Catatan, Juli 2009
Setelah beberapa hari hujan tak henti, akhirnya pagi itu mentari muncul dengan malu-malu. Hujan di Bulan Juli memang punya cara sendiri untuk menjadi pahlawan tanpa tanda jasa: menghapus debu-debu yang beterbangan seperti salju ala-ala, yang kadang setebal setengah meter. Anak-anak bersuka ria, dibersihkannya kaki mereka dari selimut debu setinggi lutut. Ibu-ibu di kampung pun tersenyum lega, make-up mereka selamat dari serangan debu. Tapi tentu saja, pedagang es keliling? Yah, nasib mereka agak mirip es yang cepat mencair, kurang ramah.
Sabtu pagi di Bulan Juli, angin berhembus kencang, seolah-olah mau adu jotos sama hujan. Ranting-ranting pohon jambu mete bergoyang seperti menari penuh semangat, bahkan antena TV di rumah-rumah ikut berdengung nyaring sampai penduduk was-was, takut kena hantam. Penduduk desa bilang itu “peperangan antara angin dan hujan.” Sungguh pagi yang kurang bersahabat untuk memulai misi besar dan terencana.
Tapi ya, pagi tetap pagi. Di situlah harapan mulai merangkak, mimpi-mimpi mulai berbisik, dan pertarungan batin dimulai: apakah akan lanjutkan mimpi atau merajut mimpi?
Anggap saja pagi itu adalah momen sempurna untuk memulai pengabdian pada tanah kelahiran.
Kenapa Sabtu? Kenapa harus Sabtu, yang merupakan akhir sebuah pekan? Ya, karena aku ingin mengawali pengabdianku dengan menyenangkan. Akhir pekan identik dengan liburan atau melakukan hal-hal yang menyenangkan. Jadi, pengandianku di sekolah itu akan kulakukan dengan riang gembira, seperti aroma yang diberikan oleh sebuah akhir pekan.
Awal sebuah akhir pekan yang cukup dingin, untuk desa yang terkenal panas dan gersang. Kuguyur tubuhku dengan air hujan hasil tampungan beberapa hari belakangan. Jeding, begitulah warga desa menyebutnya. Sebuah bak besar, berbentuk kotak dengan panjang sekitar 2, lebar 1,5 meter, dan tinggi 1,5 meter (ukurannya menyesuaikan dengan lahan yang dimiliki penduduk), yang berfungsi sebagai penampungan air di musim penghujan, untuk memenuhi kebutuhan harian penduduk, termasuk masak, mandi, cuci, dan kebutuhan domestik lainnya. Setiap rumah tangga memilikinya, setidaknya 1 sebagai cadangan air di musim kemarau.
Sabtu itu adalah hari pertamaku, menjadi guru pengabdi di sekolah yang ada di desaku. Guru Pengabdi. Begitulah aku disebut. sebuah sebutan untuk kasta terendah yang konon dianggap paling mulia di dunia perguruan. Paling rendah, namun paling mulia. Setidaknya begitulah kata kawan-kawanku. Bagaimana tidak, namanya saja mengabdi. Seperti pengabdi-pengabdi lainnya. Bekerja tanpa dibayar. Syukur-syukur sekolah mampu memberi transport dari dana BOS. Kalau tidak? Iya, tidak apa-apa. Aku ikhlas. Tujuanku memang bukan bekerja, tapi belajar dan mengabdi. Sebagai mahasiswa semester empat akhir, sekolah ini menjadi tempat nyata untukku belajar mempraktikkan ilmu-ilmu di bangku kuliah.
Misi Mengabdi ini, sudah lebih kurang 2 tahun kurencanakan, ketika aku memasuki universitas Pendidikan di kota Singaraja. Jika nanti aku tidak ditakdirkan untuk berjodoh dengan lelaki di desaku, setidaknya inilah hal kecil yang bisa kusumbangkan untuk tanah kelahiranku, sebuah dusun gersang di daerah terpinggir yang terkenal sebagai kampung halaman Gepeng (Gelandangan dan Pengemis), Muntigunung.
Bagaimana tidak, setiap gepeng yang beredar di tanah Bali ini, mengakunya pasti dari Muntigunung. Awalnya, hal ini membuatku malu. Aku sering dibully gara-gara asalku.
“Kamu dari Muntigunung ya? Kamu Gepeng dong ya? Bener ya orang Muntigunung itu semua harus mengemis? bener ya itu tradisi?”
Begitulah beberapa kalimat yang menamparku setiap orang tahu asalku. Saking muaknya, rasa maluku berubah menjadi geram, geregetan dan jengah. Itulah awal mula aku menyusun misi pengabdian ini.
Akhirnya, di pagi yang cukup bersahabat itu, namaku tercatat menjadi pengajar Bahasa Inggris di SD N 6 Tianyar Barat. Sekolah almamaterku, tempatku mengenyam bangku sekolah dasar, yang letaknya di pegunungan, gunung yang panas, kering dan gersang. Sedikit dari sekian keuntungan tinggal di sana adalah tak ada binatang buas yang mampu bertahan di pegunungan ini. Air susah, ekonomi susah, orang-orangnya pun susah.
Aku adalah guru bahasa yang tidak suka basa basi. Setidaknya hari pertama berada di sekolah ini, aku tidak perlu banyak bicara untuk perkenalan, karena hampir semua guru, sudah ku kenal, termasuk guru yang mengajarku dulu juga masih aktif di sana. Sungguh menyenangkan, namun juga canggung, guruku dulu kini menjadi rekan kerjaku. Cocok untuk jadi sebuah judul FTV.
Namun, ada satu guru yang menatapku dari atas ke bawah, balik lagi. Guru itu adalah guru baru dari desa tetangga yang jauh. Mungkin dia kira aku sales perabotan rumah tangga, yang suka mampir-mampir menawarkan dagangannya ke ibu-ibu guru disana. Penampilanku cukup nyentrik, rambut coklat panjang dan bergelombang digerai begitu saja, kemeja coklat dan celana bahan cream, dilengkapi sepatu sneaker putih, sama sekali jauh dari penampilan guru disana. Aku pun sama sekali tidak memperdulikan pandangan kaget orang-orang melihat penampilanku. Berbeda itu tidak selalu buruk. Namanya juga guru pengabdi, tidak ada seragam.
Hari pertama di sekolah itu aku langsung masuk kelas. Bahasa Inggris hanya diberikan untuk Kelas atas (4, 5 dan 6), mengingat mapel ini adalah muatan lokal. Dan saat itu, kehadiranku menjadi guru Bahasa Inggris yang mengajar di sekolah itu adalah yang pertama. Tentu menjadi tantangan untukku.
“Good morning, students.” sapaku kepada murid kelas lima.
Mereka bengong tak berkedip, pun tak bersuara. Aku ulang lagi sapaanku, berpikir mungkin kurang keras dan jelas. Mereka pun tetap tak bergeming.
“Selamat pagi, anak-anak.” aku modifikasi sedikit. Lalu mereka menjawab dengan lantang sesuai irama dan nada anak SD. Setidaknya perlu waktu dua menit menunggu mereka selesai mengucap salam, saking beriramanya.
Begitulah, di pulau yang katanya surga dunia, yang didatangi oleh turis-turis mancanegara, Bahasa Inggris menjadi bahasa asing yang amat sangat asing untuk mereka. Disitulah, tekadku mengeras, mereka harus mampu mengenal Bahasa Inggris agar memiliki modal menghadapi kehidupan di pulau ini.
Kreator : Kade Restika Dewi
Comment Closed: Misi Besar dan Terencana
Sorry, comment are closed for this post.