Menjadi Guru Profesional
“Permisi mbak, mau kasih SK Mutasi dimana ya” tanyaku hati-hati.
“o ya, disini bu”. Jawab mbak cantik yang ada di depanku. Dengan segera ku serahkan amplop coklat yang ada ditanganku.
“Terima kasih mbak” ucapku lirih
Pagi itu 15 Juli 2011 aku menapakkan kaki pertama di sekolah baru ku, pandanganku mengikitari ruangan seakan ingin menembus keangkuhan sekolah itu dan setelah mengucapkan terima kasih aku segera keluar. Ku tatap tajam lokasi sekolah terbesar di kota itu, ku ingin menemukan keangkuhannya. Akhirnya aku menjadi warga sekolah ini, batinku. Yah, Dulu aku pernah meminta rekomendasi di sekolah ini tapi aku malah di sarankan ke sekolah lamaku karena disini gurunya sudah cukup kata kepala sekolahnya. meski sebenarnya aku hanya iseng saja. Tapi kini aku benar-benar menjadi bagiannya, yang bahkan tak pernah ku bayangkan.
Sekolah baruku tak tampak lebih bagus hanya saja lahannya yang begitu luas menjadikannya sekolah terbesar dengan daya tampung sekitar 1.056 siswa. Aku menghela napas perlahan sambil bergumam “Bismillah”. Tak lama kemudian teman-teman sejawatku mulai berdatangan beberapa ada yang ku kenal dan yang lainnya belum, lalu kami pun saling berkenalan. Dan hari pertama berakhir dengan baik.
Hari berganti tak terasa satu tahun sudah aku bergabung di sekolah terbesar di kota itu, tak banyak halangan yang terjadi semua berjalan normal, yah, suasana baru selalu saja memberikan semangat baru, impian baru, hingga tiba saatnya aku mendapat panggilan untuk mengikuti diklat PPG (Pelatihan Profesi Guru), sebuah diklat pengakuan, aku pun bersiap untuk mengikuti diklat pengakuan tersebut yang akan dilaksanakan selama dua minggu, tapi aku harus meninggalkan seorang balita. Yah, putri kecilku baru berumur 3 tahun terpaksa ku tinggalkan bersama ayahnya demi sebuah pengakuan.
- Pagi itu aku bersiap untuk berangkat keluar kota demi mengikuti diklat profesi, tu tatap lekat putri kecilku ku peluk erat dan menciumnya sebelum akhirnya aku memasuki mobil travel. Ada rasa gelisah menyeruak pikiranku hingga dadaku sesak. Mampukah aku meninggalkan putri kecilku, dapatkan suamiku mengurus cantikku, tapi ku kuatkan hatiku demi sebuah pengakuan.
Satu hari penuh perjalanan yang ku lalui dan tibalah aku di asrama haji tempatku mengikuti diklat. hari pertama berjalan lancar begitupun hari kedua. Di hari ketiga aku mulai gelisah, pikiranku tertaut pada putri kecilku, ku raih phonecell ku, ku coba menelponnya mula-mula dia berteriak dengan gembira memanggilku sambil berlarian.. tapi tak lama kemudian dia menangis histeris membuatku semakin gundah, tak kuasa aku melihatnya menangis segera ku matikan phonecellku. Ah..rindu ini mulai menyiksaku apalagi setiap kali aku menelpon, putri kecilku menangis melihatku ,akupun semakin ingin cepat pulang.
Di hari ke sebelas mata sayuku melotot, aku tak menyangka aku akan bertemu kembali dengan dosen pembimbing skripsiku dulu. Seorang yang energik, tampan dan sangat ramah, aku menyukai sifat supelnya. Ternyata beliau juga menjadi assesor pada pelatihanku kali ini. Aku berusaha semampuku untuk dapat menyelesaikan tugas-tugasku, agar aku bisa lulus. Lima belas hari berlalu dan selesailah pelatihanku. Malam itu aku tak bisa tidur membayangkan besok kami akan segera pulang dan bertemu keluargaku aku senang sekali akhirnya aku bisa pulang. Dan aku Si Kutu Buku kini menyandang gelar “Guru Profesional”, Alhamdulillah.
Lima tahun kemudian aku di beri amanah untuk membantu Kepala Sekolah tahun pertama dan kedua berjalan lancar, tapi di tahun ketiga goncangan mulai dating, semakin hari semakin keras, ketimpangan demi ketimpangan, kesenjangan yg terlihat nyata serta kondisi yang semakin tidak kondusif membuatku semakin sesak napas. Perebutan kekuasaan, ketidak jujuran, saling fitnah menjadikanku semakin gerah, meski begitu aku tetap berusaha untuk berpikir positif. Aku memang tak suka ikut campur urusan orang apalagi dengan hal-hal yang tak jelas, namun sepertinya ketenanganku mulai di usik. Hingga suatu hari setibanya di sekolah aku terhuyung dan terjatuh di tempat duduk sebelum sampai di mejaku, tiba-tiba badanku tak bisa ku gerakkan, yah, aku lumpuh sebelah, ya Allah… bisikku lirih cobaan apa ini..batinku. lalu kurapal semua doa-doa yang ku bisa. Tak Lama kemudian tiba-tiba tanganku bisa bergerak, kucoba mengangkat tanganku, bisa… Alhamdulillah bisikku lirih, setelah istirahat sebentar aku masuk ke kelasku. Malamnya aku ke dokter dan ternyata darahku mencapai 200/120. Astagfirullah.. gumamku. Aku segera pulang dan beristirahat seperti pesan dokter tadi. Aku berusaha menenangkan pikiranku tapi tak bisa, kondisi semrawut di sekolah membuatku benar-benar gerah, aku jadi sering mengomel sendiri mengingat kondisi sekolah yang seperti kehilangan arah, belum lagi kepala sekolah yang selalu teriak-teriak tidak jelas bahkan di setiap kali rapat, benar-benar membuatku semakin tak betah. Hubunganku dengan kepala sekolah terasa semakin memburuk, aku tak mengerti alasannya, beliau seperti menjauhiku mungkin beliau tau aku kurang suka akan sikapnya yang suka teriak-teriak, berkata seenaknya dan tak jelas membuatku mulai menjaga jarak.
Juli 2018, Tiga tahun sudah aku membantu kepala sekolah dan akhirnya aku diganti. Ada rasa syukur karena akhirnya aku terbebas dari ketidak jelasan. Meski di sisi lain ada rasa kesal karena pergantianku tidak sesuai kebutuhan yang mengakibatkan beban jam mengajarku menjadi kurang, dan itu mengharuskanku untuk mencari tambahan jam mengajar di sekolah lain. Untungnya aku cukup dikenal di kota itu, karena kedisiplinan dan kejujuranku hingga akhirnya aku dapat di terima di sebuah sekolah IT yang cukup terkenal untuk memenuhi beban mengajarku. Aku memilih SMP IT untuk pemenuhan beban mengajarku agar aku bisa tetap berpikir positif.
Kreator : Sukma Wijayati
Comment Closed: PERJALANAN SI KUTU BUKU MENEMUKAN PASSIONNYA (BAB 5)
Sorry, comment are closed for this post.