Di sebuah pondok pesantren di pinggiran kota Yogyakarta, hiduplah seorang santri bernama Fajar. Fajar berasal dari keluarga yang berasal dari daerah di Banyumas. Ia datang ke pesantren dengan niat yang tulus untuk menuntut ilmu dan menjadi pribadi yang lebih baik. Namun, ia tidak menyangka bahwa kehidupan di pesantren begitu keras dan penuh tantangan.
Setiap hari, Fajar harus bangun sebelum fajar. Tepat pukul tiga pagi, suara adzan dari masjid pondok membangunkannya dari tidur yang singkat. Dengan mata masih berat, ia bergegas menuju kamar mandi untuk berwudhu. Udara subuh yang dingin menusuk tulangnya, tetapi ia tak punya pilihan selain melawan rasa kantuk dan lelahnya. Setelah berwudhu, Fajar dan santri lainnya berkumpul di masjid untuk melaksanakan shalat tahajud. Suara lantunan doa dan dzikir mengisi suasana pagi yang hening.
Usai shalat tahajud, Fajar melanjutkan shalat subuh berjamaah. Setelah itu, ia dan para santri mengikuti kajian kitab kuning yang dipimpin oleh Ustadz senior di pesantren. Fajar sering kali harus menahan kantuk saat mengikuti kajian tersebut, karena malam sebelumnya ia baru bisa tidur setelah belajar hingga larut malam. Namun, ia tahu bahwa ilmu yang diajarkan Ustadz sangat berharga, sehingga ia berusaha keras untuk tetap fokus.
Setelah kajian, Fajar punya sedikit waktu untuk sarapan sederhana, biasanya hanya nasi dengan lauk seadanya. Kemudian, ia langsung menuju madrasah untuk mengikuti pelajaran formal. Di sana, ia belajar berbagai mata pelajaran, mulai dari bahasa Arab, fikih, tafsir, hingga ilmu pengetahuan umum. Jam pelajaran berlangsung hingga siang hari tanpa henti. Fajar sering kali merasa lelah dan lapar, tetapi ia tahu bahwa semua ini adalah bagian dari perjuangannya sebagai seorang santri.
Selepas madrasah, Fajar dan santri lainnya kembali ke asrama untuk istirahat sejenak dan makan siang. Namun, istirahat itu hanya berlangsung singkat, karena sore harinya mereka harus melanjutkan kegiatan lain seperti hafalan Al-Qur’an, olahraga, atau kegiatan ekstrakurikuler lainnya. Fajar, yang sedang dalam proses belajar mempelajari berbagai kitab kuning, harus menyisihkan waktu khusus mengulang dan hafalan Al-Qur’an.
Malam harinya, setelah shalat isya berjamaah, Fajar mengikuti halaqah malam, yaitu sesi belajar bersama santri lain di bawah bimbingan seorang Ustadz. Waktu terus berjalan, dan ketika malam semakin larut, Fajar kembali ke kamar asramanya untuk melanjutkan belajar mandiri. Meski tubuhnya terasa lelah dan matanya berat, ia tahu bahwa waktu belajar adalah kesempatan untuk memperdalam ilmu.
Kadang-kadang, Fajar merasa berat dengan rutinitas padat ini. Ada saat di mana ia merindukan keluarganya dan merasa ingin pulang. Ia rindu tidur nyaman di rumah, menikmati masakan ibunya, dan bermain dengan teman-temannya di desa. Namun, setiap kali perasaan itu datang, ia mengingat tujuan awalnya datang ke pondok pesantren: untuk menjadi pribadi yang berilmu dan berguna bagi umat.
Suatu hari, ketika Fajar merasa sangat lelah dan hampir putus asa, ia berbicara dengan Ustadz pembimbingnya. Sang Ustadz mendengarkan keluh kesah Fajar dengan penuh perhatian dan memberikan nasihat yang mendalam.
“Perjuanganmu di sini adalah jalan untuk membentuk dirimu, Fajar. Kesulitan yang kamu rasakan hari ini adalah cara Allah mendidikmu menjadi pribadi yang sabar dan kuat. Ingatlah, tidak ada perjuangan yang sia-sia jika niatmu ikhlas.” Ucap Ustadz menenangkan.
Kata-kata itu begitu menyentuh hati Fajar. Ia menyadari bahwa perjuangannya di pondok bukanlah sekadar rutinitas yang melelahkan, melainkan sebuah proses panjang yang akan membentuk masa depannya. Meski berat, ia kembali meneguhkan niatnya dan berjanji untuk tidak menyerah.
Hari-hari berikutnya, meskipun rutinitas tetap padat dan melelahkan, Fajar mulai melihatnya dengan perspektif yang berbeda. Ia mulai menikmati setiap sesi belajar, kajian, dan hafalan sebagai bagian dari perjalanan menuju kedewasaan. Baginya, setiap tantangan adalah ladang pahala, dan setiap lelah yang dirasakan adalah bagian dari perjuangan seorang santri yang sejati.
Fajar mengerti bahwa untuk mencapai kesuksesan, ia harus melewati proses panjang dan sulit. Dan ia berjanji pada dirinya sendiri, bahwa suatu hari nanti, ia akan menjadi orang yang membanggakan bagi keluarganya dan bermanfaat bagi banyak orang. Itulah motivasi yang membuatnya tetap kuat, meski hari-hari di pondok terasa begitu berat.
Kreator : Safitri Pramei Hastuti
Comment Closed: Perjuangan Fajar: Meniti Jalan Ilmu di Tengah Beratnya Hidup Pesantren
Sorry, comment are closed for this post.