Saat mengenalnya adalah ketika ratusan rombongan pendaki terhambat izin untuk mendaki Rinjani. Padahal operator pendakian sudah meyakinkan kami, mereka mengantongi izin resmi. Namun siapa yang menyangka bahwa pada hari itu pejabat yang bertanggungjawab pada hutan nasional hadir di lokasi. Dengan menggunakan alasan pandemi Covid-19, dia menyatakan memiliki wewenang membatasi jumlah pendaki ke jalur dan puncak gunung.
Terjadilah usaha para pendaki untuk mendapat akses pendakian segera pada hari tersebut. Salah satunya kudengar Said menelpon beberapa menteri yang memiliki wewenang ke area gunung. Percakapannya terdengar seperti gaung penting di atas pos Plawangan yang jauh dari peradaban kota besar.
Lalu, saat kami mendapat izin dari jalur berbeda aku melihat dia lagi. Kebetulan aku mendirikan tenda ternyata tak jauh dari tenda Said di Sembalun. Saat terjadi percakapannya dengan para pendaki lain, di tenda-tenda tetangganya, akupun ikut mendengar dalam alur perbincangan tersebut, sambil berkomentar dalam tenda karena kedinginan.
Said: (Sambil menatap ke arah Segara Anak) “Indah sekali, ya. Rasanya setiap kali berdiri di puncak seperti ini, aku merasa semua beban di pundakku sejenak menguap. Tapi, tetap saja… entah kenapa ada yang selalu terasa kurang.”
“Mungkin karena kau terlalu terbiasa memikul beban, Said. Dari cerita yang kau bagi, hidupmu memang penuh tanggung jawab. Mungkin inilah saatnya kau memikirkan dirimu sendiri.”
Said: (Menarik napas dalam-dalam) “Aku tak pernah merasa menyesal mengorbankan masa mudaku untuk adik-adikku. Mereka butuh aku. Tapi sekarang, ketika mereka semua sudah jadi sarjana dan punya kehidupan masing-masing, aku mulai merasa hampa. Aku merasa tertinggal.”
Teman: “Tertinggal bagaimana? Kau sukses, punya bisnis yang besar, bisa mendaki gunung kapan saja… Apa yang sebenarnya kau cari?”
Said: “Aku ingin menemukan seseorang yang bisa mendampingiku. Tapi, semakin lama rasanya semakin jauh jodoh itu. Mungkin karena aku selalu fokus pada tanggung jawab, sampai lupa bahwa aku juga berhak bahagia.”
“Kadang kita harus belajar melepaskan sebagian beban, Said. Bukannya melupakan tanggung jawab, tapi memberi ruang pada dirimu sendiri untuk menemukan kebahagiaan. Mungkin kau terlalu keras pada dirimu sendiri.”
Said: (Tersenyum pahit) “Mungkin kau benar. Aku terbiasa berpikir hidup ini adalah tugas yang harus diselesaikan, sampai lupa bagaimana menikmati hidup itu sendiri. Setiap kali aku naik ke puncak seperti ini, aku berharap bisa menemukan jawaban… tapi sejauh ini, hanya ketenangan yang kudapatkan.”
“Mungkin ketenangan itu adalah jawaban yang sedang kau cari. Mungkin ini saatnya kau menerima bahwa hidup tak melulu tentang menyelesaikan tugas, tapi juga tentang menemukan keseimbangan. Mungkin, dari keseimbangan itu, kau akan menemukan yang kau cari.”
Said: (Mengangguk pelan, sambil menatap kembali ke arah Segara Anak) “Kau mungkin benar. Aku hanya perlu belajar untuk tidak terlalu keras pada diriku sendiri. Siapa tahu, di suatu titik, aku akan menemukan kebahagiaan yang selama ini terasa jauh.”
Pendaki lain bersahutan: “Kau pasti akan menemukannya, Said. Kau hanya perlu percaya bahwa dirimu juga layak untuk berbahagia.”
Mereka terdiam sejenak, membiarkan angin pegunungan membawa pikiran mereka. Hutan Sembalun yang tenang menjadi saksi percakapan mereka, mengiringi Said yang perlahan-lahan mulai merelakan sebagian beban di hatinya.
Aku mengenang percakapan sebastian alias sebatas pendakian, di hutan Sembalun gunung Rinjani. Saat itu aku duduk sambil memandang gunung Segara Anak seperti juga Said, seorang laki-laki pengusaha muda sukses berusia 42 tahun yang belum menikah. Dia merupakan anak sulung dari 6 adik laki-laki dan 1 adik perempuan, bertanggungjawab menyekolahkan adik-adiknya menjadi sarjana. Keluarga mereka keluarga sederhana, ibunya pedagang sayur onggok (sayuran di jual bertumpukkan kecil) di pasar Palopo. Said sendiri tidak pernah mengecap bangku kuliah demi adik-adiknya.
Bagi Said hidup adalah tanggungjawab besar yang harus dipikul. Perjalanannya ke puncak-puncak gunung adalah tempatnya mencurahkan kesedihannya yang merasa lelah dan jauh dari jodoh impiannya.
Percakapanku dengan Said pengusaha muda sukses, yang meskipun memiliki kesedihan namun dia menunjukkan sisi kepercayaan diri yang tinggi bahkan suka menyombongkan diri dengan keberhasilannya sebagai pengusaha yang memiliki jaringan dekat dengan pejabat serta orang-orang berpengaruh di negeri ini.
(Sambil menatap pemandangan): “Luar biasa, Said. Tak banyak orang bisa menikmati keindahan seperti ini, apalagi dengan jadwal sesibuk waktumu.”
Said: (Tersenyum lebar, sambil memandang ke arah Segara Anak) “Ya, itulah keistimewaan menjadi sukses. Kau bisa menciptakan waktu dan kebebasan untuk diri sendiri. Tak perlu lagi terjebak dalam rutinitas yang membosankan.”
“Kau memang hebat, Said. Sejak kemarin di Pos 2 kau selalu punya bersemangat luar biasa. Bisnismu kudengar dari pembicaraan di tenda, tumbuh pesat, dan aku dengar kau juga memiliki hotline alias jaringan telepon langsung ke beberapa pejabat tinggi negeri ini?”
Said: (Dengan nada bangga) “Tentu saja. Dalam bisnis, jaringan itu segalanya. Aku punya akses langsung ke orang-orang yang memegang kendali di negeri ini. Mereka mendengar saranku, bahkan terkadang meminta pendapatku sebelum mengambil keputusan besar. Tak semua pengusaha bisa seperti itu.”
“Kedengarannya sangat mengesankan. Tapi, bukankah ada kalanya kau merasa kesepian di puncak ini, meski dikelilingi kesuksesan?” Terlihat tujuanmu dalam pendakian ini.
Said: (Menghela nafas sejenak, lalu tertawa kecil) “Kesepian? Mungkin ada, tapi bukan sesuatu yang tak bisa kuatasi. Lagipula, kesuksesan seperti ini adalah hasil dari kerja keras dan pengorbanan. Kalau ada harga yang harus dibayar, ya itu bagian dari permainan.”
“Aku kagum bagaimana kau bisa begitu tegar, meskipun banyak yang mungkin merasa kosong dalam situasimu.”
Said: “Lihat, hidup ini seperti mendaki gunung. Tidak semua orang bisa mencapai puncak, dan mereka yang berhasil, menikmati pemandangan terbaik. Aku tak akan membiarkan perasaan-perasaan kecil mengganggu kebanggaanku. Aku sudah mencapai puncak, dan aku menikmati setiap detiknya.”
(Tersenyum simpul) “Kau memang punya keyakinan yang luar biasa, Said. Tak banyak orang yang bisa dengan begitu percaya diri mengendalikan hidupnya seperti itu.”
Said: (Dengan senyum lebar) “Itulah perbedaannya. Bukan hanya tentang keyakinan, tapi tentang mengetahui nilai dirimu dan apa yang bisa kau capai. Aku tahu siapa aku dan sejauh mana aku bisa melangkah. Itulah mengapa aku ada di sini sekarang, berdiri di atas semua kesuksesan ini.”
“Mungkin kau benar. Ketenangan dan kepercayaan dirimu adalah kombinasi yang jarang ditemui. Tapi di balik semua itu, aku tetap berharap kau menemukan apa yang benar-benar kau cari, Said.”
Said: (Dengan nada sedikit serius) “Apa yang aku cari, mungkin hanya aku yang tahu. Tapi satu hal yang pasti, aku tidak akan membiarkan apapun atau siapapun meremehkanku. Dunia ini milik mereka yang berani bermimpi dan mewujudkannya.”
“Dan kau adalah salah satu dari mereka, tanpa diragukan lagi.” Mungkin kesulitan kehidupannya secara keuangan dan material sejak kecil, membuatnya sedikit pongah dengan pencapaian saat ini. Meskipun tetap terlihat, sesuatu tidak dapat mengisi kekosongan hatinya.
Ada kepuasan yang tak tergantikan saat mencapai puncak gunung yang sulit didaki, seperti kebahagiaan yang sulit didapatkan dalam hubungan asmara.
Said menatap ke arah pegunungan dengan penuh keyakinan, menikmati setiap momen dari pencapaian hidupnya, meski di dalam hatinya ada sedikit perasaan yang tak sepenuhnya terpuaskan. Namun, baginya, keberhasilan dan keyakinan adalah dua hal yang sudah cukup untuk menghadapinya hari demi hari.
Kreator : Mariza
Comment Closed: Pendakian melepas kegalauan hati di Rinjani
Sorry, comment are closed for this post.