Ibu menangis tersedu-sedu, saat tamparan Bapak mendarat dua kali ke pipi kanan dan kirinya. Belum lagi barang pecah belah yang berhamburan di dapur sampai ke ruang tamu. Ibu terus memohon dengan suara parau agar Bapak tidak memukulinya terus. Bapak mendesak agar Ibu memberikan uang padanya, untuk membeli minuman keras dan berjudi. Hujan deras yang terus menderu, selaras dengan suara gelegar Bapak yang membahana di penjuru langit rumah sederhana kami. Aku yang menyaksikan kejadian itu hanya mampu berdiri di sudut pintu, aku geram melihat Bapak, namun aku tak kuasa menolong Ibu.
Padahal sekarang pukul 2 malam, tapi Bapak masih ingin keluar rumah untuk melanjutkan judinya. Ruang tamu ini berubah menjadi bau alkohol yang menyatu dengan keringat Bapak, membuat mual. Kulirik Abang yang masih dibuai mimpi, tidak peduli dengan Ibu yang dipukuli. Sedangkan adikku terdiam diatas tempat tidur, mukanya penuh dengan ketakutan.
Tak lama, dengan masih terisak, Ibu memberikan uang kepadanya. Bapak secepat kilat menyambar uang bergambar presiden pertama Indonesia itu, sembari mendorong badan Ibu dengan kasar.
Begitulah Bapak, selalu merepotkan Ibu dan tidak memperdulikan keluarga. Pemandangan seperti ini sudah sering ku alami sejak kecil, bagaikan mimpi buruk. Aku sering terbangun kaget di seperempat malam seperti ini, karena amukan Bapak. Terkadang hampir menjelang Subuh Bapak baru pulang, langsung menuju kamar dan mendengkur sekeras-kerasnya, dan mengalahkan suara merdu Ibu ketika melantunkan bacaan Alquran.
Beruntung, kami punya Ibu yang sabar, selalu menuruti keinginan Bapak. Itu juga yang diminta Ibu kepada kami, agar tetap menghormati dan menurut pada Bapak.
Tapi Aku adalah anak keduanya yang tidak terlalu menuruti keinginan Ibu. Aku tidak terlalu akrab dengan Bapak, aku benci Bapak, dan aku rasa aku pantas melakukan semua itu. Meski kadang di depan Bapak aku terpaksa harus menurutinya, kadang dia memintaku untuk memijat kepalanya, membuatkannya kopi kalau Ibu tidak ada, atau sekedar mengambilkan korek api ketika Bapak merokok di teras.
Sehari-hari Ibu bekerja di sebuah rumah makan Padang, membantu majikannya memasak. Aku adalah anak yang paling sayang pada Ibu, aku tidak pernah melawannya. Suatu hari Ibu pernah sangat berang padaku, hanya karena aku mengajaknya meninggalkan Bapak.
“Ayo Bu, kita pergi ke Jakarta, biar Bapak tau rasa!” Ucapku berapi-api
Ibu malah marah, Ibu bilang aku tidak bersyukur, karena aku masih punya Bapak. Ibu menyuruhku memikirkan bagaimana anak-anak lain yang tidak punya Bapak. Aku malah bilang, buat apa punya Bapak yang seperti itu, suka mabuk dan berjudi, pemarah dan suka mencaci, tidak ada teladan yang baik dari dirinya.
Kata Ibu, itu semua ladang amal bagi kita, buah kesabaran nantinya akan terasa manis. Ibu juga berpesan agar selalu mendoakan Bapak, jangan pernah bosan, katanya.
Begitulah Ibu, orang yang melahirkan ku. Wanita yang selalu mekar dan mewangi, tak memandang musim, selalu mengeluarkan bau yang harum.
Ibu tetap selalu mendukung Bapak, walau tetangga kami banyak yang membenci Bapak. Apalagi, ya karena ulahnya yang suka mengacau kalau sedang mabuk, tidak pernah menghadiri acara kemasyarakatan, dan selalu berhutang di warung-warung. Ibu harus menelan pil pahit tiap kali orang-orang menghina Bapak, dan sekaligus menghinanya sebagai istri yang bodoh karena membiarkan suaminya bermain dengan wanita jalang diluar sana. Tapi Ibu tetap berdiri tegak dan rendah hati, demi Bapak dan demi kami, anak-anaknya.
Tapi kini semuanya berakhir, malam itu, Ibu tiba-tiba sakit panas, nafasnya sesak. Sehingga Bude’ Mar, tetangga yang sering membantu kami, membawa Ibu ke rumah sakit.
Dimana Bapak saat itu? Bapak sedang mabuk-mabukan sambil berjoget di warung remang-remang kampung sebelah, itu yang kudengar saat melewati pos ronda tadi.
Menjelang Subuh, saat Ibu sekarat, Bapak datang dengan agak gontai karena sisa mabuknya semalaman. Kulihat Bapak menatap dalam mata Ibu, sudah lama Bapak tidak menatap Ibu seperti itu, kapan terakhir pun aku tidak ingat, atau bahkan selama aku hidup belum pernah. Bapak Nampak tertegun, entah menyesal atau apa, yang pasti Bapak tidak seganas dan seseram biasanya.
Bapak terdiam membisu malam itu, ketika Ibu berpesan padanya, “Dirikan Shalat dan jaga anak-anak, ya Pak”. Meski Ibu terbata-bata, Aku mendengar jelas pesan itu, dan aku yakin Bapak juga mendengarnya dengan baik. Beberapa menit kemudian Ibu pergi meninggalkan kami untuk selamanya, Aku menjerit sejadinya, diikuti adikku. Dan Bapak, masih tertunduk lesu.
**********
Semenjak kepergian Ibu, Bapak yang kukira akan berubah ternyata malah semakin menjadi. Setiap hari, ada saja orang yang datang ke rumah untuk menagih hutang, Bapak sudah memberikan barang-barang elektronik dan perabotan peninggalan Ibu untuk para penagih hutang itu. Bahkan demi menuruti nafsu berjudi Bapak, baju-baju Ibu pun tak ketinggalan dijual juga ke pasar loak.
Aku semakin muak dengan keadaan ini, terlebih lagi kulihat Abang yang sekarang mulai ketularan Bapak, sering tidak pulang. Aku merasa kasihan pada adikku, jangan sampai dia harus putus sekolah di bangku SD, karena tidak ada biaya lagi. Penghasilanku dari bekerja di bengkel sederhana milik Mas Nurman tidak membantu memperbaiki kebutuhan hidup.
Akhirnya, dengan memberanikan diri aku membawa adikku ke Jakarta, walau sulit membujuknya karena dia takut dihajar Bapak. Ketika Mas Nurman belanja spare parts ke kota, aku minta ikut saja untuk diantarkan ke terminal. Bermodalkan ijazah STM, aku pun diterima di sebuah showroom resmi sepeda motor buatan China sebagai mekanik.
**********
Aku memandang ke langit malam, dari jendela rusunawa ini terasa angin mengibas pundakku, tiba-tiba terbayang wajah Bapak. Buru-buru aku menghapusnya, aku tidak mau memikirkan Bapak lagi.
Aku teringat, saat itu ketika Bapak akan menjual baju-baju Ibu, aku ingatkan Bapak tentang pesan Ibu agar melaksanakan shalat. Tapi Bapak malah marah bukan kepalang. Katanya, “Ibu mu itu sudah di dalam tanah, jadi jangan diingat-ingat lagi. Lagian sholat itu bisa bikin kaya gak, hah! Ibu kamu itu dari dulu sudah salat, tapi nasibnya ya cuma jadi tukang cuci piring di rumah makan juga, tho! Jadi, kalau kamu mau salat, ya salat saja sendirian, dan jangan lupa sampaikan salam ku pada Ibu mu ya, bilang aku minta duitnya untuk menemui pacarku, Neneng yang bahenol itu. Hahahaha!” Bapak tertawa keras sambil menjitak kepala ku. Saat itu aku menangis sambil memeluk foto Ibu.
Aku mengeluarkan nafas panjang, muak rasanya mengingat tingkah dan sikap Bapak. Aku kembali menatap ke arah langit, kini berharap wajah Ibu yang muncul, tapi lagi-lagi wajah Bapak yang semakin mendekat ke arahku. Saat berusaha membuangnya, tiba-tiba aku dikejutkan oleh adikku, dia menyodorkan hp yang sedang bernyanyi dengan getaran sedang. Nomor tak dikenal, aku segera mengangkatnya
“Halo, Panji. Ini aku, Abang mu. Abang tau nomor kamu dari Mas Nurman, Ji. Abang mau kasih kabar, kalau Bapak tadi siang kecelakaan, ditabrak mobil pick up. Bapak pingsan, lukanya parah, Bapak kehabisan darah, dan lima belas menit lalu Bapak… Bapak… Bapak meninggal, Ji.”
Suara Abang terdengar serak, aku menanggapinya dengan dingin. Aku cuma katakan kalau besok aku akan pulang, itu saja. Sungguh, sedikit pun aku tidak merasa kehilangan atau pun sedih, aku biasa saja, entahlah.
**********
Sampai di rumah, Bapak sudah dikafani, Ustaz Karim menyuruh kami mencium Bapak untuk yang terakhir kalinya. Abang dan adikku menciumnya, kecuali aku. Semua orang yang melayat melihat heran padaku, namun sebagian ada yang acuh, mungkin mereka menganggap itu hal yang wajar ku lakukan.
Saat di pemakaman, Mas Nurman mendekati ku, dan berbisik kalau Bapak tertabrak oleh mobil yang membawa ratusan minuman keras, supir yang mengendalikan mobil naas itu sudah digiring ke polisi, mungkin akan diadili pasal berlapis. Aku cuma tersenyum kecut, sambil berkata, “Wajar saja, minuman keras akan menemui pemabuk.”
Mendengar ucapanku, Ustaz Karim langsung menoleh dengan cepat ke arah ku, sorot matanya tajam, dia menarik nafas, tampak marah, lalu dia menggeleng. Dia mendekat dan memegang kuat lengan ku, tetap dengan sorot mata seperti elang siap menyambar.
“Jangan sembarangan, Panji. Bapak mu tidak mabuk saat itu, selesai salat Zuhur berjamaah, Bapak mu menuju jalan besar, untuk mengutip sumbangan pembangunan masjid. Tapi dari arah yang berlawanan, ada pick up yang melaju kencang, dan kecelakaan itu tidak bisa dihindari Bapak mu.”
Hah! Shalat berjamaah? Aku bertanya-tanya dalam hati, aku terdiam. Nafas ku turun naik tidak karuan, sakit sekali rasanya dada ini.
Aku sedih, gelisah dan kecewa terhadap diri ku sendiri. Aku masih terpaku memandangi pusara Bapak, banyak pertanyaan dalam benakku. Aku mulai menangis.
Satu per satu orang yang melayat meninggalkan tempat peristirahatan Bapak, aku jatuh tersungkur. Bukan Bapak, tapi aku, akulah yang tidak menjalankan pesan Ibu, agar jangan bosan mendoakan Bapak. Tapi apa, aku malah pergi meninggalkan Bapak. Aku dipapah Abang untuk bangkit, aku lemas, aku terus terisak.
“Maafkan Panji, Bapak.”
**********
Kreator : Rafika Nisa
Part 15: Warung Kopi Klotok Sesampainya di tempat tujuan, Rama mencari tempat ternyaman untuk parkir. Bude langsung mengajak Rani dan Rama segera masuk ke warung Kopi Klotok. Rama sudah reservasi tempat terlebih dahulu karena tempat ini selalu banyak pengunjung dan saling berebut tempat yang ternyaman dan posisi view yang pas bagi pengunjung. Bude langsung memesan […]
Part 16 : Alun – Alun Kidul Keesokan paginya seperti biasa Bude sudah bangun dan melaksanakan ibadah sholat subuh. Begitupun dengan Rani yang juga melaksanakan sholat subuh. Rani langsung ke dapur setelah menunaikan ibadah sholat subuh. Tidak lama disusul oleh Bude dan langsung mengambil bahan masakan serta mengiris bahan untuk memasak. Rani dan Bude sangat […]
Part 14: Kopi Klotok Pagi hari yang cerah, secerah hati Rani dan semangat yang tinggi menyambut keseruan hari ini. Ia bersenandung dan tersenyum sambil mengiris bahan untuk membuat nasi goreng. Tante, yang berada di dekat Rani, ikut tersenyum melihat Rani yang bersenandung dengan bahagia. “Rani, kamu ada rasa tidak sama Rama? Awas, ya. Jangan suka […]
Part 13 : Candi Borobudur Keesokan harinya Rama sibuk mencari handphone yang biasa membangunkannya untuk berolahraga disaat Rama berada di Jogja. Rama tersenyum dan semangat untuk bangun, membersihkan diri dan segera membereskan kamarnya. Tidak lupa Rama juga menggunakan pakaian yang Rapih untuk menemui Rani hari ini. Sementara Rani seperti biasa masih bermalas-malasan di dalam kamarnya […]
Part 12 : Cemburu Rama langsung memukul Jaka saat Jaka baru saja masuk ke ruang kerjanya Rama. Jaka yang meringis bukannya marah namun malah tersenyum terhadap Rama karena Jaka tahu bahwa Rama lagi cemburu terhadapnya. Rama males menjawab salam dari Jaka namun sebagai orang yang punya adab Rama harus menjawab salam dari Jaka dengan sopan. […]
Buy Pin Up Calendar E-book On-line At Low Prices In India After the installation is complete, you’ll have the flexibility […]
Karya Nurlaili Alumni KMO Alineaku Hampir 10 bulan, Pandemi Covid -19 telah melanda dunia dengan cepat dan secara tiba-tiba. Hal […]
Karya Lailatul Muniroh, S.Pd Alumni KMO Alineaku Rania akhirnya menikah juga kamu,,, begitu kata teman2nya menggoda, Yaa,,,Rania bukan anak.yang cantik […]
Karya Marsella. Mangangantung Alumni KMO Alineaku Banyak anak perempuan mengatakan bahwa sosok pria yang menjadi cinta pertama mereka adalah Ayah. […]
Karya Any Mewa Alumni KMO Alineaku Bukankah sepasang sejoli memutuskan bersatu dalam ikatan pernikahan demi menciptakan damai bersama? Tetapi bagaimana […]
Comment Closed: PESAN IBU
Sorry, comment are closed for this post.