KATEGORI
  • Adat & Budaya
  • Agrikultur
  • Aksi
  • Arsitektur
  • Artikel
  • Asmara
  • Autobiografi
  • autobiography
  • Bahasa & Sastra
  • Berita Alineaku
  • Bisnis
  • Branding
  • Catatan Harian
  • Cerita Anak
  • Cerita Pendek
  • Cerita Rakyat
  • Cerpen
  • Cinta
  • Cita – Cita dan Harapan
  • Dongeng
  • Drama
  • Ekonomi
  • Epos
  • Event
  • Fabel
  • Fantasi
  • Fiksi
  • Gaya Hidup
  • Hiburan
  • Hobi
  • Hubungan Antarpribadi
  • Hukum
  • Humanis
  • Humor
  • Ilmu Manajemen
  • Inspirasi
  • Istri
  • Kampus
  • Karir dan Kewirausahaan
  • Keagamaan
  • Keluarga
  • Kesehatan & Kecantikan
  • Kesehatan Mental
  • Ketenagakerjaan
  • Kisa Masa Kecil
  • Kisah Inspiratif
  • Kritik Media
  • Kuliner
  • Legenda
  • Lifestyle
  • Lingkungan Hidup
  • Manajemen
  • mengelola toko
  • Mental Health
  • Moralitas
  • Motivasi
  • Novel
  • Nutrisi
  • Nutrition
  • Opini
  • Organisasi
  • Otomotif
  • Parenting
  • Pemerintahan
  • Pendidikan
  • Pendidikan Karir
  • Pendidikan Keuangan
  • pengalaman hidup
  • Pengembangan Diri
  • Perjalanan Hidup
  • Pernikahan
  • Persahabatan
  • Pertemanan
  • Petualangan
  • Petualangan Alam
  • Pilih Kategori
  • Pilih Menu
  • Politik
  • Psikologi
  • Psikologi Sosial
  • Puisi
  • Romansa
  • Romantisme kehidupan
  • Rumah Tangga
  • Satir
  • SDM
  • Sejarah
  • Self-Acceptance
  • Self-Awareness
  • Seni & Budaya
  • Sosial
  • spiritual journey
  • Strategi
  • Teknologi
  • Tempat Wisata
  • Traveling
  • Uncategorized
  • Wanita
  • Beranda » Artikel » Pintu yang Mulai Terbuka

    Pintu yang Mulai Terbuka

    BY 12 Des 2024 Dilihat: 97 kali
    Pintu yang Mulai Terbuka_alineaku

    Aku berdiri di depan jendela kamar tamu, memandangi taman kecil yang tersembunyi di belakang rumah ini. Daun-daun hijau masih basah oleh embun, memantulkan cahaya matahari pagi yang mulai menyelinap melalui celah-celah ranting. Udara dingin menyusup melalui celah jendela, membuatku menarik napas dalam-dalam. Di luar sana, burung-burung berkicau, seakan berlomba membangunkan dunia. Namun, suasana tenang itu tidak mampu menghilangkan kekacauan yang berputar-putar di dalam pikiranku.

    Aku memegang tirai tipis di jendela itu, jemariku menyentuh kainnya yang dingin. Pola lembut sinar matahari tercetak di lantai marmer yang mengkilap, menciptakan bayangan yang bergoyang pelan. Aku memejamkan mata sejenak, mencoba merasakan kehangatan yang masuk ke kamar ini, tapi itu tidak cukup. Tidur semalam lebih mirip sebuah pertempuran. Tempat tidur yang terlalu empuk membuatku merasa asing. Bantal bersih dengan sarung putihnya seperti tidak memanggilku untuk beristirahat. Suasana hening yang biasanya kuimpikan justru membuat pikiranku berteriak lebih keras.

    Kata-kata Nyonya Aditya kembali terngiang di telingaku. 

    “Kami tidak pernah berhenti mencarimu.”

    Benarkah???

    Aku mengalihkan pandangan ke meja kecil di sudut ruangan. Di sana, foto seorang bayi dengan tulisan penuh kasih di belakangnya tergeletak, mengingatkanku pada sesuatu yang aku coba hindari. Wajah bayi itu—wajahku. Ada sesuatu yang familiar, tapi juga terasa sangat jauh. Dan, tatapan Willy serta Jay tadi malam, penuh dengan harapan dan rasa bersalah, kini menghantui pikiranku seperti bayangan yang tak bisa kuhindari.

    Keluarga. 

    Kata itu terasa asing. Lidahku hampir kelu setiap kali aku mengucapkannya, apalagi ketika mencoba merasakannya di dalam hati. Dua puluh tahun aku hidup tanpa mereka. Dua dekade penuh pertanyaan yang tak terjawab, tanpa pelukan seorang ibu atau dukungan seorang kakak. Apakah aku benar-benar membutuhkan mereka sekarang? Apakah aku bisa menerima mereka di saat aku sudah terbiasa berjalan sendirian?

    Aku menyandarkan dahiku ke kaca jendela yang dingin. Suara burung di luar seperti menjawab kebisuanku, tapi aku tahu hanya aku yang bisa menentukan jawabannya. Dan entah kenapa, rasanya semakin sulit untuk melarikan diri dari pertanyaan ini.

    “Mayang?” 

    Suara lembut Jay mengejutkannya. Ia berdiri di ambang pintu. Wajahnya menunjukkan kehangatan bercampur kecemasan.

    Aku menoleh. 

    “Ada apa?”

    “Aku ingin menunjukkan sesuatu,” kata Jay sambil tersenyum.

    “Ikut aku sebentar.”

    Aku ragu, tapi akhirnya mengikuti Jay keluar dari kamar. Kami berjalan melewati lorong rumah menuju sebuah ruangan yang dipenuhi aroma kayu dan buku-buku tua.

    “Itu adalah ruang kerja almarhum Papa,” kata Jay.

    “Kami jarang membuka ruangan ini sejak Papa meninggal,” tukas Jay.

    “Tapi aku pikir, mungkin kau ingin melihatnya.”

    Jay mendorong pintu dan mengajakku masuk. Ruangan itu penuh dengan rak buku, foto keluarga, dan meja kerja besar yang tertutup debu tipis. Di atas meja, ada kotak kayu kecil yang terlihat sudah tua. Jay membukanya perlahan dan mengeluarkan setumpuk surat.

    “Papa menulis surat untukmu,” kata Jay.

    “Dia selalu percaya suatu hari kita akan menemukanmu.”

    Aku terdiam.

    Tanganku gemetar saat menerima surat itu. Tulisan tangan di amplopnya terlihat rapi, tapi sedikit luntur oleh waktu.

    “Bacalah kapan pun kau merasa siap.” tambah Jay sebelum meninggalkan ruangan.

    Aku duduk di tepi tempat tidur. Surat di tanganku terasa lebih berat dari yang seharusnya. Kertasnya kuning pudar, lipatannya sudah rapuh seperti usianya yang mungkin sama panjang dengan waktu aku menghilang. Aroma kertas tua bercampur dengan samar bau kayu dari furnitur di kamar ini. Aku menatap tulisan di amplopnya—huruf-huruf melengkung rapi yang menulis namaku.

    Ayu kecilku.

    Nama itu. Ayu. Itu adalah aku, tapi terasa begitu asing. Selama dua puluh tahun, aku adalah Mayang. Aku tidak pernah mengenal Ayu. Aku mendengar nama itu semalam dari Mama—aku bahkan harus memaksakan diri untuk memanggilnya begitu. Namun, saat aku mengucapkan nama itu, ada sesuatu yang mencubit dalam dada, seperti kerinduan yang tidak aku pahami.

    Dengan hati-hati, aku membuka amplop itu. Lipatan kertasnya hampir patah saat aku merentangkannya. Tapi, aku terus melakukannya, pelan-pelan, seperti takut merusaknya. Tulisan tangan itu memenuhi halaman, huruf-huruf kecil yang saling terhubung, mengalir seperti percakapan yang tidak pernah sampai kepadaku.

     

    “Untuk Ayu kecilku …” 

    “Jika kau membaca surat ini suatu hari, berarti kau telah kembali ke tempat yang seharusnya. Papa tidak pernah berhenti mencarimu, Ayu. Setiap hari, setiap malam, Papa berdoa agar kau diberi perlindungan.”

    Tanganku bergetar saat membaca kalimat itu. Matanya mulai berkaca-kaca, tapi aku menahannya. 

    Perlindungan? 

    Apa dia tahu seperti apa hidupku selama ini?

    Aku tidak pernah merasa dilindungi.

     

    “Kami kehilanganmu terlalu cepat, dan rasanya tidak ada yang bisa menggantikan tempatmu dalam hati kami. Tapi kami percaya, suatu hari kau akan kembali. Kami ingin kau tahu bahwa cinta kami tidak pernah pudar.”

     

    Aku mengerutkan dahi. Cinta? Selama dua puluh tahun, aku selalu bertanya-tanya seperti apa rasanya dicintai oleh keluarga kandung. Aku mencoba membayangkan Papa menulis ini, duduk di meja kerjanya dengan wajah penuh harap, sementara aku, anak yang dia cari, berada entah di mana, memanggil orang asing sebagai keluarga.

    Tanganku mengepal, menahan amarah yang tiba-tiba muncul.

    “Kalau kalian mencintaiku,” bisikku, suara serak dan tertahan. “Kenapa kalian butuh dua puluh tahun untuk menemukanku?”

    Aku melanjutkan membaca meski kata-kata itu menusuk jauh ke dalam.

    “Ayu, jika kau merasa marah, kecewa, atau bahkan benci kepada kami, itu wajar. Tapi beri kami kesempatan untuk mencintaimu lagi. Kami adalah keluargamu, dan kami ingin menebus semua waktu yang hilang.”

    Air mata akhirnya jatuh, tidak bisa aku tahan lagi. Tangan kiriku mengusap pipi, sementara tangan kanan masih memegang erat surat itu. Aku merasa seperti seorang anak kecil yang tersesat, mendengar suara orang tuanya memanggil dari jauh.

    Keluarga.

    Kata itu terasa seperti jaring laba-laba yang lengket, menyentuhku dengan lembut namun sulit dilepaskan. Aku sudah terbiasa sendiri, mengandalkan diriku sendiri, bahkan merasa nyaman dalam kesendirian itu. Namun sekarang, surat ini seperti menyalakan kembali sesuatu yang selama ini aku kubur dalam-dalam—keinginan untuk diterima, untuk pulang.

    Aku melipat kembali surat itu dengan hati-hati, seolah takut melukai kenangan yang tertulis di dalamnya. Aku mengembalikannya ke dalam amplop dan memandangi tulisan Ayu kecilku sekali lagi. Aku menarik napas dalam-dalam, mencoba mengumpulkan kekuatan untuk menghadapi semua ini.

    Aku tidak tahu apakah aku bisa memaafkan mereka. Tapi aku tahu satu hal: aku tidak bisa mengabaikan mereka begitu saja.

    Air mata menetes di pipiku saat ia menyelesaikan surat itu. Ada perasaan hangat yang mulai tumbuh, meski samar.

    Hari itu, Mama memutuskan untuk memasak makan siang yang istimewa. Semua anggota keluarga berkumpul di ruang makan. Suasana canggung masih terasa, terutama bagiku yang belum terbiasa dengan kehangatan seperti ini.

    “Makanlah, May,” kata Jay sambil menyodorkan mangkuk sayur.

    “Mama selalu membuat sayur ini di hari-hari spesial.”

    Aku mengambil mangkuk itu, mengucapkan terima kasih pelan. Aku mencicipi makanan itu dan untuk pertama kalinya, aku merasa seperti berada di rumah.

    “Kami ingin tahu lebih banyak tentangmu,” kata Jay tiba-tiba.

    “Tentang hidupmu selama ini. Kau tak harus menjawab jika tak ingin, tapi kami benar-benar ingin mengenalmu.”

    Aku terdiam sembari menatap wajah-wajah yang menunggu dengan sabar.

    “Hidupku tidak mudah. Tapi aku bertahan. Itu saja yang perlu kalian tahu untuk saat ini.”

    Mama tersenyum.

    “Kami tidak akan memaksamu, Nak. Kami hanya ingin kau tahu bahwa kami ada di sini untukmu.”

    Setelah makan siang, aku pergi ke taman belakang mencari udara segar. Aku duduk di bangku kayu, memandangi bunga-bunga yang tertata rapi. Willy muncul, membawa secangkir teh.

    “Kau tahu?” katanya sambil duduk di sampingku.

    “Papa selalu bilang bahwa taman ini adalah tempat favoritnya. Dia sering duduk di sini, memikirkan cara untuk menemukanmu.”

    Aku tersenyum tipis. 

    “Kau sering duduk di sini juga?”

    Willy mengangguk. 

    “Aku sering memikirkan bagaimana rasanya punya adik perempuan. Dan sekarang kau di sini, tapi aku masih merasa seperti mimpi.”

    Aku menatapnya.

    “Aku tidak tahu apakah aku bisa menjadi bagian dari keluarga ini.”

    “Kau tidak perlu memaksakan diri,” kata Willy.

    “Kami hanya ingin kau tahu bahwa kami mencintai dan menyayangimu, apapun yang terjadi.”

    Malam itu, aku kembali ke kamar tidur dengan perasaan yang lebih ringan. Surat dari Papa, makan siang bersama keluarga, dan percakapan dengan Willy memberinya harapan. Untuk pertama kalinya, aku merasa bahwa aku bisa membuka pintu hati sedikit lebih lebar.

    Aku memandang langit malam melalui jendela, bintang-bintang berkelap-kelip seperti memberikan restu.

    “Mungkin aku bisa mencoba,” gumamnya pelan sebelum tidur.

     

     

    Kreator : Fati Nura

    Bagikan ke

    Comment Closed: Pintu yang Mulai Terbuka

    Sorry, comment are closed for this post.

    Popular News

    • Part 15: Warung Kopi Klotok  Sesampainya di tempat tujuan, Rama mencari tempat ternyaman untuk parkir. Bude langsung mengajak Rani dan Rama segera masuk ke warung Kopi Klotok. Rama sudah reservasi tempat terlebih dahulu karena tempat ini selalu banyak pengunjung dan saling berebut tempat yang ternyaman dan posisi view yang pas bagi pengunjung. Bude langsung memesan […]

      Okt 01, 2024
    • Part 16 : Alun – Alun  Kidul Keesokan paginya seperti biasa Bude sudah bangun dan melaksanakan ibadah sholat subuh. Begitupun dengan Rani yang juga melaksanakan sholat subuh. Rani langsung ke dapur setelah menunaikan ibadah sholat subuh. Tidak lama disusul oleh Bude dan langsung mengambil bahan masakan serta mengiris bahan untuk memasak. Rani dan Bude sangat […]

      Okt 16, 2024
    • Part 14: Kopi Klotok Pagi hari yang cerah, secerah hati Rani dan semangat yang tinggi menyambut keseruan hari ini. Ia bersenandung dan tersenyum sambil mengiris bahan untuk membuat nasi goreng. Tante, yang berada di dekat Rani, ikut tersenyum melihat Rani yang bersenandung dengan bahagia. “Rani, kamu ada rasa tidak sama Rama? Awas, ya. Jangan suka […]

      Sep 18, 2024
    • Part 13 : Candi Borobudur Keesokan harinya Rama sibuk mencari handphone yang biasa membangunkannya untuk berolahraga disaat Rama berada di Jogja. Rama tersenyum dan semangat untuk bangun, membersihkan diri dan segera membereskan kamarnya. Tidak lupa Rama juga menggunakan pakaian yang Rapih untuk menemui Rani hari ini. Sementara Rani seperti biasa masih bermalas-malasan di dalam kamarnya […]

      Sep 07, 2024
    • Part 12 : Cemburu Rama langsung memukul Jaka saat Jaka baru saja masuk ke ruang kerjanya Rama. Jaka yang meringis bukannya marah namun malah tersenyum terhadap Rama karena Jaka tahu bahwa Rama lagi cemburu terhadapnya. Rama males menjawab salam dari Jaka namun sebagai orang yang punya adab Rama harus menjawab salam dari Jaka dengan sopan. […]

      Sep 05, 2024

    Latest News

    Buy Pin Up Calendar E-book On-line At Low Prices In India After the installation is complete, you’ll have the flexibility […]

    Jun 21, 2021

    Karya Nurlaili Alumni KMO Alineaku Hampir 10 bulan, Pandemi Covid -19 telah melanda dunia dengan cepat dan secara tiba-tiba. Hal […]

    Des 07, 2021

    Karya Lailatul Muniroh, S.Pd Alumni KMO Alineaku Rania akhirnya menikah juga kamu,,,  begitu kata teman2nya menggoda, Yaa,,,Rania bukan anak.yang cantik […]

    Des 07, 2021

    Karya Marsella. Mangangantung Alumni KMO Alineaku Banyak anak perempuan mengatakan bahwa sosok pria yang menjadi cinta pertama mereka adalah Ayah. […]

    Des 07, 2021

    Karya Any Mewa Alumni KMO Alineaku Bukankah sepasang sejoli memutuskan bersatu dalam ikatan pernikahan demi menciptakan damai bersama? Tetapi bagaimana […]

    Des 07, 2021