Lebaran selalu menjadi musim yang penuh suka cita di rumah kami, meski tak jarang datang bersama lelah dan kesunyian yang diam-diam disembunyikan. Bapak, seorang mantri polisi yang bertugas di Balai Pengobatan (BP) POLRI, hampir selalu tenggelam dalam kesibukan menjelang hari raya. Tugasnya yang tak kenal waktu membuatnya harus berjaga ketika banyak keluarga sudah mulai menyiapkan hari kemenangan.
Namun, di tengah semua itu, ada satu tradisi yang tak pernah terlewat, sebuah momen kecil yang selalu kurindukan dari masa kecilku. Saat menyiapkan ketupat. Di tengah kesibukan, Bapak selalu meluangkan waktu untuk hadir, menyatu dalam kehangatan dapur kami yang sederhana, tempat aroma ketupat perlahan menyelimuti rumah dengan harapan dan kebahagiaan.
Beberapa hari sebelum lebaran, Ibu akan mulai menyiapkan bahan-bahan. Kelontong ketupat dibeli dari pasar, sudah dianyam rapi, siap diisi beras dan dimasak. Aku duduk di samping Ibu, membantu meracik bumbu opor ayam dan sambal goreng hati. Di situlah cinta ibu ditakar dalam rempah dan irisan bawang, dalam gerakan lembut tangan yang tak pernah berhenti.
Sore yang panas menjelang malam takbiran, Bapak pulang. Wajahnya letih, namun tetap menyimpan senyum yang tak pernah absen. Katanya, ia baru saja pulang dari tugas di tapal batas provinsi bersama mobil ambulans BP POLRI. Setelah mencuci tangan dan mengganti baju, ia melangkah ke dapur, lalu tanpa banyak kata langsung membantu menyiapkan ketupat.
Aku mengamatinya dari meja makan. Bapak, yang di luar rumah dikenal tegas dan berwibawa, di dapur menjelma menjadi sosok yang lembut, telaten menata kelontong ketupat ke dalam panci besar.
“Kita akan makan ketupat dengan opor ayam dan sambal goreng hati, Nduk.” katanya sambil memeriksa ketupat yang sudah diisi. “Jangan lupa bersyukur, ya. Kita masih bisa berkumpul seperti ini.”
Aku mengangguk dan tersenyum. “Iya, Bapak. Aku suka banget ketupat buatan Bapak, paling enak!”
Sambil tersenyum, Bapak menjelaskan cara mengisi kelontong, “Nih, isinya jangan penuh. Separuh saja, nanti dia akan mengembang. Setelah itu kita rebus sampai padat, lalu dikukus. Jadi kenyal dan enak. Kamu ingat, ya supaya nanti bisa bikin sendiri.”
Ibu menimpali sambil menata meja, “Ketupat memang khas Lebaran. Tapi yang paling istimewa adalah kita bisa bersama.”
Kakakku ikut bersuara, “Aku suka ketupat sama opor, apalagi kalau sambalnya pedas!”
Adikku yang masih kecil menggenggam kelontong ketupat dan berkata polos, “Aku suka karena bentuknya lucu, kayak balok-balok kecil kalo dipotong potong.”
Bapak tertawa, matanya hangat. “Kecil-kecil, tapi maknanya besar. Kalian tahu nggak, kenapa namanya kupat?”
Kami menggeleng pelan, penasaran.
“Dalam bahasa Jawa,” Bapak mulai menjelaskan. “Kupat itu ngaku lepat, artinya mengaku salah. Maka kita harus saling meminta maaf dan memaafkan. Karena kadang, tanpa sadar, kita bisa menyakiti orang lain.”
Kami mendengarkan dalam diam yang penuh makna. Kata-kata Bapak seperti menetes ke dalam hati, satu per satu.
“Lebaran,” lanjutnya suatu malam, “bukan sekadar ketupat dan hidangan lezat. Ini saat kita membersihkan diri. Setelah puasa sebulan, kita kembali ke fitrah. Kembali menjadi jiwa yang jernih.”
Ibu menambahkan lembut, “Dan kita juga harus saling menyayangi. Saling memberi dan menjaga satu sama lain.”
Kakakku ikut bicara sambil memegang gelas sirup yang tinggal separuh, “Aku paling suka Lebaran, soalnya bisa ketemu banyak orang.”
Ia menoleh ke Ibu, lalu ke Bapak, “Teman-teman Bapak dan Ibu juga kadang datang. Padahal biasanya susah banget ketemu mereka. Soalnya semua orang sibuk terus, ya. Ada yang kerja di luar kota, ada yang sering dinas, kayak Bapak.”
Ia menghela napas pelan, lalu tersenyum, “Tapi pas Lebaran, semua orang kayak nyempetin waktu buat pulang. Rasanya rumah jadi rame, seru. Kita bisa ngobrol, ketawa bareng, makan bareng. Kadang cuma sebentar, tapi aku senang banget.”
Aku mengangguk setuju. Meskipun kami masih kecil, kami bisa merasakan bahwa Lebaran bukan cuma sekedar makanan enak dan baju baru. Tapi tentang ketemu orang-orang yang biasanya jauh, yang susah ditemui karena semua orang sibuk dengan urusannya masing-masing. Dan saat mereka datang, rasanya seperti sesuatu yang hilang kembali pulang.
Ketika malam semakin larut, aroma ketupat yang direbus perlahan memenuhi ruang. Dapur kecil kami menjadi ruang paling hangat di dunia. Bapak dan Ibu sibuk bekerja sama, menyiapkan hidangan, menata kue dan kacang bawang, sesekali Bapak menyelipkan cerita lucu dari kantornya, tentang teman-teman, tentang masa muda, dan kami pun tertawa bersama.
Adikku, setengah mengantuk, bertanya, “Bu, ketupatnya bisa dimakan besok, ya?”
“Iya, Nak,” jawab Ibu sambil tersenyum. “Besok kita makan sama-sama.”
Meski Bapak sering pulang larut karena tugas, malam-malam seperti ini membuatku merasa utuh. Dikelilingi cinta yang tak banyak bicara, tapi hadir dalam tiap detik dan aroma ketupat yang menguar ke seluruh rumah.
Pagi Lebaran, rumah kami penuh cahaya. Ketupat yang dimasak semalaman telah matang. Kami bersiap shalat Id di Lapangan Jetayu. Meskipun setelah itu Bapak harus kembali bertugas untuk patrol bersama mobil ambulans BP POLRI , beliau selalu menyempatkan shalat bersama kami. Sebelum berangkat, kami sarapan bersama. Ketupat, opor ayam, sambal goreng hati, semua disajikan dalam kasih, disantap dalam syukur.
Bapak duduk di sampingku. Tatapannya lembut ke kami semua, penuh cinta pada keluarga. Aku tahu, di balik lelahnya tugas yang berat, ia menyimpan ruang khusus untuk keluarga. Ketupat yang beliau isi malam itu bukan sekadar makanan, tapi pesan kasih yang akan terus hidup di hati kami.
Lebaran terakhir bersama Bapak adalah saat aku kelas tiga SMA. Tahun berikutnya, tak ada lagi suara langkah berat Bapak yang biasa terdengar pelan menyusuri lorong menuju dapur saat malam takbiran. Dapur terasa lebih lengang, meski tetap penuh aroma masakan. Ketupat masih dimasak, panci besar masih mendidih seperti biasa, tapi tidak ada lagi tangan yang dengan cekatan membaliknya sambil sesekali mengecek apakah sudah padat. Tak ada lagi suara lembut yang mengingatkan, “Separuh saja ya, Nduk, nanti mengembang sendiri.”
Sunyi itu seperti menyelinap perlahan, menempati ruang-ruang kecil di antara panci, sendok kayu, dan toples-toples kue. Kami tetap mempersiapkan semuanya, mencoba tetap tersenyum. Tapi dalam hati, kami tahu bahwa ada satu kursi kosong yang tak tergantikan. Ada satu suara yang hanya tinggal dalam ingatan. Ada satu kehadiran yang kini hanya bisa kami peluk lewat kenangan.
Pagi itu, saat takbir menggema dari masjid-masjid di kejauhan, aku duduk di meja makan dengan pandangan kosong menatap ketupat yang baru ditiriskan. Ketupat itu masih sama bentuknya, masih dibalut anyaman kelapa yang wangi. Tapi terasa berbeda, seperti ada yang hilang dari rasanya, dari maknanya. Aku mencoba mengingat suara Bapak, senyumnya saat berkata, “Kupat itu ngaku lepat.”
Tapi, yang kudengar hanya gema dari hati yang diam-diam rindu.
Kreator : Indriyati Rodjan
Comment Closed: Nikmatnya Ketupat Lebaran Buatan Bapak
Sorry, comment are closed for this post.