Bagian 1
Wawancara
Sesekali Luna melirik ke jam dinding yang ada di ruang kaca ini. Jam menunjukkan pukul 10.13 WIB. Hampir dua jam Luna menunggu. Luna membuka ponsel yang sedari tadi ia pegang, melihat kembali email undangan wawancara dari perusahaan yang ia datangi pagi ini. Pada undangan tertera jam 08.30. Ia datang tepat waktu, bahkan sebelum waktu yang ditentukan ia sudah hadir.
“Selamat pagi, Mbak.”
“Selamat pagi. Ada yang bisa saya bantu, Mbak?”
“Saya Luna, saya mendapatkan undangan wawancara…” jelas Luna sambil menunjukkan layar ponsel yang menampilkan email undangan yang ia terima.
Anita, demikian nama karyawan yang tertera pada lanyard-nya, mencermati layar ponsel yang ditunjukkan oleh Luna.
“Baik, silahkan ditunggu dulu ya, Mbak Luna.” Anita menunjuk sofa tamu di ruang kaca sebelah meja resepsionis.
“Terima kasih…”
Luna mendorong pintu kaca dan duduk di sofa tamu yang disediakan. Jam dinding di ruangan itu menunjukkan pukul 08.18. Dan, sejak saat itu lah sampai dengan pukul 10.13, ia berada di ruang kaca tersebut. Mengamati lalu lalang karyawan yang turun naik tangga dan sesekali mencuri dengar perbincangan mereka, berdiskusi tentang pekerjaan ataupun sekedar obrolan ringan. Luna membatin dalam hati, kelihatannya menyenangkan sekali bekerja di sini.
Tak lama kemudian, seseorang keluar dari ruang wawancara. Setelah mengucapkan terima kasih kepada Anita, laki-laki berpakaian necis dan rapi itu bergegas menuju lift.
Giliranku sekarang. Harap Luna…
Sebenarnya, tak lama setelah Luna tiba, ada tiga calon karyawan yang datang dengan undangan wawancara yang sama. Seorang perempuan, kurang lebih seumuran dengannya, dan dua orang laki-laki, berpakaian necis dan rapi. Luna membandingkan dengan pakaian yang dikenakannya, rapi dan wangi, hanya saja ia tidak pandai berdandan seperti perempuan yang seumuran dengannya itu.
Walau ketiganya datang setelah Luna, namun satu per satu dari mereka, dipanggil terlebih dahulu untuk diwawancarai.
Luna tidak berani bertanya. Apalagi ia sebagai fresh graduate yang baru kali ini datang ke perusahaan untuk wawancara. Ia hanya bisa menanti dengan sabar. Mungkin posisi pekerjaan yang mereka lamar berbeda. Mungkin lebih dibutuhkan sehingga mereka diprioritaskan dalam sesi wawancara ini. Demikian Luna membatin, mengurangi rasa heran dan kecewanya karena harus menunggu terlalu lama.
“Mbak Luna…”
“Ya,”
Luna bergegas keluar dari ruang tunggu dan mengikuti langkah Anita.
“Selamat siang, Bapak, Ibu.”
“Siang. Silahkan duduk.”
Di depannya, duduk tiga orang yang siap untuk mewawancarai Luna. Satu orang dari HR dan dua orang merupakan manajer dan staf di departemen pada posisi yang ia lamar.
Wawancara berlangsung tidak begitu lama. Luna menjawab semua pertanyaan yang diajukan oleh pewawancara dengan lancar. Setelah merasa cukup dengan jawaban yang diberikan oleh Luna, mereka segera mengakhiri wawancara. Tidak sampai lima belas menit.
“Terima kasih untuk diskusinya, Mbak Luna. Kami akan mendiskusikan terlebih dahulu dengan manajemen. Jika memang lamaran Mbak Luna diterima, kami akan menghubungi segera.”
“Baik. Terima kasih atas waktu dan kesempatannya, Bapak, Ibu.” Luna berpamitan seraya tersenyum. Berdiri, bersalaman, kemudian menutup pintu ruang wawancara.
Jika membandingkan dengan waktu wawancara tiga kandidat sebelumnya, wawancara Luna yang paling singkat.
“Bagaimana dia bisa menarik klien kalau badannya seperti itu? Bisa-bisa klien ilfeel duluan sebelum sempat bertemu.”
Perkataan dengan nada mengejek disertai tawa orang-orang di dalam ruang itu samar-samar terdengar oleh Luna. Kalau saja Luna tidak berhenti sejenak setelah menutup pintu ruang wawancara untuk mengambil ponsel di dalam tasnya, ia tak akan mendengar kata-kata yang ditujukan padanya itu.
Luna tertegun.
“Terima kasih, Mbak Anita…”
Anita mengangguk sambil tersenyum.
Entah sudah berapa banyak wajah penuh harap yang ia lihat setiap harinya, wajah pencari kerja yang menggantungkan jalan hidup mereka dari seberkas ijazah kuliah dan pengalaman (jika ada) agar dapat terus bergerak mengikuti jalan kehidupan berikutnya. Ia pun dulu mungkin seperti itu, sebelum menjadi front office di perusahaan ini.
Luna memandang dirinya di pintu lift. Tak lama pintu lift terbuka.Luna bergegas masuk dan menekan tombol turun.
Sepanjang perjalanan pulang, Luna merenung. Ini wawancara kesekian kali yang ia ikuti, belum ada satu perusahaan pun yang menerimanya. Sudah hampir tiga bulan sejak ia dinyatakan lulus dan bergelar sarjana, sejak itu pula Luna rajin mengirimkan surat lamaran.
Kali ini pun sepertinya akan gagal kembali. Apakah karena semua perusahaan memiliki alasan yang sama? Selalu saja fisik yang mereka permasalahkan. Kepala Luna kembali dihinggapi oleh pikiran-pikiran negatif, dan ia benci jika pikiran-pikiran itu hinggap di kepalanya.
Segera ia tepis pikiran-pikiran jelek itu, mungkin memang belum waktunya. Mungkin ada rencana lebih besar yang menanti dirinya. Bayangan tentang kemungkinan-kemungkinan itu sedikit banyak mengubah suasana hati Luna, langkah pulangnya menjadi lebih ringan. Jika memang benar perkataan orang-orang di ruangan tadi menjadi alasan perusahaan ini tidak menerimanya, ya sudah biarkan saja. Tak lama pun, Luna sudah lupa nama perusahaan yang baru ia datangi.
Untungnya, Luna memang se-easy going itu. Prinsipnya, tidak perlu menyalahkan orang lain atas kegagalan sendiri, fokus saja memperbaiki diri, pada akhirnya akan dipertemukan dengan orang-orang dan lingkungan yang benar-benar menghargai kita.
Luna sudah terbiasa dengan orang-orang yang berkomentar tentang tubuhnya, orang-orang yang hanya melihat sisi negatif dari tubuhnya. Ia kenyang dengan berbagai macam panggilan yang ditujukan padanya. Terlalu banyak nasihat yang ia terima, yang memaksanya untuk melakukan ini atau jangan melakukan itu, agar tubuhnya bisa sesuai dengan ekspektasi dan keinginan orang lain.
Semakin Luna memikirkan perkataan orang lain, semakin ia merasa terbebani. Bukannya tidak pernah berusaha untuk mengikuti kemauan mereka. Beberapa kali coba menurunkan berat badan seperti yang disarankan, namun tidak pernah berhasil atau berhenti sebelum hasilnya kelihatan.
Pada akhirnya, Luna memutuskan tak acuh dengan omongan-omongan orang lain. Selama ia merasa dirinya baik-baik saja, dan selama ia merasa nyaman dengan tubuhnya. Abaikan saja dulu perkataan orang lain. Selama ia masih bisa melakukan aktifitas seperti orang normal lainnya, tidak ada yang salah dengan keadaan tubuhnya. Tetap menjaga kesehatan, itu yang utama dilakukannya dibandingkan dengan harus bersusah payah mengikuti kemauan orang lain.
“Assalamu ‘alaikum, Mah…”
Sambil membuka pintu, Luna mengucapkan salam.
“Wa’alaikum salam. Sudah pulang kamu, Nak?”
Mama yang sedang berada di ruang makan, menjawab salam Luna
“Iya, Ma.”
“Mama baru saja selesai masak mie kesukaanmu. Ayo, temani Mama makan, ya.”
Luna mengangguk, mendekati Mama seraya mencium tangannya. Mama sangat mengerti Luna. Mama tahu, ia tidak perlu langsung bertanya tentang kejadian yang Luna alami hari ini. Jika merasa menarik untuk diceritakan, Luna pasti akan menceritakannya sendiri. Dan, seingat Luna, hanya Mama yang tidak pernah memanggilnya dengan sebutan-sebutan yang jelek terkait tubuhnya.
Siang itu, sambil makan mie kesukaannya bersama Mama, mengalir cerita dari bibir Luna. Bukan tentang wawancara tadi, tapi hal lain yang lebih menarik untuk diceritakan ke Mama.
Kreator : Sartika Dewi
Comment Closed: Metamorfosis Sempurna
Sorry, comment are closed for this post.