Sore yang cerah, terlihat dua orang lelaki yang tingginya hampir sama tapi yang satu lebih kurus dibanding laki-laki yang ada di dekatnya. Mereka asyik membersihkan motor tanpa suara hanya sesekali terdengar suruhan laki-laki yang memiliki tubuh lebih lebar itu.
“Ambilkan lap, Ngga! Suruh laki-laki yang bertubuh lebar kepada laki-laki yang lebih kurus.
“Yang mana?” Tanyanya.
“Itu, yang warnanya kuning.”
“Oh…” segera ia berdiri untuk mengambil lap tersebut.
“Ini, Yah!” Kata laki-laki itu yang ternyata anaknya.
“Tolong buka kran air, lalu pasang selangnya.” Tanpa menjawab suruhan itu ia langsung melaksanakan perintah tersebut. Kira-kira satu jam pekerjaan itu sudah selesai, maka di tempatkannya motor itu di teras depan.
Seabrek tugas sekolah yang harus aku selesaikan minggu ini, kalau tidak ku mulai sekarang maka kesusahan lah yang kudapatkan. Kudekati kursi yang berada dekat meja laptop kubuka lalu kupasang internet mencoba meminta bantuan website, google menjadi pilihan pencarianku. Satu jam waktu yang kugunakan untuk mencari sumber bahan tugas-tugas sekolah, aku merasa sedikit tenang.
“Ah, tinggal memperbaiki susunan dan mengembangkan sedikit,” kataku dalam hati.
Hari Minggu yang cukup cerah, ditemani susu buatan Ibu, ku celup potongan-potongan roti kedalamnya, nikmat sekali dua potong roti telah kuhabiskan, kudengar suara Ibu menyuruhku untuk membuang sampah di depan jalan dekat pintu gerbang lorong. Sebenarnya hari ini aku ada kegiatan sekolah tapi selalu saja kemalasan lebih kuat menggodaku sehingga kuputuskan untuk tidak mengikuti kegiatan itu.
Telah aku kerjakan semua apa yang ditugaskan untukku, jam menunjukkan pukul 08.30 aku pamit kepada Ibu untuk mempergunakan internet.
“Bu, boleh pakai internetnya?”
“Boleh, ingat waktu.” kata Ibu dengan perkataan yang sama saat aku ingin membuka internet.
“Bukakan game, Mas Rangga!!!” teriak Aura dalam kamar.
“Game apa?” tanyaku lagi.
“Terserah, asal jangan game bola, perang-perangan yang sering Mas Rangga buka.” Aura mendekatiku dan menarik meja tepat berada di samping kananku.
Waktu berjalan dengan cepat tanpa terasa suhu di dalam rumah juga semakin memanas kulirik jam.
“Wow! Jam sebelas! Pantas saja tadi Ibu mengingatkan sampai tiga kali untuk mematikan laptop.” gumanku.
“Mas Rangga, Aura matikan laptopnya, sudah lama kalian menggunakannya!!” teriak Ibu dari dalam kamar mandi.
Aura sudah meninggalkan tempat duduknya beralih di depan tv menyaksikan tayangan serial kartun kesenangannya. Aku masih terpaku di tempat dudukku.
“Tanggung, Bu. Sedikit lagi.” kataku.
Tiba-tiba Ibu menepuk bahuku untuk mengingatkan bahwa penggunaan internet sudah memakan banyak biaya bulan lalu.
Segera saja kujawab, “Bu, ini bukan lagi internet sudah saya download gamenya. Tapi kuturuti juga kata Ibu dengan sedikit rasa kesal untuk mematikan laptop karena game yang kumainkan sudah menambah poin cukup banyak.
“Aaaah Bu, tolong…tolong…”
Aliran listrik menghantarkan arusnya ke seluruh tubuhku, tanganku tak dapat melepaskan kabel tersebut, aku terjatuh dan kulihat Ibu dan Ayah panik ingin menyelamatkanku.
“Cabut…cabut!”
Kesadaranku masih bagus untuk mengingatkan kedua orang tuaku untuk segera mengambil tindakan mencabut stop kontak yang terpasang di dinding. Seperti tersadar dari kepanikan, mereka secara bersamaan mencabut stop kontak yang berada di dinding tembok dekat jendela ruang tengah. Aku lemas seakan tak berdaya perasaan yang tadi membuatku tidak nyaman hilang sudah. Kudengar suara isak Ibu mengingatkan aku akan bahaya listrik. Aku sungguh kasihan betapa paniknya Ibu akibat kesalahan yang mestinya tidak kulakukan. Aku menyesal mengapa tak mendengar teguran Ibu yang menyuruhku untuk menghentikan sebentar laptop yang kugunakan.
“Lain kali hati-hati,” kata Ayahku.
“Sudah, Rangga jangan gunakan lagi laptop untuk beberapa hari. Ibu belum mengizinkan kalian menggunakannya,” lanjut Ibu seraya menyeka air matanya.
“Aku minta maaf, Bu! Semua ini salahku,” kudekati Ibu yang masih menyeka air matanya. Ku rasakan betapa sayang dan perhatiannya beliau kepadaku kendati aku telah berbuat kesalahan, sungguh aku anak yang tidak dapat berterima kasih.
“Aku menyesal Bu!” Sambil mengambil tangannya lalu kudekatkan di dahiku. Ibu mengelus pundakku tanpa sepatah kata lagi namun kurasakan cinta dan sayangnya beliau kepadaku.***
“Saat kamu melihat Ibumu, kamu sedang melihat cinta paling murni yang pernah kamu tahu.”
Kreator : Indarwati Suhariati Ningsi
Comment Closed: Pemilik Cinta Paling Murni
Sorry, comment are closed for this post.