KATEGORI
  • Adat & Budaya
  • Agrikultur
  • Aksi
  • Arsitektur
  • Artikel
  • Asmara
  • Autobiografi
  • autobiography
  • Bahasa & Sastra
  • Berita Alineaku
  • Bisnis
  • Branding
  • Catatan Harian
  • Cerita Anak
  • Cerita Pendek
  • Cerita Rakyat
  • Cerpen
  • Cinta
  • Cita – Cita dan Harapan
  • Dongeng
  • Drama
  • Ekonomi
  • Epos
  • Event
  • Fabel
  • Fantasi
  • Fiksi
  • Gaya Hidup
  • Hiburan
  • Hobi
  • Hubungan Antarpribadi
  • Hukum
  • Humanis
  • Humor
  • Ilmu Manajemen
  • Inspirasi
  • Istri
  • Kampus
  • Karir dan Kewirausahaan
  • Keagamaan
  • Keluarga
  • Kesehatan & Kecantikan
  • Kesehatan Mental
  • Ketenagakerjaan
  • Kisa Masa Kecil
  • Kisah Inspiratif
  • Kritik Media
  • Kuliner
  • Legenda
  • Lifestyle
  • Lingkungan Hidup
  • Manajemen
  • mengelola toko
  • Mental Health
  • Moralitas
  • Motivasi
  • Novel
  • Nutrisi
  • Nutrition
  • Opini
  • Organisasi
  • Otomotif
  • Parenting
  • Pemerintahan
  • Pendidikan
  • Pendidikan Karir
  • Pendidikan Keuangan
  • pengalaman hidup
  • Pengembangan Diri
  • Perjalanan Hidup
  • Pernikahan
  • Persahabatan
  • Pertemanan
  • Petualangan
  • Petualangan Alam
  • Pilih Kategori
  • Pilih Menu
  • Politik
  • Psikologi
  • Psikologi Sosial
  • Puisi
  • Romansa
  • Romantisme kehidupan
  • Rumah Tangga
  • Satir
  • SDM
  • Sejarah
  • Self-Acceptance
  • Self-Awareness
  • Seni & Budaya
  • Sosial
  • spiritual journey
  • Strategi
  • Teknologi
  • Tempat Wisata
  • Traveling
  • Uncategorized
  • Wanita
  • Beranda » Artikel » Nurhalim dan Sepasang Sendal Ibu

    Nurhalim dan Sepasang Sendal Ibu

    BY 01 Okt 2024 Dilihat: 183 kali
    Nurhalim dan Sepasang Sendal Ibu_alineaku

    Pagi itu, aku mengajar seperti biasa. Ketika anak-anak sedang mengerjakan latihan, aku selalu berkeliling memperhatikan mereka bekerja. Memantau keadaan, mungkin ada di antara mereka ada yang membutuhkan bantuan saat mengerjakan latihan. Karena, terkadang tidak semua anak memiliki keberanian untuk bertanya langsung kepada guru, kecuali ketika guru yang mendekat ke meja mereka. 

    Ketika sampai pada meja Naufal, ia mengangkat tangan tanda ingin menyampaikan sesuatu. 

    “Ya, Naufal, ada apa? Ada yang bisa Ustazah bantu?” sapaku.

    “Ya Ustazah, saya mau memberi tau Ustazah, kalau Nurhalim ke sekolah tidak pakai sepatu!” kata Naufal.

    “Hmmm, Nurhalim?” gumamku. 

    Sontak aku memalingkan tubuh menghadap ke arah dimana Nurhalim duduk dan mendekat ke arahnya seraya bertanya, 

    “Benarkah apa yang disampaikan Naufal, Halim?” tanyaku lembut sambil tersenyum.

    Nurhalim pun membalasku dengan sebuah senyuman. Dengan sedikit gugup, ia menunduk dan tak lama kemudian menunjukkan ada luka yang cukup besar dekat mata kakinya. Aku pun paham maksudnya. 

    Syafakallah ya, Nak. Nanti kalau sudah sembuh lukanya, pakai lagi sepatunya ya,” ucapku seraya mengusap lembut punggungnya.

    “Ya Ustazah, Insyaa Allah,” jawabnya pelan dengan ekspresi tampak lega. 

    Dan akupun beranjak maju ke depan kelas.

    *** 

    Lebih kurang seminggu kemudian, ketika aku hendak memakai sepatu setelah keluar dari kelas, tak sengaja, aku menatap sebuah sandal wanita menyelip di antara sepatu murid-muridku yang semuanya laki-laki. Ya, kami harus melepas sepatu sebelum masuk kelas. Dan, sepatu siswa disusun pada beberapa rak sepatu yang ditempatkan di selasar kelas. 

    “Sandal siapa ini? Kenapa ada sandal wanita di sini?” hatiku membatin. 

    Selang beberapa waktu aku berdiri di sana, keluarlah Akemi yang hendak ke kamar mandi. Tak menunggu lama, segera aku susul kehadirannya dengan sebuah pertanyaan.

    “Akemi, sendal siapa ini?” tanyaku.

    “Oh, itu Nurhalim yang memakainya tadi pagi Ustazah.” jawab Akemi.

    “Nurhalim?” tanyaku tak percaya sambil mengernyitkan kening. 

    “Sandal siapa yang dia pakai? Sandal ibunya?” cecarku penasaran.

    “Sepertinya iya, Ustazah. Siapa lagi?” balas Akemi juga mulai tampak berpikir.

    “Mengapa Nurhalim harus memakai sandal ibunya? Akemi tau sesuatu tentang Nurhalim? Akemi teman baik Nurhalim atau bukan?” tanyaku tak sabar. 

    Dalam pikiranku sudah mulai beterbangan berbagai pertanyaan dan dugaan. Bagaimana bisa muridku, Nurhalim, memakai sandal ibunya? 

    Ada mulai sedikit muncul rasa bersalah dalam hati yang aku sendiri tak tahu harus bagaimana dan kenapa dengan perasaan ini. 

    “Iya, Ustazah. Saya tau sedikit tentang Nurhalim,” Akemi menjawab dengan sedikit kikuk.

    “Oh, baiklah. Kalau begitu, nanti setelah pulang sekolah kita bicara empat mata di kantor Ustazah, ya. Akemi bisa meluangkan waktunya?” tanyaku kepada Akemi segera setelah paham akan keadaan yang tidak memungkinkan untuk kami berbicara di lokasi saat ini.

    ***

    Siang sepulang sekolah…

    “Assalamu’alaikum, Ustazah,” ucap Akemi saat memasuki kantor ruang guru.

    “Wa’alaikumsalam, Akemi. Ayo masuk, Nak. Silahkan duduk.” balasku sambil menyiapkan bangku untuk Akemi. Akemi pun segera duduk di bangku yang aku siapkan untuknya.

    “Hmmm… Jadi, bagaimana? Informasi apa yang Akemi bisa bagi tentang Nurhalim kepada Ustazah?” tanyaku sambil tersenyum padanya.

    “Begini, Ustazah. Saya tidak banyak tahu juga sebenarnya. Namun, yang saya taHu untuk saat ini sepertinya keadaan di rumah Nurhalim sedang tidak baik-baik saja, Ustazah. Ayah dan Ibu Nurhalim telah berpisah. Ayahnya pergi, sementara dia tinggal berdua bersama Ibunya. Saat ini, Ibunya bekerja di pabrik. Ibunya jarang di rumah. Pergi pagi dan seringnya pulang malam. Mungkin sering lembur untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga. Otomatis, Ibunya lah yang menjadi tulang punggung keluarga. Jadi, Nurhalim sering sendirian di rumah. Kadang Ustazah, untuk jajan, Nurhalim suka mulung. Oh ya, tentang dia yang tidak pakai sepatu itu, sebenarnya bukan hanya karena sakit kakinya saja, tapi karena sepatunya sudah tidak layak lagi untuk dipakai. Sementara, untuk membeli yang baru, dia tak tega untuk meminta kepada ibunya. Jadi, dia beranikan saja ke sekolah untuk pakai sandal Ibunya.” cukup panjang Akemi menjelaskan.

    Mendengar apa yang dipaparkan Akemi, terasa seperti sembilu menusuk hati ini. Bagaimana aku bisa tidak tau keadaan muridku? Secuek itu kah aku sebagai seorang guru? Sakit. Perih hati ini mendengar apa yang dituturkan Akemi. Ya Allah, maafkan aku.

    Tak lama setelah Akemi bercerita, aku merenung sejenak. Apa yang harus aku lakukan setelah ini? Hal ini harus ada solusinya. Tidak bisa dibiarkan begitu saja. Tiba-tiba, sesuatu terbetik dalam pikiranku.

    “Akemi, Ustazah boleh minta tolong?” tanyaku pelan.

    “Boleh, Ustazah. Apa yang bisa Akemi bantu?” jawabnya.

    “Begini, besok pagi, sampaikan pada teman-teman yang tergabung dalam struktur organisasi kelas kita bahwa kita akan mengadakan rapat. Sampaikan pada teman-teman tersebut, kita rapat setelah pulang sekolah. Insyaa Allah, besok siang Ustazah akan menyusul ke kelas. Kalau mereka bertanya mau rapat tentang apa, bilang saja nanti Ustazah yang akan menjelaskan langsung kepada mereka. Bisa?” tanyaku lagi.

    Insyaa Allah, bisa Ustazah. Dengan senang hati akan saya sampaikan kepada teman-teman.” jawab Akemi dengan senyum yang terkembang dan pancaran mata yang berbinar. Tak lupa tangan kanannya memberi hormat kepadaku. Hehe, ada ada saja Akemi ini.

    *** 

    Keesokan harinya di ruang kelas 5C, Para pemangku jabatan kelas sudah berkumpul di kelas, seperti Mufti, Imam, Fakhri, Naufal, Faiz, Fahri Wijaya, dan Akemi. Mereka tampak tak sabar dan sangat penasaran dengan rapat kali ini. Tidak pernah sebelumnya Ustazah mengadakan rapat rahasia seperti ini. Seolah mereka seperti agen rahasia yang akan merencanakan sebuah proyek besar. 

    “Assalamu’alaikum. Selamat siang, anak-anak. Sudah lama menunggu Ustazah, ya?” ucapku saat masuk ke dalam kelas sembari menebar senyum kepada mereka.

    “Wa’alaikum salam,” jawab mereka serempak.

    “Ya, Ustazah. Kami sudah tak sabar Ustazah, ada apa tiba-tiba kita mengadakan rapat rahasia seperti ini?” kata Fakhri yang nampak tak sabar.

    Aku tersenyum sendiri melihat raut wajah mereka.

    “Iya, Fakhri. Ada hal penting yang menurut Ustazah harus kita selesaikan. Baiklah, kalian silahkan duduk dulu. Ambil posisi duduk melingkar saja ya, agar enak kita bicaranya,” ucapku sambil mengarahkan posisi  mereka duduk.

    “Aduh, Ustazah ini pandai sekali membuat kami penasaran. Akemi tidak mau pula memberi sedikit bocoran tentang pembahasan kita kali ini.” Mufti ikut memberi komentar.

    “Hmmm… Baiklah. Posisi duduk sudah nyaman, bukan. Ayo kita mulai rapatnya dengan membaca Bismillah,” jelasku pada mereka.

    Bismillahirrahmanirrahim…” ucap mereka serempak.

    “Begini, anak-anak Ustazah. Kemarin, Ustazah mendengar kabar tentang kondisi Nurhalim dari Akemi. Sebelum Ustazah lanjutkan, apakah sudah ada di antara kalian yang tahu tentang kondisi teman kita, Nurhalim?” tanyaku yang balik penasaran kepada mereka.

    “Ya Ustazah, saya tahu.” jawab Imam.

    “Saya juga, Ustazah.” kata Mufti.

    “Saya tahu sedikit, Ustazah.” Naufal ikut menimpali.

    “Oh, kalian sudah pada tahu, ya? Apa yang kalian ketahui?” cecarku semakin penasaran.

    “Tentang Nurhalim pakai sandal Ibunya ke sekolah karena gak ada sepatu.” jawab Mufti.

    “Oh, baguslah kalau begitu. Dan, apakah ada di antara kalian ada yang tahu selain Akemi alasan Nurhalim memakai sandal ibunya ke sekolah?” lanjutku.

    Semua saling bertatapan dan berujung melirikkan mata mereka serempak kepada Akemi.

    “Halim hanya tersenyum simpul saja ketika kami tanya, Ustazah.” kata Naufal.

    “Iya, tidak ada dia cerita apapun sama kami.” sela Fakhri.

    “Memangnya ada apa dengan Nurhalim, Akemi? Kenapa kamu tidak ada cerita sama kami?” tambah Mufti.

    “Hmmm… baiklah kalau begitu,” kataku sambil menenangkan suasana yang mulai riuh.

    Tak lama aku pun menceritakan kembali informasi apa yang telah aku terima dari Akemi kemarin siang. Anak-anak tersebut mendengarkan ceritaku dengan seksama. Dengan raut wajah yang awalnya penasaran, lambat laun menjadi tampak sedih. 

    “Nah, begitulah yang terjadi pada teman kalian,” aku mengakhiri ceritaku.

    “Sekarang, kalian sudah tau bagaimana kondisi teman kalian. Sebagai teman yang baik, Ustazah ingin tau nih, kira-kira menurut kalian apa yang dapat kita lakukan untuk membantu masalah yang sedang dihadapi oleh Nurhalim?” tanyaku pada mereka.

    Menurutku dengan mengikutkan mereka dalam mencari solusi dari masalah Nurhalim akan memberi manfaat yang besar untuk mereka. Aku ingin mendidik mereka agar memiliki empati terhadap sesama. Ingin mencoba menggali potensi yang ada dalam diri mereka dalam memecahkan masalah yang dekat dengan diri mereka. 

    “Bagaimana kalau kita iuran saja, Ustazah. Kita patungan untuk membelikan Nurhalim sepatu yang baru?” usul Fakhri.

    “Benar, benar. Saya setuju!” lanjut Mufti.

    “Ya Ustazah, itu ide yang bagus. Besok, biar kami beritahu kawan-kawan yang lain secara diam-diam tentang ide kita ini. Saya yakin, semua teman-teman pasti setuju. Kita kasih surprise saja sekalian Nurhalimnya. Dia pasti juga akan senang sekali.” Naufal juga sangat tampak semangat dengan ide Fakhri.

    “Hmmm, baiklah kalau begitu. Menurut Ustazah itu juga ide yang sangat bagus sekali. Jika memang semua setuju, besok kita akan langsung beraksi. Siapa yang akan bertanggung jawab untuk mengumpulkan dananya?” lanjutku.

    “Saya saja, Ustazah. Besok, kalau sudah terkumpul, saya akan langsung berikan sama Ustazah. Ustazah saja yang belikan”, sambung Akemi mengajukan diri.

    “Oke, tapi jangan lupa juga, cari tau nomor sepatu Nurhalim, ya. Kita sepakat ini rahasia dan akan kita bikin surprise untuk Nurhalim.” ucapku.

    Rapat siang itu pun berakhir dengan rasa yang sulit aku ungkapkan. Aku tidak mengira anak didikku ternyata memiliki hati yang luar biasa. Aku merasa bahagia sekali. Semoga esok, acara kami berjalan sesuai apa yang kami harapkan.

    ***

    Keesokan harinya setelah pulang sekolah.

    “Assalamu’alaikum, Ustazah.” Akemi datang bersama Mufti ke ruanganku sambil membawa suatu bungkusan.

    “Wa’alaikum salam,” jawabku sambil tersenyum menyambut kehadiran mereka berdua.

    “Ayo, Akemi, Mufti, silahkan masuk dan duduk.” lanjutku sambil menyediakan dua bangku untuk mereka.

    “Bagaimana rencana kita? Lancar?” tak sabar Aku ingin tahu.

    “Alhamdulillah, Ustazah. Lumayan banyak terkumpul. Ini Ustazah, uangnya dalam bungkusan ini. Terserah Ustazah saja nanti dibelikan apa saja sisanya. Tapi kalau menurut saya, boleh kita lebihkan untuk membeli botol minum dan kaos kaki sekalian, Ustazah. Soalnya Nurhalim juga tidak punya botol minum dan kaos kaki. Kami rasa, dengan uang yang terkumpul cukup untuk membeli itu semua,” jelas Akemi dengan bergebu-gebu.

    Alhamdulillah. Masya Allah, banyak sekali uangnya terkumpul. Baiklah, nanti siang sebelum pulang ke rumah, Ustazah akan singgah dulu ke pasar untuk membeli semua hadiah yang akan kita berikan untuk Nurhalim besok. Jazakumullahu Khairan ya, anak-anak hebat. Sampaikan ucapan terima kasih Ustazah sama teman-teman yang lain, ya. Kalau nanti dananya kurang, Insyaa Allah biar Ustazah yang tambahkan.” lanjutku mengakhiri pertemuan siang itu.

    ***

    Siang hari di kelas 5C setelah ishoma (istirahat, sholat, makan siang). Kebetulan aku mengajar di kelasku sendiri, sehingga pas betul waktunya untuk aku membersamai murid-muridku yang lain memberikan hadiah untuk Nurhalim. 

    Anak-anak satu-persatu masuk kelas setelah keluar dari masjid. Mereka yang sudah tahu akan ada acara pemberian surprise untuk Nurhalim, sudah berbisik -bisik penasaran akan bagaimana nanti suasana saat Nurhalim diberi hadiah. Lirikan mata bahagia terpancar jelas dari wajah mereka. 

    Siang itu, kami masih ada jadwal 2 jam pelajaran. Sama anak-anak sudah aku instruksikan untuk belajar dahulu di satu jam pertama. Dan, pemberian hadiah untuk Nurhalim akan kami berikan di sisa jam terakhir.

    ***

    Teeeeeeeeeettttttt, Teeeeeeeeeetttttttt

    Bel berbunyi pertanda satu jam pelajaran telah berakhir. Mendengar bel berbunyi, anak-anak langsung sigap dengan sendirinya. Alhamdulillah, tugas yang aku berikan selesai dalam waktu yang lebih cepat dari biasanya. Sang ketua kelas, langsung berdiri mengumpulkan buku latihan teman-temannya dan meletakkan di atas mejaku. Aku tersenyum sendiri melihatnya. Dan, mereka mulai tampak riuh dengan acara selanjutnya.

    Tak berselang lama setelah semua tugas terkumpul, aku pun memanggil Nurhalim ke depan kelas. Namun, ia tampak bingung, karena tiba-tiba aku memanggilnya. Dengan perlahan dia maju ke depan dengan sedikit senyum simpul di bibirnya seperti yang biasa diberikan setiap kali aku menyapanya.

    “Nurhalim, kesini sebentar.” panggilku.

    Tak lama Nurhalim sudah berdiri di samping mejaku.

    “Nurhalim, siang ini teman-teman mau memberi sesuatu untuk Nurhalim. Tapi, Nurhalim tutup mata dulu ya. Nanti, kalau kami suruh buka, baru Nurhalim buka mata dan buka kadonya ya.” jelasku pada Nurhalim dengan lembut.

    Nurhalim tampak kaget tidak percaya. Dia sedikit mundur dan mengusap wajahnya. Ia seperti salah tingkah. Namun, melihat Nurhalim yang demikian, teman-temannya sudah mulai riuh tak sabar menunggu kadonya dibuka Nurhalim.

    “Nah, Nurhalim. Kita tutup dulu matanya. Sini Nurhalim, berdiri di depan kelas menghadap ke teman-teman.” aku memberi instruksi kepada Nurhalim.

    Mufti langsung bergerak cepat menyediakan meja di depan Nurhalim dan meletakkan kado yang telah kami sediakan untuknya.

    “Oke Nurhalim, silahkan pegang kadonya. Nanti buka mata pada hitungan ke tiga yaaa.” lanjutku lagi.

    “1 ………, 2………., 3………”, sorak anak-anak serempak.

    Taraaa……. 

    Suasana langsung riuh saat Nurhalim membuka mata dan melihat kado yang ada di hadapannya. Teman-temannya langsung bersorak untuk meminta Nurhalim membuka kado.

    “Buka…. Buka…. Buka….” sorak mereka sama-sama, hingga akhirnya Nurhalim membuka kado.

    Nurhalim pun tampak kaget saat kado yang terbuka isinya sepasang sepatu, sebuah botol minum dan dua pasang kaos kaki.

    “Pakai ….pakai …. pakai …..”, sorak mereka selanjutnya.

    Entah bagaimana perasaan Nurhalim saat itu, namun aku bisa melihat matanya mulai memerah dan sedikit tampak ada air mata bahagia di pelupuk matanya. Ia pun mencoba memakai kaos kaki dan memasang sepatu tersebut. Dan Alhamdulillah, pas sekali di kakinya. Aku sendiri tak lupa mengambil moment tersebut dengan mengabadikannya dengan merekam suasana saat itu.

    Masyaa Allah. Aku sendiri tak mampu menahan air mata menghadiri momen siang itu. Sungguh sebuah momen yang luar biasa bagiku dan untuk murid-muridku. Kami pun akhirnya saling bersalaman dan Nurhalim tidak lupa mengucapkan terima kasih banyak kepada teman-teman sekelasnya. Teruntuk teman-teman Nurhalim, Jazakumullahu Khairan. Begitu juga dengan Nurhalim, Barakallahufikum. Semoga dimana pun kalian berada selalu kalian selalu dirahmati Allah. 

    Teruslah jadi anak yang hebat, luar biasa, dan istimewa wahai, anak-anak Ustazah.

    I love you so much.

     

     

    Kreator : Defri Hermayenti

    Bagikan ke

    Comment Closed: Nurhalim dan Sepasang Sendal Ibu

    Sorry, comment are closed for this post.

    Popular News

    • Part 15: Warung Kopi Klotok  Sesampainya di tempat tujuan, Rama mencari tempat ternyaman untuk parkir. Bude langsung mengajak Rani dan Rama segera masuk ke warung Kopi Klotok. Rama sudah reservasi tempat terlebih dahulu karena tempat ini selalu banyak pengunjung dan saling berebut tempat yang ternyaman dan posisi view yang pas bagi pengunjung. Bude langsung memesan […]

      Okt 01, 2024
    • Part 16 : Alun – Alun  Kidul Keesokan paginya seperti biasa Bude sudah bangun dan melaksanakan ibadah sholat subuh. Begitupun dengan Rani yang juga melaksanakan sholat subuh. Rani langsung ke dapur setelah menunaikan ibadah sholat subuh. Tidak lama disusul oleh Bude dan langsung mengambil bahan masakan serta mengiris bahan untuk memasak. Rani dan Bude sangat […]

      Okt 16, 2024
    • Part 14: Kopi Klotok Pagi hari yang cerah, secerah hati Rani dan semangat yang tinggi menyambut keseruan hari ini. Ia bersenandung dan tersenyum sambil mengiris bahan untuk membuat nasi goreng. Tante, yang berada di dekat Rani, ikut tersenyum melihat Rani yang bersenandung dengan bahagia. “Rani, kamu ada rasa tidak sama Rama? Awas, ya. Jangan suka […]

      Sep 18, 2024
    • Part 13 : Candi Borobudur Keesokan harinya Rama sibuk mencari handphone yang biasa membangunkannya untuk berolahraga disaat Rama berada di Jogja. Rama tersenyum dan semangat untuk bangun, membersihkan diri dan segera membereskan kamarnya. Tidak lupa Rama juga menggunakan pakaian yang Rapih untuk menemui Rani hari ini. Sementara Rani seperti biasa masih bermalas-malasan di dalam kamarnya […]

      Sep 07, 2024
    • Part 12 : Cemburu Rama langsung memukul Jaka saat Jaka baru saja masuk ke ruang kerjanya Rama. Jaka yang meringis bukannya marah namun malah tersenyum terhadap Rama karena Jaka tahu bahwa Rama lagi cemburu terhadapnya. Rama males menjawab salam dari Jaka namun sebagai orang yang punya adab Rama harus menjawab salam dari Jaka dengan sopan. […]

      Sep 05, 2024

    Latest News

    Buy Pin Up Calendar E-book On-line At Low Prices In India After the installation is complete, you’ll have the flexibility […]

    Jun 21, 2021

    Karya Nurlaili Alumni KMO Alineaku Hampir 10 bulan, Pandemi Covid -19 telah melanda dunia dengan cepat dan secara tiba-tiba. Hal […]

    Des 07, 2021

    Karya Lailatul Muniroh, S.Pd Alumni KMO Alineaku Rania akhirnya menikah juga kamu,,,  begitu kata teman2nya menggoda, Yaa,,,Rania bukan anak.yang cantik […]

    Des 07, 2021

    Karya Marsella. Mangangantung Alumni KMO Alineaku Banyak anak perempuan mengatakan bahwa sosok pria yang menjadi cinta pertama mereka adalah Ayah. […]

    Des 07, 2021

    Karya Any Mewa Alumni KMO Alineaku Bukankah sepasang sejoli memutuskan bersatu dalam ikatan pernikahan demi menciptakan damai bersama? Tetapi bagaimana […]

    Des 07, 2021