Pagi itu, udara segar menyapa saat Hana dan keluarganya bersiap berangkat menuju rumah Paman di Sumedang. Suara lembut mesin mobil mulai menderu, perlahan membawa mereka keluar dari pekarangan rumah. Hana duduk di jok belakang, dengan mata berbinar menatap jalanan yang terbentang di depan. Semangatnya terpancar jelas, karena sudah cukup lama ia tidak mengunjungi Paman. Kenangan akan desa yang asri dan tenang, dengan angin yang sejuk dan suasana damai, kembali terbayang di benaknya. Perasaan rindu menyelimuti hatinya, membayangkan kesederhanaan dan ketenangan yang akan segera ia temui lagi.
Saat mobil melaju perlahan melewati jalan pedesaan, pemandangan memukau terbentang di kedua sisi. Sawah hijau yang luas dengan tanaman padi yang berayun lembut tertiup angin menciptakan harmoni alam yang indah. Di kejauhan, hamparan ladang sayuran terhampar dengan rapi, sementara bukit-bukit hijau menjulang menjadi latar belakang yang menawan. Udara segar mengalir masuk melalui jendela mobil, membawa aroma khas tanah basah dan tumbuhan yang membuat Hana tersenyum lebar. Keharuman alam itu membangkitkan rindu yang lama terpendam, dan membayangkan momen-momen damai yang akan ia nikmati di rumah Paman semakin membuatnya bersemangat.
Siang itu, mobil mereka berhenti di depan rumah Paman, dan Hana segera turun dengan senyum lebar. Suasana hangat langsung menyelimuti mereka saat Paman menyambut dengan pelukan erat. Suara tawa dan obrolan riang mengisi udara, melepas rindu yang sudah lama tertahan. Di teras rumah yang teduh, mereka duduk bersama, bercerita tentang pengalaman-pengalaman yang telah terlewat. Canda tawa mewarnai percakapan, membuat suasana semakin hangat.
Setelah menikmati makan siang yang lezat dengan hidangan khas desa, mereka berkunjung ke rumah beberapa kerabat yang tak jauh dari sana. Sore pun menjelang dengan kehangatan yang masih terasa, namun saatnya untuk pulang tiba. Dengan perasaan yang bercampur antara senang dan enggan berpisah, mereka berpamitan, membawa pulang kenangan manis dari hari itu.
Sebelum mereka pulang, Paman membawa kejutan. “Hana, bagaimana kalau kamu bawa satu dari anak kucing ini?” Paman mengajak Hana melihat lima anak kucing lucu di kandangnya. Mata Hana berbinar-binar saat melihatnya. Salah satu anak kucing, dengan bulu lembut berwarna abu-abu, menarik perhatiannya.
“Aku ingin yang ini, Paman!” serunya penuh kegembiraan.
Namun, Ayah Hana melarangnya membawa pulang kucing itu.
“Siapa yang akan merawatnya? Kamu pulang sekolah sore, Ayah dan Ibu bekerja,” kata Ayah.
Hana merasa sedih dan memohon, hingga akhirnya setelah sedikit tangisan dan bujukan, ayahnya mengalah. Dengan hati gembira, Hana membawa pulang kucing itu. Ia menamainya Mpusy.
Hari-hari terasa lebih ceria bagi Hana sejak kehadiran Mpusy. Setiap pagi, suara lembut Mpusy menjadi alarm alami yang membangunkan Hana. Kucing kecil itu selalu mengeong manja, meminta perhatian dengan tatapan penuh harap. Hana menyambutnya dengan senyum lebar, menyuapkan makanan ke mangkuk kecil sambil membelai bulu halus Mpusy yang terasa lembut di tangannya. Setelah itu, mereka bermain bersama; Mpusy yang lincah mengejar benang atau plastik yang Hana gerakkan, membuat tawa kecil Hana memenuhi ruangan. Setiap tingkah lucu Mpusy, dari lompatannya yang gemulai hingga caranya meringkuk di pangkuan Hana, membuat hari-hari terasa lebih hangat dan penuh kasih.
Namun, kebahagiaan Hana bersama Mpusy tidak bertahan lama. Pada suatu pagi di akhir pekan, Hana memperhatikan dua kucing kampung liar berkeliaran di depan rumahnya. Mereka tampak lapar dan kurus, sehingga hati kecil Hana tersentuh. Dengan penuh harap, ia memberikan sedikit makanan kepada mereka, berharap kebaikan kecilnya bisa membuat kedua kucing liar itu bersahabat dengan Mpusy. Mata Hana berbinar saat melihat mereka makan dengan lahap. Ia yakin, tidak ada niat jahat di antara mereka.
Ketika ibunya memanggil dari dapur, Hana melirik sekilas ke arah Mpusy yang sedang mengamati kedua kucing itu dari dekat. Dengan tenang, ia meninggalkan Mpusy sejenak, berharap semuanya akan baik-baik saja saat ia kembali. Namun, ia tak pernah menyangka bahwa dalam ketenangan itu, bahaya tengah mengintai.
Tiba-tiba, suara gaduh memecah ketenangan dari arah teras. Jantung Hana berdegup kencang saat ia berlari keluar, menemukan pemandangan yang mengerikan. Mpusy, kucing kecil kesayangannya, diserang dengan brutal oleh dua kucing kampung liar. Kedua kucing itu mencakar dan menggigit tanpa henti, seakan tak peduli pada teriakan panik Hana.
“Jangan! Hentikan!” Hana berteriak, air matanya mengalir deras.
Dengan tangan gemetar, ia mencoba menghalau kedua kucing liar itu, tetapi mereka terus menyerang, mencabik tubuh kecil Mpusy yang tak berdaya. Hana merasa putus asa, seakan waktunya melambat, menyaksikan keganasan yang tak mampu ia hentikan.
Ibu datang tergesa-gesa begitu mendengar suara teriakan panik Hana. Dengan cepat, ia mengambil sapu dan memukul kedua kucing liar itu hingga mereka berlari ketakutan, meninggalkan Mpusy yang terkapar lemah di teras. Namun, semuanya sudah terlambat. Mpusy terluka parah. Darah mengalir deras dari tubuh kecilnya, membuat bulu lembutnya berlumuran merah. Tubuh mungilnya yang dulu lincah kini terbaring lemah, hanya sesekali bergerak dengan napas yang tersengal.
Hana memeluk Mpusy erat-erat, air matanya jatuh tanpa henti, membasahi bulu kucing kesayangannya. Kepanikan menyelimuti dirinya, tak tahu harus berbuat apa.
“Maaf, Mpusy… Maafkan aku…” bisiknya dengan suara serak, sementara darah terus mengalir.
Segala upaya untuk menyelamatkan Mpusy terasa sia-sia. Sore itu, di tengah tangis dan kesedihan mendalam, Mpusy menghembuskan napas terakhirnya di pelukan Hana.
Dengan hati yang hancur, Hana bersama ayah dan ibunya menguburkan Mpusy di bawah pohon mangga di halaman belakang rumah. Langit senja tampak kelabu, seakan ikut merasakan duka Hana. Tangannya gemetar saat menaburkan tanah di atas tubuh mungil Mpusy yang terbaring kaku dalam liang kecil. Di antara daun-daun mangga yang bergoyang lembut diterpa angin, Hana berbisik, “Selamat tinggal, Mpusy… Maafkan aku.”
Malam itu, suasana terasa begitu sunyi. Hana duduk diam di dekat kandang Mpusy yang kini kosong, seolah kehilangan nyawanya sendiri. Tatapannya terpaku pada ruang kecil yang dulu dipenuhi oleh keceriaan Mpusy. Bayangan kenangan indah bersama kucing kecilnya bermain di benaknya, menghantui setiap detik. Ia ingat betul bagaimana Mpusy mengeong lembut setiap pagi, menggemaskan saat mengejar benang, dan meringkuk manja di pangkuannya. Setiap belaian, setiap tawa, dan setiap suara lembut Mpusy seakan kembali terulang dalam pikirannya, namun hanya sebagai bayangan yang tak bisa ia raih lagi.
Air mata jatuh perlahan di pipinya, mengalir tanpa suara, meresap dalam keheningan malam yang pekat. Kesedihan mendalam menyelimuti hatinya, menyadari bahwa kebersamaan mereka yang singkat kini hanya tersisa dalam ingatan. Hana menggigit bibir, berusaha menahan perasaan yang begitu pilu. Di bawah langit malam yang sepi, ia merasakan betapa hampa hidupnya tanpa Mpusy di sisinya.
Hana tak pernah menyangka bahwa niat baiknya untuk memberi makan kucing kampung yang kelaparan justru akan berujung pada malapetaka. Dalam benaknya, dia hanya ingin berbagi sedikit kasih sayang, berharap kedua kucing liar itu bisa bersahabat dengan Mpusy. Namun, apa yang terjadi justru sebaliknya; kebaikannya membawa bencana yang menghancurkan hatinya. Kini, ingatan akan kejadian tragis itu menghantuinya, mengubah segalanya dalam sekejap.
Meski rasa sakit dan kehilangan menyelimuti hati Hana, Mpusy akan selalu menjadi kenangan manis yang tak terlupakan. Dalam waktu yang singkat, Mpusy telah mengisi hidupnya dengan kebahagiaan yang tulus. Setiap momen bersama kucing kecil itu setiap tawa, permainan, dan pelukan akan selalu terukir jelas dalam ingatannya. Hana tahu, meskipun Mpusy tidak lagi bersamanya, kenangan indah itu akan tetap hidup dalam hatinya selamanya, menjadi cahaya yang menghangatkan jiwa di tengah kesedihan.
Kreator : Siti Murdiyati
Comment Closed: Mpusy, Hadiah dari Paman yang Tak Terlupakan
Sorry, comment are closed for this post.