KATEGORI
  • Adat & Budaya
  • Agrikultur
  • Aksi
  • Arsitektur
  • Artikel
  • Asmara
  • Autobiografi
  • autobiography
  • Bahasa & Sastra
  • Berita Alineaku
  • Bisnis
  • Branding
  • Catatan Harian
  • Cerita Anak
  • Cerita Bersambung
  • Cerita Pendek
  • Cerita Rakyat
  • Cerpen
  • Cinta
  • Cita – Cita dan Harapan
  • Dongeng
  • Drama
  • Ekonomi
  • Epos
  • Event
  • Fabel
  • Fantasi
  • Fiksi
  • Gaya Hidup
  • Hiburan
  • Hobi
  • Hubungan Antarpribadi
  • Hukum
  • Humanis
  • Humor
  • Ilmu Manajemen
  • Inspirasi
  • Istri
  • Kampus
  • Karir dan Kewirausahaan
  • Keagamaan
  • Keluarga
  • Kesehatan & Kecantikan
  • Kesehatan Mental
  • Ketenagakerjaan
  • Kisa Masa Kecil
  • Kisah Inspiratif
  • Kritik Media
  • Kuliner
  • Legenda
  • Lifestyle
  • Lingkungan Hidup
  • Madhoe Retna
  • Manajemen
  • mengelola toko
  • Mental Health
  • Moralitas
  • Motivasi
  • Novel
  • Nutrisi
  • Nutrition
  • Opini
  • Organisasi
  • Otomotif
  • Parenting
  • Pemerintahan
  • Pendidikan
  • Pendidikan Karir
  • Pendidikan Keuangan
  • pengalaman hidup
  • Pengembangan Diri
  • Perjalanan Hidup
  • Pernikahan
  • Persahabatan
  • Pertemanan
  • Petualangan
  • Petualangan Alam
  • Pilih Kategori
  • Pilih Menu
  • Politik
  • Psikologi
  • Psikologi Sosial
  • Puisi
  • Romansa
  • Romantisme kehidupan
  • Rumah Tangga
  • Satir
  • SDM
  • Sejarah
  • Self-Acceptance
  • Self-Awareness
  • Seni & Budaya
  • Sosial
  • spiritual journey
  • Strategi
  • Teknologi
  • Tempat Wisata
  • Traveling
  • Uncategorized
  • Wanita
  • Beranda » Artikel » Pertemuan Dua Dunia

    Pertemuan Dua Dunia

    BY 25 Des 2024 Dilihat: 109 kali
    Pertemuan Dua Dunia_alineaku

    Angin malam menerpa wajahku saat aku berdiri di beranda, membawa serta aroma tanah basah yang tersisa setelah hujan sore tadi. Langit yang gelap dihiasi bintang-bintang yang berserakan, berkilauan lemah di balik selimut tipis kabut. Aroma melati dari taman kecil di depan rumah bercampur dengan bau kayu tua dari tiang beranda yang mulai lapuk, menciptakan perpaduan yang anehnya menenangkan. Keheningan malam hanya dipecahkan oleh suara jangkrik dan gemerisik dedaunan yang tergerak oleh angin. Semua terasa begitu damai di luar, tetapi pikiranku bergolak tak henti-hentinya. Hari itu penuh kejadian, dan sesak di dadaku bertahan sejak siang. Aku meremas jemariku sendiri, mencoba menenangkan kegelisahan yang tak juga surut.

    Pintu beranda berderit pelan, dan Cleo muncul dengan cangkir teh di tangan. Dia meletakkan cangkir itu di meja kecil di sampingku tanpa berkata apa-apa. Cleo selalu tahu kapan harus bicara dan kapan harus diam, dan malam ini, aku menghargai kehadirannya lebih dari biasanya.

    “Kamu tahu, Mo,” Cleo memulai dengan suara rendah. 

    “Kadang kita harus berhenti cari jawaban sempurna. Nggak semua pertanyaan punya jawaban.”

    Aku menoleh, mendapati tatapannya yang penuh perhatian. Dia tidak menghakimi, tidak juga memaksa. Hanya menungguku untuk berbicara.

    “Cle, aku nggak tahu gimana lagi. Aku coba hidup di dua dunia, tapi malah berantakan.”

    Cleo menarik napas panjang sebelum menjawab. 

    “Mungkin kamu nggak harus memilih, Mo. Kadang, satu-satunya cara untuk menyelesaikan sesuatu adalah dengan menghadapi semuanya sekaligus.”

    Aku ingin menyangkalnya, tapi kata-katanya terus bergema di kepalaku. Menghadapi semuanya sekaligus? Bagaimana aku bisa melakukan itu ketika bahkan berdiri di tempat ini saja terasa seperti perjuangan?

    ***

    Hari itu dimulai dengan ketukan pintu yang tak terduga. Willy membukanya dengan wajah bingung, dan di sana berdiri Bima—dengan ransel besar di pundaknya dan ekspresi penuh tekad.

    “Mbak Mayang ada?” tanyanya, suaranya penuh keyakinan meski matanya menunjukkan sedikit keraguan.

    Aku bergegas ke pintu begitu mendengar suaranya, dan jantungku seolah berhenti sejenak.

    “Bima? Kamu ngapain di sini?” tanyaku, setengah tidak percaya.

    “Aku datang untuk kamu, Mbak,” jawabnya tanpa ragu.

    “Bapak sakit. Aku nggak tahu harus gimana lagi.”

    Seperti langit yang runtuh, kata-kata Bima menghantamku tanpa ampun, menyisakan kehampaan yang membekukan. 

    Bapak sakit? Kenapa aku tidak tahu apa-apa? Aku memandang wajahnya, mencari tanda bahwa ini mungkin hanya lelucon buruk, tapi tidak ada. Wajah Bima serius, lebih serius daripada yang pernah kulihat sebelumnya.

    “Aku harus pulang,” bisikku, lebih kepada diriku sendiri daripada Bima.

    Willy yang berdiri di belakangku menyela dengan nada bingung.

     “Pulang? Ke rumah lama? Tunggu, May, apa kamu yakin?”

    Aku mengangguk tanpa berpikir panjang. Tapi sebelum aku sempat melangkah keluar, suara Mama memanggil dari ruang tamu.

    “Nak, apa yang terjadi?” tanyanya, nadanya penuh perhatian tapi juga kekhawatiran.

    Aku berbalik, berusaha menjelaskan, tapi kata-kataku tersendat di tenggorokan. Aku merasa seperti sedang menarik napas di bawah air.

    “Aku harus pulang, Ma,” ucapku akhirnya. 

    “Bapak sakit.”

    Mama tidak berkata apa-apa selama beberapa detik, hanya memandangku dengan tatapan yang sulit diartikan. Lalu dia mengangguk pelan. 

    “Baik. Kalau begitu, Mama ikut.”

    “Nggak perlu, Ma,” jawabku buru-buru. 

    “Aku bisa sendiri.”

    “Nak,” katanya tegas. 

    “Mama keluargamu juga. Kalau ada sesuatu yang terjadi pada Bapakmu, Mama ingin ada di sana untuk mendukungmu. Kita semua akan pergi.”

    Aku hanya bisa memandangnya tanpa kata-kata. Jay dan Willy yang mendengar pembicaraan itu ikut mendekat, dan aku tahu bahwa ini bukan lagi tentang aku. Ini tentang dua dunia yang selama ini kuhindari untuk saling bertemu.

    ***

    Perjalanan ke rumah lama dipenuhi keheningan. Cleo, yang entah bagaimana ikut dalam rombongan ini, mencoba mencairkan suasana dengan cerita-cerita kecil, tapi tidak ada yang benar-benar mendengarkan. Aku duduk di samping Bang Jay di dalam mobil, memandangi jalan yang melintasi sawah dan perkampungan.

    Begitu kami tiba, suasana rumah terasa lebih berat daripada yang kubayangkan. Bau kayu tua bercampur dengan aroma obat-obatan segera menyambut kami saat pintu terbuka. Bima langsung memanggil Bapak yang terbaring di tempat tidur.

    Aku menghampiri Bapak, dan saat melihat wajahnya yang pucat, aku merasa seolah-olah dunia berhenti. Tangannya yang dulu kokoh kini tampak kurus dan lemah.

    “Bapak,” panggilku pelan.

    Dia membuka mata dengan susah payah, dan saat melihatku, senyumnya muncul meski sangat tipis.

    “Cimo…”

    Aku menggenggam tangannya, mencoba menahan air mata. 

    “Kenapa Bapak nggak bilang kalau sakit?”

    “Bapak nggak mau ngerepotin,” jawabnya dengan suara lemah.

    “Kamu punya kehidupan baru sekarang. Bapak nggak mau ganggu.”

    Kata-katanya menusukku seperti pisau. Aku merasa bersalah, merasa seperti telah meninggalkan sesuatu yang seharusnya menjadi bagian dari diriku.

    Di belakangku, Mama melangkah maju.

    “Pak, saya Rini,” katanya, suaranya pelan tapi tegas.

    “Terima kasih telah merawat Cimo selama ini.”

    Aku memutar tubuh, menatap Mama dengan perasaan yang campur aduk. Aku tahu ini pertama kalinya mereka bertemu, dan situasinya jauh dari yang ideal.

    Bapak mengangguk lemah. 

    “Kamu ibunya, ya?”

    Mama tersenyum kecil. 

    “Ya, Pak. Saya mamanya Mayang.”

    Ada keheningan sejenak, sebelum Bapak berkata. 

    “Dia anak yang baik. Jangan pernah biarkan dia merasa sendirian.”

    ***

    Pertemuan dua keluarga ini tidak mudah. Ada kecanggungan yang tebal di udara, meskipun Cleo mencoba mencairkan suasana dengan candaan-candaan kecilnya. Willy, dengan gaya santainya, mencoba mengajak Bima bicara tentang hal-hal ringan, tapi aku tahu mereka berdua sama-sama merasa aneh.

    Namun, malam itu, sesuatu yang tak terduga terjadi. Saat semua orang berkumpul di ruang tamu, Bima yang biasanya pendiam justru berbicara dengan nada tegas.

    “Bapak sakit karena terlalu banyak memikirkan Mbak Mayang,” katanya, matanya menatap langsung ke arahku. 

    Aku terdiam, merasa seperti baru saja ditampar.

    “Mungkin kamu nggak sadar, Mbak,” lanjutnya. 

    “Tapi, sejak kamu pergi, rumah ini nggak pernah sama lagi.”

    Kata-kata Bima menghantamku seperti badai yang tiba-tiba datang. Aku membuka mulut, ingin mengatakan sesuatu, tapi tak satupun kata berhasil keluar. Sesuatu di dalam dadaku terasa pecah—bukan karena marah, tapi karena rasa bersalah yang seolah telah lama ku genggam tanpa kusadari. Mataku panas, tapi aku memaksa diri untuk tetap menatapnya.

    “Aku nggak pernah bermaksud seperti itu,” gumamku akhirnya, nyaris tak terdengar.

    Namun, sebelum aku bisa menjawab, Bang Jay tiba-tiba angkat bicara. 

    “Bima, aku ngerti perasaanmu. Tapi Mayang nggak bermaksud meninggalkan siapapun. Dia cuma… dia cuma mencoba menemukan tempatnya.”

    Bima mendengus.

    “Tempatnya? Tempatnya itu di sini. Di rumah ini. Dengan kami.”

    Mama yang sejak tadi diam akhirnya angkat bicara. 

    “Bima,” katanya dengan lembut. 

    “Mama ngerti ini nggak mudah, Bima. Tapi Mayang nggak pernah bermaksud ninggalin kalian. Dia cuma belajar mencintai dua keluarga yang sama-sama penting buat dia. Bukan berarti dia melupakan kalian, tapi dia juga harus belajar mencintai keluarganya yang baru.”

    Bima terdiam, ekspresinya sulit diterjemahkan. 

    Aku bisa melihat bahunya menegang, seolah ingin menolak, tetapi sesuatu dalam suara Mama membuatnya ragu. 

    Tatapannya beralih padaku, matanya seakan bertanya, Apa aku cukup penting untukmu?

    Suasana di ruangan menjadi begitu sunyi hingga aku bisa mendengar detak jantungku sendiri. Mama menggenggam tanganku, memberiku kekuatan yang tak pernah kusadari aku butuhkan.

    “Bima,” aku berkata akhirnya, suaraku gemetar. 

    “Aku nggak pernah bermaksud meninggalkan kalian. Tapi aku juga nggak bisa terus-terusan menghindari dunia baruku.”

    Kata-kataku menggantung di udara, dan aku merasa nafasku tertahan. Aku ingin Bima mengerti, tapi aku tahu itu tidak mudah. Akhirnya, aku berdiri. 

    “Cukup,” kataku, lebih kepada diriku sendiri daripada mereka.

    Semua mata tertuju padaku, dan aku merasa seperti akan runtuh di bawah tekanan. Tapi aku tahu aku harus berbicara.

    “Aku nggak mau kehilangan kalian,” kataku, menatap mereka satu per satu. 

    “Aku juga nggak ingin terus hidup dengan rasa takut ini. Tapi aku sadar, aku nggak bisa memaksa kalian untuk menerima dunia baruku. Aku cuma bisa berusaha menjaga kalian semua dengan cara yang aku mampu. Dan aku harap itu cukup.”

    Keheningan memenuhi ruangan. Aku merasa air mata menggenang di mataku, tapi aku menahannya.

    Kata-kata Cleo menggema di kepalaku, tetapi kali ini, aku merasa seperti menemukan sesuatu yang selama ini kusangkal: aku memang tidak perlu menyatukan mereka. Mereka adalah bagian dariku, masing-masing dengan tempatnya sendiri. 

    Namun, sebelum suasana benar-benar mereda, Suara denting ponsel yang terjatuh membuat semua mata tertuju pada Willy. Wajahnya memucat seketika, dan aku bisa melihat tangannya bergetar saat ia memungut ponselnya. 

    “May…” katanya, nyaris berbisik. 

    “Mama dan Bang Jay… di tol… kecelakaan besar…” 

    “Kamu serius?” tanyanya dengan nada tinggi.

    Kami semua menatapnya dengan cemas.

    “Aku harus pergi sekarang,” katanya sambil berdiri.

    “Ada kecelakaan besar di jalan tol. Mama dan Bang Jay yang pergi ke luar kota…” 

    Dia tidak menyelesaikan kalimatnya, tapi aku tahu apa yang dia maksud.

    Dunia seolah terhenti lagi. Kata-kata Willy menggantung di udara, dan seketika ruangan yang tadinya terasa penuh kini seperti menyempit. Aku melihat tangan Willy gemetar saat ia memegang ponsel, wajahnya yang biasanya tenang kini pucat pasi. Aku mencoba menghirup napas, tapi rasanya dadaku terkunci. Tubuhku melemah, membuatku secara refleks meraih tangan Cleo yang ada di dekatku. Cleo membalas genggamanku erat, memberikan sedikit rasa hangat di tengah dinginnya kabar buruk itu. 

    “Ayo, kita harus pergi sekarang,” kata Willy dengan tegas.

    Aku nggak tahu apa yang menunggu kami. Tapi aku tahu, malam ini segalanya akan berubah—selamanya.

     

     

    Kreator : Fati Nura

    Bagikan ke

    Comment Closed: Pertemuan Dua Dunia

    Sorry, comment are closed for this post.

    Popular News

    • Part 15: Warung Kopi Klotok  Sesampainya di tempat tujuan, Rama mencari tempat ternyaman untuk parkir. Bude langsung mengajak Rani dan Rama segera masuk ke warung Kopi Klotok. Rama sudah reservasi tempat terlebih dahulu karena tempat ini selalu banyak pengunjung dan saling berebut tempat yang ternyaman dan posisi view yang pas bagi pengunjung. Bude langsung memesan […]

      Okt 01, 2024
    • Part 16 : Alun – Alun  Kidul Keesokan paginya seperti biasa Bude sudah bangun dan melaksanakan ibadah sholat subuh. Begitupun dengan Rani yang juga melaksanakan sholat subuh. Rani langsung ke dapur setelah menunaikan ibadah sholat subuh. Tidak lama disusul oleh Bude dan langsung mengambil bahan masakan serta mengiris bahan untuk memasak. Rani dan Bude sangat […]

      Okt 16, 2024
    • Dalam dunia pendidikan modern, pendekatan sosial emosional semakin banyak dibahas. Salah satu model yang mendapatkan perhatian khusus adalah **EMC2 sosial emosional**. Namun, apa sebenarnya yang dimaksud dengan Definisi EMC2 sosial emosional? Mengapa pendekatan ini penting dalam pembelajaran? Mari kita bahas lebih lanjut untuk memahami bagaimana EMC2 berperan dalam perkembangan siswa secara keseluruhan. Definisi EMC2 Sosial […]

      Okt 02, 2024
    • Part 14: Kopi Klotok Pagi hari yang cerah, secerah hati Rani dan semangat yang tinggi menyambut keseruan hari ini. Ia bersenandung dan tersenyum sambil mengiris bahan untuk membuat nasi goreng. Tante, yang berada di dekat Rani, ikut tersenyum melihat Rani yang bersenandung dengan bahagia. “Rani, kamu ada rasa tidak sama Rama? Awas, ya. Jangan suka […]

      Sep 18, 2024
    • Part 13 : Candi Borobudur Keesokan harinya Rama sibuk mencari handphone yang biasa membangunkannya untuk berolahraga disaat Rama berada di Jogja. Rama tersenyum dan semangat untuk bangun, membersihkan diri dan segera membereskan kamarnya. Tidak lupa Rama juga menggunakan pakaian yang Rapih untuk menemui Rani hari ini. Sementara Rani seperti biasa masih bermalas-malasan di dalam kamarnya […]

      Sep 07, 2024

    Latest News

    Buy Pin Up Calendar E-book On-line At Low Prices In India After the installation is complete, you’ll have the flexibility […]

    Jun 21, 2021

    Karya Nurlaili Alumni KMO Alineaku Hampir 10 bulan, Pandemi Covid -19 telah melanda dunia dengan cepat dan secara tiba-tiba. Hal […]

    Des 07, 2021

    Karya Lailatul Muniroh, S.Pd Alumni KMO Alineaku Rania akhirnya menikah juga kamu,,,  begitu kata teman2nya menggoda, Yaa,,,Rania bukan anak.yang cantik […]

    Des 07, 2021

    Karya Marsella. Mangangantung Alumni KMO Alineaku Banyak anak perempuan mengatakan bahwa sosok pria yang menjadi cinta pertama mereka adalah Ayah. […]

    Des 07, 2021

    Karya Any Mewa Alumni KMO Alineaku Bukankah sepasang sejoli memutuskan bersatu dalam ikatan pernikahan demi menciptakan damai bersama? Tetapi bagaimana […]

    Des 07, 2021