Safia merasa heran, dengan dirinya. Selama ini dia tidak pernah percaya dan nyaman dengan siapapun. Tapi dengan Aisyah, dia bisa percaya dan nyaman begitu saja dalam waktu yang singkat.
Satu persatu Aisyah membuka kancing piyama Safia, sampai akhirnya Safia hanya memakai pakaian dalam saja. Aisyah mulai menyalakan shower dengan mode air hangat, pelan-pelan air diguyurkan, mulai dari punggung sampai ke depan dada Safia.
Setelah semua badan Safia basah, Aisyah mengambil sabun dan digosokkan ke seluruh badan Safia, dengan pelan dan lembut, sabun dengan wangi aromaterapi yang menenangkan, membuat Safia begitu menikmati kegiatan mandinya kali ini. Safia merasa bahwa mandinya hari ini sangat menyenangkan.
Aisyah melakukannya dengan begitu tulus, niat awal dia bekerja untuk membantu perekonomian keluarga. Tapi setelah tahu bahwa pekerjaannya adalah merawat perempuan yang lumpuh, Aisyah merasa niatnya untuk mendapatkan sejumlah uang, berubah menjadi rasa tulus dan kasih sayang terhadap sesama saudara seiman. Dia bertekad sekuat tenaga akan merawat Safia dengan baik, dengan niat Lillahi Ta’ala.
Busa sabun sudah menutupi seluruh badan Safia, Aisyahpun membilasnya dengan mengguyurkan air shower ke seluruh badan Safia hingga bersih.
“Sekarang, Aisyah mau gosok gigi Nyonya.” ujar Aisyah sambil mengoleskan odol ke permukaan sikat gigi.
Perlahan Aisyah menggosok gigi Safia, mulai dari depan, samping kiri dan kanan.
“Maaf Nyonya, sekarang buka mulutnya. Aisyah akan gosok gigi bagian dalamnya.”
Safia menuruti perintah Aisyah, dia membuka mulutnya lebar, agar Aisyah bisa menggosok giginya dengan mudah.
Setelah dirasa sudah bersih, Aisyah mengambil gelas berisi air, yang sudah disiapkan sebelumnya, diminumkan ke mulut Safia. Safia pun berkumur dan memuntahkannya.
“Alhamdulillah.” ucap Aisyah sambil mengelap mulut Safia dengan handuk, Aisyah membawa Safia keluar kamar mandi. Setelah berada di kamar, Aisyah mengambil baju dan pakaian dalam yang sudah disiapkan sebelumnya, lantas Aisyah mengunci kursi roda Safia agar tidak bergeser saat memakaikan bajunya.
“bismillaahilladzii laaillaahaillaahuwa.”
Aisyah mulai memakaikan celana dasar. Dengan posisi di depan Safia, Aisyah berjongkok, dimulai dengan kaki kanan lalu kaki kiri. Setelah kedua kakinya masuk, Aisyah menarik celana dasar itu sampai paha, lalu Aisyah berdiri dan kedua tangan Safia dikalungkan ke pundak Aisyah supaya Safia ada pegangan saat berdiri nanti. Lalu, Aisyah mengangkat Safia untuk berdiri. Setelah posisi Safia berdiri dengan tangannya bertumpu di pundak Aisyah, tangan Aisyah kebawah menarik celana dasar Safia sampai menutup bagian belakang.
Selesai dengan pakaian dalam, lantas Aisyah mengambil dress merah muda pilihannya itu dan memakaikannya.
“Maaf, Nyonya.” ucap Aisyah saat akan memasukan gaun itu lewat kepalanya Safia. lalu Aisyah mengambil tangan kanan Safia untuk dimasukan ke tangan kanan, kemudian tangan kirinya. Setelah kedua tangannya masuk, Aisyah menarik gaun sampai ke bawah.
“Alhamdulillah.” ucap Aisyah lega.
Lalu, Aisyah berjalan ke arah meja rias, seperti ada yang dia cari.
Safia, terus melihat gerak gerik Aisyah. Hatinya merasa senang dengan Aisyah. Di mata Safia, Aisyah adalah perempuan yang sopan, lembut dan cantik. Walaupun wajahnya ditutup niqab, namun dari matanya yang indah, mewakili kecantikan yang ada dibalik kain itu.
Aisyah melihat ada banyak peralatan make up di atas meja rias Safia. Aisyah teringat dengan ibunya yang sudah tiada. Ingatannya kembali ke masa kecilnya, dimana ibunya selalu mengajarkan dirinya berdandan. Masih terngiang nasihat ibunya bahwa perempuan itu selain harus pandai memasak, juga harus pandai merawat diri, termasuk berdandan. Kelak ketika Aisyah menikah, maka salah satu kewajiban Aisyah sebagai istri adalah menyenangkan pandangan seorang suami, dengan selalu tampil cantik di depan suami.
Jadi, walaupun Aisyah memakai cadar, bukan berarti Aisyah tidak bisa dandan. Berkat ibunya, Aisyah bisa mempercantik diri.
“Hmmm… Untuk Nyonya cukup dengan memakai pelembab dan bedak saja, lalu lipstik warna nude.” gumam Aisyah melihat ke arah Safia, membayangkan warna make up yang dia pilihkan.
Aisyah mendorong kursi roda Safia ke depan meja rias dan mulai mendandaninya. Tidak butuh waktu lama untuk Aisyah mendandani Safia.
“Masya Allah, Nyonya cantik sekali.” ungkap Aisyah, dengan posisi jongkok di depan Safia dan memegang tangan Safia.
Safia hanya menatap tajam Aisyah tanpa ekspresi. Namun, batinnya senang dengan apa yang dilakukan Aisyah padanya.
“Alhamdulillah, sekarang Nyonya sudah cantik dan wangi, waktunya untuk sarapan. Apakah Nyonya mau makan di kamar?” Tanya Aisyah lembut. Safia mengedipkan mata pertanda setuju.
“Nyonya mau makan di kamar saja?” tanya Aisyah memastikan. Safia mengedipkan kembali matanya.
“Baik, Nyonya. Kalau begitu, Aisyah mau ke dapur dulu untuk mengambil sarapan Nyonya.” pamit Aisyah.
Namun, sebelum Aisyah meninggalkan Safia, Aisyah memindahkan posisi kursi roda Safia menghadap jendela agar Safia bisa melihat pemandangan taman yang indah dari balik jendela kamarnya.
Aisyah meninggalkan Safia. Baru saja Aisyah melangkah menuju pintu, Bi Siti datang dengan membawa nampan yang berisi makanan untuk Safia.
“Bi Siti, baru saja Ay mau ke dapur.” ucap Aisyah riang.
“Iya, Ay. sengaja Bi Siti antarkan ke sini biar kamu nemenin Nyonya saja.” jawab Bi Siti sambil menyerahkan nampan makanannya pada Aisyah yang disambut oleh Aisyah dan membawanya ke hadapan Safia.
Aisyah menggeser kursi lain yang ada di kamar itu kedepan Safia, kemudian duduk di depan Safia dan mulai menyuapinya.
“Bismillaahirrahmaanirrahiim.” ucap Aisyah, sebelum menyuapkan makanan ke mulut Safia.
Melihat cara Aisyah menyuapi Safia, Bi Siti merasa senang dan merasa yakin bahwa Aisyah bisa membuat Safia semangat untuk sembuh.
“Ay, Bi Siti tinggal ke dapur dulu ya. Masih banyak kerjaan.” Bi Siti meninggalkan Aisyah. Aisyah hanya menjawab dengan anggukan yang tidak dilihat oleh bi Siti.
*****
Setelah selesai menandatangani semua berkas, Baran siap-siap pulang. Hari ini dia ingin mengantar ibunya untuk kontrol ke rumah sakit milik keluarganya.
“Siapkan mobil!” perintah Baran pada Caston yang selalu siaga berada di sebelah meja Baran. Tanpa banyak tanya, Caston bergegas menuju tempat parkir. Disusul oleh Baran, menuju lift khusus yang hanya digunakan oleh dirinya. Tidak ada karyawan yang boleh menggunakan lift itu kecuali Caston yang mendapatkan keistimewaan dari Baran untuk bisa menggunakannya. Keistimewaan yang didapat oleh Caston itu membuat beberapa karyawan iri terhadap Caston. Mereka merasa tidak senang dengan Caston karena posisi Caston merupakan posisi yang menjadi incaran bagi sebagian karyawan. Mereka menganggap berada di posisi Caston menjadi kebanggaan tersendiri, apalagi bisa dekat dengan Baran yang merupakan Direktur Utama yang tidak mudah untuk didekati. Namun, pada kenyataannya, posisi Caston tidak bisa digantikan oleh sembarang orang, meskipun Caston mengundurkan diri. Bagi Baran, tidak akan ada penerimaan karyawan untuk di posisi itu.
Saat Baran sampai di depan hotel, Caston sudah siaga dengan mobilnya.
“Kita pulang.” ucap Baran singkat pada saat masuk ke dalam mobil.
Caston yang sudah paham dengan karakter majikannya, tanpa banyak bicara, dia pun segera menyalakan mobil dan melaju kilat menuju mansion.
Di belakang, terlihat pandangan Baran begitu dalam ke arah jendela. Matanya tajam melihat setiap jalanan yang dilewatinya. Pikirannya menerawang jauh ke masa lalu, mengingat semua yang telah terjadi. Peristiwa buruk yang menimpa keluarganya yang menyebabkan kedua orang tuanya harus berpisah. Dan, yang membuatnya sedih hingga saat ini adalah kondisi Ibu yang lumpuh total karena kecelakaan itu. Beruntung, dia dan Ayah hanya terluka ringan.
Mengingat semua kejadian buruk itu, membuat tekad Baran semakin kuat untuk menemukan Ayah. Baran yakin jika dia bisa membawa Ayahnya ke hadapan Ibu, Ibu akan sembuh.
Tarikan nafas panjang Baran yang dihembuskan kasar, terdengar di telinga Caston, yang membuat pandangan Caston beralih ke cermin kecil yang ada di depannya dan melihat Baran melalui cermin itu. Dia tahu apa yang sedang dan selalu jadi pikiran Baran selama ini yang membuat Baran menjadi laki-laki yang dingin dan tidak pernah tersenyum selain hanya kepada ibunya. Bagaimana tidak, mereka tumbuh bersama. Usia mereka terpaut hanya tiga bulan, lebih tua di atas Caston. Caston adalah anak sopir Ayah Baran. Semasa kecil, Caston selalu di bawa ke mansion oleh Ayahnya. Di sana, Caston sering bermain dengan Baran saat Ayahnya sedang bekerja. Oleh karenanya, Baran begitu dekat dan percaya pada Caston.
Sampailah mereka di mansion. Caston membukakan pintu Baran, membuat buyar lamunan Baran.
“Sudah sampai, Tuan.”
“Terima kasih.” ucap Baran saat keluar dari mobil yang membuat Caston senang, karena baginya Baran jarang mengucapkan kalimat itu.
“Sama-sama, Tuan.” Senyum indah terlukis di wajah Caston yang tidak pernah Baran lihat.
Baran masuk ke dalam dan langsung menuju kamar ibunya.
Sementara itu, dikamar Safia, Aisyah masih menyuapi Safia. Dengan telaten Aisyah menyuapi majikannya yang lumpuh itu, Safia pun menikmati setiap suapan yang diberikan oleh Aisyah.
“Masya Allah, satu suap lagi. Nyonya hebat.” puji Aisyah dengan nada gembira. Aisyah merasa senang karena dari pengakuan Bi Siti bahwa Safia tidak pernah menghabiskan makanannya, walaupun disuapi oleh Baran. Safia selalu merasa tidak nafsu makan.
Baran yang sedari tadi berdiri di ambang pintu, melihat ada perempuan dengan penampilan aneh sedang menyuapi Ibu dengan lemah lembut. Ia melihat cara Aisyah menghadapi Ibu yang lumpuh dan susah untuk makan, berbeda dengan perawat sebelumnya. Bahkan berbeda pula dengan Bi Siti yang hubungannya dekat dengan Safia. Hal ini membuat Baran penasaran, siapa perempuan itu.
“Inikah perawat baru yang dibawa oleh Bi Siti?” batin Baran, teringat percakapannya dengan Bi Siti tadi pagi yang memberitahukan bahwa hari ini ada perawat baru untuk Ibu.
Aisyah tidak menyadari jika di belakangnya ada sosok laki-laki yang sedang memperhatikannya. Di saat Aisyah membalikkan badannya, Aisyah sontak terkejut melihat Baran berdiri di hadapannya. Seketika Aisyah menundukkan pandangannya, dan melipir berdiri di sebelah Safia.
Tanpa memperdulikan Aisyah, Baran mendekati Safia lalu mencium kening ibunya yang tanpa ekspresi itu, menyambut anaknya dengan hati yang bahagia, Safia tidak mampu untuk mengatakan perasaannya.
“Saya permisi, Tuan.” pamit Aisyah dengan sedikit membungkukkan badannya,
Baran tidak memperdulikan Aisyah. Dia fokus pada Ibunya, memegang tangannya dan menatapnya. Baran melihat ada yang berbeda dari Safia yang terlihat lebih segar dari biasanya.
Baru saja sampai depan pintu kamar, Aisyah mendadak berhenti karena di depannya sudah ada Riyan yang baru datang hendak menemui Aisyah.
“Aisyah,” panggil Riyan sumringah melihat Aisyah.
“Tuan muda.” balas Aisyah, kaget.
“Aisyah sedang apa di kamar Nenek?” Riyan bertanya dengan memegang tangan Aisyah.
Mendengar ada suara Riyan dan mengobrol akrab dengan Aisyah, membuat Baran terkejut karena selain dia melarang Riyan untuk berinteraksi dengan orang asing, Riyan juga termasuk anak yang tidak mudah akrab sehingga tidak mudah bagi siapapun untuk mendekati Riyan selain orang-orang yang bekerja di rumah itu.
Baran pun berdiri lalu berbalik ke arah Aisyah yang membelakanginya, Aisyah menyadari bahwa Baran sedang melihat ke arahnya sehingga ia tidak menjawab ketika Riyan kembali bertanya padanya karena dia ingat dengan ucapan Riyan bahwa Ayahnya melarang Riyan untuk bicara dengan orang asing, jadi Aisyah khawatir jika dia menjawab pertanyaan Riyan, maka Baran akan marah pada Riyan ataupun padanya.
“Aisyah, kenapa diam saja? Jawab, dong.” Riyan yang tidak tahu kalau Baran ada di dalam kamar, terus bertanya sambil menggoyangkan tangan Aisyah.
“Eh, i-iya, Tuan. Saya baru selesai menyuapi Nenek makan.” jawab Aisyah ragu, merasa tidak enak oleh Baran.
Akhirnya, Aisyah memutuskan untuk pergi dari sana karena khawatir akan banyak pertanyaan dari Riyan yang bisa membuat Baran marah.
“Maafkan saya, Tuan. Saya permisi ke dapur dulu.” Aisyah meninggalkan Riyan yang masih berdiri, namun Riyan malah pergi menyusul Aisyah.
“Aisyah, tunggu. Aku ikut!” Riyan berlari mengejar Aisyah yang terus berlalu tak mengindahkan panggilannya.
“Riyan! Berhenti!” teriak Baran menggema di sepanjang lorong ruangan yang hanya terdapat beberapa kamar .
Riyan terkejut dan seketika menoleh ke belakang, tampak Baran yang sudah dianggap sebagai Ayahnya sendiri, tengah berdiri gagah di depan pintu kamar neneknya dengan tangan dimasukkan ke dalam saku celana.
“Papa..”
Riyan berlari menghampiri Baran dan langsung memeluknya. Baran merentangkan kedua tangannya, menyambut pelukan Riyan. Layaknya anak sendiri, Baran memangku Riyan dengan penuh kasih sayang.
“Papa kok sudah pulang?” Riyan bertanya heran, karena menurutnya tidak biasanya Baran ada dirumah di jam jam seperti ini.
“Iya.. Papa mau mengantar nenek ke rumah sakit.” jawab Baran sambil berjalan masuk ke dalam kamar dan menghampiri Ibunya.
“Aku boleh ikut ke rumah sakit, Pa?” pinta Riyan.
“Tidak. Kamu tunggu saja di rumah.”
“Tapi kan Pa, Riyan mau ikut Papa antar Nenek ke rumah sakit.” rengek Riyan pada Baran. Namun, Baran tetap tidak mengizinkan Riyan ikut.
“Maaf, Tuan. Sudah waktunya Nyonya minum obat.”
Terdengar suara lembut wanita dari belakang yang membuat Riyan turun dari pangkuan Baran.
“Aisyah…” teriak Riyan menghampiri Aisyah yang membawa nampan berisi obat dan gelas berisi air bening.
“Saya, Tuan.” Aisyah menjawab pelan panggilan Riyan sambil menundukan pandangan.
Melihat kembali keakraban Riyan dan Aisyah, membuat Baran semakin heran terhadap Aisyah. Sejenak Baran memperhatikan Aisyah yang terus melihat kebawah, tentunya sikap Baran itu membuat Aisyah tidak nyaman, ketidaknyamanan Aisyah terlihat oleh Baran, akhirnya Baran pun bergeser dari tempat dia berdiri, mempersilahkan Aisyah untuk memberikan obat pada ibunya.
Tanpa menunda lagi, Aisyah mendekati Safia, namun sebelumnya Aisyah meminta izin pada Riyan karena dari tadi Riyan memegang tangan Aisyah terus.
“Maaf, Tuan. Boleh Aisyah memberikan obat dulu pada Nenek sebentar?”
“Boleh Aisyah,” Riyan melepaskan pegangannya dengan tersenyum.
Baran semakin terkejut dengan apa yang dilihatnya. Setelah Riyan melepaskan tangannya, Aisyah segera menuju Safia dan satu per satu obat disiapkan. Setelah itu, semua obatnya dibuka dari kemasannya.
“Bismillaahirrahmaanirrahiim,” ucap Aisyah saat obat akan dimasukkan ke dalam mulut Safia. Dengan hati-hati, Aisyah meminumkan setiap obat pada Safia.
“Alhamdulillaahirabbil’aalamiin,” Ucap Aisyah kembali setelah semua obatnya diminum Safia. Lalu, Aisyah mengelap lembut mulut Safia dengan sapu tangan yang sudah disiapkan pula.
“Sudah selesai, Tuan. Saya pamit.”
Dengan pandangan selalu menatap ke bawah, Aisyah segera beranjak dari kamar itu.
“Aisyah, ak–”
“Riyan…” Mata Baran menatap tajam Riyan, dan Riyan pun paham dengan tatap Baran itu.
Kreator : Asri Iwama
Part 15: Warung Kopi Klotok Sesampainya di tempat tujuan, Rama mencari tempat ternyaman untuk parkir. Bude langsung mengajak Rani dan Rama segera masuk ke warung Kopi Klotok. Rama sudah reservasi tempat terlebih dahulu karena tempat ini selalu banyak pengunjung dan saling berebut tempat yang ternyaman dan posisi view yang pas bagi pengunjung. Bude langsung memesan […]
Part 16 : Alun – Alun Kidul Keesokan paginya seperti biasa Bude sudah bangun dan melaksanakan ibadah sholat subuh. Begitupun dengan Rani yang juga melaksanakan sholat subuh. Rani langsung ke dapur setelah menunaikan ibadah sholat subuh. Tidak lama disusul oleh Bude dan langsung mengambil bahan masakan serta mengiris bahan untuk memasak. Rani dan Bude sangat […]
Part 14: Kopi Klotok Pagi hari yang cerah, secerah hati Rani dan semangat yang tinggi menyambut keseruan hari ini. Ia bersenandung dan tersenyum sambil mengiris bahan untuk membuat nasi goreng. Tante, yang berada di dekat Rani, ikut tersenyum melihat Rani yang bersenandung dengan bahagia. “Rani, kamu ada rasa tidak sama Rama? Awas, ya. Jangan suka […]
Part 13 : Candi Borobudur Keesokan harinya Rama sibuk mencari handphone yang biasa membangunkannya untuk berolahraga disaat Rama berada di Jogja. Rama tersenyum dan semangat untuk bangun, membersihkan diri dan segera membereskan kamarnya. Tidak lupa Rama juga menggunakan pakaian yang Rapih untuk menemui Rani hari ini. Sementara Rani seperti biasa masih bermalas-malasan di dalam kamarnya […]
Part 12 : Cemburu Rama langsung memukul Jaka saat Jaka baru saja masuk ke ruang kerjanya Rama. Jaka yang meringis bukannya marah namun malah tersenyum terhadap Rama karena Jaka tahu bahwa Rama lagi cemburu terhadapnya. Rama males menjawab salam dari Jaka namun sebagai orang yang punya adab Rama harus menjawab salam dari Jaka dengan sopan. […]
Buy Pin Up Calendar E-book On-line At Low Prices In India After the installation is complete, you’ll have the flexibility […]
Karya Nurlaili Alumni KMO Alineaku Hampir 10 bulan, Pandemi Covid -19 telah melanda dunia dengan cepat dan secara tiba-tiba. Hal […]
Karya Lailatul Muniroh, S.Pd Alumni KMO Alineaku Rania akhirnya menikah juga kamu,,, begitu kata teman2nya menggoda, Yaa,,,Rania bukan anak.yang cantik […]
Karya Marsella. Mangangantung Alumni KMO Alineaku Banyak anak perempuan mengatakan bahwa sosok pria yang menjadi cinta pertama mereka adalah Ayah. […]
Karya Any Mewa Alumni KMO Alineaku Bukankah sepasang sejoli memutuskan bersatu dalam ikatan pernikahan demi menciptakan damai bersama? Tetapi bagaimana […]
Comment Closed: PESONA AISYAH Part 4
Sorry, comment are closed for this post.