Hembusan nafas ini bukan milikmu sendiri. Berapa banyak andilmu pada sebutir keringat yang menetes dari pori-porimu? Tak ada.
Langkah kaki akan menuju ke mana hari ini, tak ada yang mengetahuinya. Tugasmu hanya berencana.
***
Cahaya lampu menyoroti wajahku. Kedua mata mengerjap cepat mencoba mencerna wajah yang menghalangi pandanganku dengan cahaya lampu itu.
“Selamat siang, ini jam milik Bunda?”
Entah ke mana energi ku pergi. Rasanya aku mengantuk luar biasa sampai tak mampu menjawab pertanyaan sederhana itu.
Pertanyaan yang sama diulang kembali.
“Ini jam milik Bunda?”
Aku membuka mata kembali dan berusaha mengumpulkan energi hanya untuk sekedar mengangguk sambil berkata, “Iya itu jam saya.” Lalu aku tak ingat apa-apa lagi.
Yang aku ingat adalah buah hatiku tak lagi bertumbuh kembang di dalam tubuhku. Ia telah berada di bawah gundukan tanah yang masih merah. Bahkan aku pun belum memiliki nama untuknya.
***
Apa andilmu pada janin yang tertanam dalam rahimmu?
Ketika ia hadir kemudian pergi, tak ada pula andilmu di sana.
Ini ketiga kalinya buah hati yang dinanti tak aku rasakan kehadirannya. Pedih melihat mereka selalu pergi. Terlahir dan langsung diasuh oleh Sang Pencipta.
***
Tak ada jalan lain, aku harus mengalah. Tubuhku adalah rumah mereka. Aku tak boleh bekerja seperti robot yang berhenti beraktifitas hanya di waktu sholat. Bahkan tidurku kurang sekali, hanya sekitar tiga jam perhari.
Tugas kampus di akhir semester sungguh amat menumpuk. Mengoreksi paper, membuat soal, sidang skripsi. Ditambah lagi tugasku sendiri sebagai mahasiswa tak dapat aku hindari.
Jika aku hitung sebagai mahasiswa, aku harus menyelesaikan 15 buah makalah. Dengan waktu yang ada sebelum semester berakhir, aku harus mampu mengerjakan 1 makalah dalam kurun waktu hanya 1,5 hari saja.
Sambil berjalan melalui lorong kampus, aku usap perutku, sambil berbisik, “Tenang yaa dua pekan lagi kita istirahat.”
Tapi tak menunggu libur semester dimulai, bayiku kembali pergi. Rasa kehilangannya meninggalkan kehampaan menyayat di dalam diriku.
***
5 tahun kemudian.
Rumah yang aku datangi ini berdinding bambu. Lantainya masih tanah. Seorang wanita sepertinya sebaya denganku tapi tampak lebih tua penampilannya tanpa ekspresi berlebihan memeluk bayi usia satu minggu.
Tak jauh darinya, masih di ruangan yang sama, suaminya menggendong balita sambil bermain dengan anak-anak mereka yang lain.
Aku tak tahu pasti berapa jumlah anak mereka tapi kedua pasangan ini sudah membulatkan tekad untuk melepaskan anak bungsu mereka karena alasan ekonomi.
Aku terima bayi mungil dari tangan ibunya. Tak terlalu banyak basa-basi, aku segera pamit meninggalkan sepasang suami istri sederhana namun berjiwa besar karena telah menyelamatkan mentalku yang rapuh.
Di sepanjang perjalanan menuju rumah, aku dekap erat bayi mereka yang kini telah menjadi milikku. Aku bisikan di telinganya, “Kau mungkin tidak lahir dari rahimku, tapi engkau lahir dari dalam hatiku. Panggil aku Ibu, Nak!”
Kreator : Dini Masitah
Comment Closed: Panggil Aku Ibu
Sorry, comment are closed for this post.