Akhir-akhir ini kata “moderasi beragama” menjadi salah satu kata yang populer di kalangan pendidik, mulai dari pendidik PAUD hingga civitas akademik. Siapa saja yang membicarakan tentang moderasi beragama seolah-olah telah menunjukkan pribadi yang moderat, toleran, menghargai orang lain, terlepas apakah memang sudah menjiwai moderasi beragama atau hanya ikut-ikutan.
Isu radikalisme (dalam beragama) disinyalir merupakan salah satu akar masalah yang mendorong munculnya istilah moderasi beragama. Radikalisme adalah pemahaman yang dimaknai sebagai sikap ekstrem yang menganggap hanya agama yang dianut sebagai agama yang paling benar, sehingga memunculkan sikap tidak toleran terhadap penganut agama lain, bahkan ada kecenderungan melakukan kekerasan dan intimidasi kepada penganut agama lain.
Apabila menelusuri sejarah berdirinya bangsa ini, sebenarnya tidak ditemukan catatan dalam sejarah adanya bukti radikalisme yang mendasari berdirinya negara Indonesia. Bahkan sesutu yang membanggakan adalah para pendiri bangsa ini terdiri dari beragam agama, beragam suku bangsa, berbagai ras, tetapi mereka bersatu padu, bersepakat membentuk negara Indonesia. Adapun pemeluk agama Islam sebagai masyarakat dengan populasi terbesar, hal itu tidak dapat dipungkiri, tetapi populasi yang besar tersebut tidak tercatat memaksakan kehendak mewujudkan negara berlandaskan agama Islam.
Salah satu bukti sikap moderat kaum muslim adalah dalam Piagam Jakarta, dimana rumusan sila pertama dari dasar negara berbunyi “Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluknya” pada tanggal 18 Agustus 1945 diubah menjadi “Ketuhanan Yang Maha Esa” adalah wujud moderasi yang memberikan ruang bagi pemeluk agama lain untuk sama-sama membangun negara Indonesia.
Apabila mendalami ajaran Islam, kita juga menemukan berbagai landasan hukum baik Al-Quran maupun Al Hadits serta catatan sejarah yang menunjukan sikap moderat sebagai sikap yang menjadi jiwa dalam beragama. Sebagai contoh dalam surat Al Baqarah: 143 dinyatakan bahwa umat Islam disebut sebagai ummatan washaton atau umat pertengahan, atau ummat moderat. Dalam ayat lain (Al Qashash: 77) Allah mengingatkan manusia agar mencari anugerah Allah berupa kebahagiaan akhirat, tetapi jangan melupakan kehidupan dunia. Dan satu ayat paling populer terkait moderasi beragama adalah Surat al Kafirun ayat 6, “Bagimu agamamu dan bagiku agamamu.

Mencermati sejarah berdirinya NKRI, mencermati sejarah dan landasan hukum Islam, maka jika mengalamatkan radikalisme kepada agama Islam tampaknya salah alamat, adapun beberapa kasus yang terjadi seperti bom Marriot, kejadian 911 atau bom bunuh diri, selain jumlah perbandingannya oknum yang melakukannya cukup kecil dibanding jumlah umat muslim di dunia, dan tidak dapat menjadi bukti sebagai ajaran agama Islam. Namun demikian api kecil apabila dibiarkan dapat menjadi lebih besar, maka memperkecil kemungkinan pemahaman yang keliru tentang ajaran Islam dapat menjadi salah satu pendorong pentingnya isu moderasi beragama.
Pertanyaannya, apakah moderasi beragama penting diajarkan sejak usia dini?
Anak usia dini mempersepsi lingkungan sesuai dengan pengalamannya. Apabila pengalaman belajar dan interaksi lingkungan cenderung menghendaki persamaan, dan tidak toleran dengan perbedaan, tentu akan membentuk pengalaman bahwa perbedaan adalah suatu bahaya, berbeda dengan orang lain adalah pengalaman yang tidak mengenakkan. Melihat orang lain berbeda menjadi masalah. Sebagai contoh, dimulai dari pembiasaan kostum yang seragam, kegiatan yang seragam, hasil kegiatan yang sama, respons guru yang mengomentari ketidak seragaman, menjadi pengalaman awal bahwa seragam itu penting, dan beragam adalah hal yang aneh dan tidak biasa.
Moderasi adalah sikap, cara berpikir, cara pandang dan tindakan yang dialami dan dirasakan, bukan sekedar materi yang perlu dihafalkan dan dinasihatkan. Lebih jauh lagi, moderasi beragama adalah tahap berikutnya yang sejalan dengan sikap moderat, cara berpikir yang terbuka, dan tindakan yang toleran, yang akan tertanam dengan baik apabila dialami dan dimulai dalam interaksi sehari-hari.
Apabila guru PAUD sudah sukses menyelenggarakan pendidikan yang berpusat pada anak, menghargai setiap perbedaan karya dan pendapat anak, memberi kesempatan kepada anak untuk menentukan kegiatannya sendiri, menuangkan karya sesuai idenya sendiri, terbiasa berbeda dalam mewujudkan suatu karya, maka dapat dipastikan secara tidak langsung itu merupakan modal awal bagi penanaman sikap moderat dalam beragama.
Sebaliknya apabila guru senantiasa menyeragamkan kegiatan, merespons negatif terhadap perbedaan (hal kecil seperti salah kostum), mengkondisikan anak agar seragam dalam cara membuat karya, menjadikan guru sebagai satu-satunya sumber atau panduan dalam berkarya, tetapi di saat yang lain menasihatkan atau menjelaskan tentang pentingnya toleransi beragama, dan menanamkan toleransi beragama sebagai suatu materi khusus, tentu tidak akan berhasil menanamkan sikap moderat dalam beragama, karena sesungguhnya ia tidak memberi pengalaman toleransi dalam kehidupan sehari-hari.
So, dari uraian di atas, perlukah moderasi beragama di satuan PAUD? What do you think?
Kreator : Iis Rodiah
Comment Closed: PERLUKAN MODERASI BERAGAMA DI PAUD?
Sorry, comment are closed for this post.