Oleh : Yosep Boli
Kembali dari sukacita besar menghabisi musim libur panas di kampung halaman menorehkan cerita pedih hampir berujung duka. Kala itu musim angin timur memancing berkecamuknya ombak di setiap pertemua arus. Malam itu di awal bulan Agustus. Kapal perintis yang hendak membawa kami mengarungi lautan sepertinya terlihat enggan untuk lepas tali dari tautan di bibir dermaga padahal sudah jam sepuluh malam. Ayunan gelombang bisa terasa disini ketika lambung kapal membentur karet dermaga. Di bawah terpal plastic kami berteduh dari dinginya angin malam. Putri sulung yang masih semata wayang sudah lelap dalam pelukan ibunya. Mereka berdua terlihat lelap sekali di atas alas tikar pandan karena memang malam sudah larut. Akupupun ikut menyerah berbaring mengapiti putriku tetapi rasa kantuk ini harus ku tahan karena kami masih di sini, di dermaga ini.
Dari balik atap plastic aku masih mengintip cahaya rembulan menghadik gelapnya malam. Deru mesin mulai terdengar, awak kapal pun sibuk melerpaskan tali tautan pertanda kapal segera membawa kami pergi. Hembusan angin menusuk, kurapatkan selimut menutup erat putriku agar dingin tidak terlalu menyiksa lelap tidurnya. Kami sudah jauh berlayar bersama daratan besi ini. Terlihat canda-canda ringan mulai terlihat disetiap pasang bibir penumpang yang masih belum terlilit rasa kantuk. Seperti biasa, ayunan gelombang dan terpaan ombak membentur haluan dan lambung kapal menjadi ritme perjalanan. Sesekali berayun lembut tetapi tidak jarang kami harus menahan lambung karena ayunan semakin lama semakin keras. Ku tatap penuh kasihan wajah istri dan putriku. Mereka pasti tidak merasa permainan menakutkan ini, padahal jantung ini semakain cepat bedetak pertanda kerisauan semakin memuncak. Dalam hati berkecamuk kecemasan, haru biru rasa antara memberi rasa aman kepada istri dan anakku serta ketakutan yang tidak bisa tersembunyikan.
Ku intip jarum jam di jam tangan istriku, sudah lebih dari separuh malam. Angin malam bertiup semakin kencang seolah-olah memberi semangat pada ombak. Semua penumpang termasuk istri dan anakku sepertinya sudah terjaga dari tidur mereka terlihat dari keluhan spontan yang terucap dari bibir mereka. Ada penggalan rapal doa spontan dalam kejutan. Ku genggam erat tangan istri dan anakku sekaligus memberi mereka kekuatan bathin. Semua itu tentu tidak memberikan efek manfaat karena semua kami terus bersorak mengikuti ganasnya ombak dan terpaan kencangnya tiupan angin. Istri dan anakku terus meratap pasra sambil menyebut bapak, aku sendiri. Istriku, mari kita bangun dari kepanikan karena bukan dengan cara ini kita terselamatkan. Kita harus mendaraskan sesuatu kepada Sang pemilik kehidupan. Karena hanya melalui Dia-lah kita bisa tetap terus menghirup napas panjang. Dengan bibir gemetar kami melantumkan doa warisan Tuhan,”Bapa Kami”. Setelah menutup baris terakhir kami berdoa sontak menyebutkan kata amin. Istriku, kita masih punya satu kekuatan lagi, seorang pemilik Rahim tempat membesarkan sang Juru Selamat kita. Doa Salam Maria- pun terdaras keras dari bibir yang masih gemetar. Selesai sudah semuanya, mari kita menunggu waktu, mari kita menanti jawaban. Doa di tengah badai ini pasti sampai ke hadirat pemilik kehidupan.
Sudah lebih empat jam kami bergelut dengan ganasnya laut selat itu. Suasana menjelang subuh itu semakin tidak bersahabat lantaran deru ombak menghantam kedua sisih lambung kapal ini. Percikan air asin melambung menerpa atap plastic. Riuh suara ratapan tangisan dalam permohonan belas kasih Tuhan seolah-olah terkubur dan terdengar sayup terbawa oleh hembusan kencangnya angin dan derunya pecahan gelombang membentur lambung kapal. Ku raih putriku dalam dekapan sambil ia memeluk erat tubuhku, istriku membenamkan wajahnya pada punggungku tanda ketakutan. Ratapan pasarah akan belas kasih Tuhan keluar dari setiap mulut.
Sungguh tak pernah terbayangkan sebelumnya bahwa kami akan mengalami nasib buruk seperti ini. Apakah kami sementara bersiap diri untuk menerima takdir agar siap terkubur disini? Semua kami tidak bisa menghitung berapa banyak daras doa yang kami ucapkan sampai rona subuh menjemput. Daratan besi ini sepertinya ikut pasrah. Kami merasakan seperti bergerak di tempat. Deru mesin sama sekali tidak mampu medorong kapal ini agar sedikit begerak lebih maju. Apakah hanya karena sebuah pengabdian aku dan keturunanku harus berakhir disini. Ku peluk erat istri dan anakku pasrah, yang tersisah hanya degup jantung yang meronta ketakutan. Tinggal menyebut nama Tuhan kami berserah diri. Selat Pukuafu ini kejam, ia sepertinya sudah lapar dan siap memangsa kami. Perjalanan sesungguhnya hanya sepuluh mil laut dari bibir dermaga Tenau untuk sampai seputar pulau Rote harus kami tempuh dengan sudah lebih lima jam padahal jarak ini biasanya ditempuh selama dua jam saja. Selat ini baru bisa kami lewati setelah pagi menjemput siang. Harapan hidup tertoreh disetiap wajah penumpang. Wajah pusat pasih terpancar dari para wanita karena sepanjang malam harus bergelut dengan sisa harapan karena kami telah pelepaskan diri dari cengkeraman ganasnya selat itu. Doa kami lebih kuat dari napsu selat Pukuafu. Kami lepas bebas untuk meneruskan pelayaran kami menuju pulau kecil itu, tanah pengabdian anak bangsa. Dalam benakku malam tadi sempat terbayang akan kesudahan pengabdian kami terhadap anak bangsa di negeri kecil itu karena hampir separuh pendidik ada di sini, di atas daratan besi ini. Kami masih ada di sini, doa kalian lebih kuat agar kami tetap kembali bercengkeraman dengan sisa waktu untuk menyelesaikan tugas kalian.
Pagi itu cerah, mentari bersinar tajam dari haluan. Benturan ombak masih terasa dari samping lambung kapal. Semua penumpang sudah bisa tersenyum lebar sambil mengisahkan haru-birunya perasaan kami masing-masing menghadapi tertundanya ajal kami. Semua mereka di sini sudah mengenal musim sekitar Juli sampai akhir bulah Agustus. Tetapi mereka sepertinya tidak percaya bahwa kenapa malam tadi begitu mencekam. Kemarin atau besok mungkin tidak terjadi seperti ini. Tetapi mereka semua sepakat kalau malam tadi adalah malam milik selat itu yang diperuntukan untuk memangsa namun doa kami melebih dasyat dari amukan badai dan telah memenangkan pertarungan itu. Pertanyaan-pertanyaan seputar kemungkinan akan terjadi lagi peristiwa serupa dengan malam tadi terus bergulir dari mulut-mulut asing termasuk kami sekeluarga karena kami bukanlah pemilik negeri penuh gelombang itu. Mereka yang ada di sini, di seputar kami adalah petarung ombak dan gelombang karena ternyata kemengan kami malam tadi adalah berkat tangan mereka yang telah bertindak sebagai pengemudi di belakang sang juru mudi, dan itulah tutur seputar tabir keselamatan kami. Semua tersenyum lebar, sesekali terbahak walau kapal ini masih berayun karena benturan ombak. Tidak ada sedikit kepanikan yang ada di wajah mereka padahal daratan yang kami tujui masih butuh separuh hari. Dari buritan masih terlihat gulungan gelombang menggunung menampilkan pemandangan yang menyeramkan. Menurut mereka pemandangan seperti itu adalah keberuntungan karena gelombang itu ikut membantu mendorong lajunya kapal, dan itu betul.
Pemandangan yang menghibur terlihat dari deretan perkampungan membentang dipesisir pulau Rote. Deretan persawahan tadah hujan ikut menambah indahnya pemandangan pagi itu. Mereka para penghuni darat pasti sementara menikmati keteduhan alam sementara kami, masih berpacu mengejar waktu berhimpitan dengan derunya ombak. Sesekali putri ku mengeluh karena ia masih terbayang suasana malam tadi. Istriku coba menenangkan dengan belaian mesrah pada rambutnya yang masih kusam. Akupun ikut menghiburnya dengan pemandangan orang-orang sekitar kami yang tak menunjukan sedikit kecemasan. Ia pun terdiam, antara memahami atau meragukan.
Pulai itu sudah di depan mata. Haluan kapal ini tertuju lurus menuju pulau itu. Untuk sampai kesana kami masih harus melewati dua pulau kecil. Kecepatan kapal terasa dikurangi sambil posisi kapal diarahkan semakin menepi ke sebuah daratan kecil di samping kami. Semua orang disini ternyata memahami langkah sang pengemudi itu. Mereka sepertinya telah memberikan petunjuk bahwa kapal ini belum bisa melabuhkan tali jangkarnya di dermaga itu. Masih siang, angin masih bertiup kencang sementara gelombang masih menggunung. Mereka sepertinya telah menyatu dengan alam yang penuh dengan gelombang karena tempat ini adalah penghidupan mereka. Sedetikpun mereka bisa membaca derasnya arus dan kencangnya terpaan angina. Semua ini akan ikut redah ketika mentari ini sudah beranjak menuju peraduan. Semuanya berlalu dengan pasti, dan hampir dua jam kapal ini dilabuhkan, semuanya biasa saja karena semua orang di sini paham betul akan maunya alam.
Jangkarpun terlepas dari cengkeramannya di dasar laut. Kapal begerak berlahan menuju pelabuhan dengan jarak tempuh hanya beberapa menit saja. Gelombangpun terlihat tak menggunung lagi walaupun ayunan masih terasa. Beberapa saat lagi kapal ini akan merapat namun apakah dermaga ini mampu menahan benturan lambung kapal karena di darat sana masih tinggi gulungan ombak dan terus membentur dermaga itu. Langkah bijak segera di ambil sebagai tindakan penyelamatan, baik terhadap para penumpang, tubuh kapal itu sendiri serta tempat tambatannya, dermaga ini. Penumpangpun diturunkan melalui buritan dengan penuh hati-hati. Suasana bisu tak bersuara mengiringi labuhnya kapal ini. Ini aturan tak tertulis untuk mengalahkan hukum alam. Satu persatu penumpangpun berhasil diturunkan. Semua kami selamat menginjakan kaki di pulau ini. Ada isyak tangis rasa syukur dan haru mengiringi keselamatan kami. Perpelukan dengan kerabat penuh haru sembari mengisahkan kisah mencekam malam tadi.
Badai telah berlalu. Sejuta kisah melalui doa di tengah badai itu mengisahkan kisah pedih menepis duka. Doa di tengah badai itu telah menambah deretan panjang kisah hidup berpacu dengan waktu sebagai abdi bangsa berselimutkan badai. Pahit kalau ditanya kenapa, tetapi setelah itu akan berbuah manis kalau sudah dipetik. Guratan tangan di tanah ini menepis semua kepedihan. Kepedihan hanya tetap sebagai kenangan saja tetapi hasilnya akan menjadikan banyak orang memilki bekal yang cukup untuk masa depan mereka.
Part 15: Warung Kopi Klotok Sesampainya di tempat tujuan, Rama mencari tempat ternyaman untuk parkir. Bude langsung mengajak Rani dan Rama segera masuk ke warung Kopi Klotok. Rama sudah reservasi tempat terlebih dahulu karena tempat ini selalu banyak pengunjung dan saling berebut tempat yang ternyaman dan posisi view yang pas bagi pengunjung. Bude langsung memesan […]
Part 16 : Alun – Alun Kidul Keesokan paginya seperti biasa Bude sudah bangun dan melaksanakan ibadah sholat subuh. Begitupun dengan Rani yang juga melaksanakan sholat subuh. Rani langsung ke dapur setelah menunaikan ibadah sholat subuh. Tidak lama disusul oleh Bude dan langsung mengambil bahan masakan serta mengiris bahan untuk memasak. Rani dan Bude sangat […]
Part 14: Kopi Klotok Pagi hari yang cerah, secerah hati Rani dan semangat yang tinggi menyambut keseruan hari ini. Ia bersenandung dan tersenyum sambil mengiris bahan untuk membuat nasi goreng. Tante, yang berada di dekat Rani, ikut tersenyum melihat Rani yang bersenandung dengan bahagia. “Rani, kamu ada rasa tidak sama Rama? Awas, ya. Jangan suka […]
Part 13 : Candi Borobudur Keesokan harinya Rama sibuk mencari handphone yang biasa membangunkannya untuk berolahraga disaat Rama berada di Jogja. Rama tersenyum dan semangat untuk bangun, membersihkan diri dan segera membereskan kamarnya. Tidak lupa Rama juga menggunakan pakaian yang Rapih untuk menemui Rani hari ini. Sementara Rani seperti biasa masih bermalas-malasan di dalam kamarnya […]
Part 12 : Cemburu Rama langsung memukul Jaka saat Jaka baru saja masuk ke ruang kerjanya Rama. Jaka yang meringis bukannya marah namun malah tersenyum terhadap Rama karena Jaka tahu bahwa Rama lagi cemburu terhadapnya. Rama males menjawab salam dari Jaka namun sebagai orang yang punya adab Rama harus menjawab salam dari Jaka dengan sopan. […]
Buy Pin Up Calendar E-book On-line At Low Prices In India After the installation is complete, you’ll have the flexibility […]
Karya Nurlaili Alumni KMO Alineaku Hampir 10 bulan, Pandemi Covid -19 telah melanda dunia dengan cepat dan secara tiba-tiba. Hal […]
Karya Lailatul Muniroh, S.Pd Alumni KMO Alineaku Rania akhirnya menikah juga kamu,,, begitu kata teman2nya menggoda, Yaa,,,Rania bukan anak.yang cantik […]
Karya Marsella. Mangangantung Alumni KMO Alineaku Banyak anak perempuan mengatakan bahwa sosok pria yang menjadi cinta pertama mereka adalah Ayah. […]
Karya Any Mewa Alumni KMO Alineaku Bukankah sepasang sejoli memutuskan bersatu dalam ikatan pernikahan demi menciptakan damai bersama? Tetapi bagaimana […]
Comment Closed: PERTOLONGAN TUHAN DI TENGAH BADAI
Sorry, comment are closed for this post.