sebelum menyelesaikan pendidikan menengah atas.

    Klasifikasi yang jelas berdasarkan usia dan tingkat pendidikan memberikan pemahaman yang lebih baik tentang populasi APS dan membantu dalam merancang intervensi dan program yang sesuai untuk memenuhi kebutuhan mereka.

    Dari adanya klasifikasi yang jelas berdasarkan usia dan tingkat pendidikan, kita dapat lebih memahami konteks individu yang terlibat dalam kasus Anak Putus Sekolah (APS). Misalnya, APS usia dini mungkin memiliki tantangan yang berbeda dari APS usia remaja atau dewasa muda. Anak-anak dalam kategori ini mungkin mengalami kesulitan dalam menyesuaikan diri dengan lingkungan sekolah atau mungkin menghadapi tekanan ekonomi yang menyebabkan mereka harus bekerja untuk membantu keluarga mereka.

    Sementara itu, APS putus sekolah di tingkat pendidikan dasar, menengah pertama, atau menengah atas mungkin memiliki alasan dan tantangan yang berbeda. Mereka mungkin menghadapi tekanan sosial, ekonomi, atau keluarga yang menyebabkan mereka meninggalkan sekolah. Misalnya, di tingkat SMP, beberapa anak mungkin merasa tertinggal dalam pembelajaran akademik atau mengalami masalah perilaku di sekolah, sementara di tingkat SMA, mereka mungkin mengalami tekanan untuk mulai bekerja atau membantu keluarga mereka secara finansial.

    Ketika mampu memahami perbedaan dalam klasifikasi APS ini, para pemangku kepentingan, termasuk pemerintah, lembaga pendidikan, dan organisasi non-pemerintah, dapat merancang intervensi yang sesuai dan efektif untuk membantu mencegah dan mengurangi kasus APS. Ini bisa termasuk program re-integrasi sekolah, pelatihan keterampilan, dukungan psikososial, atau bantuan keuangan bagi keluarga yang membutuhkan.

    Melalui pendekatan yang komprehensif dan berbasis data seperti ini, diharapkan dapat menciptakan lingkungan yang lebih inklusif dan mendukung bagi anak-anak dan remaja yang berisiko putus sekolah, sehingga mereka memiliki kesempatan yang sama untuk mendapatkan pendidikan yang layak dan mencapai potensi penuh mereka.

    Setelah adanya klasifikasi yang jelas berdasarkan usia dan tingkat pendidikan, kita dapat lebih memahami konteks individu yang terlibat dalam kasus Anak Putus Sekolah (APS). Misalnya, APS usia dini mungkin memiliki tantangan yang berbeda dari APS usia remaja atau dewasa muda. Anak-anak dalam kategori ini mungkin mengalami kesulitan dalam menyesuaikan diri dengan lingkungan sekolah atau mungkin menghadapi tekanan ekonomi yang menyebabkan mereka harus bekerja untuk membantu keluarga mereka.

    Sementara itu, APS putus sekolah di tingkat pendidikan dasar, menengah pertama, atau menengah atas mungkin memiliki alasan dan tantangan yang berbeda. Mereka mungkin menghadapi tekanan sosial, ekonomi, atau keluarga yang menyebabkan mereka meninggalkan sekolah. Misalnya, di tingkat SMP, beberapa anak mungkin merasa tertinggal dalam pembelajaran akademik atau mengalami masalah perilaku di sekolah, sementara di tingkat SMA, mereka mungkin mengalami tekanan untuk mulai bekerja atau membantu keluarga mereka secara finansial.

     

    B. Faktor-faktor Penyebab Anak Putus Sekolah

    Fenomena anak putus sekolah merupakan masalah kompleks yang melibatkan berbagai faktor, baik dari dalam maupun luar lingkungan individu tersebut. Faktor-faktor penyebab utama yang mendorong anak-anak untuk meninggalkan pendidikan formal dapat dikelompokkan menjadi beberapa kategori, di antaranya adalah faktor ekonomi.

    Pertama-tama, kemiskinan menjadi salah satu faktor utama yang memaksa anak-anak untuk meninggalkan sekolah. Keluarga yang hidup dalam kondisi ekonomi yang sulit seringkali menghadapi tekanan untuk mendapatkan sumber pendapatan tambahan. Anak-anak dari keluarga miskin seringkali diharapkan untuk bekerja demi membantu memenuhi kebutuhan keluarga, menggantikan peran yang seharusnya mereka jalani sebagai siswa di sekolah.

    Selain itu, biaya pendidikan yang tinggi juga menjadi hambatan besar, terutama di daerah-daerah terpencil atau yang kurang berkembang. Biaya pendidikan yang tidak terjangkau bagi keluarga miskin menyebabkan anak-anak mereka tidak mampu untuk melanjutkan pendidikan mereka, sehingga mereka terpaksa memutuskan untuk meninggalkan sekolah demi mencari pekerjaan yang dapat memberikan penghasilan lebih cepat.

    Selanjutnya, kehilangan sumber pendapatan keluarga juga dapat menjadi pemicu anak putus sekolah. Kematian salah satu atau kedua orang tua, perceraian, atau situasi lain yang mengakibatkan kehilangan penghasilan utama keluarga dapat memaksa anak-anak untuk mencari pekerjaan demi membantu memenuhi kebutuhan keluarga yang mendesak.

    Keseluruhan, faktor-faktor ekonomi seperti kemiskinan, biaya pendidikan yang tinggi, dan kehilangan sumber pendapatan keluarga menjadi pemicu utama anak putus sekolah. Untuk mengatasi masalah ini, diperlukan upaya yang komprehensif dari berbagai pihak, termasuk pemerintah, lembaga pendidikan, dan masyarakat, untuk memastikan bahwa setiap anak memiliki akses yang setara dan terjangkau terhadap pendidikan yang berkualitas. Ini melibatkan kebijakan pendidikan yang inklusif, bantuan keuangan bagi keluarga yang membutuhkan, serta program-program dukungan untuk membantu anak-anak tetap berada di sekolah dan menyelesaikan pendidikan mereka.

    Dalam konteks faktor ekonomi, kesenjangan ekonomi yang ada dalam masyarakat juga dapat menjadi penyebab utama anak-anak putus sekolah. Anak-anak dari keluarga yang kurang mampu sering kali tidak memiliki akses yang sama terhadap sumber daya pendidikan yang penting, seperti buku-buku teks, peralatan sekolah, atau bahkan sarana transportasi untuk pergi ke sekolah. Akibatnya, mereka mungkin merasa terpinggirkan atau kurang termotivasi untuk melanjutkan pendidikan mereka.

    Selain faktor ekonomi, faktor-faktor sosial dan lingkungan juga berperan penting dalam menyebabkan anak-anak putus sekolah. Misalnya, tekanan dari teman sebaya, lingkungan sekolah yang tidak kondusif, atau masalah-masalah keluarga seperti kekerasan dalam rumah tangga atau kurangnya dukungan dari orang tua juga dapat menjadi penyebab anak putus sekolah.

    Selanjutnya, kurangnya relevansi atau kecocokan kurikulum dengan kebutuhan dan minat siswa juga dapat menyebabkan anak-anak kehilangan minat dalam pendidikan formal. Jika kurikulum tidak memperhitungkan keberagaman bakat, minat, atau latar belakang siswa, mereka mungkin merasa tidak termotivasi atau tidak terlibat secara aktif dalam proses pembelajaran.

    Dengan memahami berbagai faktor yang berkontribusi pada fenomena anak putus sekolah, maka dapat dirancang strategi intervensi yang lebih holistik dan terarah. Pendekatan yang melibatkan kerjasama antara pemerintah, lembaga pendidikan, keluarga, dan masyarakat secara luas diperlukan untuk mengatasi masalah ini secara efektif. Upaya-upaya seperti program beasiswa, pelatihan keterampilan, dukungan psikososial, dan pembangunan komunitas yang inklusif dapat membantu meningkatkan kesempatan dan motivasi anak-anak untuk tetap berada di sekolah dan mengejar pendidikan mereka hingga selesai.

    Selain itu, faktor-faktor psikologis juga dapat memainkan peran dalam menyebabkan anak-anak putus sekolah. Misalnya, rendahnya motivasi belajar, kurangnya rasa percaya diri, atau masalah emosional seperti kecemasan atau depresi dapat membuat anak-anak merasa tidak mampu untuk menghadapi tuntutan sekolah. Tanpa dukungan yang memadai dari lingkungan sekolah atau keluarga, anak-anak ini mungkin cenderung untuk meninggalkan pendidikan formal sebagai cara untuk menghindari perasaan tidak nyaman atau tekanan yang mereka alami.

    Selain itu, faktor-faktor budaya dan tradisional juga dapat mempengaruhi keputusan anak-anak untuk putus sekolah. Misalnya, dalam beberapa masyarakat, terutama yang masih menganut tradisi patriarki, anak perempuan sering kali dianggap memiliki peran domestik yang lebih tinggi daripada akses terhadap pendidikan formal. Hal ini dapat mengakibatkan anak perempuan dihambat untuk melanjutkan pendidikan mereka, terutama setelah mencapai usia yang ditetapkan untuk menikah atau mulai bekerja.

    Dengan mempertimbangkan berbagai faktor ini secara holistik, dapat diperoleh pemahaman yang lebih mendalam tentang kompleksitas masalah anak putus sekolah. Dalam menanggapi isu ini, diperlukan pendekatan yang beragam dan berbasis bukti, yang mencakup kebijakan pendidikan yang inklusif, program-program sosial dan ekonomi yang mendukung keluarga, serta perubahan budaya dan sosial yang mempromosikan nilai-nilai pendidikan yang lebih tinggi.

    Dengan langkah-langkah ini, diharapkan dapat diciptakan lingkungan yang mendukung dan inklusif bagi semua anak untuk mengakses pendidikan yang berkualitas dan meraih potensi mereka sepenuhnya, sehingga dapat mengurangi angka anak putus sekolah dan meningkatkan kesetaraan pendidikan di seluruh masyarakat.

     

     

    Kreator : Nurlaila

    Bagikan ke

    Comment Closed: Merengkuh Cahaya Harapan (Part 10)

    Sorry, comment are closed for this post.

    Popular News

    • Menurut Stephen Covey Manusia Memiliki Kebutuhan Dasar, Kecuali? a. To Live b. To Love c. To Listen d. To Leave the Legacy Jawaban: c. To Listen Menurut Stephen Covey Manusia Memiliki Kebutuhan Dasar, Berikut Pembahasannya: Stephen Covey, seorang penulis dan konsultan manajemen terkenal, dalam karya-karyanya sering membahas tentang kebutuhan dasar manusia. Dalam bukunya yang terkenal, […]

      Jun 25, 2024
    • Hari sudah menunjukkan pukul 14.30. Suasana di sekolah tempat Ustadz Hamdi mengabdikan diri sudah mulai sepi. Anak-anak sudah banyak yang pulang. Ustadz Hamdi masih duduk di meja kerjanya sambil memeriksa satu persatu tugas murid-muridnya. Saat itu tiba-tiba HP Ustadz Hamdi berdering “Kriiing, kriiing, kriiing…”  “Halo…., Assalamu alaikum !”  “Wa alaikum salam. Ini Lisa, pak Ustadz.” […]

      Jun 06, 2024
    • Aku adalah teman sekelas Sky di SMP, kami berada dikelas yang sama selama 3 tahun. Sekarang setelah masuk SMA kami berada di sekolah dan kelas yang sama. Sky selalu menjadi orang terpopuler di sekolah, Sky tinggi,  tampan, dan sangat ramah. Namun sayangnya aku merasa dia selalu dingin hanya padaku, aku bahkan tidak tau alasan dibalik […]

      Jun 10, 2024
    • Mahaga Belom Bahadat adalah bahasa Dayak Ngaju yang mempunyai makna yaitu menjaga kehidupan yang saling menghargai, menghormati serta menjunjung tinggi kehidupan Adat Istiadat maupun tradisi kearifan lokal di wilayah yang kita tempati. Era zaman sekarang ini sudah banyak sekali para generasi yang melupakan prinsif-prinsif hidup yang telah dulu ditinggalkan para leluhur(nenek moyang) kita, padahal banyak […]

      Jun 02, 2024
    • Part 13 : Candi Borobudur Keesokan harinya Rama sibuk mencari handphone yang biasa membangunkannya untuk berolahraga disaat Rama berada di Jogja. Rama tersenyum dan semangat untuk bangun, membersihkan diri dan segera membereskan kamarnya. Tidak lupa Rama juga menggunakan pakaian yang Rapih untuk menemui Rani hari ini. Sementara Rani seperti biasa masih bermalas-malasan di dalam kamarnya […]

      Sep 07, 2024

    Latest News

    Buy Pin Up Calendar E-book On-line At Low Prices In India After the installation is complete, you’ll have the flexibility […]

    Jun 21, 2021

    Karya Nurlaili Alumni KMO Alineaku Hampir 10 bulan, Pandemi Covid -19 telah melanda dunia dengan cepat dan secara tiba-tiba. Hal […]

    Des 07, 2021

    Karya Lailatul Muniroh, S.Pd Alumni KMO Alineaku Rania akhirnya menikah juga kamu,,,  begitu kata teman2nya menggoda, Yaa,,,Rania bukan anak.yang cantik […]

    Des 07, 2021

    Karya Marsella. Mangangantung Alumni KMO Alineaku Banyak anak perempuan mengatakan bahwa sosok pria yang menjadi cinta pertama mereka adalah Ayah. […]

    Des 07, 2021

    Karya Any Mewa Alumni KMO Alineaku Bukankah sepasang sejoli memutuskan bersatu dalam ikatan pernikahan demi menciptakan damai bersama? Tetapi bagaimana […]

    Des 07, 2021