Selama hidupku di dunia, tradisi maupun pelaksanaan kegiatan pernikahan yang pernah kuhadiri hanyalah pernikahan di pulau Jawa, dimana biasanya menggunakan adat Jawa atau Sunda dengan tata cara agama Islam karena mayoritas lingkungan tempatku tinggal di pulau Jawa beragama muslim. Biasanya pernikahan hanya berlangsung sehari atau dua hari yang diisi dengan akad nikah serta walimah ursy atau yang biasa disebut dengan resepsi pernikahan. Maka dari itu, ketika aku hidup di Nias Barat, aku menemukan pembelajaran baru dari tradisi-tradisi pernikahan di Nias Barat yang berbeda dari tradisi pernikahan yang biasanya kutemukan di pulau Jawa.
Di Nias Barat, hubungan antara laki-laki dan perempuan diatur dengan penuh kehati-hatian, mencerminkan perpaduan antara nilai religius dan adat yang kuat. Tidak hanya karena ajaran agama yang dianut mayoritas masyarakat, tetapi juga karena budaya lokal yang menjunjung tinggi penghormatan terhadap peran dan martabat masing-masing gender. Dalam kehidupan sosial, perempuan cukup dijaga dalam perilaku dan pergaulan, serta dipastikan keselamatannya di tengah komunitas. Praktik perjodohan oleh keluarga masih menjadi jalur umum dalam membentuk pernikahan, dengan tujuan menjaga keharmonisan hubungan antar keluarga dan mempertahankan nilai-nilai tradisional. Namun, seiring dengan perkembangan zaman dan pengaruh budaya luar, ada juga pasangan muda yang memilih membangun hubungan melalui proses pacaran.
Dalam tradisi masyarakat Nias Barat, sebelum pernikahan dilangsungkan, laki-laki diwajibkan memberikan uang jujuran kepada keluarga perempuan sebagai bentuk penghormatan dan simbol tanggung jawab. Besaran uang jujuran ini ditentukan berdasarkan status sosial dan tingkat pendidikan perempuan; semakin tinggi kedudukan sosial dan pendidikan yang dimiliki calon mempelai wanita, maka semakin besar pula nilai jujuran yang harus dipersiapkan. Uang jujuran tidak hanya berupa uang tunai, tetapi juga mencakup beras dan babi, yang semuanya memiliki nilai adat dan simbolik dalam kehidupan masyarakat setempat.
Prosesi pernikahan di Nias Barat umumnya berlangsung selama tiga hari penuh, mencerminkan pentingnya peristiwa ini dalam kehidupan komunitas. Hari pertama diisi dengan pemberkatan pernikahan di gereja, menandai kesakralan ikatan pernikahan di hadapan Tuhan dan jemaat. Pada hari kedua, upacara dilanjutkan di rumah mempelai wanita, di mana adat istiadat dan seremonial keluarga besar dilaksanakan, termasuk penyerahan jujuran secara resmi.
Pada hari kedua prosesi pernikahan di Nias Barat, terdapat tradisi khas yang sarat makna, yaitu “mamahea ni’owalu”. Dalam tradisi ini, pengantin perempuan dipandu dan diangkat keluar dari kamarnya oleh paman atau saudara-saudara laki-laki dari pihak keluarga perempuan. Pengangkatan ini dilakukan menggunakan kursi yang telah diikat erat dengan batang bambu. Tradisi ini melambangkan penghormatan kepada perempuan dalam keluarga, sekaligus menunjukkan bahwa ia dilepaskan dengan penuh perlindungan dari keluarganya kepada keluarga mempelai pria.
Masih di hari yang sama, digelar pula “tari maena”, sebuah tarian tradisional Nias yang penuh semangat dan kebersamaan. Tari ini dipentaskan untuk menyambut keluarga besar dari mempelai laki-laki yang datang ke rumah mempelai perempuan. Dengan gerakan berulang, lagu-lagu syair tradisional, serta iringan musik dan gong, suasana menjadi penuh sukacita dan penghormatan. Tari maena tidak hanya sekadar hiburan, tetapi juga menjadi bentuk penerimaan, doa restu, serta ikatan emosional antara dua keluarga yang akan bersatu. Seluruh rangkaian acara ini memperlihatkan betapa kuatnya nilai adat dan kekeluargaan dalam tradisi pernikahan masyarakat Nias Barat.
Hari ketiga dirayakan di rumah mempelai pria, sebagai tanda penerimaan mempelai wanita ke dalam keluarga baru. Sesampainya di rumah pihak laki-laki, pengantin perempuan disambut dengan penuh sukacita melalui upacara adat dan serangkaian simbol penghormatan. Keluarga laki-laki biasanya mengadakan acara makan bersama atau pesta adat yang melibatkan seluruh keluarga besar dan masyarakat sekitar. Pada kesempatan ini, berbagai ungkapan rasa syukur, doa berkat, serta pesan moral dan nasihat kehidupan rumah tangga disampaikan oleh para tetua adat. Rangkaian tiga hari pernikahan bukan hanya seremoni, melainkan juga cerminan penghormatan terhadap keluarga, leluhur, dan nilai luhur masyarakat Nias Barat.
Salah satu hal yang aku kagumi dari masyarakat disana, khususnya masyarakat di desaku, adalah bagaimana upaya mereka dalam menghormati tamu yang beragama Islam. Karena disana kebanyakan jamuan acara besar terbuat dari daging babi, mereka biasanya menyiapkan jamuan tersendiri untuk orang-orang yang beragama Islam. “Ini ya Bu, lauk ayam untuk Ibu”, merupakan kalimat yang sering ku dengar ketika aku datang ke acara-acara besar selama berada di Nias Barat. Seringkali aku merasa terharu karena merasa diperhatikan dan dihormati oleh mereka. Mungkin pembelajaran tentang penghormatan pada tamu adalah hal yang berharga yang akan aku aplikasikan dalam hidupku.
Kreator : Fadiya Dina H
Comment Closed: Pernikahan di Nias Barat
Sorry, comment are closed for this post.