Pada suatu hari yang istimewa di Pondok Pesantren Al-Muttaqin, seluruh santri tengah bersiap menyambut Hari Santri. Acara besar ini dirayakan setiap tahun dengan penuh antusias. Salah satu agenda utamanya adalah perkemahan selama dua hari di lapangan pondok yang luas. Semua santri, dari kelas junior hingga senior, sibuk mendirikan tenda, mengatur perlengkapan, dan menyusun agenda kegiatan. Keceriaan menyelimuti suasana sore itu. Namun, di tengah keceriaan itu, ada seorang santri bernama Fajar yang tampaknya memiliki rencana lain.
Fajar dikenal sebagai santri yang cerdas, tetapi juga kadang sering tidak mematuhi peraturan pondok. Meski sering mendapat teguran dari para Ustadz, ia selalu berhasil lolos dengan dalih-dalih cerdiknya. Namun, kali ini, keisengannya untuk melanggar peraturan pondok membawa konsekuensi yang tak pernah ia bayangkan.
Malam pertama perkemahan, setelah agenda berjamaah dan tausiah selesai, seluruh santri diminta kembali ke tenda masing-masing untuk beristirahat. Namun, Fajar memiliki ide berbeda. Bersama dua sahabat dekatnya, ia merancang rencana untuk keluar dari area perkemahan. Mereka beralasan bosan dengan suasana pondok yang selalu teratur dan ingin mencoba sesuatu yang baru.
Saat semua santri tertidur lelap, Fajar dan kedua temannya diam-diam menyelinap keluar dari perkemahan, mereka menuju sebuah angkringan di pinggir jalan dekat pondok. Di sana, mereka memesan nasi kucing, gorengan, dan teh hangat sambil tertawa-tawa menikmati kebebasan sesaat. Suasana angkringan yang sederhana namun ramai membuat mereka merasa seperti pelarian sukses.
Namun, apa yang mereka anggap sebagai petualangan kecil berubah menjadi masalah besar. Salah satu Ustadz yang kebetulan sedang patroli malam melihat bayangan tiga santri keluar dari area perkemahan. Rasa curiga mendorongnya untuk mengikuti mereka dari kejauhan. Ketika Ustadz tersebut sampai di angkringan, ia terkejut mendapati Fajar dan kawan-kawannya sedang asyik makan dan bercanda.
“Fajar! Apa yang kalian lakukan di sini?” suara tegas Ustadz itu membuat ketiganya terdiam membeku.
Mereka tahu, tak ada alasan yang bisa membenarkan perbuatan mereka. Ustadz itu langsung membawa mereka kembali ke pondok tanpa banyak bicara.
Keesokan paginya, kabar tentang Fajar dan teman-temannya tersebar di seluruh pondok. Para Ustadz memutuskan untuk memberikan hukuman agar mereka jera. Fajar dan kedua temannya dipanggil ke aula utama di hadapan seluruh santri. Hukuman mereka adalah dipotong rambutnya hingga pitak, sebuah hukuman yang dianggap memalukan di pondok tersebut.
Saat rambutnya dicukur, Fajar merasakan penyesalan yang mendalam. Ia melihat tatapan kecewa dari teman-temannya dan para Ustadz. Lebih dari rasa malu, ia merasa terpukul karena menyadari bahwa tindakannya telah mencoreng momen istimewa Hari Santri. Setelah hukuman selesai, ia diminta untuk berdiri di depan para santri dan meminta maaf. Dengan suara bergetar, Fajar mengakui kesalahannya dan berjanji untuk berubah.
Sejak kejadian itu, Fajar benar-benar berubah. Ia mulai rajin mengikuti kegiatan pondok, mendekatkan diri kepada para Ustadz, dan menjadi teladan bagi santri lainnya. Meski rambut pitaknya menjadi bahan candaan selama beberapa minggu, ia menerimanya dengan lapang dada. Peristiwa itu menjadi pelajaran berharga bagi dirinya, dan ia bertekad untuk menjadikan Hari Santri berikutnya sebagai momen penuh kebanggaan, bukan penyesalan.
Kreator : Safitri Pramei Hastuti
Comment Closed: Petualangan Malam Fajar yang Berujung Penyesalan di Hari Santri
Sorry, comment are closed for this post.