Sebuah perjalanan panjang, dimulai dari 1 langkah pertama. Begitu pula dengan sebuah misi besar dimulai dari hal-hal kecil. Kelas pertamaku baru saja akan dimulai.
Jam menunjukkan pukul 7.30. Sinar matahari pagi masih malu-malu menyelinap lewat jendela kayu yang sedikit terbuka. Angin berhembus cukup kencang pagi itu. Tirai kelas berkibar ke dalam, menari-nari seolah ingin ikut belajar. Beberapa kertas di meja beterbangan, membuat anak-anak tergopoh-gopoh menahannya dengan buku atau tangan. Udara terasa segar, meski sedikit membuat tubuh menggigil.
Begitu aku masuk ke ruang kelas 5, serentak murid-murid bangkit dari kursi.
“Om Swastyastu. Selaaamaaaaat Paaaaaaagiiiiiiiiiii, Buuuuuuuuu Guruuuu…!!!”
Suara itu melengkung panjang, naik turun seperti gelombang, dengan nada yang jauh dari harmoni, tapi justru itulah yang membuatnya hangat dan menggemaskan. Ada yang nadanya tinggi seperti teriak, ada yang pelan dan terlambat setengah detik, ada juga yang tertawa sambil mengucapkannya, tidak kuat menahan geli. Beberapa anak malah sudah duduk, sebelum yang lainnya selesai. Tidak ada nada yang benar-benar selaras, tapi penuh niat dan tawa kecil di sela-selanya.
Mereka masih jaim, melihat sosok asing yang berdiri di hadapannya. Kelas lima yang biasanya aktif dan apa adanya, kini terlihat seragam, diam, sopan dan jaim. Mungkin karena aku orang baru bagi mereka. Jadi mereka masih takut dan malu-malu menunjukkan jati diri. Semua duduk tegap, tangan dilipat rapi di atas meja, ekspresi wajah kayak lagi ikut lomba sopan santun. Namun, meski penuh kejaiman, sesekali ada mata yang bertemu dan saling mengerling geli, senyum-senyum kecil yang ditahan agar tidak terlihat. Seolah berkata, “Siapa ya guru baru ini?”
Hari pertama jadi guru Bahasa Inggris di kelas lima, aku ingin langsung memberi kesan biar mereka terbiasa dengan bahasa asing sejak awal. Maka dengan percaya diri dan senyum terbaik yang kupunya, aku berdiri di depan kelas dan berkata:
“Good morning, everyone! My name is Miss Dewi, and I’m your new English teacher!”
Hening.
Tiga detik.
Lima detik.
Sepuluh detik.
Tidak ada yang menjawab. Yang ada justru dua puluh lima pasang mata menatapku lempeng tapi penuh tanya, seolah aku baru saja menyebutkan mantra sihir dari Hogwarts. Beberapa anak menoleh ke temannya, seperti mencari subtitle. Ada yang mulai mengerutkan kening, ada yang membalas dengan senyum kaku ala emoji, dan yang paling depan malah sempat mengecek ke arah pintu, mungkin memastikan ini benar kelas Bahasa Inggris, bukan pertunjukan sulap.
Lalu si Arya, anak yang terlihat paling dewasa dengan suara penuh harap, bertanya pelan, “Bu… itu tadi artinya apa ya?”
Aku tersenyum, mencoba menahan tawa dan harapan. Dan saat aku ulangi kalimat tadi perlahan-lahan sambil menggerakkan tangan seperti guru bahasa isyarat, mereka mengangguk-angguk. Bukan karena paham, tapi karena merasa itu yang paling aman dilakukan saat tidak tahu apa-apa. Satu anak bahkan nyeletuk, “Bahasanya kayak di film, ya Bu…”
Yang lain menimpali, “Tapi nggak ada teks-nya, Bu…”
Dan begitulah perkenalanku sebagai guru Bahasa Inggris baru. Berbicara dalam bahasa asing di sebuah desa terpencil, disambut dengan wajah-wajah bingung, mulut setengah terbuka, dan senyum sopan penuh harap. Sebuah awal yang… ya, bisa dibilang sukses. Setidaknya mereka tahu aku bukan alien.
Jumlah murid di kelas 5 ini cukup ideal yaitu 25 anak, berimbang antara murid laki dan perempuan, seperti tim futsal campuran yang adil. Wajah-wajahnya tampak polos, manis, dan sebagian sudah tampak punya bibit kenakalan manja. Tapi, semuanya masih terkendali.
Namun, kejutan sesungguhnya baru datang ketika aku membuka daftar hadir untuk pertama kalinya. Awalnya aku kira isinya nama anak-anak biasa seperti Budi, Ani, atau Tono. Tapi, ternyata…MONIKA. TONY. MEKEL. JHONY. TYSON. Aku sempat menatap daftar itu agak lama, lalu mengangkat alis. Ini daftar hadir atau daftar personel band dan aktor sinetron?
“Tony?”
“Hadirr, Bu!” Suaranya berat dan tegas, mirip nama dan gayanya.
“Jhony?”
Anaknya lambaikan tangan dari pojok dengan gaya cool. Sumpah, tinggal dikasih jaket kulit langsung siap main film action.
“Mekel?” Disini aku bingung bacanya Mekel versi lokal atau internasional ya?
“Versi lokal, Bu.” katanya sambil tersenyum.
Lalu lanjut ke nama-nama yang lebih… eksotis.
Tambir. Kembar. Mepek.
Aku sempat terdiam. Tambir? Itu nama atau bagian dari benda rumah tangga?
Kembar? Aku sempat mencari siapa kembarannya. Ternyata, dia anak tunggal.
Dan, saat sampai ke “Mepek,” aku harus menahan diri sekuat tenaga agar tidak tertawa di depan kelas. (Belum lagi waktu aku minta dia menulis nama di papan. Tulisan besar: MEPEK dan seluruh kelas tiba-tiba jadi super serius, pura-pura sibuk buka buku.)
Setelah itu, aku mulai sadar; kelas ini tidak hanya seimbang dari jumlah muridnya, tapi juga berat sebelah dari sisi hiburan. Setiap nama bisa jadi bahan komedi stand-up kalau aku mau.
Jadi hari itu, aku menutup daftar hadir sambil tersenyum. “Oke, kelas lima ini siap jadi kelas paling penuh cerita.”
Kreator : Kade Restika Dewi
Comment Closed: Nama-nama Unik (Chapter 2)
Sorry, comment are closed for this post.