Indonesia dibuat heboh dengan berita pembunuhan yang dilakukan seorang jenderal polisi berbintang dua terhadap ajudannya. Pembunuhan yang konon dilatarbelakangi kecemburuan terhadap ajudannya tersebut yang telah melakukan pelecehan seksual terhadap istrinya. Namun apapun alasannya pembunuhan bukanlah suatu hal yang dapat dibenarkan, apalagi itu dilakukan oleh aparat penegak hukum dengan klasifikasi perwira tinggi, yang seharusnya dapat menjadi contoh bagi masyarakat. Begitu gencar pemberitaan siang dan malam memenuhi platform informasi yang tersedia baik cetak maupun elektronik. Masyarakat disibukan dengan pemberitaan yang terjadi sehingga kadang sudah masuk kedalam kategori berlebihan dan menyimpang dari substansi permasalahan.
Namun bukan itu yang akan dibahas dalam tulisan ini, tapi lebih kepada sikap kita terhadap suatu kabar berita. Kemajuan teknologi informasi memudah orang untuk mendapatkan suatu berita dengan cepat. Tidak hanya melalui televisi seperti dulu tapi juga melalui gadget yang ada dalam genggaman. Informasi begitu lancarnya berseliweran di beranda, entah informasi itu penting atau tidak bagi pembacanya, benar atau tidak yang penting berusaha menjadi yang paling update. Kemajuan teknologi ibarat dua sisi mata pisau, tergantung bagaimana kita menggunakannya. Bisa membawa manfaat, kadang juga bisa menjadi masalah buat diri kita sendiri.
Dibutuhkan filter dalam diri masing-masing orang untuk dapat menerima berita yang datang itu, kemudian merenungkan sejenak apakah bermanfaat bagi dirinya ataukah tidak. Bukankah dalam siklus kehidupan 24 jam ini kita sudah disibukan dan dibuat penat dengan berbagai persoalan. Seringkali untuk urusan pokok dalam hidup manusia saja misal ibadah, bekerja dan mengurus keluarga sudah sangat melelahkan, apalagi ditambah persoalan yang bukan kewajiban bagi kita untuk tahu. Lihatlah terlebih dahulu dari mana kabar itu datang, motif apa yang mendasari seseorang membawa kabar tersebut. Jika kemudian kabar yang diterima itu benar harus dikaji lagi apakah bermanfaat. Ketika dirasa bermanfaat maka dapat dijadikan sebagai pelajaran, amalkan, atau sampaikan lagi kepada orang lain.
Kurang lebih 1400 tahun yang lalu Allah sudah memberikan peringatan kepada manusia perihal berita yang datang melalui Firman-Nya “Hai orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang fasik membawa suatu berita, maka periksalah dengan teliti agar kamu tidak menimpakan suatu musibah kepada suatu kaum tanpa mengetahui keadaannya yang menyebabkan kamu menyesal atas perbuatanmu itu.” (QS. Al-Hujuraat : 6). Ayat ini memberikan petunjuk kepada kita agar dalam menerima kabar tidak serta merta mempercayainya. Padahal orang fasik adalah kategori yang paling ringan/mendingan dalam klasifikasi manusia dalam kutub negatif. Apalagi jika yang membawa berita adalah orang munafik ataupun kafir. Berita yang datang kadang hanya berisi kabar artis, kesalahan orang lain yang tidak ada hubungan dengan kita, serta hal-hal tidak manfaat lainnya. Tidak perlu rasanya kita terlalu menyimak kehidupan artis yang gemar pamer mobil mewah, jalan-jalan, atau kawin cerai.
Tulisan ini tidak dimaksudkan untuk menyinggung siapapun, kelompok atau golongan manapun, saya hanya mengajak kita semua untuk merenung dan lebih selektif dalam mengambil pilihan hidup, yang semata-mata didasarkan kepada alasan ilmiah. Menepikan hal-hal negatif juga baik untuk kesehatan mental. Kakek nenek kita dahulu dapat dijadikan contoh bagi manusia jaman sekarang. Sewaktu kemajuan teknologi yang mereka rasakan belum seperti sekarang betapa damai kehidupan yang mereka miliki, hal itu salah satunya karena kurang banyak tahu urusan yang bukan urusannya. Hidup yang singkat diisi dengan ibadah, kerja, pulang, dan istirahat. Sedikit tahu persoalan yang bukan kapasitasnya sungguh menenangkan, tidak mengganggu pikiran akan masa depan yang belum tentu terjadi. Waktu luang lebih baik digunakan untuk diisi dengan kegiatan positif, menambah hafalan qur’an, mendampingi anak bermain dan belajar, menghadiri majelis ilmu, dan lain sebagainya.
Kesalahan orang lain hendaknya cukup kita jadikan pelajaran agar kita tidak melakukan kesalahan yang sama, tidak perlu mencela, merundung, apalagi sampai memfitnah dengan dasar kebencian belaka. Seolah-olah kita adalah manusia yang sempurna, Imam Syafi’I pernah berkata “Jangan kau gunakan lidahmu untuk menyebut kesalahan orang lain, ingatlah bahwa orang lain juga punya mulut dan kita punya kesalahan.” Pahala begitu sedikit, amalan yang dilakukan belum tentu diterima, alangkah sia-sianya jika kemudian dihanguskan dengan mengghibahi dan memfitnah.
Comment Closed: Petaka Berita
Sorry, comment are closed for this post.