KATEGORI
  • Adat & Budaya
  • Agrikultur
  • Aksi
  • Arsitektur
  • Artikel
  • Asmara
  • Autobiografi
  • autobiography
  • Bahasa & Sastra
  • Berita Alineaku
  • Bisnis
  • Branding
  • Catatan Harian
  • Cerita Anak
  • Cerita Pendek
  • Cerita Rakyat
  • Cerpen
  • Cinta
  • Cita – Cita dan Harapan
  • Dongeng
  • Drama
  • Ekonomi
  • Epos
  • Event
  • Fabel
  • Fantasi
  • Fiksi
  • Gaya Hidup
  • Hiburan
  • Hobi
  • Hubungan Antarpribadi
  • Hukum
  • Humanis
  • Humor
  • Ilmu Manajemen
  • Inspirasi
  • Istri
  • Kampus
  • Karir dan Kewirausahaan
  • Keagamaan
  • Keluarga
  • Kesehatan & Kecantikan
  • Kesehatan Mental
  • Ketenagakerjaan
  • Kisa Masa Kecil
  • Kisah Inspiratif
  • Kritik Media
  • Kuliner
  • Legenda
  • Lifestyle
  • Lingkungan Hidup
  • Manajemen
  • mengelola toko
  • Mental Health
  • Moralitas
  • Motivasi
  • Novel
  • Nutrisi
  • Nutrition
  • Opini
  • Organisasi
  • Otomotif
  • Parenting
  • Pemerintahan
  • Pendidikan
  • Pendidikan Karir
  • Pendidikan Keuangan
  • pengalaman hidup
  • Pengembangan Diri
  • Perjalanan Hidup
  • Pernikahan
  • Persahabatan
  • Pertemanan
  • Petualangan
  • Petualangan Alam
  • Pilih Kategori
  • Pilih Menu
  • Politik
  • Psikologi
  • Psikologi Sosial
  • Puisi
  • Romansa
  • Romantisme kehidupan
  • Rumah Tangga
  • Satir
  • SDM
  • Sejarah
  • Self-Acceptance
  • Self-Awareness
  • Seni & Budaya
  • Sosial
  • spiritual journey
  • Strategi
  • Teknologi
  • Tempat Wisata
  • Traveling
  • Uncategorized
  • Wanita
  • Beranda » Artikel » Misi Besar dan Terencana

    Misi Besar dan Terencana

    BY 29 Jun 2025 Dilihat: 4 kali
    Misi Besar dan Terencana_alineaku

    Catatan, Juli 2009

    Setelah beberapa hari hujan tak henti, akhirnya pagi itu mentari muncul dengan malu-malu. Hujan di Bulan Juli memang punya cara sendiri untuk menjadi pahlawan tanpa tanda jasa: menghapus debu-debu yang beterbangan seperti salju ala-ala, yang kadang setebal setengah meter. Anak-anak bersuka ria, dibersihkannya kaki mereka dari selimut debu setinggi lutut. Ibu-ibu di kampung pun tersenyum lega, make-up mereka selamat dari serangan debu. Tapi tentu saja, pedagang es keliling? Yah, nasib mereka agak mirip es yang cepat mencair, kurang ramah.

    Sabtu pagi di Bulan Juli, angin berhembus kencang, seolah-olah mau adu jotos sama hujan. Ranting-ranting pohon jambu mete bergoyang seperti menari penuh semangat, bahkan antena TV di rumah-rumah ikut berdengung nyaring sampai penduduk was-was, takut kena hantam. Penduduk desa bilang itu “peperangan antara angin dan hujan.” Sungguh pagi yang kurang bersahabat untuk memulai misi besar dan terencana.

    Tapi ya, pagi tetap pagi. Di situlah harapan mulai merangkak, mimpi-mimpi mulai berbisik, dan pertarungan batin dimulai: apakah akan lanjutkan mimpi atau merajut mimpi?

    Anggap saja pagi itu adalah momen sempurna untuk memulai pengabdian pada tanah kelahiran.

    Kenapa Sabtu? Kenapa harus Sabtu, yang merupakan akhir sebuah pekan? Ya, karena aku ingin mengawali pengabdianku dengan menyenangkan. Akhir pekan identik dengan liburan atau melakukan hal-hal yang menyenangkan. Jadi, pengandianku di sekolah itu akan kulakukan dengan riang gembira, seperti aroma yang diberikan oleh sebuah akhir pekan.

    Awal sebuah akhir pekan yang cukup dingin, untuk desa yang terkenal panas dan gersang. Kuguyur tubuhku dengan air hujan hasil tampungan beberapa hari belakangan. Jeding, begitulah warga desa menyebutnya. Sebuah bak besar, berbentuk kotak dengan panjang sekitar 2, lebar 1,5 meter, dan tinggi 1,5 meter (ukurannya menyesuaikan dengan lahan yang dimiliki penduduk), yang berfungsi sebagai penampungan air di musim penghujan, untuk memenuhi kebutuhan harian penduduk, termasuk masak, mandi, cuci, dan kebutuhan domestik lainnya. Setiap rumah tangga memilikinya, setidaknya 1 sebagai cadangan air di musim kemarau.

    Sabtu itu adalah hari pertamaku, menjadi guru pengabdi di sekolah yang ada di desaku. Guru Pengabdi. Begitulah aku disebut. sebuah sebutan untuk kasta terendah yang konon dianggap paling mulia di dunia perguruan. Paling rendah, namun paling mulia. Setidaknya begitulah kata kawan-kawanku. Bagaimana tidak, namanya saja mengabdi. Seperti pengabdi-pengabdi lainnya. Bekerja tanpa dibayar. Syukur-syukur sekolah mampu memberi transport dari dana BOS. Kalau tidak? Iya, tidak apa-apa. Aku ikhlas. Tujuanku memang bukan bekerja, tapi belajar dan mengabdi. Sebagai mahasiswa semester empat akhir, sekolah ini menjadi tempat nyata untukku belajar mempraktikkan ilmu-ilmu di bangku kuliah.

    Misi Mengabdi ini, sudah  lebih kurang 2 tahun kurencanakan, ketika aku memasuki universitas Pendidikan di kota Singaraja. Jika nanti aku tidak ditakdirkan untuk berjodoh dengan lelaki di desaku, setidaknya inilah hal kecil yang bisa kusumbangkan untuk tanah kelahiranku, sebuah dusun gersang di daerah terpinggir yang terkenal sebagai kampung halaman Gepeng (Gelandangan dan Pengemis), Muntigunung.

    Bagaimana tidak, setiap gepeng yang beredar di tanah Bali ini, mengakunya pasti dari Muntigunung. Awalnya, hal ini membuatku malu. Aku sering dibully gara-gara asalku.

    “Kamu dari Muntigunung ya? Kamu Gepeng dong ya? Bener ya orang Muntigunung itu semua harus mengemis? bener ya itu tradisi?” 

    Begitulah beberapa kalimat yang menamparku setiap orang tahu asalku. Saking muaknya, rasa maluku berubah menjadi geram, geregetan dan jengah. Itulah awal mula aku menyusun misi pengabdian ini.

    Akhirnya, di pagi yang cukup bersahabat itu, namaku tercatat menjadi pengajar Bahasa Inggris di SD N 6 Tianyar Barat. Sekolah almamaterku, tempatku mengenyam bangku sekolah dasar, yang letaknya di pegunungan, gunung yang panas, kering dan gersang. Sedikit dari sekian keuntungan tinggal di sana adalah tak ada binatang buas yang mampu bertahan di pegunungan ini. Air susah, ekonomi susah, orang-orangnya pun susah. 

    Aku adalah guru bahasa yang tidak suka basa basi. Setidaknya hari pertama berada di sekolah ini, aku tidak perlu banyak bicara untuk perkenalan, karena hampir semua guru, sudah ku kenal, termasuk guru yang mengajarku dulu juga masih aktif di sana. Sungguh menyenangkan, namun juga canggung, guruku dulu kini menjadi rekan kerjaku. Cocok untuk jadi sebuah judul FTV.

    Namun, ada satu guru yang menatapku dari atas ke bawah, balik lagi. Guru itu adalah guru baru dari desa tetangga yang jauh. Mungkin dia kira aku sales perabotan rumah tangga, yang suka mampir-mampir menawarkan dagangannya ke ibu-ibu guru disana. Penampilanku cukup nyentrik, rambut coklat panjang dan bergelombang digerai begitu saja, kemeja coklat dan celana bahan cream, dilengkapi sepatu sneaker putih, sama sekali jauh dari penampilan guru disana. Aku pun sama sekali tidak memperdulikan pandangan kaget orang-orang melihat penampilanku. Berbeda itu tidak selalu buruk. Namanya juga guru pengabdi, tidak ada seragam. 

    Hari pertama di sekolah itu aku langsung masuk kelas. Bahasa Inggris hanya diberikan untuk Kelas atas (4, 5 dan 6), mengingat mapel ini adalah muatan lokal. Dan saat itu, kehadiranku menjadi guru Bahasa Inggris yang mengajar di sekolah itu adalah yang pertama. Tentu menjadi tantangan untukku. 

    Good morning, students.” sapaku kepada murid kelas lima.

    Mereka bengong tak berkedip, pun tak bersuara. Aku ulang lagi sapaanku, berpikir mungkin kurang keras dan jelas. Mereka pun tetap tak bergeming.

    “Selamat pagi, anak-anak.” aku modifikasi sedikit. Lalu mereka menjawab dengan lantang sesuai irama dan nada anak SD. Setidaknya perlu waktu dua menit menunggu mereka selesai mengucap salam, saking beriramanya.

    Begitulah, di pulau yang katanya surga dunia, yang didatangi oleh turis-turis mancanegara, Bahasa Inggris menjadi bahasa asing yang amat sangat asing untuk mereka. Disitulah, tekadku mengeras, mereka harus mampu mengenal Bahasa Inggris agar memiliki modal menghadapi kehidupan di pulau ini.

     

     

    Kreator : Kade Restika Dewi

    Bagikan ke

    Comment Closed: Misi Besar dan Terencana

    Sorry, comment are closed for this post.

    Popular News

    • Part 15: Warung Kopi Klotok  Sesampainya di tempat tujuan, Rama mencari tempat ternyaman untuk parkir. Bude langsung mengajak Rani dan Rama segera masuk ke warung Kopi Klotok. Rama sudah reservasi tempat terlebih dahulu karena tempat ini selalu banyak pengunjung dan saling berebut tempat yang ternyaman dan posisi view yang pas bagi pengunjung. Bude langsung memesan […]

      Okt 01, 2024
    • Part 16 : Alun – Alun  Kidul Keesokan paginya seperti biasa Bude sudah bangun dan melaksanakan ibadah sholat subuh. Begitupun dengan Rani yang juga melaksanakan sholat subuh. Rani langsung ke dapur setelah menunaikan ibadah sholat subuh. Tidak lama disusul oleh Bude dan langsung mengambil bahan masakan serta mengiris bahan untuk memasak. Rani dan Bude sangat […]

      Okt 16, 2024
    • Part 14: Kopi Klotok Pagi hari yang cerah, secerah hati Rani dan semangat yang tinggi menyambut keseruan hari ini. Ia bersenandung dan tersenyum sambil mengiris bahan untuk membuat nasi goreng. Tante, yang berada di dekat Rani, ikut tersenyum melihat Rani yang bersenandung dengan bahagia. “Rani, kamu ada rasa tidak sama Rama? Awas, ya. Jangan suka […]

      Sep 18, 2024
    • Part 13 : Candi Borobudur Keesokan harinya Rama sibuk mencari handphone yang biasa membangunkannya untuk berolahraga disaat Rama berada di Jogja. Rama tersenyum dan semangat untuk bangun, membersihkan diri dan segera membereskan kamarnya. Tidak lupa Rama juga menggunakan pakaian yang Rapih untuk menemui Rani hari ini. Sementara Rani seperti biasa masih bermalas-malasan di dalam kamarnya […]

      Sep 07, 2024
    • Part 12 : Cemburu Rama langsung memukul Jaka saat Jaka baru saja masuk ke ruang kerjanya Rama. Jaka yang meringis bukannya marah namun malah tersenyum terhadap Rama karena Jaka tahu bahwa Rama lagi cemburu terhadapnya. Rama males menjawab salam dari Jaka namun sebagai orang yang punya adab Rama harus menjawab salam dari Jaka dengan sopan. […]

      Sep 05, 2024

    Latest News

    Buy Pin Up Calendar E-book On-line At Low Prices In India After the installation is complete, you’ll have the flexibility […]

    Jun 21, 2021

    Karya Nurlaili Alumni KMO Alineaku Hampir 10 bulan, Pandemi Covid -19 telah melanda dunia dengan cepat dan secara tiba-tiba. Hal […]

    Des 07, 2021

    Karya Lailatul Muniroh, S.Pd Alumni KMO Alineaku Rania akhirnya menikah juga kamu,,,  begitu kata teman2nya menggoda, Yaa,,,Rania bukan anak.yang cantik […]

    Des 07, 2021

    Karya Marsella. Mangangantung Alumni KMO Alineaku Banyak anak perempuan mengatakan bahwa sosok pria yang menjadi cinta pertama mereka adalah Ayah. […]

    Des 07, 2021

    Karya Any Mewa Alumni KMO Alineaku Bukankah sepasang sejoli memutuskan bersatu dalam ikatan pernikahan demi menciptakan damai bersama? Tetapi bagaimana […]

    Des 07, 2021