Awal tahun itu, langit seperti lupa caranya cerah. Dua hari berturut-turut, hujan turun tanpa jeda, membasahi genteng, halaman, dan segala yang diam. Udara dipenuhi bau tanah basah dan suara gemericik yang terus-menerus, seperti bisikan alam yang tak lelah. Di balik jendela rumah dinas kami yang sederhana, aku duduk memandangi titik-titik air yang jatuh dari atap, seolah mereka sedang bercerita. Aku kelas 4 SD saat itu, dan hujan masih terasa seperti teman yang menyenangkan.
Tapi teman bisa berubah menjadi ancaman. Senja itu, Bapak pulang dari Balai Pengobatan POLRI di kotaku, dengan wajah lebih murung dari biasanya. Jas hujannya masih meneteskan air saat beliau berkata pada Ibu, “Sungai besar meluap. Airnya sudah masuk ke permukiman.”
Aku belum paham benar makna kata “meluap”. Yang kutahu, rumah dinas kami berada di dataran rendah, tak jauh dari saluran air besar yang mengalir menuju sungai utama di kota ini. Kata itu akhirnya menemukan wujudnya dini hari itu, saat Ibu mengguncang tubuhku dengan lembut, “Bangun, Nduk. Air sudah masuk rumah.”
Lampu kamar menyala redup. Aku mengerjap, setengah sadar, lalu tercekat ketika menyentuh lantai yang dingin dan basah. Air itu nyata. Ia masuk diam-diam, perlahan tapi pasti. Di luar kamar, Bapak, Ibu, dan Mas Rudi sudah berjibaku sejak tengah malam. Televisi sudah dinaikkan ke dipan kecil. Lemari sudah setengah kosong. Di tempat tidur tingkat milik Mas Rudi, baju-baju ditumpuk seadanya. Banjir tak menunggu siapapun.
Aku menggenggam tangan adikku yang masih terlelap, seolah merawat seutas benang halus yang menahannya di dunia mimpi. Aku ingin membangunkannya, tetapi Ibu berbisik, “Biarkan saja dulu, biar dia tidak rewel.”
Suaranya lirih, seakan tak ingin menambah kegaduhan pada pagi yang sudah cukup kacau.
Di ruang tengah, suara percikan air terdengar setiap kali Bapak dan Mas Rudi melangkah, seperti irama perlahan dari rumah yang sedang terbangun dalam genangan. Aroma lumpur dan kayu basah memenuhi udara, menempel di dinding dan tirai seperti kenangan yang enggan pergi. Aku hanya bisa duduk di atas tempat tidur, memeluk lutut, dan terus menggenggam tangan adikku. Rasanya seperti memegang satu-satunya hal yang belum berubah.
Saat fajar menyelinap lewat celah jendela, aku melihat keluar dan tercekat. Jalanan di depan rumah telah berubah menjadi sungai dadakan. Airnya kecoklatan, mengalir malas namun pasti, menyapu pot bunga dan sandal yang hanyut pelan. Orang-orang mulai keluar rumah, berjalan perlahan sambil memanggul tas dan menggendong anak-anak, mencari tempat yang lebih tinggi.
“Bapak, apa aku dan Mas Rudi harus tetap sekolah?” tanyaku, berharap masih ada sedikit rutinitas yang tersisa.
Bapak menghela nafas, lalu menggeleng. “Sekolahmu libur. Jalanan sudah tidak bisa dilewati.”
Aku diam. Kata “libur” biasanya berarti kebebasan dan kesenangan. Tapi pagi itu, ia justru terasa seperti kehilangan.
Ibu mulai mengepak pakaian ke dalam tas besar, sementara Bapak sibuk memindahkan barang-barang berharga ke tempat yang lebih tinggi. Mas Rudi memeluk erat radio kecil kesayangannya yang selalu menemani sore-sore kami mendengarkan berita atau lagu-lagu lama. Ia menjaganya seperti menjaga nyawa kecil yang harus tetap selamat.
Di luar, air perlahan naik, membentuk garis tipis pada dinding rumah. Bapak akhirnya berkata pelan namun tegas, “Kita harus berangkat sekarang.”
Kami melangkah perlahan dalam diam. Air menyentuh pahaku, dingin dan keruh, menyembunyikan batu, ranting, atau apapun yang mungkin menghambat langkah. Aku menggenggam tangan Bapak kuat-kuat. Ia menggendong adikku di, dibungkus, sementara Mas Rudi berjalan paling belakang, memastikan tak ada yang tertinggal, sambil tetap memeluk radio itu di dadanya.
Kami menuju kantor Bapak, yang terletak sedikit lebih tinggi, tak begitu jauh dari rumah. Beberapa keluarga dari kompleks rumah dinas sudah ada yang berkumpul di sana. Teras kantor penuh dengan sandal basah, tas, dan suara pelan yang mencoba membalut rasa cemas. Di sudut ruangan, secangkir kopi mengepulkan uap tipis, aroma akrab yang menenangkan meski hanya sebentar.
Di tempat pengungsian, aku duduk meringkuk di sudut ruangan, memeluk lutut sambil memandangi lantai yang dingin dan lembab. Suara orang-orang bercampur aduk, ada anak-anak yang menangis, orang dewasa yang berbicara pelan, dan gemericik air yang masih terdengar dari luar. Kepalaku terasa penuh, tapi hatiku justru kosong. Rumah kami yang biasanya hangat kini tergenang, dan itu membuatku sedih. Tapi di tengah rasa kehilangan itu, ada satu hal yang membuatku tetap bertahan, bahwa aku masih bersama keluargaku.
Ibu duduk di sampingku, menggenggam tanganku dan tersenyum meski matanya sembab. “Yang penting kita selamat, Nduk,” katanya lembut. “Barang-barang bisa diganti, tapi nyawa tidak.”
Kalimat itu seperti selimut hangat diantara dinginnya udara dan suasana yang tak menentu. Aku mengangguk pelan, mencoba menenangkan diri.
Menjelang siang, aku melihat Ibu berbicara serius dengan Bapak. Wajah mereka tampak lelah, tapi tetap tenang. Tak lama kemudian, Ibu menghampiriku.
“Nduk, kamu dan adik ikut Ibu ke rumah sakit, ya?” katanya sambil membetulkan selendang yang menutupi adikku yang masih tertidur.
Aku menatapnya bingung. “Kenapa, Bu?”
Ibu tersenyum menenangkan. “Di sana lebih nyaman. Ibu punya kamar di ruang perawatan. Kamu bisa beristirahat dengan lebih baik.”
Aku menoleh ke arah Bapak. Beliau mengangguk pelan. “Di sini terlalu penuh. Mas Rudi tetap di sini sama Bapak, tapi kamu ikut Ibu, ya.”
Aku paham. Kantor Bapak memang sudah sesak oleh keluarga – keluarga lain yang mengungsi, dan adikku butuh tempat yang lebih tenang. Aku mengambil tasku dan menggandeng lengan Ibu. Kami berjalan menyusuri jalanan yang masih basah, melewati genangan dan daun-daun yang gugur, seperti sisa-sisa mimpi yang belum sempat dirapikan.
Sesampainya di rumah sakit, suasana terasa berbeda. Dindingnya putih terang, udara mengandung aroma obat-obatan yang tajam namun bersih. Tenaga medis berjalan cepat dengan langkah terlatih, sementara suara mesin dan percakapan tentang mengisi lorong-lorong. Rasanya seperti memasuki dunia lain, masih ada kesibukan namun lebih tertata.
Ibu membawaku ke sebuah ruangan kecil di pojokan. Di sana ada tempat tidur sempit dengan seprai putih, sebuah lemari kecil, dan jendela yang menghadap ke halaman belakang rumah sakit.
“Kamu dan adik bisa tidur di sini,” kata Ibu sambil membaringkan adikku yang masih terbungkus jaket. Beliau membelai kepalaku sebentar. “Ibu harus kembali bekerja. Tunggu di sini, jaga adik, ya. Semuanya akan baik – baik saja”
Aku mengangguk. Suaraku tidak keluar, tapi Ibu tahu aku mengerti.
Setelah Ibu pergi, aku duduk di tepi tempat tidur, kembali memeluk lututku. Dari balik jendela, aku menatap langit yang masih menangis. Tetes-tetes hujan menari di kaca, membentuk pola-pola acak seperti perasaan di dalam dadaku. Sedih, cemas, tapi juga lega.
Di tempat asing ini, aku justru merasa lebih tenang. Mungkin karena ruangan ini kering. Mungkin karena Ibu baru saja ada di sini. Atau mungkin karena aku mulai paham, bahwa rumah bukan hanya bangunan dengan tembok dan genteng, tapi tempat di mana kehadiran orang-orang yang kita cintai membuat segalanya terasa utuh.
Dari balik kaca, hujan terus turun, tak terburu-buru seperti seolah tahu bahwa beberapa luka butuh waktu untuk reda. Hujan itu seperti pengingat, bahwa segala yang tergenang hari ini, suatu saat akan surut. Bahwa rumah yang digenangi oleh air, bisa perlahan kembali dibersihkan selama masih kokoh berdiri, dan harapan itu masih tetap ada.
Aku bersandar di tembok, memandang keluar. Langit masih kelabu, tapi entah kenapa, tidak terasa seberat tadi. Mungkin karena di balik jendela dan hujan yang tak kunjung reda, aku baru mengerti satu hal penting: selama aku masih bisa menggenggam tangan Ibu, mendengar suara Bapak, dan melihat adikku terlelap dengan damai, maka rumah itu belum benar-benar hilang.
Sore harinya, langit akhirnya berhenti menangis. Awan-awan masih menggantung berat, tapi hujan reda, dan air perlahan-lahan mulai surut. Namun, rumah kami kembali dalam keadaan yang tidak lagi seperti dulu. Lantai dipenuhi lumpur tebal, perabotan basah dan kusam, dan bau air kotor menempel di udara seperti bayang-bayang yang enggan pergi.
Keesokan harinya, aku dan adik pulang dari rumah sakit. Begitu memasuki halaman rumah, aku tahu semuanya belum selesai. Bapak dan Mas Rudi sudah lebih dulu mulai kerja bakti. Bapak menyapu genangan air yang tersisa di lantai, Ibu mulai mengelap meja dan kursi dengan kain basah, sementara Mas Rudi memindahkan barang-barang ke luar agar bisa mengering di bawah sinar matahari yang malu-malu muncul di sela awan.
Aku segera berlari ke rak buku kecil di sudut ruang tamu yang selama ini menjadi tempat pelarianku. Tapi harapanku luruh saat melihat barisan buku cerita dan majalah favoritku telah berubah bentuk. Lembaran-lembaran itu menggembung, menempel satu sama lain, hancur oleh air yang diam-diam menyusup tanpa ampun. Aku memungut salah satunya, majalah bergambar yang dulu sering ku baca sebelum tidur. Tapi kertasnya rapuh. Begitu kusentuh, ia sobek.
Mataku memanas. Ada sesuatu yang tercekat di tenggorokan, tapi sebelum air mata sempat jatuh, Bapak datang menghampiri. Beliau mengusap kepalaku pelan, lalu berkata, “Tidak apa-apa, Nak. Nanti kita bisa beli lagi.”
Aku mengangguk kecil. Tapi dalam hati aku tahu, yang hilang bukan hanya buku, melainkan juga kenangan yang menempel pada tiap halamannya. Meski bisa diganti, rasanya tidak akan pernah persis sama.
Sore berikutnya, untuk pertama kalinya sejak banjir, kami tidur kembali di rumah sendiri. Kasur sudah kering, lampu sudah menyala, dan suara hujan hanya tinggal kenangan di dinding. Tapi ketenangan itu belum utuh. Setiap kali langit mulai meredup dan angin bertiup lebih dingin, aku melihat mata Ibu memandangi langit dengan cemas. Bapak pun tak banyak bicara, hanya lebih sering mengecek saluran air di depan rumah.
“Kita harus tetap waspada,” kata Ibu suatu sore, sambil menyelimutiku dan adik. “Semoga ini tidak terjadi lagi.”
Aku memandang langit yang mulai temaram, lalu memejamkan mata. Dalam diam, aku pun berdoa hal yang sama. Semoga banjir besar ini cukup menjadi cerita satu kali. Cukup menjadi kenangan yang mengajarkan kami tentang kehilangan, tentang saling menjaga, dan tentang arti rumah yang sebenarnya.
Karena sekarang aku tahu, rumah bukan sekadar tempat tinggal. Ia adalah lengan Bapak yang selalu siap melindungi, senyum Ibu yang menenangkan badai, dan genggaman tangan kakak dan adikku yang diam-diam membuatku kuat. Rumah bisa kebanjiran, bisa kotor, bisa berantakan. Tapi selama kami masih bersama, rumah itu tetap ada. Tetap utuh. Tetap menjadi tempat kita pulang.
Kreator : Indriyati Rodjan
Part 15: Warung Kopi Klotok Sesampainya di tempat tujuan, Rama mencari tempat ternyaman untuk parkir. Bude langsung mengajak Rani dan Rama segera masuk ke warung Kopi Klotok. Rama sudah reservasi tempat terlebih dahulu karena tempat ini selalu banyak pengunjung dan saling berebut tempat yang ternyaman dan posisi view yang pas bagi pengunjung. Bude langsung memesan […]
Part 16 : Alun – Alun Kidul Keesokan paginya seperti biasa Bude sudah bangun dan melaksanakan ibadah sholat subuh. Begitupun dengan Rani yang juga melaksanakan sholat subuh. Rani langsung ke dapur setelah menunaikan ibadah sholat subuh. Tidak lama disusul oleh Bude dan langsung mengambil bahan masakan serta mengiris bahan untuk memasak. Rani dan Bude sangat […]
Dalam dunia pendidikan modern, pendekatan sosial emosional semakin banyak dibahas. Salah satu model yang mendapatkan perhatian khusus adalah **EMC2 sosial emosional**. Namun, apa sebenarnya yang dimaksud dengan Definisi EMC2 sosial emosional? Mengapa pendekatan ini penting dalam pembelajaran? Mari kita bahas lebih lanjut untuk memahami bagaimana EMC2 berperan dalam perkembangan siswa secara keseluruhan. Definisi EMC2 Sosial […]
Part 14: Kopi Klotok Pagi hari yang cerah, secerah hati Rani dan semangat yang tinggi menyambut keseruan hari ini. Ia bersenandung dan tersenyum sambil mengiris bahan untuk membuat nasi goreng. Tante, yang berada di dekat Rani, ikut tersenyum melihat Rani yang bersenandung dengan bahagia. “Rani, kamu ada rasa tidak sama Rama? Awas, ya. Jangan suka […]
Part 13 : Candi Borobudur Keesokan harinya Rama sibuk mencari handphone yang biasa membangunkannya untuk berolahraga disaat Rama berada di Jogja. Rama tersenyum dan semangat untuk bangun, membersihkan diri dan segera membereskan kamarnya. Tidak lupa Rama juga menggunakan pakaian yang Rapih untuk menemui Rani hari ini. Sementara Rani seperti biasa masih bermalas-malasan di dalam kamarnya […]
Buy Pin Up Calendar E-book On-line At Low Prices In India After the installation is complete, you’ll have the flexibility […]
Karya Nurlaili Alumni KMO Alineaku Hampir 10 bulan, Pandemi Covid -19 telah melanda dunia dengan cepat dan secara tiba-tiba. Hal […]
Karya Lailatul Muniroh, S.Pd Alumni KMO Alineaku Rania akhirnya menikah juga kamu,,, begitu kata teman2nya menggoda, Yaa,,,Rania bukan anak.yang cantik […]
Karya Marsella. Mangangantung Alumni KMO Alineaku Banyak anak perempuan mengatakan bahwa sosok pria yang menjadi cinta pertama mereka adalah Ayah. […]
Karya Any Mewa Alumni KMO Alineaku Bukankah sepasang sejoli memutuskan bersatu dalam ikatan pernikahan demi menciptakan damai bersama? Tetapi bagaimana […]
Comment Closed: Pengungsian Banjir Besar
Sorry, comment are closed for this post.