Pagi ini, Etty dan Ima sedang lari pagi menyusuri jalanan desa menikmati udara pagi yang sejuk. Kebiasaan yang selalu mereka lakukan setiap Minggu pagi ketika pulang kampung pada liburan kuliah. Pagi ini berbeda dengan hari-hari sebelumnya. Etty yang biasanya ceria terlihat agak murung.
“Auww …!” pekik Etty yang tetiba terjatuh sambil memegangi kaki kirinya.
Mendengar jeritan Etty spontan Ima menoleh, “Etty … kamu kenapa?!” tanya Ima, sambil mendekati Etty yang terlihat kesakitan.
“Kakiku terkilir Im, terperosok jalan berlubang tuh,” jawab Etty sambil menunjuk lubang di tengah jalan yang baru mereka lalui.
“Ayo kita menepi dulu!” ajak Ima sambil membantu Etty bangun. “Pelan-pelan, Etty …!” lanjut Ima.
“Auww …!” jerit Etty, dan terjatuh lagi. “Sakit banget, Imaa …,” rintih Etty sambil memeganggi kakinya dan meringis kesakitan.
“Sabar ya Etty!” pinta Ima sambil tolah-toleh berusaha mencari bantuan.
Dari arah jalan yang telah mereka lalui terlihat sebuah mobil mendekat. Tanpa pikir panjang, Ima langsung menghadang bermaksud meminta bantuan.
Mobil itu spontan berhenti di hadapan Ima, kemudian terlihat seorang pria muda keluar dari mobil.
“Kenapa Mbak?” tanya pria itu sambil menatap Etty dan Ima bergantian.
“Kaki temanku kesleo, Mas,” jawab Ima. “Tadi saya sudah berusaha membantunya menepi, tapi temanku terjatuh lagi, sepertinya parah, Mas.” imbuh Ima, sambil kembali jongkok dan memegangi bahu Etty.
Pria itu pun ikut jongkok di sisi Etty. Tertegun menatap wajah Etty, kemudian tersenyum dan beralih menatap kaki Etty yang sakit.
“Boleh kubantu menepi dulu, Mbak?” ucapnya meminta ijin, sambil menatap Etty.
Etty menganggukkan kepala pertanda memberi ijin. Pria itu pun memegangi bahu Etty untuk membantu berdiri. Baru selangkah berjalan, Etty oleng lagi dan hampir jatuh. Untung dengan sigap pria itu menahan tubuhnya. Dan tanpa meminta ijin lagi spontan pria itu mengangkat tubuh Feni ala bridal style untuk dibawa ke tepi jalan. Kemudian menurunkan di atas rerumputan dengan sangat hati-hati.
“Sepatu Mbak kulepas ya, untuk memeriksa kaki Mbak,” kata pria itu. Dan tanpa menunggu persetujuan Etty dia langsung melepas kedua sepatunya. Kemudian memeriksa kaki Etty yang terkilir.
“Kaki Mbak memerah dan sedikit bengkak, harus segera dikompres!” tutur pria itu sambil menatap Etty dengan sesungging senyum.
“Baik Mas, terima kasih.” jawab Etty tersenyum malu-malu, mengingat pria tak dikenal itu sudah menggendongnya ke tepi jalan.
“Rumah Mbak dimana?” tanya pria itu.
“Rumah kami sekitar dua kilometeran dari sini,” jawab Ima, mewakili Etty yang masih meringis menahan sakit sambil mengelus kakinya.
Pria itu berdiri, dan berjalan menuju mobilnya. Dan terlihat berbicara dengan seseorang yang duduk di belakang kemudi. Kemudian berjalan kembali menghampiri Etty dan Ima.
“Kita ke Puskesmas terdekat ya, Mbak!” seru pria itu.
Etty dan Ima saling tatap, kemudian mengangguk. “Baiklah Mas, terima kasih,” jawab Etty.
“Oh ya …, boleh tahu nama Mas? Maaf kami telah merepotkanmu!” sambung Ima.
Pria itu menatap Yuni, lalu mengulurkan tangannya sambil tersenyum. “Kenalkan, aku Ferdy!”
“Aku Ima, dan itu sahabatku Etty!” sahut Ima, sambil menjabat tangan pria yang ternyata bernama Ferdy.
Karena Etty masih belum bisa berjalan, kembali Ferdy mengangkat tubuh langsing Etty ke mobil. Dengan sigap teman Ferdy membukakan pintu belakang. Dengan hati-hati Ferdy menurunkan Etty di jok belakang. Disusul Ima duduk di samping Etty, Ferdy duduk disamping temannya yang siap menyetir. Mobil pun melaju sesuai instruksi Ferdi.
Tiga puluh menit kemudian mereka sampai di halaman sebuah Puskesmas. Ferdi keluar dari mobil diikuti sopir. Melihat mereka keluar, Ima pun ikut keluar. Tinggal Etty yang masih setia duduk di dalam. Kemudian Ferdy membukakan pintu untuk Etty.
“Mbak Etty, ayo kubantu turun,” kata Ferdy sambil bersiap mengangkat tubuh Etty.
Etty pasrah saja walau agak kikuk dan menahan malu, ketika Ferdy kembali menggendongnya ala bridal style. Selanjutnya membawa Etty melangkah masuk ruang Puskesmas yang terlihat sepi karena hari libur. Langkah Ferdy berhenti di depan ruang berlabel ‘Ruang Dokter’.
“Arif, tolong buka pintunya!” seru Ferdy sambil menoleh ke arah sang sopir yang ternyata bernama Arif. “Ambil kuncinya di daypack!” lanjutnya sambil memutar punggung.
“Baik Mas,” jawab Arif segera melakukan permintaan Ferdy. Setelah mendapatkan kunci yang dimaksud dia membuka pintu ruang dokter itu. Ferdy pun menerobos masuk dan menurunkan Etty di atas examination table yang berada di sudut ruang.
Hal ini membuat Etty mengerutkan keningnya. Dalam hati terbersit rasa heran, mengapa Ferdy bisa memerintah Arif membuka ruang dokter? Tapi Etty tetap menyimpan pertanyaan itu dalam hatinya.
“Mbak Etty berbaring dulu ya, ku periksa lagi kaki Mbak,” ucap Ferdy sambil memegang kaki Etty yang memerah. “Sebentar lagi ku kompres untuk mengurangi rasa nyeri,” lanjut Ferdy.
Entah dari mana datangnya, Arif sudah masuk dengan ember kecil berisi air hangat dan waslap yang diserahkan kepada Ferdy. “Ini Mas, air hangat dan waslap nya,” ucap Arif sambil menyerahkan ember dan kain yang dibawa kepada Ferdy.
“Mari, kukompres air hangat kaki Mbak Etty,” ujar Ferdy, kemudian mengangkat sedikit kaki Etty yang sakit, dan menempelkan waslap yang sudah dibasahi air hangat, serta menekan-nekan dengan hati-hati pada bagian yang mulai bengkak.
“Setelah ini dibalut dengan perban krep, biar lebih nyaman,” lanjut Ferdy. Etty hanya mengangguk kecil sambil terus mengamati apa yang dilakukan Ferdy pada kakinya, kemudian menatap lekat wajah Ferdy.
Hingga kakinya sudah terbalut perban krep dengan rapi, pandangan Etty masih terpaku pada wajah Ferdy dengan pikiran yang melanglang buana. “Wajahnya teduh, telaten, perhatiannya membuat hati nyaman. Sebenarnya mas Ferdy ini siapa ya, apa dia perawat, atau bahkah dokter? Andai saja …,” gumam Etty dalam hati.
“Sudah Mbak, coba gerakkan kakinya!” pinta Ferdy sambil menatap kaki Etty yang sukses dia perban.
Ditunggu beberapa saat tidak ada pergerakan dari Etty. Ferdy mengalihkan pandangannya pada wajah Etty. Etty masih lurus menatap wajahnya. Ferdy mengerutkan dahi, kemudian memanggil nama Etty. Tapi tak ada respon.
“Mbak Etty, Mbak …!” panggil Ferdy lagi agak keras, sambil melambai-lamabaikan tangan di depan wajah Etty. Etty tergagap.
“Eeh, eh, iya Mas.”
“Kenapa Mbak?” tanya Ferdy sambil menelisik wajah Etty, kemudian tersenyum penuh arti. “Pasti Mbak Etty bertanya-tanya ya, kenapa aku bisa bebas di ruang ini, maaf ya Mbak, aku tahu yang Mbak Etty pikirkan.” lanjut Ferdy
“Saya dokter baru di Puskesmas ini Mbak, baru seminggu disini.”
Penjelasan Ferdy sukses membuat Etty tercengang sambil menutup mulutnya. Sejurus kemudian melebarkan matanya, menatap Ferdy sambil menuding, “Aku kok merasa pernah melihat wajah Mas Ferdy, ya,” ucap Etty.
“Benarkah, Mbak ETTY KOMALAWATI?!” seru Ferdy.
“Kok Mas Ferdy tahu nama lengkapku?” tukas Etty heran.
“Putri pak Herman dan bu Andriani, kuliah di fakultas kedokteran Brawijaya semester akhir, kan?” lanjut Ferdy, yang sukses membuat Etty semakin melongo.
Krieekk…!
Tetiba pintu terbuka, dan muncul wanita paruh baya yang masih terlihat cantik.
“Bunda …!” seru Etty
“Bagaimana kaki Etty, Nak Ferdy?” tanya Wanita itu, membuat Etty semakin heran.
“Tenang Bunda, sudah aman!” jawab Ferdy, sambil tersenyum dan mengangguk hormat.
“Kalian kok seperti sudah akrab!” seru Etty dengan mimik semakin bingung.
“Mbak Etty kenal Ferdian Mahendara, pria yang dijodohkan dan ditolak putri bu Andriani?” tanya Ferdy, sambil tersenyum.
“Etty, ini Nak Ferdian Mahendra, calon suamimu!” tukas Bu Andriani, bunda Etty, sambil mendekat dan mengelus pucuk kepala Etty.
Sungguh, skenario indah yang diciptakan Allah! Sekeras apa pun kita menolak, jika Allah sudah berkehendak maka semesta akan mempertemukan dengan berbagai cara. Jodoh, mati, dan rejeki memang sudah diatur oleh Allah. Dan manusia tak bisa mengelak dari ketentuan-Nya.
Kreator : NIKEN NURUWATI
Comment Closed: MUSIBAH BERAKHIR INDAH
Sorry, comment are closed for this post.