Berbicara tentang profesi, ingatanku kembali ke masa lampau, saat semua berawal. Saat itu aku sedang melanjutkan sekolah menengah atas di sebuah kota yang tenang di daerah Jawa Tengah, tepatnya di daerah Yogyakarta. Pilihan untuk melanjutkan sekolah di kota ini, karena dorongan semangat kedua orangtua. Keduanya bercerita begitu menyenangkan melanjutkan sekolah di Yogya. Keduanya merupakan anak rantau yang disekolahkan orang tuanya dengan bekal semangat belajar mandiri di kota orang. Cerita ayah dan ibuku, yang selalu antusias berkisah tentang Yogya, mengantarkanku pada kerinduan yang sama. Akhirnya aku mantap memilih melanjutkan sekolah di sana. Awalnya aku tinggal di sebuah rumah asri nan nyaman di pinggiran kota Yogya. Rumah seseorang yang kupanggil Eyang. Eyang bukanlah nenek kandungku, beliau adalah orang tua temannya ayahku saat SMA. Aku melanjutkan studi di sebuah sekolah Muhammadiyah, yang kental dengan pelajaran kemuhammadiyahan dan keislaman lainnya selain membahas pelajaran umum.
Kelas satu kulalui dengan bahagia meski diselingi sesekali kangen pulang ke rumah orgtua di Jakarta. Meski demikian, homesickness ini ku obati dengan memperbanyak kegiatan di sekolah. Beberapa kegiatan ekstra kurikuler sekolah kuikuti seperti Karya Ilmiah Remaja, Tapak Suci, OSIS SMA tersebut termasuk Corps Mubalighnya. Yang terakhir adalah sebuah kegiatan ekstra kurikuler yang berisi kegiatan dakwah di masyarakat sekitar sekolah. Saat naik kelas dua, kami mulai diminta memilih mengambil penjurusan yang akan fokus kami tekuni. Ada jurusan Fisika, Biologi juga IPS. Seperti hampir sebagian besar anak SMA pada umumnya, aku pun dilema, untuk memilih jurusan yang mana yang benar-benar kusuka dan minati dan beriringan dengan cita-cita apa yang akan kuambil kelak sebagai profesi.
Dalam kondisi penuh kebingungan itu, aku mendapat masukan dari guru Fisika, bahwa nilai mata pelajaran Fisikaku termasuk cukup untuk masuk kelas Fisika. Apalagi masa itu, jadi anak Fisika, merupakan sebuah kebanggaan tersendiri dikalangan kami, terkesan keren dan ‘pintar’..hihi…
Sementara, ibu menyarankan untuk mengambil jurusan biologi. Karena beliau berharap kelak aku bisa juga jadi dokter seperti beliau. Maklumlah, aku anak pertama dari 8 bersaudara, biasanya pesan ‘sponsor’ terkuat dari orang tua akan selalu dialami. Yuk ngacung siapa yang senasib dengan ku..
Sebenarnya, aku merasa diriku adalah tipikal seorang yang suka bergaul dengan banyak orang. Selain itu aku juga lebih suka pelajaran bidang sosial dibandingkan pelajaran yang lebih bersifat IPA. Meski demikian, akhirnya ku putuskan untuk masuk jurusan Fisika, bermodal terkesan lebih bergengsi, hihihi….
Ketika mulai masuk kelas penjurusan di kelas dua, ternyata fase itu kulalui dengan tertatih-tatih. Apalagi aku dimasukkan ke kelas favorit yang hampir semua siswanya pintar pakai banget. Selisih nilai antar kami, biasanya hanya 0, 1 pada banyak pelajaran. Walhasil ketika menerima rapot semester pertama di kls 2, aku mendapat peringkat 10 besar dari bawah. Duuh, Yaa Rabb, runtuh duniaku saat itu rasanya. Apa kata orangtuaku, jika tahu peringkatku serendah itu? Jauh-jauh disekolahkan ke Yogya, hanya dapat rangking 40 dari 40 siswa…!!!!
Saat pulang liburan lebaran, aku tidak berani menyampaikan hasil itu pada kedua orangtua. Entah, rasanya tak lagi ada nyali untuk bercerita banyak hal pada keduanya, khawatir kekecewaan yang akan mereka rasakan. Namun ternyata, Nenek yang tidur sekamar denganku saat pulang ke rumah menyampaikan bahwa tiap malam aku mengigau dan berkata: “aku ga mau masuk fisika, aku ga kuat“, disertai suhu tubuh yang meninggi. Keesokan paginya, Nenek menceritakan hal itu di meja makan saat bersama kedua orangtuaku. Kemudian ibu bertanya, “kenapa Ma?”. Aku tidak menjawab dengan jujur, hanya merespon dengan jawaban,” ga ada apa-apa koq”. Selama liburan, ibu memintaku berterus terang menceritakan dengan apa yang terjadi selama proses bersekolah di rantau. Aku ceritakan bahwa sungguh berat menanggung beban untuk menjadi ranking 5 besar di kelas fisikaku saat ini. Bukan karena aku tidak belajar, namun karena persaingan nilai begitu ketat terjadi antara anggota kelas kami. Meski sebenarnya, keduanya tidak pernah memintaku untuk selalu ranking 5 besar di kelas, hanya saja aku yang merasa punya tanggung jawab untuk menjadi contoh baik bagi ketujuh adikku, sekaligus ingin membahagiakan orang tua dengan prestasiku tersebut. Setelah itu ayah bertanya, “apakah kamu mau pindah kelas? Misalnya pindah ke jurusan sosial, atau jurusan biologi seperti saran ibu di awal?”
Aku minta waktu untuk memikirkan ulang semua. Pada akhirnya aku menyampaikan bahwa, sebenarnya aku merasa tidak ada masalah di kelas itu, hanya saja kuminta ayah dan ibu bisa menerima kondisi rankingku yang tidak bisa 5 besar seperti saat di kelas 1 atau di level pendidikan sebelumnya. Karena sebenarnya kumerasa nyaman, berada diantara teman-teman yang cerdas juga religious seperti teman sekelasku saat ini.
Alhamdulillah, kedua orangtuaku mau berkompromi dan sepakat menurunkan harapan dapat meraih rangking tinggi padaku selama bersekolah SMA. Harapan keduanya, ku bisa lebih menikmati proses bersekolahku disana selanjutnya.
Berbekal kisah itu, saat akan memilih jurusan kuliah, ayah dan ibu menyerahkan sepenuhnya padaku untuk memilih yang disukai, asal bisa lulus tepat waktu. Aku sudah mencoba jalur UMPTN, yang biasa digunakan para lulusan SMA di masa itu, untuk dapat berkuliah di Universitas negeri seantero Indonesia yang favorit, namun ternyata tidak lolos.
Kala UMPTN itu aku tetap mencoba masuk jurusan kedokteran, seperti harapan ibu, namun belum lolos juga. Jika mau ambil fakultas kedokteran swasta, biasanya biayanya menjulang tinggi dan aku tidak tega memberatkan kedua orangtua, apalagi masih ada tujuh orang adik yang juga harus melanjutkan sekolah. Kemudian setelah mencari berbagai informasi, jurusan apa saja selain kedokteran, yang juga dapat membantu orang lain dengan biaya yang cukup terjangkau. Akhirnya, kutemukan fakultas Psikologi, atas ilham dari Allah. Pilihan jurusan psikologi kuambil di sebuah universitas swasta, masih di Yogya. Masa perkuliahan kulalui selama 4 tahun kurang lebih. Tahun-tahun yang kujalani penuh sukacita dengan beragam aktivitas kampus, tak hanya proses perkuliahan dalam kelas. Alhamdulillah dimudahkan Allah untuk dapat lulus cumlaude dengan IPK yang baik. Kubersyukur sekali, atas ijinNya, dapat membuktikan pada kedua orangtua, saat ku memasuki pilihan jurusan yang sesuai minat, akan lebih mudah untuk dapat mencapai prestasi sesuai harapan.
Alhamdulillah, setelah lulus S1, kembali dimudahkan Allah serta dibiayai orangtua untuk dapat segera melanjutkan studi ke jenjang S2 di sebuah universitas negeri favorit di kota Depok, Jawa Barat.
Akhirnya kini ku tekuni, profesi sebagai Psikolog Sekolah di sebuah institusi pendidikan tingkat dasar. Alhamdulillah, profesi inilah yang ternyata merupakan panggilan dari hati. Pilihan profesi dimana ku tetap dapat membantu sesama, dengan bersabar dan menikmati proses mendengarkan kisah klien-klienku. Kelegaan menyeruak dari relung hati, setiap kali melihat senyum terpancar dari wajah klien, setelah sesi mendengarkan dan berdiskusi terjadi. Mungkin banyak yang berpikir, jika ketemu Psikolog, akan terbaca pikiran yang sedang banyak masalah ya? Hihi….profesi ini bukan cenayang, yang mampu menerka apa yang akan dan telah terjadi begitu saja. Namun Psikologi adalah ilmu tentang jiwa,berasal dari bahasa latin psyche yang artinya jiwa dan logos yang bermakna ilmu. Dalam profesi ini, kubelajar bagaimana memahami manusia, dari kacamata kepribadian yang beragam dengan segala keunikan karakter masing-masing, atau lebih sering disebut dengan individual differences. Di dalamnya, ku belajar juga melakukan pengamatan secara objektif dan mewawancarai klien dengan cara yang tepat, tanpa menghakimi dan menjudge klien dari berbagai latar belakang yang beda. Semoga profesi ini pun, jadi salah satu wasilah untuk mendapat surga Firdaus-Nya kelak bersama suami dan anak-anak, juga keturunanku serta keluarga besar. Aamiin.
Kreator : Emma Indirawati
Comment Closed: Pilihan Profesi dari hati
Sorry, comment are closed for this post.