Agustus hampir saja berakhir dengan rintikan hujan yang belum saja usai. Empat tahun yang lalu rasanya belum begitu lama, setelah diri ini resmi menjadi seorang ibu. Perjuangan di atas darah dan air mata dimana hampir merenggut nyawa demi melahirkan sang buah hati di dunia ini adalah perjuangan panjang yang akan tetap dikenang meski jiwa telah hilang dari raga.
JULY 2020
Kontraksi yang datang silih berganti membuatku harus tetap terlihat nyaman, waktu magrib di tanggal 26, darah mulai keluar dari jalan lahir. Aku ajak suami untuk pergi kebidan dengan membawa semua perlengkapan bayi, sesampai di sana ternyata pembukaan 1 telah dimulai dan akan menuju ke pembukaan dua, bidan menyarankan aku untuk balik dulu dan akan kembali pada apabila mulai pembukaan lengkap. Akhirnya aku kembali pada pukul 10 malam, dengan kontraksi yang lebih sering. Saat ku datangi bidan, beliau mengatakan agar tak usah kembali dan bisa tidur di bangsal yang telah disediakan. Hingga jam 2 subuh, kontraksi kian hebat, aku diminta berbaring kekiri untuk mempercepat pembukaan, hingga akhirnya aku pecah ketuban.
Ku pikir setelah pecah ketuban, proses kelahiran akan segera di mulai, ternyata tidak. Pembukaanku belum lengkap, aku harus menunggu 6 pembukaan lagi. Ya Allah sakit luar biasa tak bisa lagi aku gambarkan dalam tulisan ini. Aku hanya meminta doa dan doa serta keridhoan pada suami, sembari menahan sakit tapi aku tak bisa menahan tangis.
Pukul 06.00 pagi pembukaan lengkap dimulai, aku harus mengejan sekuat tenaga, agar si bayi bisa keluar, segala minuman manis aku minum agar aku tetap bertenaga, beberapa bidan telah datang bergantian bahkan ada yang bidan senior, mereka datang untuk membantuku melahirkan, tapi nihil, anak yang kukandung ini tak juga mau keluar.
Hingga pukul 11 siang aku berusaha mengejan tapi tetap saja, si bayi masih betah dalam rahim ibunya. Hingga aku kehabisan tenaga dan bidan membawaku rujuk di rumah sakit ibu dan anak yang ada di kota ini. Sampai di sana, ada 6 orang perawat dan tiga orang dokter yang membantuku kembali agar bisa mengejan dan melahirkan normal tapi ya Allah tenaga yang kupunya sudah tak ada lagi, aku pasrah , semua takdir aku serahkan padaNya, dalam keadaan lemas ku pegangi tangan dokter, dan berkata “dok, operasi saja, tak apa, kasihan anakku sudah dari semalam ketuban pecah tapi dia belum keluar, dokter kaget, mereka tidak tahu jika ketuban pecah dari malam, karena bidan yang merujuk tak memberitahukan hal itu.
Akhirnya perjuangan belum juga berakhir, aku di bawa ke ruangan operasi dengan pakaian tipis berwarna hijau seadanya. Dan disinilah semuanya aku serahkan pada Allah, sendiri tanpa ada suami ataupun kerabat di dekat, karena waktu itu virus covid 19 baru saja merebak di indonesia. di ruangan yang full Ac ini segala doa aku panjatkan, ya Allah selamatkan aku dan anakku, karena ada seorang laki-laki dengan tangisan dan doa sedang menanti diluar sana. Tepat pukul 12.59 wita, di samarinda kalimantan timur tepatnya tanggal 29 july, lahirlah seorang anak perempuan berkulit kuning langsat, dengan berat 2,9 dan panjang 4,9 yang kami beri nama, KHADIJAH SYIFA QOLBI, yang berarti seorang perempuan pejuang tangguh yang mengobati hati bagi siapa saja yang melihatnya. Tangisan pertama dia membuat rasa sakit sepanjang malam hilang seketika, seorang dokter anak langsung mendekatkan dia padaku. Untuk bisa aku cium. Ya Allah beginilah rasanya menjadi seorang ibu, tangis yang pertama adalah tangis kesakitan kali ini aku menangis terharu. Aku bahagia, putriku cantik ya Allah. Lagi dokter mengatakan agar aku jangan menangis, karena bekas caesarku sedang dijahit. Setelah itu aku anakku di bawa ke ruang perawatan anak, dan aku harus dipindahkan sementara keluar dari ruang operasi sebelum akhirnya harus dirawat dalam ruang observasi.
Bersambung….
Kreator : rifa ditanugu
Comment Closed: perjuangan Menjadi seorang ibu 1
Sorry, comment are closed for this post.