KATEGORI
  • Adat & Budaya
  • Agrikultur
  • Aksi
  • Arsitektur
  • Artikel
  • Asmara
  • Autobiografi
  • autobiography
  • Bahasa & Sastra
  • Berita Alineaku
  • Bisnis
  • Branding
  • Catatan Harian
  • Cerita Anak
  • Cerita Bersambung
  • Cerita Pendek
  • Cerita Rakyat
  • Cerpen
  • Cinta
  • Cita – Cita dan Harapan
  • Dongeng
  • Drama
  • Ekonomi
  • Epos
  • Event
  • Fabel
  • Fantasi
  • Fiksi
  • Gaya Hidup
  • Hiburan
  • Hobi
  • Hubungan Antarpribadi
  • Hukum
  • Humanis
  • Humor
  • Ilmu Manajemen
  • Inspirasi
  • Istri
  • Kampus
  • Karir dan Kewirausahaan
  • Keagamaan
  • Keluarga
  • Kesehatan & Kecantikan
  • Kesehatan Mental
  • Ketenagakerjaan
  • Kisa Masa Kecil
  • Kisah Inspiratif
  • Kritik Media
  • Kuliner
  • Legenda
  • Lifestyle
  • Lingkungan Hidup
  • Madhoe Retna
  • Manajemen
  • mengelola toko
  • Mental Health
  • Moralitas
  • Motivasi
  • Novel
  • Nutrisi
  • Nutrition
  • Opini
  • Organisasi
  • Otomotif
  • Parenting
  • Pemerintahan
  • Pendidikan
  • Pendidikan Karir
  • Pendidikan Keuangan
  • pengalaman hidup
  • Pengembangan Diri
  • Perjalanan Hidup
  • Pernikahan
  • Persahabatan
  • Pertemanan
  • Petualangan
  • Petualangan Alam
  • Pilih Kategori
  • Pilih Menu
  • Politik
  • Psikologi
  • Psikologi Sosial
  • Puisi
  • Romansa
  • Romantisme kehidupan
  • Rumah Tangga
  • Satir
  • SDM
  • Sejarah
  • Self-Acceptance
  • Self-Awareness
  • Seni & Budaya
  • Sosial
  • spiritual journey
  • Strategi
  • Teknologi
  • Tempat Wisata
  • Traveling
  • Uncategorized
  • Wanita
  • Beranda » Artikel » Nikmatnya Ketupat Lebaran Buatan Bapak

    Nikmatnya Ketupat Lebaran Buatan Bapak

    BY 08 Agu 2025 Dilihat: 2 kali
    Nikmatnya Ketupat Lebaran Buatan Bapak_alineaku

    Lebaran selalu menjadi musim yang penuh suka cita di rumah kami, meski tak jarang datang bersama lelah dan kesunyian yang diam-diam disembunyikan. Bapak, seorang mantri polisi yang bertugas di Balai Pengobatan (BP) POLRI, hampir selalu tenggelam dalam kesibukan menjelang hari raya. Tugasnya yang tak kenal waktu membuatnya harus berjaga ketika banyak keluarga sudah mulai menyiapkan hari kemenangan.

     

    Namun, di tengah semua itu, ada satu tradisi yang tak pernah terlewat, sebuah momen kecil yang selalu kurindukan dari masa kecilku. Saat menyiapkan ketupat. Di tengah kesibukan, Bapak selalu meluangkan waktu untuk hadir, menyatu dalam kehangatan dapur kami yang sederhana, tempat aroma ketupat perlahan menyelimuti rumah dengan harapan dan kebahagiaan.

     

    Beberapa hari sebelum lebaran, Ibu akan mulai menyiapkan bahan-bahan. Kelontong ketupat dibeli dari pasar, sudah dianyam rapi, siap diisi beras dan dimasak. Aku duduk di samping Ibu, membantu meracik bumbu opor ayam dan sambal goreng hati. Di situlah cinta ibu ditakar dalam rempah dan irisan bawang, dalam gerakan lembut tangan yang tak pernah berhenti.

     

    Sore yang panas menjelang malam takbiran, Bapak pulang. Wajahnya letih, namun tetap menyimpan senyum yang tak pernah absen. Katanya, ia baru saja pulang dari tugas di tapal batas provinsi bersama mobil ambulans BP POLRI. Setelah mencuci tangan dan mengganti baju, ia melangkah ke dapur, lalu tanpa banyak kata langsung membantu menyiapkan ketupat.

     

    Aku mengamatinya dari meja makan. Bapak, yang di luar rumah dikenal tegas dan berwibawa, di dapur menjelma menjadi sosok yang lembut, telaten menata kelontong ketupat ke dalam panci besar.

     

    “Kita akan makan ketupat dengan opor ayam dan sambal goreng hati, Nduk.” katanya sambil memeriksa ketupat yang sudah diisi. “Jangan lupa bersyukur, ya. Kita masih bisa berkumpul seperti ini.”

     

    Aku mengangguk dan tersenyum. “Iya, Bapak. Aku suka banget ketupat buatan Bapak, paling enak!”

     

    Sambil tersenyum, Bapak menjelaskan cara mengisi kelontong, “Nih, isinya jangan penuh. Separuh saja, nanti dia akan mengembang. Setelah itu kita rebus sampai padat, lalu dikukus. Jadi kenyal dan enak. Kamu ingat, ya supaya nanti bisa bikin sendiri.”

     

    Ibu menimpali sambil menata meja, “Ketupat memang khas Lebaran. Tapi yang paling istimewa adalah kita bisa bersama.”

     

    Kakakku ikut bersuara, “Aku suka ketupat sama opor, apalagi kalau sambalnya pedas!”

     

    Adikku yang masih kecil menggenggam kelontong ketupat dan berkata polos, “Aku suka karena bentuknya lucu, kayak balok-balok kecil kalo dipotong potong.”

     

    Bapak tertawa, matanya hangat. “Kecil-kecil, tapi maknanya besar. Kalian tahu nggak, kenapa namanya kupat?”

     

    Kami menggeleng pelan, penasaran.

    “Dalam bahasa Jawa,” Bapak mulai menjelaskan. “Kupat itu ngaku lepat, artinya mengaku salah. Maka kita harus saling meminta maaf dan memaafkan. Karena kadang, tanpa sadar, kita bisa menyakiti orang lain.”

     

    Kami mendengarkan dalam diam yang penuh makna. Kata-kata Bapak seperti menetes ke dalam hati, satu per satu.

    “Lebaran,” lanjutnya suatu malam, “bukan sekadar ketupat dan hidangan lezat. Ini saat kita membersihkan diri. Setelah puasa sebulan, kita kembali ke fitrah. Kembali menjadi jiwa yang jernih.”

     

    Ibu menambahkan lembut, “Dan kita juga harus saling menyayangi. Saling memberi dan menjaga satu sama lain.”

     

    Kakakku ikut bicara sambil memegang gelas sirup yang tinggal separuh, “Aku paling suka Lebaran, soalnya bisa ketemu banyak orang.”

     

    Ia menoleh ke Ibu, lalu ke Bapak, “Teman-teman Bapak dan Ibu juga kadang datang. Padahal biasanya susah banget ketemu mereka. Soalnya semua orang sibuk terus, ya. Ada yang kerja di luar kota, ada yang sering dinas, kayak Bapak.”

     

    Ia menghela napas pelan, lalu tersenyum, “Tapi pas Lebaran, semua orang kayak nyempetin waktu buat pulang. Rasanya rumah jadi rame, seru. Kita bisa ngobrol, ketawa bareng, makan bareng. Kadang cuma sebentar, tapi aku senang banget.”

     

    Aku mengangguk setuju. Meskipun kami masih kecil, kami bisa merasakan bahwa Lebaran bukan cuma sekedar makanan enak dan baju baru. Tapi tentang ketemu orang-orang yang biasanya jauh, yang susah ditemui karena semua orang sibuk dengan urusannya masing-masing. Dan saat mereka datang, rasanya seperti sesuatu yang hilang kembali pulang.

     

    Ketika malam semakin larut, aroma ketupat yang direbus perlahan memenuhi ruang. Dapur kecil kami menjadi ruang paling hangat di dunia. Bapak dan Ibu sibuk bekerja sama, menyiapkan hidangan, menata kue dan kacang bawang, sesekali Bapak menyelipkan cerita lucu dari kantornya, tentang teman-teman, tentang masa muda, dan kami pun tertawa bersama.

    Adikku, setengah mengantuk, bertanya, “Bu, ketupatnya bisa dimakan besok, ya?”

    “Iya, Nak,” jawab Ibu sambil tersenyum. “Besok kita makan sama-sama.”

     

    Meski Bapak sering pulang larut karena tugas, malam-malam seperti ini membuatku merasa utuh. Dikelilingi cinta yang tak banyak bicara, tapi hadir dalam tiap detik dan aroma ketupat yang menguar ke seluruh rumah.

     

    Pagi Lebaran, rumah kami penuh cahaya. Ketupat yang dimasak semalaman telah matang. Kami bersiap shalat Id di Lapangan Jetayu. Meskipun setelah itu Bapak harus kembali bertugas untuk patrol bersama mobil ambulans BP POLRI , beliau selalu menyempatkan shalat bersama kami. Sebelum berangkat, kami sarapan bersama. Ketupat, opor ayam, sambal goreng hati, semua disajikan dalam kasih, disantap dalam syukur.

     

    Bapak duduk di sampingku. Tatapannya lembut ke kami semua, penuh cinta pada keluarga. Aku tahu, di balik lelahnya tugas yang berat, ia menyimpan ruang khusus untuk keluarga. Ketupat yang beliau isi malam itu bukan sekadar makanan, tapi pesan kasih yang akan terus hidup di hati kami.

     

    Lebaran terakhir bersama Bapak adalah saat aku kelas tiga SMA. Tahun berikutnya, tak ada lagi suara langkah berat Bapak yang biasa terdengar pelan menyusuri lorong menuju dapur saat malam takbiran. Dapur terasa lebih lengang, meski tetap penuh aroma masakan. Ketupat masih dimasak, panci besar masih mendidih seperti biasa, tapi tidak ada lagi tangan yang dengan cekatan membaliknya sambil sesekali mengecek apakah sudah padat. Tak ada lagi suara lembut yang mengingatkan, “Separuh saja ya, Nduk, nanti mengembang sendiri.”

     

    Sunyi itu seperti menyelinap perlahan, menempati ruang-ruang kecil di antara panci, sendok kayu, dan toples-toples kue. Kami tetap mempersiapkan semuanya, mencoba tetap tersenyum. Tapi dalam hati, kami tahu bahwa ada satu kursi kosong yang tak tergantikan. Ada satu suara yang hanya tinggal dalam ingatan. Ada satu kehadiran yang kini hanya bisa kami peluk lewat kenangan.

     

    Pagi itu, saat takbir menggema dari masjid-masjid di kejauhan, aku duduk di meja makan dengan pandangan kosong menatap ketupat yang baru ditiriskan. Ketupat itu masih sama bentuknya, masih dibalut anyaman kelapa yang wangi. Tapi terasa berbeda, seperti ada yang hilang dari rasanya, dari maknanya. Aku mencoba mengingat suara Bapak, senyumnya saat berkata, “Kupat itu ngaku lepat.”

    Tapi, yang kudengar hanya gema dari hati yang diam-diam rindu.

     

     

    Kreator : Indriyati Rodjan

    Bagikan ke

    Comment Closed: Nikmatnya Ketupat Lebaran Buatan Bapak

    Sorry, comment are closed for this post.

    Popular News

    • Part 15: Warung Kopi Klotok  Sesampainya di tempat tujuan, Rama mencari tempat ternyaman untuk parkir. Bude langsung mengajak Rani dan Rama segera masuk ke warung Kopi Klotok. Rama sudah reservasi tempat terlebih dahulu karena tempat ini selalu banyak pengunjung dan saling berebut tempat yang ternyaman dan posisi view yang pas bagi pengunjung. Bude langsung memesan […]

      Okt 01, 2024
    • Part 16 : Alun – Alun  Kidul Keesokan paginya seperti biasa Bude sudah bangun dan melaksanakan ibadah sholat subuh. Begitupun dengan Rani yang juga melaksanakan sholat subuh. Rani langsung ke dapur setelah menunaikan ibadah sholat subuh. Tidak lama disusul oleh Bude dan langsung mengambil bahan masakan serta mengiris bahan untuk memasak. Rani dan Bude sangat […]

      Okt 16, 2024
    • Dalam dunia pendidikan modern, pendekatan sosial emosional semakin banyak dibahas. Salah satu model yang mendapatkan perhatian khusus adalah **EMC2 sosial emosional**. Namun, apa sebenarnya yang dimaksud dengan Definisi EMC2 sosial emosional? Mengapa pendekatan ini penting dalam pembelajaran? Mari kita bahas lebih lanjut untuk memahami bagaimana EMC2 berperan dalam perkembangan siswa secara keseluruhan. Definisi EMC2 Sosial […]

      Okt 02, 2024
    • Part 14: Kopi Klotok Pagi hari yang cerah, secerah hati Rani dan semangat yang tinggi menyambut keseruan hari ini. Ia bersenandung dan tersenyum sambil mengiris bahan untuk membuat nasi goreng. Tante, yang berada di dekat Rani, ikut tersenyum melihat Rani yang bersenandung dengan bahagia. “Rani, kamu ada rasa tidak sama Rama? Awas, ya. Jangan suka […]

      Sep 18, 2024
    • Part 13 : Candi Borobudur Keesokan harinya Rama sibuk mencari handphone yang biasa membangunkannya untuk berolahraga disaat Rama berada di Jogja. Rama tersenyum dan semangat untuk bangun, membersihkan diri dan segera membereskan kamarnya. Tidak lupa Rama juga menggunakan pakaian yang Rapih untuk menemui Rani hari ini. Sementara Rani seperti biasa masih bermalas-malasan di dalam kamarnya […]

      Sep 07, 2024

    Latest News

    Buy Pin Up Calendar E-book On-line At Low Prices In India After the installation is complete, you’ll have the flexibility […]

    Jun 21, 2021

    Karya Nurlaili Alumni KMO Alineaku Hampir 10 bulan, Pandemi Covid -19 telah melanda dunia dengan cepat dan secara tiba-tiba. Hal […]

    Des 07, 2021

    Karya Lailatul Muniroh, S.Pd Alumni KMO Alineaku Rania akhirnya menikah juga kamu,,,  begitu kata teman2nya menggoda, Yaa,,,Rania bukan anak.yang cantik […]

    Des 07, 2021

    Karya Marsella. Mangangantung Alumni KMO Alineaku Banyak anak perempuan mengatakan bahwa sosok pria yang menjadi cinta pertama mereka adalah Ayah. […]

    Des 07, 2021

    Karya Any Mewa Alumni KMO Alineaku Bukankah sepasang sejoli memutuskan bersatu dalam ikatan pernikahan demi menciptakan damai bersama? Tetapi bagaimana […]

    Des 07, 2021