KATEGORI
  • Adat & Budaya
  • Agrikultur
  • Aksi
  • Arsitektur
  • Artikel
  • Asmara
  • Autobiografi
  • autobiography
  • Bahasa & Sastra
  • Berita Alineaku
  • Bisnis
  • Branding
  • Catatan Harian
  • Cerita Anak
  • Cerita Bersambung
  • Cerita Pendek
  • Cerita Rakyat
  • Cerpen
  • Cinta
  • Cita – Cita dan Harapan
  • Dongeng
  • Drama
  • Ekonomi
  • Epos
  • Event
  • Fabel
  • Fantasi
  • Fiksi
  • Gaya Hidup
  • Hiburan
  • Hobi
  • Hubungan Antarpribadi
  • Hukum
  • Humanis
  • Humor
  • Ilmu Manajemen
  • Inspirasi
  • Istri
  • Kampus
  • Karir dan Kewirausahaan
  • Keagamaan
  • Keluarga
  • Kesehatan & Kecantikan
  • Kesehatan Mental
  • Ketenagakerjaan
  • Kisa Masa Kecil
  • Kisah Inspiratif
  • Kritik Media
  • Kuliner
  • Legenda
  • Lifestyle
  • Lingkungan Hidup
  • Madhoe Retna
  • Manajemen
  • mengelola toko
  • Mental Health
  • Moralitas
  • Motivasi
  • Novel
  • Nutrisi
  • Nutrition
  • Opini
  • Organisasi
  • Otomotif
  • Parenting
  • Pemerintahan
  • Pendidikan
  • Pendidikan Karir
  • Pendidikan Keuangan
  • pengalaman hidup
  • Pengembangan Diri
  • Perjalanan Hidup
  • Pernikahan
  • Persahabatan
  • Pertemanan
  • Petualangan
  • Petualangan Alam
  • Pilih Kategori
  • Pilih Menu
  • Politik
  • Psikologi
  • Psikologi Sosial
  • Puisi
  • Romansa
  • Romantisme kehidupan
  • Rumah Tangga
  • Satir
  • SDM
  • Sejarah
  • Self-Acceptance
  • Self-Awareness
  • Seni & Budaya
  • Sosial
  • spiritual journey
  • Strategi
  • Teknologi
  • Tempat Wisata
  • Traveling
  • Uncategorized
  • Wanita
  • Beranda » Artikel » Pelangi Lembayung di Masa Remaja PART 3

    Pelangi Lembayung di Masa Remaja PART 3

    BY 21 Agu 2025 Dilihat: 2 kali
    PELANGI LEMBAYUNG DI MASA REMAJA_alineaku

    Hobiku – aktivitas outdoor 

     

    Pribadiku menemukan jati dirinya. Ternyata, aku tipe extrovert yang senang bergaul, bercanda, cerewet dan tidak punya rasa sungkan. Aku senang sekali bergaul lintas angkatan, yakni berteman dengan kakak kelas dua dan tiga. Hidupku terasa penuh warna, dengan seragam putih abu-abu. Orang bilang, The Power of Putih Abu-Abu. 

    Selain belajar, aku paling suka kegiatan olahraga seperti voli. Setiap ada mata pelajaran kosong aku menuju lapangan voli, ikut bergabung dengan siapa saja yang sedang bermain di sana. Keringat bercucuran, panas menyengat tak ku hiraukan. Sorak sorai dari teman-teman di pinggir lapangan menjadi penyemangat tim dan diselingi tawa renyah atau ledekan saat bola melesat keluar atau saat mengenai kepala lawan. Dan yang paling membahagiakan, tentu saja, adalah ketika tim berhasil memenangkan pertandingan. Saya memang bukan pemain terbaik, tapi saya punya semangat untuk terus bermain supaya saya bisa masuk ke dalam team voli sekolah.

    Pada suatu hari, ada pertandingan voli antar SMA se-Bandung. Saya terpilih dalam tim voli SMA 2 yang akan melawan SMA 3, musuh bebuyutan kami. Tim SMA 2 diberi nama tim Garuda dan tim SMA Tiga Cendrawasih. Pertandingan final terasa membara dan menyuguhkan drama di lapangan gelanggang Olah Raga yang penuh sesak oleh penonton dan riuh rendah nya supporter kedua belah pihak, mengelu-elukan jagoannya masing masing. Di set pertama begitu wasit meniup peluit tanda dimulai pertandingan, bola melambung tinggi dari servis Kapten tim Garuda. Suara “BOOM” dari bola yang dihantamnya diikuti sorakan membahana dari tribun suporter tim Garuda.

    “Ayo Garuda, sikat! Habisi mereka!” 

     

    Di sisi lain, supporter Cendrawasih pun tak mau kalah.

    “Cendrawasih jaya, Cendrawasih pasti menang!!” 

     

    Mereka sangat ribut, menggemakan yel-yel, menabuh genderang dan melambai-lambaikan bendera masing-masing sekolah dan bendera merah putih. Pertarungan berlangsung sengit. Poin demi poin diraih dengan susah payah , jatuh bangun, ngos-ngosan, keringat bercucuran. Teriakan sumpah serapah  dari penonton kepada juri sering terdengar.

    Juri buta!” atau “Jurinya payah!” bahkan “ Jurinya berat sebelah!” atau yang lebih ekstrim, “Jurinya bodoh!”  para penonton lebih heboh dari pada para pemainnya.

    Saat skor menunjukkan 24-24 di set penentuan, ketegangan menggantung di udara. Kedua belah pihak tegang. Di kubu Cendrawasih, Arya, sang kapten, mengatur pemberian bola pada tim nya. 

    Ayo Arya! fokus! Satu angka lagi!!”

    Arya.. Arya..Arya ..” 

    Teriakan dari para suporter Cendrawasih, bahkan bapak dan ibu guru ikut turun mendekati lapangan.

    Ayo, Bimo! Jangan kasih kendor! Satu angka lagi!” teriakan Pak Badrun, pelatih Garuda menyemangati tim kami –  tim Garuda. Urat lehernya sampai menonjol. 

    Saat-saat menegangkan adalah ketika bola smash dari tim Garuda dapat ditangkis oleh tim Cendrawasih, dan bola melambung tinggi masuk ke daerah Garuda.  Didit menerimanya dan mengirim umpan tinggi ke Dino, kemudian ia melompat tinggi, melakukan serangan smash sekali lagi dan….duar!! Bola lolos, walau ada dua blocker dari tim Cendrawasih yang juga melompat tinggi di depan net. Wasit meniup peluit panjang, tanda permainan selesai.

    Priiiiit!

     

    Seketika GOR Bandung pecah gemuruh dengan teriakan para suporter. Ada teriakan histeris karena kalah dari kelompok SMA Tiga yang mendukung Tim Cendrawasih  dan ada teriakan bahagia karena kemenangan tim kami. 

    Dalam keadan euphoria, ada kejadian yang mengharukan yang aku amati dan dapat dijadikan pelajaran bagi kita semua. Kapten Tim kedua belah pihak dan para pemainnya saling bersalaman dengan sportif.

    “Selamat ya, Bim.” ujar Arya menyelamati dan memeluk Bimo. 

     

    Kemudian semua pemain dan pemain cadangan saling bersalaman dan berpelukan satu sama lain. Pertandingan ini memberi pelajaran pada kita semua, di sebuah pertandingan pasti ada yang kalah dan ada yang menang, tapi spotivitas tetap terjaga dan pertemanan pun harus tetap berlanjut.

    Sejak kelas satu hingga kelas tiga hobiku adalah kegiatan outdoor. Daripada nongkrong di café atau main game di handphone, aku lebih suka menjelajah alam. Bersama para pencinta alam lainnya, yang terkenal saat itu adalah anak anak Wanadri, yang berpenampilan keren bagi kami anak-anak SMA, pakaian untuk naik gunung  seringkali loreng-loreng ala tentara, lengkap dengan topi gunung, sepatu untuk trekking dan ransel di punggung. Mereka menjadi guide dan menjaga kami, ketika kami outbound dan tracking dari Dago sampai Maribaya. Kami berjalan beriringan, aku bertiga bersama ketiga sohibku yang sehobi, Rina si cerewet dan penakut, Ridho sang pemimpin penunjuk jalan dan Lastri si tukang foto yang jago mengambil gambar.

    “Aduh cape,  jauh juga jalan yang kita tempuh, lebih dari 10 KM nih ” celetuk Rina.

    “Iya, mana jalan menanjak dan berkelok kelok. Ingat, jalan setapak lho yang akan kita lewati. Pakai sepatu dan baju yang nyaman.” ujar Ridho mengingatkan.

    “Iya iya, udah tahu.” timpal Lastri. 

    “Masalahnya, aku harus bawa power bank untuk baterei kameraku. Apalagi si Tari tuh sukanya difoto.” lanjut Lastri sambil melihat kepadaku. Kujulurkan lidah untuk meledeknya. Alhasil, kami semua tertawa dan selama perjalanan penuh dengan canda dan tawa ria. 

    Kami berada di hutan Raya Dago yang di dalamnya terdapat dua gua, yaitu Goa Jepang dan Goa Belanda. Suasana di dalam goa yang gelap dan lembab memberikan sensasi tersendiri. Dinding-dindingnya yang kokoh dan lorong-lorongnya yang misterius seolah bercerita tentang sejarah di masa pendudukan Belanda dan Jepang di tahun 1942 – 1945. Si Bapak guide local menceritakan tempat masing-masing. Ada lorong tempat menyimpan amunisi, menyimpan logistik, tempat penyiksaan, tempat para tentara penjaga dan ruang kantor.

    “Ih, dingin banget ya di sini.” kata Lastri merapatkan jaketnya. 

    “Iya, saya kok merinding ya. Serem ih, ini tempat. Pasti banyak arwah-arwah penasaran.” timpal Rina, membuat kami semua menjadi takut dan kami berjalan sambil berpegangan tangan. 

    “Tapi, keren banget ya.  Rasanya kita seperti berada di lorong waktu.” sambung Ridho.

    Lastri melaksanakan tugasnya jepret sana jepret sini.

    “Asik banget aku banyak dapat foto bagus. Bisa buat konten, nih.” kata Lastri sambil tertawa.

    “Awas, nanti di foto ada yang ikut berfoto lho.” goda Ridho, tapi tak urung membuat kami ketakutan juga, sehingga kami berjalan saling berdekatan.

     

     

     

     

     

     

     

     

    Foto : Goa Belanda dan Goa Jepang di Taman Hutan Rakyat Juanda, Dago, Bandung

     

    Setelah puas menjelajahi setiap lorong goa, perjalanan kami lanjutkan melalui jalan setapak yang membuat napas ngos-ngosan karena jalannya menanjak dan berkelok-kelok. Kaki terasa berat ketika harus mendaki tajam. Beberapa kali kami melompati kali kecil, bahkan terpaksa nyemplung ke sungai. Walau airnya dangkal, hanya sebatas mata kaki, cipratannya tetap membasahi baju kami. Aku, Rani, dan Lastri pun beberapa kali terpeleset saat menapaki bebatuan besar yang licin. Sesekali kami berpegangan pada akar pohon untuk menarik tubuh ke atas. Namun, kelelahan itu terbayar lunas oleh pemandangan sekitar yang benar-benar menakjubkan: hutan asri dengan pohon-pohon tinggi menjulang, suara burung bersahutan, dan udara segar yang memenuhi paru-paru. Teriknya matahari pun tak terasa di bawah naungan rimbun pepohonan.

    “Lihat! Ada air terjun kecil di sana, ayo ke sana!” seru Ridho sambil menunjuk ke sebuah celah bebatuan di antara pepohonan. Kami bergegas mendekat dan menikmati segarnya air terjun, serta percikan yang menyegarkan.

    “Ini baru petualangan alam yang asyik!” seru Rina sambil membentangkan tangannya. Lastri sibuk memotret setiap sudut area.

    “Duh, nggak nyangka pemandangan dan suasananya bakal seindah ini. Bisa habis baterai kameraku nih,” lanjut Lastri.

    “Ayo ambil semua foto yang bagus, Lastri,” timpalku. “Belum tentu kita bisa balik lagi ke tempat ini, entah kapan.” Suaraku sedikit mengambang, mengingat kami mungkin tidak akan kembali ke tempat yang sama.

    Setelah puas bermain di air terjun, kami melanjutkan perjalanan menuju tujuan akhir. Matahari mulai terasa panas dan menyengat. Kulihat jam tangan: pukul sepuluh pagi. Itu berarti kami sudah berjalan selama dua jam. Untungnya, di sepanjang jalan banyak pepohonan yang memayungi langkah kami.

    Selanjutnya, masih banyak petualangan kemping yang kami lakukan bersama. Kadang di Lembang, kadang di Ciater—daerah di bawah kawasan Gunung Tangkuban Perahu—dimana terdapat pemandian air panas, dan kami bisa berendam di sana. Pernah juga kami mendaki Gunung Gede. Kehidupan masa remajaku benar-benar berwarna-warni, layaknya semburat lembayung dengan segala keindahannya.

     

     

    Menjadi Anggota OSIS  

     

    Pada suatu hari, kakak kelasku mendekatiku.

    “Tari, saya lihat kamu aktif di berbagai kegiatan intra sekolah—di olahraga, kegiatan lintas alam, dan kesenian. Bantu saya jadi pengurus OSIS ya,” demikian Kak Rizal berkata.

    Sejenak aku bengong dan kaget. Menjadi anggota OSIS adalah suatu kehormatan dan kebanggaan, karena tidak semua siswa bisa bergabung. Hanya mereka yang berprestasi, menonjol di bidangnya, dan memiliki kelebihan tertentu yang biasanya terpilih. Para siswa lain pun biasanya menghormati anggota OSIS.

    Tentu saja aku senang dan bangga diminta bergabung di OSIS (Organisasi Siswa Intra Sekolah). Aku segera mengiyakannya. “Siap, Kak Rizal. Tapi saya belum tahu apa tugas saya. Mohon bimbingannya.”

    “Kamu bantu saya di seksi kesenian dan olahraga. Saya lihat kamu banyak berkecimpung di situ,” jelasnya.

    “Tapi, Kak …” Belum sempat aku bertanya, Kak Rizal menyambung, “Tentu kamu tidak sendirian. Nanti ada Iwan, Didit, Sandra, dan Yeni di seksi itu.”

    Itu memang yang ingin kutanyakan. Ya sudah, aku hanya mengangguk.

    Sejak hari itu, aku sering nongkrong di ruang OSIS yang bersebelahan dengan ruang anak-anak pecinta alam. Bahkan kadang-kadang bolos pelajaran jika ada rapat.

    Kesibukan Menjelang Kunjungan SMA 6 Jakarta

    Kami akan menerima tamu dari SMA 6 Jakarta. Dibentuklah kepanitiaan dengan seksi akomodasi, transportasi, konsumsi, acara, dokumentasi, pertandingan olahraga, serta kesenian—yang bertugas membuat acara malam keakraban dan malam perpisahan.

    Semuanya sibuk, masing-masing membuat rencana kerja dan persiapan menyambut tamu.

    “Masing-masing panitia dan tim harus melakukan persiapan matang. Dengan persiapan yang baik, 80% pelaksanaan akan berjalan lancar. Sisanya tergantung situasi dan kondisi saat hari-H.” begitu arahan Kak Rizal, ketua OSIS kami. Sosoknya tinggi, berwajah serius, dan berwibawa.

    Beberapa guru bahkan kepala sekolah ikut terlibat sebagai penasihat. Kunjungan ini singkat, hanya tiga hari, tapi persiapannya memakan waktu tiga bulan.

    Hari Pertama
    Tim akomodasi, transportasi, konsumsi, logistik, dan dokumentasi sibuk menyambut kedatangan tamu.

    Hari Kedua
    Tim olahraga yang sibuk. Ada empat pertandingan yang diselenggarakan: sepak bola, basket, voli, dan softball—putra dan putri—ditambah lomba catur serta permainan ceki (menggunakan kartu domino). Teriakan para suporter begitu riuh, tak peduli siapa menang atau kalah—namanya juga pertandingan persahabatan.

    Beberapa siswa SMA 6 Jakarta bahkan ikut membantu kepanitiaan. Rasanya menyenangkan memiliki sahabat-sahabat baru.

    Hari Ketiga
    Pagi harinya, teman-teman dari Jakarta berwisata ke Alun-alun Bandung, mengunjungi Gedung Merdeka dan Gedung Asia Afrika, melihat bangunan-bangunan kuno di sepanjang Jalan Braga, dan berfoto ria di depan ikon Kota Bandung, Gedung Sate.

    Siang hari mereka beristirahat. Malamnya diadakan pesta kesenian. Aku dan teman-teman di seksi kesenian sangat sibuk mempersiapkan aula sekolah yang diubah menjadi ruang pesta: membuat panggung, dekorasi, dan lampu disko warna-warni.

    “Hai, kenalan, ya? Saya Edgar,” tiba-tiba terdengar suara dari belakangku. Secara refleks aku membalikkan badan.
    “Hai, aku Tari.”

    “Kulihat kamu sibuk sekali,” lanjut Edgar sambil nakal mengedipkan mata.
    Aku tersenyum nyengir. “Ah, nggak lah. Kita semua punya tugas masing-masing kok.”

    “Nih, kenalin teman-temanku,” ujar Edgar sambil memperkenalkan lima orang yang bersamanya.
    “Hai, senang berkenalan dengan kalian semua.” sapaku sambil menyalami mereka satu per satu: Lusi, Dewi, Angga, Ricko, dan Erlangga.

    “Kami bisa bantu apa nih?” tanya mereka satu per satu saat aku sedang mondar-mandir menyiapkan ruang acara. Kebetulan sekali—aku mendapat tenaga tambahan. Sempat berpura-pura menolak, aku berkata, “Beneran mau bantu?” hanya sebagai basa-basi.

    “Ya iyalah! Ayo, apa tugas kami?” jawab teman-teman baru itu.
    “Oke, yang perempuan bantu mendekor, ya. Ini bahan-bahannya,” ucapku sambil menyerahkan pita dan kertas hias warna-warni.
    “Yang cowok, bantu pasang spanduk sama atur kursi-kursi ini,” lanjutku.
    “Siap, Bos!” seru mereka kompak, membuatku tersenyum penuh semangat.

    Tiba-tiba Edgar mendekat dan berbisik, “Tari, aku suka lihat kamu. Enerjik banget, cekatan, nggak ada lelahnya.”
    Aku terpana sejenak, kaget hingga dahiku berkerut. Ah, dasar anak Jakarta, perayu, pikirku dalam hati. 

    Aku meneruskan pekerjaan—membereskan lampu, mengecek sound system, memastikan mikrofon berfungsi—seolah tidak terjadi apa-apa. Tapi hatiku tetap berdegup kencang.

    Tibalah malam yang dinanti yaitu malam kesenian, malam keakraban, sekaligus malam perpisahan. SMA 6 Jakarta menampilkan tarian Ronggeng Betawi dengan lagu khas Ondel-Ondel, kostum merah berhiaskan manik-manik mengkilap, dan goyangan pinggul yang memikat. SMA kami membalas dengan tarian Merak—kebanggaan Sunda Parahyangan—dengan kostum yang indah.

    Kemudian, vocal group dari kedua sekolah membawakan lagu-lagu daerah: Keroncong Kemayoran, Sirih Kuning, Maragam-ragam, Alu Siau, serta dari kami Neng Geulis, Manuk Dadali, Euis, dan Pileuleuyan. Di sela acara, dilakukan pertukaran pataka (bendera sekolah) dan plakat.

    Puncak acara diwarnai permainan band gabungan, membawakan lagu-lagu rock yang membahana. Ada juga sesi slow rock: lampu dimatikan, diganti lampu temaram warna-warni, dan beberapa pasangan Jakarta–Bandung berdansa berpelukan.

    “Eh… boleh?” tiba-tiba suara di belakangku. Aku menoleh. Edgar berdiri dengan tangan kanan terjulur, tubuh sedikit membungkuk. Dengan ragu dan jantung berdebar, aku menyambut tangannya.

    “Kok diam saja?” ia memulai percakapan. 

    Musik keras memaksaku menjawab jujur. “Masih kaget aja. Tiba-tiba kamu ngajak dansa.”

    “Aku dari tadi menunggu kesempatan ini,” balasnya. Degup jantungku makin kencang.

    “Aku lihat kamu sibuk terus. Aku pikir nggak akan dapat kesempatan ini,” lanjutnya. Aku hanya melangkah mengikuti arahan Edgar.

    “Lumayan meriah ya pestanya,” ucapku untuk mengalihkan pembicaraan.
    “Siapa dulu dong yang merancang pesta ini.” godanya.
    “Ih, bukan aku lah. Ini kerja tim. Kalian juga ikut membantu,” balasku.
    “Sayangnya, besok aku dan semua teman-teman harus balik ke Jakarta. Aku ingin kita terus berteman,” ucapnya sambil menatap mataku.

    Perasaanku campur aduk, sulit dijelaskan. “Semoga, ya.” jawabku singkat.

    “Boleh minta nomor teleponmu?” pintanya. Saat itu belum ada ponsel—kami masih memakai telepon rumah. Aku mengangguk.
    “Kapan-kapan boleh aku main ke rumahmu?” katanya hati-hati. Aku mengiyakannya. Tepat saat lagu berakhir, lampu kembali menyala terang.

    Acara ditutup dengan dansa polones: berpasangan, berjalan memutar, membuat terowongan dengan tangan terangkat, lalu pasangan berikutnya menerobos. Lagu “Kemesraan” menjadi pamungkas, kami berpegangan tangan dalam lingkaran. Ketua OSIS menyampaikan ucapan terima kasih dan selamat jalan untuk tamu dari Jakarta.

    Esoknya, tim transportasi dan akomodasi memastikan semua barang dan oleh-oleh masuk ke bus. Suasana haru bercampur riang.
    “Sukses ya kunjungan persahabatan dua SMA ini. Sangat menyenangkan, apalagi pesta semalam,” komentar kedua belah pihak.
    “Betul banget! Masih ingat semalam kita ajojing dan bernyanyi bareng?” sahut teman-teman dari Jakarta.

    Kak Rizal tiba-tiba berbisik, “Tari, aku perhatikan Edgar menyukaimu.”

    Mukaku memanas, kikuk.

    “Hahaha, iya. Edgar baik dan peduli. But that’s it,” jawabku sambil tertawa.

    Kami melambaikan tangan saat bus-bus SMA 6 mulai bergerak.

    “Sampai jumpa!”

    “Semoga bisa berkunjung lagi!”

    “Dadah!” 

    Seru sekali kami bersahutan. Suara itu makin lirih hingga bus tak tampak lagi.

    Bagiku, kegiatan ini meninggalkan kenangan indah dan pelajaran baru: bahwa ada hubungan khusus antara dua manusia yang bisa menggetarkan hati—meski kelanjutannya entah bagaimana.

     

    Di tahun berikutnya sebagai anggota OSIS kembali ada kegiatan besar yaitu penerimaan murid-murid baru kelas satu, yaitu kegiatan POSMA ( Pekan Orientasi Siswa SMA). Acara POSMA berlangsung selama tiga hari dan di hari akhir kami mengadakan camping, Hari itu di bulan Juni, kami semua murid murid baru dan panitia Posma beserta anggota OSIS bersiap-siap hendak berkemah ke Situ Patenggang, sebuah danau indah di luar kota Bandung Selatan, dengan rindangnya pepohonan cemara dan hamparan hijau tanaman perkebunan teh, membuat suhu di sana menjadi dingin apalagi saat sore hari, kabut putih tebal menyelimuti seluruh area, sampai danau pun tidak tampak. Saat ini aku telah naik kelas dua, kata teman2 sih aku manis, menarik, enak diajak berteman dan energik, bangga juga aku dipuji seperti begitu. Aku bersama kakak ketua OSIS dan teman teman lainnya  sebagai panitia penerimaan siswa siswi baru, sibuknya bukan main. Untungnya pengalaman tahun lalu sewaktu menerima teman-teman SMA 6 dari Jakarta, menjadikan acuan bagi kami dalam melaksanakan kegiatan ini. Dibuat kepanitiaan dengan tugas dan tanggung jawab masing-masing .Seksi transportasi  memastikan kendaraan bus dan truk tersedia untuk semua peserta dan panitia untuk bisa terangkut menuju Situ Patenggang. Sebagai murid SMA tentu tidak memiliki banyak anggaran untuk bisa menyewa bus yang baik, jadi kami meminjam kendaraan bus dari instansi pemerintahan termasuk, pinjaman kendaraan  truk tentara. Murid murid baru kami masukkan ke dalam bus, sementara panitia naik truk. Sebagai anak muda tentu ini pengalaman yang menyenangkan , membanggakan dan akan menjadi kenangan sendiri yang tak mungkin terulang. Seksi konsumsi dan logistik memastikan kebutuhan makan malam , pagi dan siang tercukupi, air minum, beras, minyak, telur beserta panci dan kompor yang dibutuhkan. Seksi akomodasi menyiapkan tenda – tenda yang dibutuhkan, ada tenda besar, sedang dan kecil. Beberapa murid juga kami lihat ada yang membawa tenda dan sleeping bag masing-masing. Tak lupa disiapkan seksi medis dan P3K, yang nanti ternyata disana bekerja sangat sibuk , karena banyak yang jatuh sakit

    Setiba di Pangalengan, panitia dan dibantu siswa siswa laki-laki mendirikan tenda tenda, ada yang besar, tenda peleton – yang kami pinjam dari tentara,  demikian juga mendirikan tenda tenda yang sedang dan yang kecil. Siswa wanita membantu mempersiapkan konsumsi – di dekat tenda besar ada dapur umum. 

    Ketika malam hari tiba, suhu terasa sangat dingin, untung kami semua diinstruksikan untuk membawa jaket, topi kupluk , sarung tangan dan kaos kaki tebal.

    Cinta kilat menyambar di Pangalengan 

    Sore hari menjelang magrib, udara sangat dingin, aku memilih tinggal di dalam tenda, lampu minyak dan lampu petromak mulai dinyalakan, sambil beberapa murid laki-laki menyiapkan api unggun, persis di depan tendaku. Setiap kelompok dipimpin oleh kakak kelas tiga. Aku lihat Yuna kakak kelasku ,membantu mengatur kayu bakar agar api bisa  menyala, senang aku melihat upayanya yang tekun hingga berhasil  menyala dan membakar kayu-kayu.

    Yuna, berperawakan tinggi, badan kekar atletis, rambut ikal, sorot mata tajam, berparas tampan apalagi saat itu ia memakai jungle hat tentara dan jaket tentara dengan celana jins. Dia kakak kelas favorit, idaman para siswi karena selain tampan, juga jago matematika. Jadi, adik-adik kelas, terutama yang wanita, sering datang bertanya padanya minta diajarkan atau untuk menyelesaikan PR matematika. Akupun diam-diam menyukainya,  dan dari dalam tenda aku puas memandang wajahnya yang ganteng, tak lepas mata mengamatinya.

    “Duh, cakepnya. Andai aku bisa jadi pacarnya.” batinku berandai-andai.

    Tiba-tiba ia mengangkat kepala, menoleh ke arahku. Kedua mata kami bertemu, hanya sepersekian detik—lebih cepat bahkan dari kilatan petir. Jantungku berdegup kencang, kepalaku mendadak pusing. Mulutku sedikit ternganga, mataku terpaku padanya, tak mampu beralih.

    Kulihat Yuna mengangguk, sedikit mengedipkan mata, lalu kembali mengumpulkan kayu bakar sebagai persediaan. Kejadian itu hanya berlangsung sebentar, tapi aku tahu—dan Yuna pun tahu—ada sesuatu yang terjadi di antara kami.

    Inikah namanya cinta? batinku. Aku tersenyum-senyum sendiri. Yuna pun beberapa kali mencuri pandang ke arahku, tersenyum tipis. Aku membalas senyumnya, sesekali melambaikan tangan. Hatiku berbunga-bunga, indah, bahagia, seakan ingin terbang ke angkasa. Ada perasaan yang sulit dijelaskan dengan kata-kata: hangat menjalar ke seluruh tubuh dan entah kenapa rasanya ingin bernyanyi. Udara dingin pun tak terasa lagi.

    Malam itu sunyi. Hanya suara jangkrik yang terdengar, menyatu dengan kabut tebal yang menyelimuti suasana. Kami sibuk menyiapkan makan malam: nasi hangat, telur dadar dengan kecap dan cabai, mi instan, abon, serta tumis kangkung yang disiapkan oleh ibu-ibu setempat. Sungguh nikmat tak terkira.

    Tiba-tiba Yuna berdiri menghampiriku.

    “Tari, ayo kita ambil lagi kayu bakar di atas untuk persediaan nanti malam.”

    Aku terperangah. Jantungku berdegup kencang, tapi hatiku dipenuhi rasa senang. Aku segera berdiri. Kami berjalan berdampingan, hanya berdua, di tengah gelapnya pepohonan cemara di area perkemahan. Yuna membawa senter, tapi aku tetap beberapa kali hampir terjatuh karena tersandung batu atau jalanan yang bergelombang. Setiap kali itu terjadi, Yuna sigap menarik lenganku.

    Dingin malam mencekam. Aku menggigil—entah karena udara pegunungan atau karena perasaan jatuh cinta yang tiba-tiba datang. Sepertinya Yuna tahu, sebab ia menggenggam tanganku dan merangkul bahuku. Duh… rasanya seperti terbang ke langit ketujuh.

    Kami terus berjalan menuju posko yang terletak agak di atas lokasi kemah untuk mengambil kayu bakar kering. Tidak ada kata-kata di antara kami, tapi pandangan mata sudah cukup untuk berbicara. Pelukannya di bahuku begitu erat, mengalirkan kehangatan ke seluruh tubuhku.

    Kami kembali ke tenda membawa tiga ikat kayu bakar. Yuna menenteng dua ikat, sedangkan aku membawa satu ikat yang lebih ringan.

    “Kamu bisa bawa ini, Tari?” tanya Yuna lembut.
    Aku mengangguk.
    “Kalau berat, ganti-ganti tangan, ya,” lanjutnya.

    Ucapannya sederhana, tapi bagiku terasa seperti perhatian yang besar. Hatiku bahagia. Dalam hati aku berucap, “Terima kasih, Tuhan, untuk anugerah indah ini.”

    Sesampainya di tenda, kami mendapati kerumunan teman-teman dan kakak kelas. Salah satu temanku, Tati, sedang meracau dalam bahasa Belanda—kata-katanya tak jelas, seperti orang mengumpat. Teman-teman panik; ada yang ketakutan, ada yang menangis, ada pula yang mengoleskan minyak kayu putih ke tangan dan kakinya.

    “Panggil orang pintar, deh,” kata Marni, sahabat Tati.
    “Ya, tapi di mana?” jawab yang lain, bingung.

    Yuna mendekat, duduk bersila di kaki Tati, lalu memijat kedua ibu jarinya sambil berkomat-kamit membaca doa. Tak lama kemudian, Tati terkulai lemas dan berhenti meracau. Syukurlah, sepertinya penghuni Situ Patenggang itu telah keluar dari tubuhnya.

    Malam itu kami tidur bergantian untuk menjaga Tati—sebenarnya juga untuk saling menjaga—karena rasa takut masih menyelimuti. Sambil berbaring di dalam tenda, Detty berkata:

    “Di tempat seperti ini kita nggak boleh bicara sembarangan, pipis sembarangan, atau membiarkan tempat kosong.”

    Kami mengerti maksudnya. Masing-masing mulai berdzikir, membaca doa-doa yang kami hafal, sampai akhirnya tertidur.

    Sementara itu, di luar tenda, para siswa lelaki dan beberapa siswi berkumpul mengelilingi api unggun. Mereka bernyanyi lagu-lagu ospek, lagu-lagu country seperti Blowing in the Wind dan Country Road, juga lagu-lagu Bimbo seperti Melati dari Jayagiri. Ada yang membakar jagung, ubi, dan singkong. Suasananya hangat dan menyenangkan di tengah hening dan gelapnya malam.

    Aku kembali merenung. Hidup ini seperti pelangi—kadang berwarna cerah merah-oranye, kadang sendu biru-abu, dan kadang menghadirkan warna lembayung, warna kesukaanku.

     

     

    Kreator : Rita Kusriastuti

    Bagikan ke

    Comment Closed: Pelangi Lembayung di Masa Remaja PART 3

    Sorry, comment are closed for this post.

    Popular News

    • Part 15: Warung Kopi Klotok  Sesampainya di tempat tujuan, Rama mencari tempat ternyaman untuk parkir. Bude langsung mengajak Rani dan Rama segera masuk ke warung Kopi Klotok. Rama sudah reservasi tempat terlebih dahulu karena tempat ini selalu banyak pengunjung dan saling berebut tempat yang ternyaman dan posisi view yang pas bagi pengunjung. Bude langsung memesan […]

      Okt 01, 2024
    • Part 16 : Alun – Alun  Kidul Keesokan paginya seperti biasa Bude sudah bangun dan melaksanakan ibadah sholat subuh. Begitupun dengan Rani yang juga melaksanakan sholat subuh. Rani langsung ke dapur setelah menunaikan ibadah sholat subuh. Tidak lama disusul oleh Bude dan langsung mengambil bahan masakan serta mengiris bahan untuk memasak. Rani dan Bude sangat […]

      Okt 16, 2024
    • Dalam dunia pendidikan modern, pendekatan sosial emosional semakin banyak dibahas. Salah satu model yang mendapatkan perhatian khusus adalah **EMC2 sosial emosional**. Namun, apa sebenarnya yang dimaksud dengan Definisi EMC2 sosial emosional? Mengapa pendekatan ini penting dalam pembelajaran? Mari kita bahas lebih lanjut untuk memahami bagaimana EMC2 berperan dalam perkembangan siswa secara keseluruhan. Definisi EMC2 Sosial […]

      Okt 02, 2024
    • Part 14: Kopi Klotok Pagi hari yang cerah, secerah hati Rani dan semangat yang tinggi menyambut keseruan hari ini. Ia bersenandung dan tersenyum sambil mengiris bahan untuk membuat nasi goreng. Tante, yang berada di dekat Rani, ikut tersenyum melihat Rani yang bersenandung dengan bahagia. “Rani, kamu ada rasa tidak sama Rama? Awas, ya. Jangan suka […]

      Sep 18, 2024
    • Part 13 : Candi Borobudur Keesokan harinya Rama sibuk mencari handphone yang biasa membangunkannya untuk berolahraga disaat Rama berada di Jogja. Rama tersenyum dan semangat untuk bangun, membersihkan diri dan segera membereskan kamarnya. Tidak lupa Rama juga menggunakan pakaian yang Rapih untuk menemui Rani hari ini. Sementara Rani seperti biasa masih bermalas-malasan di dalam kamarnya […]

      Sep 07, 2024

    Latest News

    Buy Pin Up Calendar E-book On-line At Low Prices In India After the installation is complete, you’ll have the flexibility […]

    Jun 21, 2021

    Karya Nurlaili Alumni KMO Alineaku Hampir 10 bulan, Pandemi Covid -19 telah melanda dunia dengan cepat dan secara tiba-tiba. Hal […]

    Des 07, 2021

    Karya Lailatul Muniroh, S.Pd Alumni KMO Alineaku Rania akhirnya menikah juga kamu,,,  begitu kata teman2nya menggoda, Yaa,,,Rania bukan anak.yang cantik […]

    Des 07, 2021

    Karya Marsella. Mangangantung Alumni KMO Alineaku Banyak anak perempuan mengatakan bahwa sosok pria yang menjadi cinta pertama mereka adalah Ayah. […]

    Des 07, 2021

    Karya Any Mewa Alumni KMO Alineaku Bukankah sepasang sejoli memutuskan bersatu dalam ikatan pernikahan demi menciptakan damai bersama? Tetapi bagaimana […]

    Des 07, 2021