Setelah beberapa jam perjalanan, akhirnya bus berhenti di tepi pantai. Begitu pintu terbuka, aroma laut langsung menyambutku lembut, asin, dan menenangkan. Angin berhembus membawa suara ombak yang memecah batu karang, seperti dzikir alam yang tak pernah berhenti.
Langit begitu biru, dan di sana, mentari seakan tersenyum, memantulkan cahaya ke permukaan air yang berkilau seperti cermin. Teman-temanku berlarian, tertawa, memotret pemandangan. Suasana begitu riuh, tapi anehnya, aku justru memilih menjauh sejenak. Hatiku masih bergemuruh oleh mimpi dan teguran yang terasa begitu nyata tadi di dalam bus.
Aku berjalan ke arah batu besar di pinggir pantai, duduk di atasnya, memandangi ombak yang datang dan pergi tanpa lelah, tanpa keluh. Setiap gulungan ombak seperti membawa pesan yang sama: “Begitulah hidup datang dan pergi, pasang dan surut. Yang penting bukan seberapa tinggi ombakmu, tapi seberapa tenang hatimu setelah badai.”
Aku menunduk.
Dalam suara desiran angin itu, aku berbicara dengan hatiku sendiri.
“Ya Allah… aku hampir tersesat karena rasa marah dan dendam. Padahal Kau telah memberiku begitu banyak nikmat. Ilmu, sahabat, kesempatan, bahkan orang tua yang Kau titipkan padaku dengan cinta yang tulus.”
Air mataku menetes pelan, jatuh di atas pasir yang lembut.
Ternyata, memaafkan tidak semudah mengucap. Tapi aku tahu, menahan amarah jauh lebih mulia di sisi Allah.
Aku teringat firman-Nya:
“Dan balasan bagi kejahatan adalah kejahatan yang serupa, tetapi barang siapa memaafkan dan berbuat baik, maka pahalanya atas (tanggungan) Allah.”
(QS. Asy-Syura: 40)
Aku menutup mata, membiarkan ayat itu berputar dalam hati.
Rasanya seperti Allah sedang berbicara langsung kepadaku melalui hembusan angin laut yang menyentuh wajahku.
Tak lama, seseorang berdiri di sampingku. Suara langkahnya pelan tapi cukup untuk membuatku menoleh. Dia teman yang selama ini sering menghina dan mempermalukanku di depan banyak orang. Wajahnya tampak berbeda kali ini tak lagi sombong seperti biasanya. Ada sedikit keraguan di matanya.
“Alisa… aku boleh duduk di sini?”
“Iya, duduk saja,” jawabku singkat.
Ia terdiam sejenak, lalu berkata lirih, “Aku mau minta maaf. Selama ini aku keterlaluan. Aku sering bicara tanpa pikir panjang. Aku malu… waktu aku dengar kamu bilang bangga punya orang tua buruh tani, aku malah menertawakanmu. Padahal aku tahu, tanpa mereka, aku pun takkan pernah belajar arti kerja keras.”
Aku terdiam.
Suara ombak di belakang kami seperti memberi jeda untuk menenangkan hati.
Seketika aku teringat mimpi tadi wajah kakek itu, kata-katanya, dan teguran lembut yang menusuk: “Kalau kamu ingin temanmu kembali, luruskan niatmu.”
Dan kini, teman itu benar-benar datang kembali. Bukan karena aku mencarinya, tapi karena Allah yang mengatur pertemuan ini. Aku menarik napas panjang.
Lalu berkata dengan suara yang tenang, “Aku sudah memaafkanmu, bahkan sebelum kamu minta maaf. Karena aku sadar, memaafkan itu bukan hadiah untuk orang lain, tapi obat untuk hati sendiri.” Temanku menunduk, matanya berkaca-kaca.
“Terima kasih, Alisa… semoga Allah membalas kebaikanmu.”
Aku tersenyum tipis. “Bukan kebaikan aku yang membalas, tapi Allah yang Maha Mengatur segalanya. Mungkin memang begini caranya Dia mengajarkan kita arti rendah hati dan sabar.”
Kami terdiam bersama, memandangi laut yang seolah berbicara dalam diam. Aku belajar sesuatu hari itu: bahwa tidak ada yang kebetulan di dunia ini. Setiap pertemuan, setiap luka, setiap air mata, semuanya sudah tertulis. Dan takdir bukanlah sesuatu yang perlu dilawan, tapi dipahami karena di baliknya selalu ada hikmah yang menunggu untuk ditemukan.
Sore mulai turun. Langit berubah jingga, dan matahari perlahan menyentuh permukaan air.
Cahaya itu menyebar ke seluruh horizon, membuat laut tampak seperti hamparan emas.
Aku tersenyum, lalu berbisik pelan:
“Ya Allah, terima kasih.
Engkau tidak hanya membawaku ke tepi laut, tapi juga ke tepi kesadaran.
Engkau ajarkan aku bahwa maaf adalah kekuatan, dan ikhlas adalah tanda bahwa hati sudah Kau tenangkan.”
Ketika bus kami berangkat kembali malam itu, aku menatap laut untuk terakhir kalinya. Ombak masih datang dan pergi, seperti kehidupan yang terus berjalan tanpa henti. Tapi kini, di dalam hatiku, sudah tidak ada gelombang lagi. Yang tersisa hanyalah ketenangan dan keyakinan bahwa setiap perjalanan, jika disertai niat yang tulus karena Allah, akan selalu mengantarkan kita pulang… bukan hanya ke rumah, tapi ke ketenangan jiwa.
Kreator : Ferayanti, S. HI.
Comment Closed: PERJALANAN YANG MENYADARKAN NIAT PART 2
Sorry, comment are closed for this post.