KATEGORI
  • Adat & Budaya
  • Agrikultur
  • Aksi
  • Arsitektur
  • Artikel
  • Asmara
  • Autobiografi
  • autobiography
  • Bahasa & Sastra
  • Berita Alineaku
  • Bisnis
  • Branding
  • Catatan Harian
  • Cerita Anak
  • Cerita Bersambung
  • Cerita Pendek
  • Cerita Rakyat
  • Cerpen
  • Cinta
  • Cita – Cita dan Harapan
  • Dongeng
  • Drama
  • Ekonomi
  • Epos
  • Event
  • Fabel
  • Fantasi
  • Fiksi
  • Gaya Hidup
  • Hiburan
  • Hobi
  • Hubungan Antarpribadi
  • Hukum
  • Humanis
  • Humor
  • Ilmu Manajemen
  • Inspirasi
  • Istri
  • Kampus
  • Karir dan Kewirausahaan
  • Keagamaan
  • Keluarga
  • Kesehatan & Kecantikan
  • Kesehatan Mental
  • Ketenagakerjaan
  • Kisa Masa Kecil
  • Kisah Inspiratif
  • Kritik Media
  • Kuliner
  • Legenda
  • Lifestyle
  • Lingkungan Hidup
  • Madhoe Retna
  • Manajemen
  • mengelola toko
  • Mental Health
  • Moralitas
  • Motivasi
  • Novel
  • Nutrisi
  • Nutrition
  • Opini
  • Organisasi
  • Otomotif
  • Parenting
  • Pemerintahan
  • Pendidikan
  • Pendidikan Karir
  • Pendidikan Keuangan
  • pengalaman hidup
  • Pengembangan Diri
  • Perjalanan Hidup
  • Pernikahan
  • Persahabatan
  • Pertemanan
  • Petualangan
  • Petualangan Alam
  • Pilih Kategori
  • Pilih Menu
  • Politik
  • Psikologi
  • Psikologi Sosial
  • Puisi
  • Romansa
  • Romantisme kehidupan
  • Rumah Tangga
  • Satir
  • SDM
  • Sejarah
  • Self-Acceptance
  • Self-Awareness
  • Seni & Budaya
  • Sosial
  • spiritual journey
  • Strategi
  • Teknologi
  • Tempat Wisata
  • Traveling
  • Uncategorized
  • Wanita
  • Beranda » Artikel » Perginya Sang Inspirator

    Perginya Sang Inspirator

    BY 06 Des 2024 Dilihat: 156 kali
    Perginya Sang Inspirator_alineaku

    Hari ketiga, usai sholat subuh, Kakak sudah tiba di rumahku, karena semalam kami memang janjian akan pergi ke makam Mama. Embun yang berjatuhan dari sisa hujan kemarin, membuat udara sedikit dingin. Nikmat sekali rasanya menghirup udara pagi sisa hujan dan harum bau tanah. Satu dua ekor burung gereja melintas di halaman. Setelah sekian hari panas terik menghajar kulit. Hujan deras sejak subuh hingga siang kemarin seolah memberi harapan bahwa kami akan baik-baik saja.

                Hari ketiga Mama dimakamkan, Aku masih saja merasa seolah Mama ada di kamarnya, seperti pagi sebelumnya tatkala kami semua berpacu dengan mentari untuk beraktivitas pagi. Mama yang pagi-pagi sudah mandi, sudah sarapan juga akan duduk di ruang tengah melepas kami berangkat kerja, dan anak-anak berangkat ke kampus. Sesekali kakak sulungku juga mampir sebelum ke kantor untuk sekedar menjenguk, menanyakan kabar dan membawakan sesuatu buat Mama.

    Kami tahu, dengan gaji pensiun Papa dan gaji pensiunnya sendiri, Mama pasti bisa membeli apapun yang dia inginkan. Namun, oleh-oleh sederhana dari anak-anaknya selalu membuat Mama sumringah dan terus tersenyum. Yah, di usia Mama seperti saat ini, beliau tak lagi membutuhkan apapun selain 

    perhatian dan kasih sayang. Diajak ngobrol, jalan-jalan, makan di luar sambil bercanda dengan para cucu sudah membuat kesehatannya lebih baik.

    Jika dulu semasa Papa hidup kami menyediakan waktu untuk mengantar keduanya kontrol ke rumah sakit seminggu sekali, sekarang malah Mama menolak pergi ke rumah sakit dengan alasan dia tidak ada keluhan apapun, meski aku tahu alasan sebenarnya Mama selalu sedih jika harus bertemu semua suster dan mereka mengungkit ingatan Mama tentang Papa. Terakhir kali aku mengantarnya ke Rumah sakit mama menangis, dan sulit menghentikan tangisnya, karena begitu beliau muncul di pintu poli jantung langsung disambut oleh para perawat.

    ”Selamat pagi Oma, kok sendirian? Mana Opa? Biasanya selalu berdua, kan? Janggal rasanya liat Oma datang hanya Bersama anak.” Celoteh seorang suster.

    Meski salah satu perawat sudah memberi kode dengan kedipan mata tapi perawat itu tetap saja nyerocos.

    ”Opa masih di poli geriatri yah, Oma? Biasanya Opa tak mau pergi kesana sendiri, toh? Selalu selesai Oma periksa disini baru Opa minta diantar ke poli-nya.” katanya lagi sambil tersenyum.

    Aku mendorong kursi roda Mama masuk dan menghentikannya persis di samping meja tempat perawat akan mengukur tekanan darah.

    ”Opa baru seminggu meninggal, suster.” ucapku menjawab sapaan perawat tersebut, karena melihat Mama tidak menjawab dan mata Mama yang mulai berembun. Perawat yang terkejut langsung menengok ke arah Mama dengan rasa bersalah.

    ”Aduh Oma, saya minta maaf. Saya tidak tahu kalau Opa baru meninggal. Pantesan lama baru kesini lagi kontrol. Saya turut berduka cita ya, Oma.” ucapnya sembari beranjak dari kursinya dan memeluk Mama.

    ”Ingat sekali bagaimana Oma dan Opa selalu sama-sama, tidak pernah berpisah. Saya suka cerita ke suami dan bilang ke dia, kalau kita tua nanti saya mau kita berdua serupa Oma dan Opa, pasien kami yang terus setia sampai tua, Oma.”

    Mama mulai menangis mendengar kalimat perawat. Aku mengeluarkan tisu dari tas dan memberinya ke Mama. Beberapa perawat juga tertunduk sedih tak berkata apa-apa. Perawat yang tadi bicara akhirnya menyadari kalau dia sudah mengungkit kesedihan Mama. Berulang-ulang dia minta maaf, dan aku jadinya berulang juga bilang tidak apa-apa karena dia benar-benar tidak tahu menahu mengenai meninggalnya Papa. Kenangan itu menyeruak begitu saja dalam ingatanku, memang kematian Papa membuat Mama drop sekali. Kesehatannya menurun. Bahkan yang semula beliau yang mendorong kursi roda Papa sendiri, seminggu setelah kematian Papa malah beliau minta menggunakan kursi roda karena katanya kakinya lemas tidak kuat berdiri.

    Rasa haru kembali menyerbuku, kenangan Bersama beliau selalu mampu mengharu birukan hati, apalagi kepulangan Mama benar-benar beliau siapkan.

    Bagaimana tidak, ketika kami yakin bahwa Mama benar-benar telah tiada, aku meminta anakku untuk segera membeli kafan, karena rencananya Mama akan dimakamkan ba’da Dzuhur dan aku ingin besok pagi Mama sudah selesai aku mandikan. Sehingga yang datang melayat sudah menemui Mama dalam keadaan bersih dan rapi. Mereka pun bisa langsung ikut menyolatkan Mama jika kemudian tidak bisa datang lagi saat pemakaman.

    Jam 11 malam, aku mulai menggunting kafan Mama. Kesedihan datang bergelombang menyesakkan dada. Perasaan sedih yang berbeda dengan saat aku menggunting kafan sebelum-sebelumnya. Dulu, tatkala aku menggunting kafan dari jenazah yang akan aku mandikan, aku berpikir pemiliknya tengah menungguku menyelesaikan baju terakhir yang akan dipakainya. Mungkin pemiliknya sering berpakaian mahal dari boutique terkenal, lalu akhirnya baju putih tak berjahit yang akan dia kenakan digunting dan dibuat olehku yang sama sekali tak pandai menjahit bahkan memasang kancing sekalipun. Karena merasa ditunggui pemiliknya, maka aku akan mengerjakan dengan hikmat dan hati-hati.

    Saat ini, aku menggunting kafan Mama juga dengan hati-hati, bahkan dengan perasaan yang tak menentu. Mamaku tipe perempuan yang suka menggunakan baju dengan warna terang dan ramai, kegemaran ini menurun pada aku dan adikku dan menjadi candaan di antara kami. Meskipun beliau suka warna mencolok dan ramai namun beliau sama sekali tidak seperti aku dan adikku atau anak perempuan kami. Mamaku cenderung sedikit bicara, tidak seperti kami, anak dan semua cucunya yang ramai, dan kalau ketemu pasti seperti pasar atau seperti gerombolan tawon. Mama hanya akan senyum-senyum senang jika melihat kami berebut untuk bicara duluan, saling sahut menyahut jika berkisah. Tidak jarang, beliau akan terbahak hingga mengeluarkan air mata jika melihat hal-hal lucu dari tingkah pola cucunya, atau mendengar ceritaku.

    Mama juga perempuan yang menyukai sejarah. Karenanya, beliau suka sekali menyimpan berbagai barang-barang kenangan di lemarinya. Seperti kebaya pertamanya, gelang pertama ketika baru menikah, cincin yang dibeli dengan gaji pertama, dan sebagainya. Bahkan Mama masih menyimpan sertifikat juara puisiku, piagam penghargaan saat aku selesai mengikuti Batra PII. Yang semuanya membuatku kagum betapa rapinya beliau menyimpan semua dokumentasi. Foto Mama ketika gadis, foto Papa ketika baru menjadi pegawai, hingga foto mengikuti SPAMA. Aku tidak setelaten beliau. Aku cenderung menyimpan semua kenangan dalam ingatan yang kutuang dalam tulisan, hingga suatu saat bisa aku baca dan melihat kembali hal-hal yang hilang dirampas waktu.

    Mama adalah produk perempuan zaman dulu, yang diharuskan terampil mengerjakan semua pekerjaan rumah tangga, pandai menjahit, menyulam, merajut, memasak dan membuat kue. Keterampilan yang sebagian besar tidak kuwarisi. Karenanya saat aku menggunting kafannya, sedihku tak dapat kutahan karena akhirnya aku bisa membuatkan beliau baju untuk perjalanan abadinya dengan tanganku yang tak ahli, sementara dulu beliau selalu menjahitkan baju kami, dan kami sangat Bahagia jika memakai baju baru dengan warna semarak yang dijahitkan Mama.

    Selesai sholat subuh, aku mengatur semua kelengkapan mandi Mama. Sabun dan shampo, sisir, bedak dan parfumnya. Dan, meminta putriku mengambilkan potongan kain ihram papa yang akan dipakai untuk mengeringkan badan Mama setelah mandi. Yang satu potongnya lagi telah digunakan Papa saat Papa dimandikan dua tahun lalu.

    “Bunda, ternyata ada kain kafan juga di lemari Pue, diletakkan bersama kain ihram ini.” kata Chacha mengejutkan aku.

    Ya Ilahi … Aku terperangah melihat kain putih yang diambil Chacha dari lemari Mama, bahkan di dalam map yang juga tersusun bersama kain kafan, Mama juga sudah menyimpan Daftar Riwayat Hidup beliau. Berbeda dengan Papa yang memang berwasiat untuk tidak usah di bacakan daftar Riwayat Hidup-nya. Mama seolah sengaja memberi kejutan kepadaku.

     Karena ternyata Mama juga sudah menyediakan kain kafan untuk dirinya sendiri. Kapan beliau membelinya?

    Seingatku hanya beberapa hari setelah papa meninggal mama langsung mengambil alih kursi roda papa. Dan sejak itu, mama tidak bisa pindah sendiri dari kursi roda kecuali digendong. Lalu kapan beliau membeli kain kafan ini? Pastinya ketika beliau masih kuat dan masih sering pergi belanja untuk kebutuhannya. Artinya sebelum papa meninggal. Ya Ilahi, mereka berdua sudah menyiapkan kelengkapan mereka.

    Akhirnya Aku kembali menggunting kafan Mama yang sudah beliau siapkan dengan air mata berlinang, dan menyimpan kafan yang semalam sudah kugunting.

    Bahkan untuk baju abadimu, engkau sendiri yang memilih sendiri bahannya. Sungguh, mengagumkan.

    Sebelum Mama aku mandikan, aku menatap wajahnya. Wajah teduh yang tengah tidur lelap, mata dan mulutnya terkatup rapat, tapi garis senyumnya tetap terpeta dengan jelas. Perempuan yang sebagian besar waktunya habis mengurus anak dan keponakannya yang yatim.

    Mama memang bukan perempuan biasa, kesabarannya sama sekali tidak bisa ku tandingi. Aku ingat ketika masih remaja aku merajuk karena meminta dibelikan sesuatu. Tapi waktu itu Mama meminta aku bersabar karena beberapa orang sepupuku harus membayar biaya sekolah dan segala perlengkapannya.

    Aku protes keras karena merasa Mama lebih mendahulukan keponakan-keponakannya. Aku ingat, waktu itu Mama masuk ke kamarku dan duduk di tepi tempat tidurku. Aku membiarkan saja, bahkan tidur menelungkup. Mama bukan hanya membujuk tapi juga meminta maaf karena menunda mengabulkan permintaanku.

    “Nak, Mama minta maaf. Bukan Mama tidak mau membelikan apa yang kau minta. Mama hanya minta pengertianmu karena adik-adik sepupumu lebih butuh dipenuhi kebutuhan sekolahnya. Kau tahu, kalau gaji Papa dan gaji Mama rasanya lebih dari cukup untuk memenuhi semua kebutuhan kalian berempat. Tapi, bagaimana dengan sepupumu? Mama juga bertanggung jawab menjadikan mereka sama dengan orang lain. Mereka juga harus jadi manusia yang bermanfaat, paling tidak nanti ketika mereka dewasa mereka tidak menjadi beban keluarga. Bisa sekolah dan bisa bekerja untuk memenuhi kebutuhannya sendiri.” 

    Mama mengelus pundakku. Aku berbalik dan melihatMama menjelaskan dengan mata berembun.

    Seketika hatiku luruh. Apalagi mengingat anak-anak Om, saudara dari Mama yang tinggal bersama kami. Empat belas orang bersaudara dari dua Ibu. Yang ketika Om-ku meninggal, putra bungsunya baru berusia beberapa bulan. Mama memang tidak mengambil bayi tersebut, dia diambil oleh adik bungsu Mama. Tapi, beberapa orang langsung tinggal bersama kami dan menjadi seperti saudara sedarah dengan kami.

    Mama memang luar biasa. Jika aku yang ada di posisinya mungkin aku tak akan sekuat beliau. Tidak mudah membesarkan empat orang anak, ditambah pula dengan sekian orang keponakan, bahkan menampung lagi keponakan dari saudara-saudaranya yang lain termasuk beberapa orang keponakan sepupu dalam satu rumah. Tapi, Mama tidak pernah sekalipun mengeluh. Beliau bekerja sebagai pegawai dan nyambi kulakan apa saja yang bisa dijual. Semua dilakukannya dengan ikhlas tanpa mengeluh.

    Dan, jika kemudian banyak yang menangisi kepulangannya, berlumba ponakan dan cucu menyolatkan beliau, rasanya itulah balasan semua kebaikan dan kesabarannya. Banyak dari sikap dan pemikiran beliau yang membuatku kagum dan menyadari bahwa banyak hal dari beliau akhirnya menginspirasi aku dalam menapak kehidupanku. Beliau bukan hanya seorang Mama buatku tapi juga Sang Inspirator.

    Mama memang telah pergi, tapi jejak hidupnya tetap terpatri dalam ingatan sampai kapanpun. Semoga Allah swt merahmati beliau, menerima semua amal baiknya dan memberi tempat istimewa di sisi-Nya.

     

     

    Kreator : Anna Sovi Malaba

    Bagikan ke

    Comment Closed: Perginya Sang Inspirator

    Sorry, comment are closed for this post.

    Popular News

    • Part 15: Warung Kopi Klotok  Sesampainya di tempat tujuan, Rama mencari tempat ternyaman untuk parkir. Bude langsung mengajak Rani dan Rama segera masuk ke warung Kopi Klotok. Rama sudah reservasi tempat terlebih dahulu karena tempat ini selalu banyak pengunjung dan saling berebut tempat yang ternyaman dan posisi view yang pas bagi pengunjung. Bude langsung memesan […]

      Okt 01, 2024
    • Part 16 : Alun – Alun  Kidul Keesokan paginya seperti biasa Bude sudah bangun dan melaksanakan ibadah sholat subuh. Begitupun dengan Rani yang juga melaksanakan sholat subuh. Rani langsung ke dapur setelah menunaikan ibadah sholat subuh. Tidak lama disusul oleh Bude dan langsung mengambil bahan masakan serta mengiris bahan untuk memasak. Rani dan Bude sangat […]

      Okt 16, 2024
    • Dalam dunia pendidikan modern, pendekatan sosial emosional semakin banyak dibahas. Salah satu model yang mendapatkan perhatian khusus adalah **EMC2 sosial emosional**. Namun, apa sebenarnya yang dimaksud dengan Definisi EMC2 sosial emosional? Mengapa pendekatan ini penting dalam pembelajaran? Mari kita bahas lebih lanjut untuk memahami bagaimana EMC2 berperan dalam perkembangan siswa secara keseluruhan. Definisi EMC2 Sosial […]

      Okt 02, 2024
    • Part 14: Kopi Klotok Pagi hari yang cerah, secerah hati Rani dan semangat yang tinggi menyambut keseruan hari ini. Ia bersenandung dan tersenyum sambil mengiris bahan untuk membuat nasi goreng. Tante, yang berada di dekat Rani, ikut tersenyum melihat Rani yang bersenandung dengan bahagia. “Rani, kamu ada rasa tidak sama Rama? Awas, ya. Jangan suka […]

      Sep 18, 2024
    • Part 13 : Candi Borobudur Keesokan harinya Rama sibuk mencari handphone yang biasa membangunkannya untuk berolahraga disaat Rama berada di Jogja. Rama tersenyum dan semangat untuk bangun, membersihkan diri dan segera membereskan kamarnya. Tidak lupa Rama juga menggunakan pakaian yang Rapih untuk menemui Rani hari ini. Sementara Rani seperti biasa masih bermalas-malasan di dalam kamarnya […]

      Sep 07, 2024

    Latest News

    Buy Pin Up Calendar E-book On-line At Low Prices In India After the installation is complete, you’ll have the flexibility […]

    Jun 21, 2021

    Karya Nurlaili Alumni KMO Alineaku Hampir 10 bulan, Pandemi Covid -19 telah melanda dunia dengan cepat dan secara tiba-tiba. Hal […]

    Des 07, 2021

    Karya Lailatul Muniroh, S.Pd Alumni KMO Alineaku Rania akhirnya menikah juga kamu,,,  begitu kata teman2nya menggoda, Yaa,,,Rania bukan anak.yang cantik […]

    Des 07, 2021

    Karya Marsella. Mangangantung Alumni KMO Alineaku Banyak anak perempuan mengatakan bahwa sosok pria yang menjadi cinta pertama mereka adalah Ayah. […]

    Des 07, 2021

    Karya Any Mewa Alumni KMO Alineaku Bukankah sepasang sejoli memutuskan bersatu dalam ikatan pernikahan demi menciptakan damai bersama? Tetapi bagaimana […]

    Des 07, 2021