Langit mulai kehilangan birunya, di ufuk barat lembayung senja mulai menyapa, ketika Ita bersama para anggota muda mahasiswa pecinta alam (Mapala) tiba di Latar Ombo, Pos 1 pendakian gunung Panderman. Sesuai instruksi panitia mereka beristirahat dan menurunkan ransel masing-masing. Ita melihat Alexandre Christie yang melingkar di tangannya sudah menunjukkan pukul 16.30 WIB.
“Kalian punya waktu satu jam istirahat disini, laksanakan sholat ashar, kita akan melanjutkan perjalanan setelah salat magrib. Pastikan persedian air kalian cukup, disini terakhir kita menemui sumber air!” instruksi Bayu sang ketua panitia.
“Ita, mari kubantu mengambil air di balik semak sana!” seru Arif, yang tetiba berada di samping Ita.
“Terima kasih, aku bisa ambil sendiri.” jawab Ita, yang merasa tidak nyaman, karena sejak diklat anggota muda sebulan ini Arif selalu berusaha menempel padanya.
Saat langit mulai gelap, Ita dan kawan-kawan mulai melanjutkan perjalanan melintasi semak belukar dan medan yang cukup terjal. Selama hampir 1,5 jam hanya kerlip headlamp menjadi satu-satunya penerang perjalanan mereka.
“Semua tingkatkan kewaspadaan, jaga keselamatan diri, dan saling membantu teman. Perjalanan menuju puncak masih 40 menit lagi. Jalanan terjal, kemiringan 80 derajat. Kemungkinan ada bebatuan terhempas dari pijakan teman kalian di atas. Tetaplah dalam kelompok bersama panitia pendamping!” terang Bayu.
Ita bersama teman-temannya rombongan Mapala telah sampai di puncak gunung Panderman saat jam menunjukkan pukul 20.00 WIB. Hawa dingin mulai menggigit. Mereka pun menurunkan ransel dan barang bawaan lainnya. Binar lega tampak pada raut wajah mereka yang diterangi sinar headlamp.
“Dirikan tenda kalian masing-masing. Kita mulai survival. Manfaatkan dengan sebaik-baiknya natura yang kalian bawa.!” perintah panitia pendamping.
Puluhan tenda dome telah terpasang, semilir angin malam menggoyang lembut serambi tenda. Kerlip lampu portable terpancar di depan tenda mereka. Dan mereka menggelar matras di depannya. Peralatan masak portable pun mereka siapkan. Begitu juga dengan Ita, dari tasnya dikeluarkan snack high-energy (biskuit, kacang mete, almon, oatmeal, dan telur). Jari lentiknya mulai menghidupkan kompor dan menjerang air.
“Mau masak apa Ita …?” tetiba suara memecah konsentrasinya. Ita mendongak. Bayu sudah berdiri di depannya dengan kedua tangan dalam saku celananya.
“Masak air, untuk oatmeal.” jawab Ita, sambil mengangkat panci berisi air mendidih, dan menuangkan ke mangkuk berisi oatmeal.
“Kak Bayu mau? Silakan buat sendiri ya, ini mangkuknya. Atau itu ada camilan!” ujar Ita berbasa-basi sambil mengaduk oatmeal di mangkuknya.
“Bener nih, nanti jatahmu kurang …! Terima kasih tawarannya, lain kali pasti kita makan bersama.Aku ambil biskuit ini saja ya …, lanjut makannya! Aku akan memeriksa yang lain.” kata Bayu sambil tersenyum genit.
“Tidak jelas banget …” gumam Ita, sambil mengangkat bahunya. Kemudian menyantap oatmeal hingga habis.
Kegiatan peserta malam itu telah usai. Hawa dingin Panderman makin menusuk. Semua masuk tenda. Ita pun mulai merebahkan tubuh, meringkuk di dalam sleepingbag. Karena kelelahan dia pun tertidur, walau sesekali gelisah dan mengigau menyebut nama seseorang.
Priiiittt ….!!!
“Bangun … banguun …!” teriak salah satu pendamping, dari tengah perkemahan. Di ufuk timur langit kemerahan. Waktu subuh telah lewat. Giat pagi harus dimulai. Semua berkumpul di tengah tanah lapang yang tersisa antara tenda-tenda.
“Matamu sembab Ta, habis nangis?!” sapa Arif, yang berdiri disampingnya.
Ita hanya diam. Menoleh sebentar, kemudian mulai melangkah mendekat kerumunan mahasiswa lainnya.
“Ayo … ayoo … semua senam! Regangkan tubuh kalian biar tidak kaku. Dua jam lagi kita turun!” teriak panitia yang akan memandu senam pagi itu. Suara musik pun rancak terdengar dari mini sound, semua yang hadir menggerakkan tubuhnya. Tubuh sedikit menghangat, walau peluh tak mengucur.
Mentari merah pun semakin indah di ufuk timur. Puncak Mahameru, Arjuno, dan Welirang, terlihat gagah menjulang. Sungguh anugerah Maha karya Pencipta yang luar biasa.
Ita berdiri dihadapan keindahan alam Basundara (puncak Panderman). Tetiba rasa rindu pada seseorang yang semalam mengihias mimpinya, menyelinap begitu saja di relung hati, pada cinta pertamanya. Cinta yang tak pernah menyatu walau menggebu.
“Mas Dion …, keindahan ini mengingatkanku di saat-saat kita bersama…” gumamnya sambil tersenyum. Sejurus kemudian wajahnya kembali sendu, ada sesak menyeruak dalam dada.
Pernah ada rasa cinta
Antara kita kini tinggal kenangan
Ingin kulupakan
Semua tentang dirimu
Namun tak lagi
Kan seperti dirimu oh bintangku
Jauh kau pergi meninggalkan diriku
Disini aku merindukan dirimu
Kini kucoba mencari penggantimu
Namun tak lagi
Kan seperti dirimu oh kekasih…
“Hai …! Cantik-cantik kok bengong …, jangan melamun disini nanti kesambet!” ujar Arif yang tanpa disadari telah duduk di sampingnya dengan memainkan gitar, menyanyi untuknya.
“Syair lagu tadi seperti suasana hatimu, kan Ta…?” lanjut Arif.
Ita menoleh sesaat dengan tatapan ketus, “Kemeruh…!”
“Hehehe…, segera berkemas Ta, sebentar lagi kita turun. Ayo saya bantu merapikan tendamu.” lanjut Arif, sambil mengulurkan tangannya.
Ita tak menggubris, dia mengayunkan langkah menuju tenda diikuti Arif di belakangnya. Dia segera mengemas semua barangnya dibantu Arif. Kini semua telah tertata rapi dalam tas punggung eiger-nya.
“Aku bantu Ta, tidak usah canggung, dan jangan menolak. Kalau aku tidak bisa memiliki hatimu, setidaknya kita bisa bersahabat. Dari gelagatmu aku tahu kalau hatimu sudah terpatri di lain hati ….” oceh Arif, sambil membantu mengangkat ransel Ita ke punggungnya.
“Sok tahu kamu! Kayak dukun saja ….” timpal Ita, mulai bisa menerima Arif berteman dengannya.
“Ini nanti kita turun melewati jalan yang kemarin?” tanya Ita yang jalan beriringan dengan Arif.
Arif pindah di depan Ita, “Sepertinya tidak. Ini kalau tidak salah kita lewat Oro-Oro Ombo. Nanti Bus menunggu kita di jalan Sukarno. Kita akan menikmati kuliner kota Batu, sate kelinci.”
Ita tersenyum, “Sudah seperti kak Bayu saja kamu!”
“Nguping sedikit semalam, saat ngrumpi dengan para senior … hehehe!”
“Rif, apa kamu tahu juga, kenapa gunung itu namanya Panderman?”
“Yah tahulah … masak tidak, hahaha …!”
“Jangan ngomong, nguping juga ….”
“Ya tidaklah, kan bisa googling Ta! Memangnya kamu, yang hanya ingat Mas Dion-mu … hehehe…!”
Ita menghentikan langkahnya, dan menarik tangan Arif, lalu bertanya, “Sebentar …sebentar. Kok kamu menyebut-nyebut Mas Dion?!”
Arif tersenyum, “Aku kan sakti, Ta!”
Plakk!!!
Ita memukul lengan Arif. “Serius nich, Rif …!”
“Tadi malam ada yang mewek, dan mengigau …Mas Dion … aku kangen … apa Mas Dion tidak kangen juga … hahaha ….!!”
Plakkk!!!
Ita memukul lengan Arif lagi. Wajahnya bersemu merah. “Kamu ngintip aku tidur ya…?”
“Siapa yang ngintip, mau distrap Mas Bayu apa!”
“Terus kok kamu bisa tahu?!”
“Aku keluar tenda, mau kencing … eh terdengar suara tangisan. Aku kira kuntilanak. Tidak tahunya kamu kangen Mas Dion-mu…!”
Wajah Ita kembali bersemu merah seperti tomat ceri baru mengkal. Dia tidak membantah kata-kata Arif. Cuma dalam hatinya bertanya-tanya, “apa iya, aku mengigau ….”
Tak terasa mereka sudah sampai di lembah. Angkot sudah menanti untuk membawa mereka ke warung sate kelinci yang sudah di booking oleh panitia.
Tiba di depan warung sate kelinci, wangi sate menguar membangkitkan selera. Ita mengikuti Arif mengambil tempat duduk paling pojok. Sambil menunggu menu disajikan, mereka melanjutkan obrolan.
“Rif tadi kamu belum menjawab, kenapa gunungnya dinamai Panderman.”
“Googling Ta …, googling!” seru Arif sambil menunjukkan HP ke wajah Ita.
“HP-ku habis baterai, apa susahnya sih menjawab!” sungut Ita.
Arif tidak menjawab. Dia mengotak atik HPnya …, “Nih, baca sendiri!” ujarnya sambil menyodorkan HPnya ke Ita.
Ita mengambil, dan membaca di layar HP Arif artikel dari Detiktravel:
Nama Panderman disebut diambil dari nama seorang pendaki pertama asal Belanda yakni Van Der Man. Van Der Man mengagumi keindahan gunung itu pada masanya. Dari Van Der Man, penduduk setempat menjadikannya nama Gunung Panderman.
“Silakan …, selamat menikmati!”
”Waah…, sepertinya enak banget ini!” seru Ita, matanya membola melihat dua porsi sate kelinci terhidang di hadapan mereka.
“Hemm … baunya saja sudah menggugah selera …!” timpal Arif.
“Kalian belum pernah makan sate kelinci …?!” sahut Bayu, yang tetiba duduk di hadapan mereka dengan membawa seporsi sate kelinci.
“Pernah Kak, tapi tidak seenak ini sepertinya ….” ujar Arif.
“Kalau kamu, Ta?” ucap Bayu lagi sambil menatap Ita.
Ita tersenyum simpul, dan menjawab, “Jujur ini yang pertama, Kak ….”
“Berarti tepat, saya membawa kalian kesini. Ini pasti pengalaman pertama yang akan dikenang oleh Ita …!” ucap Bayu bangga, sambil mengedip genit ke Ita.
Ita hanya mencebikkan bibirnya. Arif menjulurkan lidah. Bayu malah terkekeh.
“Sudah … sudah …, ngobrol saja, kapan makannya!” potong Arif, kemudian dengan lahapnya mulai menyantap sate kelincinya. “Hemm … enak banget Ta, kapan-kapan kita kesini lagi ya …!” cerocos Arif dengan mulut penuh sate.
Ita dengan ragu memasukkan sate ke mulutnya. Menggigit satu demi satu daging kelinci dari tusuknya. Perlahan-lahan mengunyah, seakan mulai menilai rasanya. Baru kemudian menatap Arif dan berkata, “Boleh Rif, enak banget ini. Gurih, manis, dan bumbunya pas di lidah.…”
Semua sate di piring sudah tandas. Segelas jeruk hangat pun menutup santap pagi mereka. Tetiba Bayu berdiri dan duduk disisi Ita dan berbisik, “Lain kali aku akan mengajakmu kesini lagi, berdua saja.” Kemudian beranjak pergi meninggalkan Ita yang terbengong.
“Huh, dasar playboy kampung. Masih saja modus …, hati-hati dengan dia Ta!” ujar Arif.
“Hust! Jangan buat gossip. Kena somasi nanti lho…!”
“Benar Ta, dia banyak ceweknya. Kemarin secara tidak sengaja saya dengar dia bertaruh dengan temannya, panitia juga. Kalau dalam waktu satu bulan ini bisa manggaet kamu, dia akan ditraktir makan temannya itu seminggu berturut-turut ….” jelas Arif.
“Hah …, yang benar Rif. Enak saja, memangnya saya barang apa, dibuat taruhan. Belum tahu rasanya bogem mentahku…!” geram Ita.
“Tenang saja, selagi ada Arif disampingmu dia tak akan bisa macam-macam padamu!” kata Arif sambil menepuk dadanya.
“Jangan modus juga kamu, belum tahu rasanya kena gampar kamu!”
“Percayalah, sudah tidak ada dusta diantara kita hehehe…! Jujur, siapa sih yang tidak tertarik padamu. Awalnya aku memang suka padamu. Tepatnya jatuh cinta pada pandangan pertama, saat melihat permainan bola voli di Gajayana. Tapi, rupanya hatimu sudah terkunci pada satu nama … Mas Dion, hehehe …!”
“Kamu tahu aku ….”
“Ya tahulah, kamu saja yang pakai kacamata kuda. Lurus saja tidak lihat kiri kanan.”
“Kamu suka voli juga, Rif?!” Tanya Ita, mengubah posisi duduknya menghadap Arif.
“Aku pemain bola voli juga Ta, jadwal latihanku sama denganmu karena aku juga membersamai adik.” terang Arif.
“Adikmu juga pemain voli. Cewek atau cowok?” tanya Ita, antusias.
“Cewek, toser. Dia yang selalu heboh menceritakan permainanmu. Selama jadi toser baru kali ini katanya menemukan spiker yang bisa mengeksekusi umpan bola pendeknya dengan sempurna. Dia juga mengagumi kecantikanmu ….”
“Santi, maksudmu?!”
“Benar, dia titip salam buatmu. Maaf ya, kemarin kucuri foto kamu saat di puncak Basundara, terus ku kirim ke Santi …”
Plakk!!!
Ita memukul bahu Arif, “Jahat kamu, Rif!” sungut Ita sambil melengos.
Arif terkekeh. Beberapa saat kemudian Ita menoleh lagi pada Arif, dan tetiba merampas HP-nya.
“Eeh …, main rampas HP orang. Sini balikin!” Arif berusaha merebut kembali HP-nya.
“Sebentar, saya mau lihat foto yang kamu curi.” kilah Ita.
Ita mengotak atik HP Arif, tapi layarnya terkunci. Dia menyerah. Dikembalikan lagi HP Arif. Dia memohon agar ditunjukkan fotonya.
Arif tersenyum puas, lalu membuka HPnya. Menjelajah album fotonya. Ada beberapa foto Ita dengan fose berbeda.
“Nich, kamu lihat sepuasnya. Tapi jangan dihapus ya …!” pinta Arif.
“Waah … bagus banget ya viewnya. Boleh kuminta, kirim ke HP-ku, Rif!” ujar Ita dengan mata berbinar.
“Mau kamu kirim ke Sersan Nurkholis, sang duda keren itu ya …!” goda Arif.
“Ariif … kok kamu …?!”
“Saya tahu semua tentang kamu, Ta. Sejak melihatmu pertama kali di Gajayana itu, ditambah cerita-cerita dari adikku, aku berusaha mencari tahu tentangmu ….” tutur Arif, tanpa melihat Ita.
Ita terdiam, dia tak percaya mendengar penuturan Arif.
“Kamu pasti tidak percaya kan, Ta …. Coba kamu lihat semua foto di galeri HPku?!” lanjut Arif.
Tanpa berkata, Ita langsung men-scroll foto di HP Arif. Ita melihat foto-fotonya dalam setiap momen. Saat main voli, saat Diklatsar Menwa, saat presentasi di kelas, bahkan saat berdiri di teras rumah bude nya bersama Sersan Nurkholis beberapa bulan lalu.
“Gila kamu Rif! Sudah seperti detektif saja ….” kata Ita, sambil mengembalikan HP Arif.
“Kamu yang membuat saya tergila-gila!” ujar Arif sambil terkekeh. “Tapi percayalah Ta, aku bukan tipe orang yang suka memaksakan kehendak. Bisa dekat dan bersahabat saja denganmu sudah membuatku bahagia.” lanjut Arif dengan pandangan lurus ke depan.
“Maaf ya Rif. Jujur aku tidak bisa membuka hatiku untuk orang lain.” timpal Ita.
“Santai saja Ta, gunung Panderman menjadi saksi bahwa aku akan selalu menjagamu sebagai seorang sahabat.” Ucap Arif sambil menatap puncak Panderman di kajauhan. Kemudian menatap Ita, dan mengacak rambutnya. Keduanya tersenyum kemudian bangkit keluar dari warung untuk bergabung bersama teman-temannya yang mulai masuk ke dalam bus.
Kreator : Niken Nuruwati
Part 15: Warung Kopi Klotok Sesampainya di tempat tujuan, Rama mencari tempat ternyaman untuk parkir. Bude langsung mengajak Rani dan Rama segera masuk ke warung Kopi Klotok. Rama sudah reservasi tempat terlebih dahulu karena tempat ini selalu banyak pengunjung dan saling berebut tempat yang ternyaman dan posisi view yang pas bagi pengunjung. Bude langsung memesan […]
Part 16 : Alun – Alun Kidul Keesokan paginya seperti biasa Bude sudah bangun dan melaksanakan ibadah sholat subuh. Begitupun dengan Rani yang juga melaksanakan sholat subuh. Rani langsung ke dapur setelah menunaikan ibadah sholat subuh. Tidak lama disusul oleh Bude dan langsung mengambil bahan masakan serta mengiris bahan untuk memasak. Rani dan Bude sangat […]
Dalam dunia pendidikan modern, pendekatan sosial emosional semakin banyak dibahas. Salah satu model yang mendapatkan perhatian khusus adalah **EMC2 sosial emosional**. Namun, apa sebenarnya yang dimaksud dengan Definisi EMC2 sosial emosional? Mengapa pendekatan ini penting dalam pembelajaran? Mari kita bahas lebih lanjut untuk memahami bagaimana EMC2 berperan dalam perkembangan siswa secara keseluruhan. Definisi EMC2 Sosial […]
Pancasila sebagai dasar negara Indonesia tidak lahir begitu saja. Di balik perumusan lima sila yang menjadi pondasi bangsa ini, ada pemikiran mendalam dari para tokoh pendiri bangsa, salah satunya adalah Soekarno. Pemikiran Soekarno dalam merumuskan Pancasila sebagai dasar negara menjadi salah satu tonggak penting dalam sejarah Indonesia. Lalu, apa saja pemikiran Soekarno tentang dasar negara […]
Part 14: Kopi Klotok Pagi hari yang cerah, secerah hati Rani dan semangat yang tinggi menyambut keseruan hari ini. Ia bersenandung dan tersenyum sambil mengiris bahan untuk membuat nasi goreng. Tante, yang berada di dekat Rani, ikut tersenyum melihat Rani yang bersenandung dengan bahagia. “Rani, kamu ada rasa tidak sama Rama? Awas, ya. Jangan suka […]
Buy Pin Up Calendar E-book On-line At Low Prices In India After the installation is complete, you’ll have the flexibility […]
Karya Nurlaili Alumni KMO Alineaku Hampir 10 bulan, Pandemi Covid -19 telah melanda dunia dengan cepat dan secara tiba-tiba. Hal […]
Karya Lailatul Muniroh, S.Pd Alumni KMO Alineaku Rania akhirnya menikah juga kamu,,, begitu kata teman2nya menggoda, Yaa,,,Rania bukan anak.yang cantik […]
Karya Marsella. Mangangantung Alumni KMO Alineaku Banyak anak perempuan mengatakan bahwa sosok pria yang menjadi cinta pertama mereka adalah Ayah. […]
Karya Any Mewa Alumni KMO Alineaku Bukankah sepasang sejoli memutuskan bersatu dalam ikatan pernikahan demi menciptakan damai bersama? Tetapi bagaimana […]
Comment Closed: penderman
Sorry, comment are closed for this post.