Dunia disesaki dengan keserakahan. Mungkin. Sebab, nyatanya kita dikabari setiap hari narasi tentang korupsi, narkoba, mafia, begal, dlsb. Tapi dunia disesaki dengan keserakahan adalah ungkapan si Eddie dalam film “Outlaw” yang pernah ditayangkan pada acara “Sinema Unggulan Indosiar”. Boleh jadi pernyataan itu meluncur dari bibir Eddie sebagai sebuah alasan yang klise atas segala tindak tanduknya demi mewujudkan sesuatu yang dia sebut cita-cita.
Dan tentang cita-cita, Eleanor Roosevelt (1884-1962) pernah bernasehat bahwa masa depan hanya milik mereka yang percaya akan keindahan mimpi-mimpi (cita-cita) mereka. Lalu apa salahnya orang bercita-cita? Dan apa pula benarnya orang yang tidak punya mimpi? Entahlah. Sebab cita-cita atau juga mimpi-mimpi, seperti juga hidup, tidak lagi bisa dikenali hanya melalui kaca mata benar atau salah. Ia tak lagi bisa disikapi dengan sudut pandang hitam atau putih. Cita-cita anak manusia adalah panta rei, terus bergerak maju dan pelik. Ia tak lagi sesederhana dulu. Ia telah campur baur dan abu-abu.
Eddie beruntung sebab dia memiliki ayah yang kaya. Dan kekayaan itu meraya. Tapi justru karena itu, si ayah harus enyah dari atas panggung kehidupan yang fana ini demi kelancaran si anak meretas jalan menuju pintu cita-citanya: menjadi seorang gubernur. Dengan bantuan tim suksesnya yaitu pacarnya yang berprofesi sebagai editor surat kabar harian dan seorang tangan kanannya, Eddie mulai melakukan tindakan politicking. Intrik-intrik politik dia tebar. Kematian ayahnya dia jadikan senjata untuk menyingkirkan lawan-lawan politiknya. Dia bertemu Connor, seorang mantan polisi yang kini berprofesi sebagai penasehat keamanan dan detektif swasta sekaligus. Connor disewa untuk mengungkap kematian si ayah. Dan siasat licik Eddie tepat. Satu-satu lawan politiknya gugur seperti daun-daun tua yang rontok di musim gugur lalu remuk dimakan tanah.
Dunia disesaki dengan keserakahan. Pernyataan itu meluncur ringan dari mulut Eddie di hadapan Connor. Connor telah berhasil mengungkap pelaku pembunuhan ayah Eddie. Dan pelakunya adalah Eddie sendiri. Si ayah menjadi tumbal persembahan untuk ambisi politik si anak. Dan Connor seperti tak percaya kalau dia ditipu tapi dia sadar bahwa dia hanya dibayar oleh Eddie untuk mengungkap pelakunya. Dan dia berhasil walau sekali lagi tetap tak percaya. Tapi itulah faktanya senyatanya.
“Kau bisa membeliku, tapi maaf kau tak bisa memiliku.” lirih Connor tegas menolak ajakan Eddie untuk menjadi bagian dari tim. Uang bayarannya dua juta dollar telah berada di tangannya. Dia pun berlalu meninggalkan Eddie bersama dengan tim suksesnya yang sedang tertawa puas. Sebab kursi gubernur semakin jelas berkilau memanggil-manggil di depan matanya.
Tapi Eddie lupa bahwa dunia disesaki dengan keserakahan. Dia hanya bisa menoleh sejenak ke arah teman sekaligus tangan kanannya, sebelum Eddie berlalu mengantar nyawanya selama-lamanya. Sebutir timah panas melesat menembus punggungnya. Dan timah panas itu justru meluncur deras dari ujung pistol teman sekaligus tangan kanannya. Eddie hidup penuh keserakahan dan dia pun mati oleh keserakahan. Kebaikan yang ditebar, kebaikan pula yang akan kembali. Kebatilan yang ditabur, efek kebatilan itu pula akan kembali kepadamu. In ahsantum ahsantum, wa in asa’tum falahaa. Itulah takdir hidup yang dititahkan Tuhan. Tak pernah meleset apalagi berbelok arah.
Pesan Nabi saw melalui haditsnya yang diriwayatkan oleh Imam At-Tirmidzi bahwa “…wa man kanat ad dun-yaa himmahu ja’alallaahu faqrahuu bayna ‘aynayhi wa farraqa ‘alayhi syamlahu…”. Barangsiapa menjadikan dunia sebagai cita-citanya, Allah akan menjadikan kefakiran di hadapan matanya dan akan menjadikan kacau segala urusannya.
Dunia disesaki dengan keserakahan. Lalu bagaimana kita di tengah belitan keserakahan itu? Harun Masiku, caleg PDIP, merogoh kantong dalam-dalam untuk salah satu komisioner KPU, Wahyu Setiawan, demi sebuah kursi pergantian antar waktu (PAW) di DPR-RI dan setelah si komisioner KPU tertangkap, Harun Masiku raib entah (mungkin sengaja disembunyikan?). Mensos Juliari P Batubara diduga “mengantongi” fee sebesar 17 milyar dari dua periode paket sembako program bansos covid-19 untuk wilayah Jabodetabek (Jawa Pos.com) dan karena itu dia terpaksa harus memakai rompi oranye KPK. Djoko S Tjandra mengangkangi uang Bank Bali dalam kasus pengalihan hak tagih atau cessie dan merugikan negara 940 milyar lalu melibatkan oknum di Kejaksaan Agung serta menyeret pula dua jenderal di kepolisian RI dalam kasusnya. Ada pula Menteri Kelautan dan Perikanan, Edhy Prabowo, beserta 6 orang jamaahnya yang “terbuai oleh kelezatan” benih lobster dan akhirnya terperangkap OTT (CNN Indonesia, 26/11/2020). Bukankah terlalu banyak narasi-narasi serupa yang tak mungkin kita deret di ruang ini? Tidakkah para penyelenggara negara hukum merasa perlu memblokir seluruh rekening para “perampok” itu, termasuk rekening keluarga intinya?
Bagaimana pula keserakahan yang menjadi-jadi di berbagai perusahaan negara yang seharusnya bisa menyejahterahkan sebagian besar warga negara? Muhammad Said Didu dalam tweetnya tertanggal 21/1/2021 menuliskan tentang potensi kerugian negara akibat digarong manusia serakah: Jiwasraya berpotensi Rp. 16,8 trilyun, Asabri Rp. 17 trilyun, BPJS Ketenagakerjaan Rp 43 trilyun, dan Bumiputera sekitar Rp. 48,9 trilyun. Kalau data ini benar, maka potensi uang negara digarong oleh keserakahan adalah sebesar Rp. 125,7 trilyun. Jumlah uang yang bisa membunuh mendadak jutaan orang Indonesia bilamana uang itu diserahkan langsung di hadapan mereka.
Adakah semua ini adalah narasi tentang keserakahan yang menghimpun manusia-manusia yang dijiwai oleh jiwa keserakahan? Manusia-manusia yang miskin gagasan tetapi amat kaya akan kepentingan. Dan jika itu benar adanya, maka betapa telak pernyataan si Eddie itu bahwa dunia disesaki dengan keserakahan. Boleh jadi pula bencana yang menimpa seperti longsor di Sumedang, banjir besar di Kalimantan Selatan adalah dampak yang ditimbulkan oleh keserakahan yang mungkin dipoles dengan nama “investasi”. Sebab, bagi orang-orang tertentu yang sedang memanggul amanah rakyat, bencana hanya menjadi wacana yang menarik, lalu dijadikan polemik yang berujung pada kesimpulan “perlu” kajian. Hasil kajian lalu kembali menjadi wacana dan wacana kembali menjadi polemik lalu bencana yang sama datang lagi dan disambut dengan cara yang sama pula. Dan masyarakat kembali diajak bersabar agar terbiasa “menjadi korban”. Konon, Bapak India Mahatma Gandhi pernah berujar bahwa kekayaan dunia ini cukup untuk memenuhi kebutuhan semua orang tapi tidak akan pernah cukup untuk memuaskan keinginan satu orang serakah. Nah, bagaimana kalau puluhan orang serakah?
Aku teringat sebuah video yang beredar di Whatapp tentang cara orang di sebuah daerah pedalaman di Afrika menangkap monyet. Mereka cukup membuat lubang di dinding tebing yang hanya memuat satu lengan. Kemudian di bagian luar lubang itu ditaburi kacang tanah sedangkan bagian dalam lubang diisi kacang tanah pula. Monyet kemudian datang dan memakan kacang yang ada di mulut lubang, lalu memasukkan tangannya untuk mengambil kacang yang ada di dalam lubang. Sang monyet menggenggam kacang tanah tersebut lalu menarik lengannya keluar. tapi apa daya, tangannya tak bisa keluar dalam keadaan tergenggam. Monyet pun tak mau melepaskan kacang itu dari genggamannya dan lebih memilih terus berdiri di depan lubang tersebut hingga datang orang menangkapnya dengan mudah.
Keserakahan bukan cuma menganiaya orang lain tetapi bahkan tanpa sadar mencelakakan diri sendiri. Di dunia boleh jadi tak terasa tapi di akhirat pasti dalam bara.
Ah, hidup tak lagi hitam putih tapi warna warni. Maka, pesan Connor yang diperankan oleh Bruce Willis sangatlah tepat bahwa boleh jadi demi sebuah keserakahan, suatu waktu engkau terpaksa bisa dibeli oleh mereka yang serakah (dengan berbagai alasannya, tentu saja) tapi berusahalah untuk tak bisa dimiliki. Sebab, engkau, aku, dan kita semua telah menjadi milik mutlak Sang Maha: Allah swt yang justru sangat tak menyukai orang-orang serakah. Engkau mau menjadi bagian dari orang-orang yang tak dicintai Allah itu? Jawab dong!
Comment Closed: Narasi Sebuah Keserakahan
Sorry, comment are closed for this post.