KATEGORI
  • Adat & Budaya
  • Agrikultur
  • Aksi
  • Arsitektur
  • Artikel
  • Asmara
  • Autobiografi
  • autobiography
  • Bahasa & Sastra
  • Berita Alineaku
  • Bisnis
  • Branding
  • Cerita Anak
  • Cerita Pendek
  • Cerita Rakyat
  • Cerpen
  • Cinta
  • Cita – Cita dan Harapan
  • Dongeng
  • Drama
  • Ekonomi
  • Epos
  • Event
  • Fabel
  • Fantasi
  • Fiksi
  • Gaya Hidup
  • Hiburan
  • Hobi
  • Hubungan Antarpribadi
  • Hukum
  • Humanis
  • Humor
  • Ilmu Manajemen
  • Inspirasi
  • Istri
  • Kampus
  • Karir dan Kewirausahaan
  • Keagamaan
  • Keluarga
  • Kesehatan & Kecantikan
  • Kesehatan Mental
  • Ketenagakerjaan
  • Kisa Masa Kecil
  • Kritik Media
  • Kuliner
  • Legenda
  • Lifestyle
  • Lingkungan Hidup
  • mengelola toko
  • Mental Health
  • Moralitas
  • Motivasi
  • Novel
  • Nutrisi
  • Nutrition
  • Otomotif
  • Parenting
  • Pendidikan
  • Pendidikan Karir
  • Pendidikan Keuangan
  • pengalaman hidup
  • Pengembangan Diri
  • Perjalanan Hidup
  • Pernikahan
  • Persahabatan
  • Pertemanan
  • Petualangan
  • Petualangan Alam
  • Pilih Kategori
  • Pilih Menu
  • Politik
  • Psikologi
  • Psikologi Sosial
  • Puisi
  • Romansa
  • Romantisme kehidupan
  • Rumah Tangga
  • Satir
  • Sejarah
  • Self-Acceptance
  • Self-Awareness
  • Seni & Budaya
  • Sosial
  • spiritual journey
  • Strategi
  • Teknologi
  • Tempat Wisata
  • Traveling
  • Uncategorized
  • Wanita
  • Beranda » Artikel » Permohonan Maaf

    Permohonan Maaf

    BY 15 Sep 2024 Dilihat: 19 kali
    Permohonan Maaf_alineaku

    Aku termenung sendiri setelah beres perkuliahan hari ini. Begitu enggan harus melangkahkan kaki ke tempat yang sama setiap sore, menunggu bis itu lagi. Rasanya ingin meloncat agar area itu terlewati dan tak bisa bertemu lagi dengannya.   Aku bukan pesulap yang bisa muncul dan menghilang semaunya. Aku juga bukan pewaris kantong ajaib Doraemon yang bisa meminta hal – hal mustahil lalu terwujud dalam sekejap. Bukan juga pemilik baling – baling bambu yang bisa terbang melewati jalan Cimanuk walau hanya sampai ke maktal sana. Itu semua hanya khayalan dan angan – angan di dunia boneka dan kartun saja.

    Memikirkan rasa malu yang tak ada habisnya. Entah apa yang bisa membebaskan rasa kalut di hatiku ini. 

    Aku melangkahkan kaki keluar kampus menuju Jalan Raya tanpa ditemani. Mereka bergegas pulang lebih dulu meninggalkanku yang kurang cekatan hari ini. Mereka punya acara masing – masing.

    Berdiri melangkah dengan tak pasti, berhenti di halte depan kampus. Banyak   mahasiswa yang masih duduk dan berdiri di sini tanpa tahu tujuan mereka akan kemana. 

    Angkot berwarna ungu berhenti. Dua tiga orang naik. Kemudian, angkot berwarna mocca juga ikut berhenti. Ada beberapa yang menaiki. Lalu, angkot warna sage itu lewat. Para penumpang menyerbu masuk dan hampir berebut tempat duduk. Mungkin karena Angkot satu ini datangnya lebih lambat dari angkot yang lain.  Hingga mendapat penumpang yang penuh di halte ini. 

    Teringat, jalur angkot ini berbelok ke kanan menyusuri Jalan Cimanuk. Kemudian ke kiri berbelok ke  Jalan Bank, lalu ke Jalan Pramuka, ke Kerkop dan lurus menuju  terminal. Aku baru menyadari hal itu.

    “Hmmmm …”

    “Jadi  bisa  berputar naik angkot ini dulu.” otakku mulai bereaksi.

    “Berhenti di Kerkop dan menunggu Bis di sana. Sungguh ide yang bagus dan cukup cemerlang.” Bibirku tersenyum menyeringai lalu memberhentikan angkot warna sage berikutnya dengan yakin.

    Angkot itu ku hentikan di Bundaran Kerkop, berjalan ke barat dengan sedikit menanjak, lalu memilih tempat duduk kosong di pinggir jalan itu. Melihat jam bulat di

    tanganku, ternyata sudah menunjukan pukul 17.15 WIB. 

    “Aah, sudah pasti kesorean.” gumamku.

    Beberapa Hari ini Aku punya cara menghindari toko itu dengan menaiki angkot Leles sampai ke Kerkop dan menunggu bis sebelum melewati toko tersebut.   Berhari – hari bahkan berminggu – minggu berjalan, mulus tanpa gangguan. Di hari yang kesekian, aku tak menemukan angkot sage itu, padahal sudah berdiri cukup lama. Maka ku urungkan niat menunggu karena hari semakin sore. Melangkahkan kaki perlahan dengan lesu. Menyeberangi jalan dan tiba-tiba  suara itu membuyarkan lamunanku.

    Lama tidak kesini. Dan, lelaki itu lagi.

    Baru sadar  ia  berdiri dekat dengan posisiku berdiri.

    “Oh i..iya.. Be..be..rapa hari ini Aku nggak masuk kuliah.” ucapku gagap.

    “Yakin ?!” ia balik bertanya, ada keraguan di sana.

    “Bukan menghindariku dan menunggu bis di tempat lain, kan?! “

    Pertanyaannya menohok. Kupejamkan mata. Memang benar, aku tak llihai berbohong.

    “Kenapa?! Takut Ijal ngaheureuyan Dani lagi?!” pertanyaannya membuatku semakin salah tingkah.

    “Bukan begitu, A’. ” Aku pura-pura membantah.

    Hapunteun nya, Dan.” 

    Kalimatnya itu justru membuatku semakin malu. Ada yang sakit di ujung sini. Entah mengapa.

    “Tetap di sini nunggu bisnya, ya. Jangan kemana-mana.” ucapnya seperti berharap dikabulkan.

    “Insya Allah.” jawabku pelan, dengan kepala masih menunduk.

    “Melihatmu saja, Ijal sudah bahagia, Dan.”

    Ya Allah tolong. Jangan biarkan ia berkata demikian lagi.

    “Nggak enak hati rasanya saat mendengar Dani menunggu bis di Kerkop sana.” Ia bergumam dengan lirih. Aku membisu. Tak ingin membantah lagi.  Pernyataannya sama sekali tak ada yang  salah.

    Ya Allah, siapa yang menyampaikan berita ini kepadanya. Masa iya, ada   yang memata – mataiku. Tapi, bukankah ini wilayahnya. Sangat pantas ia menguasai tempat ini. Tapi siapa yang mengetahui Itu semua dan menyampaikan kepadanya. Seberapa mengenalnya mereka terhadapku?! 

    Memang benar, pernah satu kali bertemu seorang pemuda yang suka nongkrong di warungnya, di Kerkop sana. Tapi, ia seperti biasa saja. Apa dia yang menyampaikannya? Ya  Salam.

      “Aku malu. Maaf.”  jawaban yang seharusnya lebih panjang  tapi  mulutku begitu kaku.

    “Nggak perlu begitu, Dan. Ijal gak apa-apa, kok.” 

    Aku  mengangkat kepala berusaha meliriknya malu – malu.

    “Justru aku merasa bersalah jika tiba-tiba Dani menjauh. Kita kan sahabat.” Ia berucap sambil melempar senyum. Senyum yang membahagiakan bagiku.

    Dia sudah menampakan kedewasaannya, bersikap tenang dan nampak santai mengolah emosi. Pembawaannya yang kalem itu satu hal yang belum pernah kutemui dari mantanku sebelumnya. Sikap yang luar biasa itu cerminan dari hati yang tulus dan jiwa yang pemaaf. Walau mungkin itu hanyalah bungkus untuk menutupi kekecewaannya.

    Penolakanku tidak serta merta membuatmu bersikap acuh tak acuh. Sikapmu tetap seperti itu ramah dan penuh senyum. Tingkahmu tetap terkendali. Aku begitu menghargainya dan sungguh sangat menaruh hormat padanya.

    Pemuda baik itu memang ku kagumi. Karena budi pekertinya. Karena akhlaknya yang baik. Karena perilakunya yang sopan dan taatnya beragama.

    Sungguh, aku kagum melihatnya menutup warung saat adzan berkumandang. Bergegas pergi menunaikan sholat ke masjid yang katanya tak jauh dari rumahnya itu.

    Ia begitu ikhlas menerimaku disini walaupun telah menggores hatinya terluka. Sungguh Aku harus bagaimana. Rasa malu tetap menebal di wajahku ini.

    Aku jadi teringat semasa aku duduk di bangku kelas satu SMA, ada seorang teman kakakku memberiku sepucuk surat dengan nada menyukaiku. Sebenarnya,  Aku tak mau bahkan hatiku bilang tak sreg sama sekali. Tapi karena ingin menghargainya, aku terima saja pernyataannya itu walau dengan hati tanpa rasa  sekalipun.

    Alih – alih makin menyukainya, semakin hari Aku malah semakin sebal kepadanya. Bagaimana tidak, dia datang tiap Jum’at sore saat aku libur sekolah dengan memakai baju pramuka yang sama saat menemuiku di rumah. Dia  bolos ekskul dan datang hampir tiap pekan dengan alasan yang sama. Sungguh, bukan hal yang patut di contoh tapi dia malah cuek bebek.

    Tak cukup sampai di situ. Suatu ketika dia datang membawa serta teman perempuan yang juga memakai baju pramuka. Ini  konyol  sekali, menurutku. Bisa – bisanya dia membawa teman wanitanya mengunjungi rumahku. Apa maksudnya   coba?  Ada – ada saja!

    Mereka ngobrol begitu akrab,  tangan keduanya tak bisa diam.  Saling sentuh, tak ada batasan. Sungguh, hal pertama yang membuat aku memutuskan sendiri bahwa hubungan ini harus berakhir. Di luar ekspektasi bahwa temanku dalam hubungan ini harus satu jalan satu pemahaman yaitu sama –  sama menjaga diri  dari perbuatan yang tidak dianjurkan yang diajarkan oleh orang tua dan guru di sekolahku.

    Harusnya dia bersikap manis dan baik di depanku agar perasaan yang hanya setengah hati ini bisa berangsur menerima. Harusnya sikap yang ditujukan kepadaku itu lebih elegan, bukan pecicilan yang tak perlu. Norak. Penilaianku  terhadapnya malah anjlok jungkel jempalik saat itu juga.

     

    Aku memutuskan hubunganku dengan melayangkan sebuah surat. Kutitipkan kembali pada sepupuku yang waktu itu memberikan surat cintanya itu. 

    Sepertinya kita tak cocok dan aku tak bisa nyaman bersamanya, Tulisku di dalam surat itu.

    “Tolong sampaikan surat ini kepadanya.” Aku menyerahkan surat itu kepada sepupuku. Tak ada komunikasi lagi setelah itu. Aku sudah merasa bebas.

    Di suatu siang, aku bertemu dia saat keluar dari sebuah toko buku bersama temanku, Ina. Jelas aku tak mau bertemu. Aku berjalan tiga kali lebih cepat  meninggalkannya yang terus mengejar sambil memanggil – manggil namaku dengan panggilan seperti saat Ayah Ibuku memanggil. Sangat meresahkan. 

    Aku menarik kuat tangan Ina, menyeretnya, sambil menginstruksikan untuk tidak menengok ke belakang sambil berharap ada angkot Kandang Buluh datang dan kami langsung menaikinya. Sayangnya, angkot tersebut tak kunjung datang dan langkah kakiku semakin jauh.

    Dia masih mengejarku. Dan, akhirnya aku harus berhenti dengan kesal setelah panggilan yang kesekian kalinya.

    “An.. An, tunggu! Aku mau ngomong dulu.” Nafasnya tersengal- sengal.

    “Sebentar saja.” ucapnya memelas.

    “Nggak perlu ada yang perlu dibicarakan.” ucapku ketus.

    “Ini soal yang kemarin. Dia hanya teman sekelas. Aku tak ada apa-apa dengannya. Dia cuma teman saja.”

     “Lalu?!” tanyaku menantang.

    “Hubungan kita bisa berlanjut, kan? Kita bisa jadian lagi, kan?”

    “Hah?!!” 

    Bisa – bisanya laki-laki ini begitu polos. Bikin gregetan saja.

    “Sebenarnya aku tak peduli perempuan yang kemarin itu siapa, mau temanmu, pacarmu di sekolah, atau apalagi namanya.”

    “Aku hanya tidak suka saja dengan sikapmu dan sikap dia saat di rumahku.” Aku melanjutkan ucapanku.

    “Kita tak cocok dan tak sepaham. Mumpung masih dini, lebih baik tak perlu diteruskan”

    “Jadi?” Dia menatapku tajam.

    “Sudah berakhir. Kita  bukan siapa – siapa lagi.” ucapku tegas.

    “An, tolonglah. Aku masih menginginkan hubungan ini.” dia memelas.

    ”Dasar playboy. Bisa – bisanya ia memelas.” Gumamku dalam hati.

    “Aku tak bisa. Mohon maaf.” Pendirianku keukeuh seratus delapan puluh derajat.

    Ia menyugar rambutnya berdiri kaku dengan wajah yang kecewa.

    “Assalamu‘alaikum.” Aku mengakhiri ucapanku dan melangkah pergi meninggalkannya.

    Bukan apa-apa. Saat Aku sedang berbicara di jalan dengan laki-laki dan masih memakai seragam sekolah. Bisa jadi ada guru yang lewat dan melihatnya. Jika itu terjadi, sudah pasti Aku akan berurusan dengan Guru BK di sekolah. Maka, tak ingin aku berlama-lama  berurusan dengan orang yang tak penting macam ini.

    Sebenarnya, dia cukup baik. Tipe pemuda yang humoris, supel dan tak bisa ditebak. Kadang begitu lucu dan kadang tak bisa ditolerir. Kami mungkin tak sejalan dan aku tak mungkin memaksakan diri untuk berusaha nyaman bersamanya.

    Padahal, Aku menjaganya dengan tidak menerima kakak kelasku karena alasan sedang berhubungan dengannya. Begitulah Aku, tipe yang tidak menyia- nyiakan kesempatan meskipun kesempatan yang lebih baik datang memberi harapan. Jika sikapnya bisa ku tolerir, mungkin Aku masih bersamanya cukup lama. Tapi tentang ini, maaf saja tak masuk kriteria sahabatku. Aku tak mau merepotkan diriku sendiri.

    “Dan, Jangan melamun.” 

    Aku tersentak dengan tegurannya. Aku benar – benar asyik mengingat masa lalu.

    “Oh…ya maaf.”

     Entahlah. Aku selalu kehabisan kata – kata bila bersama Ijal. Padahal ingin ku utarakan segala yang membebaniku. Sekedar membesarkan hatinya yang telah ku cabik – cabik dengan kejam. Tentu saja Aku merasakan kesedihan itu, tapi ia pintar menyembunyikannya.

    Siang malam begitu tak tenang. Rasa bersalah terus – menerus  menghantui. Semakin berusaha menjauh darinya, semakin tak mampu Aku berkutik karena alasan kita  adalah sahabat. Kata – kataku selalu tak lepas bila di depannya. Sorot matanya yang lembut itu tak kuasa ku hadapi. Takut terbuai. Takut tak mampu menolak.

    Sebulan sudah kulewati masa – masa sulit ini. Tapi hatiku tetap tak tenang. Tak biasa memang aku begini. Jadwal kuliahku yang makin sedikit dan peluang bertemu dengannya pun makin berkurang. Tetapi, tidak serta merta membuat rasa bersalah di hati ini memudar.

    Menjelang libur Ramadhan, saat menginap di Rumah Bibi di Sukaregang, Aku  kepikiran untuk menyelesaikan rasa bersalah ini dan meminta maaf yang serius pada Ijal.  Dengan menuliskan surat untuknya lagi. Memutar otak agar suratnya sampai, tapi bukan Aku yang langsung mengantarnya. Teringat sahabatku, Rita, yang masih mengurusi nilai – nilai menjelang hari libur dan masih rajin datang ke kampus, maka Aku menemuinya di rumahnya di Jalan Guntur sana, menitipkan suratku untuk disampaikan kepadanya tanpa keberatan.  

     

    Sukaregang, 14 Februari 2003

    Nepangan A Rijal di Mardhotillah

     

    Assalamu’ alaikum  Wr. Wb.

    Alhamdulillah, hanya kepada Allah – lah kita senantiasa panjatkan puji dan Syukur atas pemberiannya yang tak pernah berujung.

    Dia-lah yang pantas disembah sambil tetap memohon ampunan dan keridhaan – Nya. Hanya kepada-Nya lah kita senantiasa pasrahkan atas ketidakberdayaan kita sebagai manusia yang kadang merasa tak kuasa menghadapi peliknya kehidupan yang sarat dengan tantangan dan ujian. Semoga apa yang kita lakukan dan kita perbuat adalah bukti rasa syukur dan ketaatan kita kepada-Nya. Aamiin Ya Rabbal ‘ Aalamiin.

    A Ijal  anu dipihormat.

    Orang bilang, Empat Belas Februari adalah Hari Kasih sayang alias ‘Valentine’s Day‘. Hari untuk mengungkap yang namanya cinta untuk orang paling terkasih. Katanya.

    Ah, bagi saya Valentine’s Day atau bukan terasa sama saja, tak ada bedanya. Kasih sayang itu mesti tumbuh dimanapun, kapanpun, dan dalam situasi apapun.  Bukan hanya menunggu yang namanya Valentine’s Day yang datang setahun sekali, dimana belum tentu usia kita sampai kesana.

    Mudah – mudahan tidak menjadi dosa jika momen ini saya manfaatkan untuk meminta maaf. Mudah – mudahan tidak terlalu terlambat dan hatimu masih menerima maaf saya.

    Entahlah. Semenjak sore setelah kejadian itu (Desember 2002), rasa bersalah selalu menghantui pikiran. Saya merasa berdosa dan hari – hari saya lalui tanpa ketenangan. Bukan tak berniat meminta maafmu lebih cepat, Tetapi semakin berniat meminta maaf, semakin pula aku benar – benar tak berani. Walaupun saya takut mendapatkan pandangan negatif dan suudzon karena tak mampu memberikan penjelasan yang seharusnya saya jelaskan.

    Saya tahu jawaban sore itu kurang arif dan bijaksana. Saya yakin Aa’ pasti kecewa. Tapi, apalagi yang mesti saya jawab selain bicara apa adanya. Bagi saya kata – katamu Saat itu adalah hal yang paling mengejutkan di bulan Desember lalu. Saya benar – benar tegang, terharu, sekaligus bahagia. Kegetiran bercampur di hati Saya sore itu. Saya bingung dan tak tahu harus dimulai dari mana semua kata – kata Saya agar Engkau mampu memahami dan mengerti bahwa Saya begitu adanya tanpa sedikit pun harus melukai dan menyakiti perasaanmu.

    Saya tak ingin dibilang pengecut.. Saya juga tak berniat memamerkan apa yang belum tentu Saya miliki. Saya spontan saja saat itu, mengatakan hal pribadi Saya. Tanpa sedikit pun memiliki motivasi untuk merendahkan, menjatuhkan, sehingga keberadaanmu begitu rendah dan tak berharga di hadapan Saya.

    Kehidupan ini kulalui begitu alami. Saya tak tahu akan begini sekarang dan tak  tahu pula akan seperti apa kehidupan Saya ke depan.

    Lima tahun sudah cukup bagi Saya untuk bersabar dan setia, tetap komitmen akan janji saya. Janji bagi saya adalah hal yang paling berat dan saya harus mempertanggung jawabkan janji Saya itu dengan sebenar – benar pertanggung jawaban. 

    Saya tak ingin berlebihan dan tak ingin mengharapkan di luar kemampuan Saya. Sampai kapanpun, Saya akan menjalani kehidupan ini apa adanya sambil terus berdoa dan berusaha mendapatkan tujuan Saya. Mudah – mudahan Allah memberikan Saya yang terbaik. Dan, mudah – mudahan apa yang Saya cita – citakan adalah bagian takdir dan ketetapan Allah SWT yang telah ditetapkan sebelum Saya terlahir.

    Itulah salah satu  alasan  kenapa Saya berani menceritakan kehidupan pribadi Saya sore itu. Bukan tak mengindahkan kata – katamu atau tidak menghargaimu sebagai teman baik. Bagi Saya siapapun orangnya yang menghargai, menyayangi, menghormati, memberi perhatian sekecil apapun tak pernah ku anggap enteng dan sepele. Meskipun hanya kudapati senyum dan wajah ceria. Meski tak yakin hal mana yang membuat mereka berbuat demikian pada Saya. Tetapi, itu semua kusimpan di kepalaku paling tinggi. Tak ada kata – kata yang mampu kuungkapkan sebagai rasa terima kasih Saya yang tak terhingga untuk segala penghormatan terhadap Saya itu. Saya merasa sangat berarti dan berharga. Dan, hanya Allah yang mampu membalas segala kebaikan itu dengan sebaik – baiknya balasan.

    Bagaimanapun kita bertemu dengan  cara baik – baik. Berteman pun dengan cara baik –  baik pula. Sangat tidak diharapkan karena ada kejadian ini pertemanan kita jadi rusak. Saya yakin berteman saya lillahita’ala dan sedikit pun tak ada motivasi yang bertentangan dengan kedirian Saya.

    Saya telah bicara apa adanya. Perasaan ini terasa lega. Apapun yang Saya ceritakan di sini adalah benar – benar pernyataan nurani Saya. Tak ada yang dibuat – buat, berharap Kau mengerti dan memahami, mirip yang Saya harapkan.

    Mudah – mudahan Allah SWT selalu membimbing kita. Meluruskan jalan, menaburi perilaku kita dengan kebaikan sehingga mampu mencapai mardhotillah-Nya fiddunya wal akhirat. Aamiin.

    Jazakumullah, atas segala kesediaan untuk mendengarkan, memberi ruang saya untuk menjelaskan. Mohon maaf bila ada kata – kata yang salah. Sedikit pun tak berniat melukaimu. Jika ada, itu hanya kekhilafan saja diluar kesadaran Saya. Semoga memaklumi dan memaafkan.

     

    Wassalamu’ alaikum Wr. Wb.

    TTD

    Daniah MR

     

    NB : 

    Surat ini Saya titipkan pada Sahabatku, Rita. Karena Saya tak berani menyampaikannya sendiri! Maafkan!

     

     

    Kreator : Daniah Rijal

    Bagikan ke

    Comment Closed: Permohonan Maaf

    Sorry, comment are closed for this post.

    Popular News

    • Menurut Stephen Covey Manusia Memiliki Kebutuhan Dasar, Kecuali? a. To Live b. To Love c. To Listen d. To Leave the Legacy Jawaban: c. To Listen Menurut Stephen Covey Manusia Memiliki Kebutuhan Dasar, Berikut Pembahasannya: Stephen Covey, seorang penulis dan konsultan manajemen terkenal, dalam karya-karyanya sering membahas tentang kebutuhan dasar manusia. Dalam bukunya yang terkenal, […]

      Jun 25, 2024
    • Hari sudah menunjukkan pukul 14.30. Suasana di sekolah tempat Ustadz Hamdi mengabdikan diri sudah mulai sepi. Anak-anak sudah banyak yang pulang. Ustadz Hamdi masih duduk di meja kerjanya sambil memeriksa satu persatu tugas murid-muridnya. Saat itu tiba-tiba HP Ustadz Hamdi berdering “Kriiing, kriiing, kriiing…”  “Halo…., Assalamu alaikum !”  “Wa alaikum salam. Ini Lisa, pak Ustadz.” […]

      Jun 06, 2024
    • Aku adalah teman sekelas Sky di SMP, kami berada dikelas yang sama selama 3 tahun. Sekarang setelah masuk SMA kami berada di sekolah dan kelas yang sama. Sky selalu menjadi orang terpopuler di sekolah, Sky tinggi,  tampan, dan sangat ramah. Namun sayangnya aku merasa dia selalu dingin hanya padaku, aku bahkan tidak tau alasan dibalik […]

      Jun 10, 2024
    • Mahaga Belom Bahadat adalah bahasa Dayak Ngaju yang mempunyai makna yaitu menjaga kehidupan yang saling menghargai, menghormati serta menjunjung tinggi kehidupan Adat Istiadat maupun tradisi kearifan lokal di wilayah yang kita tempati. Era zaman sekarang ini sudah banyak sekali para generasi yang melupakan prinsif-prinsif hidup yang telah dulu ditinggalkan para leluhur(nenek moyang) kita, padahal banyak […]

      Jun 02, 2024
    • Part 13 : Candi Borobudur Keesokan harinya Rama sibuk mencari handphone yang biasa membangunkannya untuk berolahraga disaat Rama berada di Jogja. Rama tersenyum dan semangat untuk bangun, membersihkan diri dan segera membereskan kamarnya. Tidak lupa Rama juga menggunakan pakaian yang Rapih untuk menemui Rani hari ini. Sementara Rani seperti biasa masih bermalas-malasan di dalam kamarnya […]

      Sep 07, 2024

    Latest News

    Buy Pin Up Calendar E-book On-line At Low Prices In India After the installation is complete, you’ll have the flexibility […]

    Jun 21, 2021

    Karya Nurlaili Alumni KMO Alineaku Hampir 10 bulan, Pandemi Covid -19 telah melanda dunia dengan cepat dan secara tiba-tiba. Hal […]

    Des 07, 2021

    Karya Lailatul Muniroh, S.Pd Alumni KMO Alineaku Rania akhirnya menikah juga kamu,,,  begitu kata teman2nya menggoda, Yaa,,,Rania bukan anak.yang cantik […]

    Des 07, 2021

    Karya Marsella. Mangangantung Alumni KMO Alineaku Banyak anak perempuan mengatakan bahwa sosok pria yang menjadi cinta pertama mereka adalah Ayah. […]

    Des 07, 2021

    Karya Any Mewa Alumni KMO Alineaku Bukankah sepasang sejoli memutuskan bersatu dalam ikatan pernikahan demi menciptakan damai bersama? Tetapi bagaimana […]

    Des 07, 2021