Part 4
Cinta yang Kedua
Aku tahu, kabar putus dari Diaz menyebar dengan cepat di sekolah dan pasti akan terjadi gosip dimana-mana. Aku berusaha untuk tidak terpengaruh. Aku tetap belajar bersama teman-teman se-grup seperti biasa. Sahabat-sahabatku terus menyalahkan Yani sebagai perebut pacar orang, sedangkan aku hanya tersenyum saja mendengarnya.
“Sudah, sudah. Nggak usah dibahas, percuma. Nggak akan juga balikan lagi.” kataku tenang.
Dengan cepat hatiku yang terluka sembuh, mungkin karena aku tipe extrovert dan positif, jadi tak terlalu aku masukkan ke dalam hati. Aku tetap aktif di OSIS, di kegiatan olahraga dan kesenian.
Di sekolah, kegiatan ekstrakurikuler seperti degung, angklung, kulintang dan tarian sunda aku ikuti. Menyibukkan diri, pokoknya. Beberapa kali aku ikut tampil, dengan memakai kain kebaya. Aku senang sekali memakai kebaya dan kain tradisional Sunda, rasa kecintaanku kepada kain Nusantara dimulai di titik ini, akan terbawa hingga aku dewasa kelak.
Di suatu siang, ketika selesai jam sekolah, aku bersama teman-temanku berjalan keluar sekolah, lalu Nyndia, si mak comblang, berbisik padaku.
“Psst, Tari. Ada salam dari Syailendra.”
Aku terkejut. “Haah! Ngaco ah kamu! Jangan sembarangan ngomong ya!”
Ku cubit tangan Nyndia karena kesal.
“Aduh, Tari!! Sakit!” Nyndia mengaduh.
“Ciyus… Tadi dia titip salam ke aku, terus dia bilang siang nanti dia tunggu kamu di depan sekolah.”
Halah, apalagi sih ini?! Aku bertanya-tanya dalam hati sambil penasaran juga. Syailendra ini sama dengan mantanku yang lalu, Diaz. Dia salah satu bintang di sekolahku, jago basket, jago main gitar, jago nyanyi, so pasti tampangnya cakep, hitam manis Jawa gitu. Dan matanya, aduh kalau memandang seperti menembus jantung. Tidak pernah terpikir aku bisa menjadi temannya, pun apalagi jadi pacarnya! Ah Si Nyndia ini ada-ada aja. Tapi tak urung, kata-kata Nyndia terus berulang berputar di kepalaku.
Syailendra menungguku di depan sekolah? Tak ayal jantungku berdegup keras, tangan berkeringat dingin Ah, masa iya sih?
Konsentrasiku buyar sampai-sampai aku hendak terjatuh karena ada batu kerikil terinjak yang tak terlihat. Bubaran sekolah, anak-anak berhamburan bersama seperti laron yang keluar dari sarangnya. Tiba-tiba tanganku ditarik Nyndia.
“Hei … Tuh Syailendra menunggu kamu di atas motornya.”
Ucapannya membuatku terpana sejenak, benarkah?
Kulihat Syailendra – Ndra panggilannya, melihat ke arahku sambil tersenyum. Duh, manisnya itu senyum. Tak ayal, aku pun mengangguk. Entah seperti apa tampangku, apakah aku tersenyum atau tidak. Yang pasti, aku masih gumun, benarkah Syailendra menungguku?
Ada rasa malu di depan sekian puluh bahkan ratusan pasang mata memandang ke arah kami berdua.
“Ayo aku antar pulang.” ucap Syailendra sambil mengibaskan kepalanya mengarah ke sadel belakang motor. Aku seperti robot yang menurut saja, melangkah menuju belakang sadel motor Syailendra – deg deg an, tangan dingin, ya ampun, rasanya mau pingsan. Terdengar siulan-siulan iseng dari teman-teman. Aku yakin itu teman-teman Syailendra.
“Biarin. Diemin aja.” ujar Syailendra tenang dan cuek.
Pelan tapi pasti, motor Syailendra menerobos teman-teman yang sedang berjalan pulang. Tentu saja dalam sekejab apa yang terjadi di halaman pintu depan segera menjadi pembicaraan di sekolah. Telepon di rumahku terus berdering, dari sahabat-sahabatku.
“Tari… Selamat ya. Kamu mendapatkan sang Arjuna.”
“Hebat kamu, Tari. Membuat banyak cewek yang naksir Syailendra jadi patah hati.”
“Gila lo bisa gaet Syailendra.”
Aku sendiri masih bingung, baru sekali diantar pulang, apakah sudah jadian? Ternyata, memang itu sudah tanda sah, kata mereka.
Aku tersenyum malu karena terus digodain. Entah mau marah, kesal atau malu. Biarin sajalah mereka berpendapat apa saja. Aku jadian sama Syailendra, menambah semangat untuk datang ke sekolah dan menunggu saat-saat pulang sekolah karena akan diantar pulang di depan mata teman-teman, terutama pandangan mata para siswa perempuan. Kadang-kadang kami mampir makan mie kocok atau es campur yang terkenal di Bandung. Seringkali Syailendra mau menunggu aku berkegiatan entah angklung, degung, menari dan melukis.
“Kamu pulang duluan aja Ndra, aku masih ada kegiatan ekskul. Hari ini bisa sampai sore.” aku pernah bilang begitu.
“Ngga apa-apa. Aku bisa sama teman-teman, latihan band.” jawabnya.
“Aku senang lihat aktivitas kamu, macam-macam. Kamu suka ya hal-hal berbau kesenian tradisional?”
Aku hanya mengangguk dan dalam hati aku bersyukur mendapatkan teman yang pengertian dan mendukung kegiatan-kegiatanku. Semua ini membuatku bersemangat untuk lebih rajin belajar, mengingat sebentar lagi akan ujian akhir.
Ujian Akhir
Satu bulan sebelum ujian akhir kami berenam, teman teman satu kelas semua mempergiat aktivitas belajar bersama, belajar dalam kelompok. Kami mengambil seorang tutor. Kang Iwan, namanya. Dia seorang mahasiswa ITB, sangat pandai dalam matematika, fisika, dan geometri. Seminggu tiga kali kami bimbingan belajar. Saat-saat itu aku jarang berjumpa Syailendra. Kami masing-masing berkonsentrasi belajar, agar bisa lulus.
Ada dua kali kami berjumpa dan berbicara serius tentang rencana masa depan – setelah lulus SMA.
“Kamu mau kemana setelah lulus SMA, Ndra?” tanyaku ketika kami bersama makan mie kocok di sebuah warung
“ITB.” jawabnya singkat.
“Wow, hebat, semoga bisa keterima di universitas impian kita.” kataku bersemangat.
“Kamu? Habis SMA, pindah ke Jakarta ya?” tanyanya.
“Ya, mungkin aku mau mendaftar ke FKG. Ayahku dipindah tugaskan ke Jakarta.” jawabku mengambang, seperti bisa menebak hubungan ini tak akan berlanjut.
Ujian akhir SMA telah terlaksana, dan satu bulan kami menunggu pengumuman kelulusan dengan berdebar-debar. Dan, saat pengumuman kelulusan tiba, senang sekali 100% murid- murid SMA baik jurusan PAS/PAL – jurusan Sosial maupun yang Sains pasti lulus semua.
Saat itu aku mencari dimana Syailendra, sebab aku tidak melihatnya. Aku berpikir mungkin Syailendra memang tidak ingin berjumpa denganku. Ya sudahlah, aku harus bisa menerima kenyataan ini. Begitulah hubungan kami berakhir, tanpa kata perpisahan. Walaupun terasa sedih, namun kami tahu, kehidupan kami harus terus berjalan dan tidak saling mengganggu.
Pindah ke Jakarta
Pada saat memasuki masa tenang untuk ujian akhir SMA, Ayah menyampaikan berita yang mengejutkan, menyenangkan tapi juga menyedihkan.
“Nak, Ayah dipindah ke kantor Pusat di Jakarta. Segera setelah kamu selesai ujian, kita pindah ke Jakarta.”
Ada rasa senang karena akan jadi orang Jakarta, impian banyak anak muda saat itu. Tapi, ada juga rasa sedih karena harus meninggalkan Bandung kota tercinta yang penuh dengan kenangan indah, suka dan duka dari sejak aku kecil hingga tumbuh remaja. Dan, yang lebih menyedihkan adalah aku harus meninggalkan pacarku Syailendra yang baik hati dan penuh perhatian.
Ayah dan Ibu sudah berangkat ke Jakarta, menyiapkan tempat tinggal kami selanjutnya. Sekaligus juga Ibu sibuk mencari universitas dimana aku hendak melanjutkan kuliah kelak. Aku cukup konsentrasi belajar agar bisa lulus ujian.
Setelah pengumuman kelulusan, aku hanya punya waktu satu minggu untuk berpamitan kepada sahabat-sahabatku. Dan aku titipkan salam dan pamitku ke Syailendra melalui sahabatku, Bima.
Di sore hari terakhir aku berada di Bandung, menjelang maghrib, aku menatap langit. Tampak awan lembayung jingga kemerahan, warna yang sangat meresap ke dalam kalbuku. Warna magis yang kusuka akan selalu menyertai hidupku. Terima kasih lembayung, telah menyertai masa-masa remajaku yang penuh lika-liku, suka duka, hingar bingar, hingga sunyi seperti sore ini. Lembayung perlahan berubah menjadi abu-abu dan biru malam. Rahasia di balik malam yang semakin gelap, entah apa yang terjadi esok hari. Yang pasti, esok aku akan menuju tempat baru di Jakarta.
Seminggu kemudian, aku mendapat kabar bahwa telah diadakan pesta perpisahan untuk murid-murid kelas tiga. Sedih sekali aku tidak bisa mengikuti pesta itu untuk terakhir kali bisa berjumpa dengan teman-teman SMA. Aku dengar dari teman-teman, band Syailendra manggung di malam perpisahan itu. Aku hanya menerima foto-foto dari temanku. Andai aku bisa hadir, akan kusampaikan salam perpisahan dan selamat melanjutkan kuliah kepada Syailendra. Tanpa terasa sesuatu yang hangat mengalir di pelupuk mataku. Makin deras ia mengalir. Selamat tinggal masa remaja!
Jakarta, Juli 2025
Kreator : Rita Kusriastuti
Comment Closed: Pelangi Lembayung di Masa Remaja PART 4
Sorry, comment are closed for this post.