Langit sore Jogjakarta tampak muram, seolah tahu bahwa hari itu adalah titik balik dalam hidup Hutama. Di sudut kamarnya yang penuh tumpukan buku dan kertas ujian, ia duduk terpaku, menatap layar ponsel yang menampilkan pengumuman hasil seleksi CPNS. Detik-detik berlalu bagai batu yang menimpa dada, hingga akhirnya dua kata itu muncul: “LULUS”.
Tubuhnya seolah tersentak. Air mata membasahi pipi tanpa bisa dibendung. Ia tahu, perjalanan panjang dan perjuangan tanpa henti selama bertahun-tahun akhirnya berbuah manis. Namun, manisnya keberhasilan itu segera terasa getir ketika ia membaca tujuan penugasannya: Kabupaten Lamandau, Kalimantan Tengah.
Lamandau,tanah yang baginya masih asing, jauh dari hingar-bingar kota pelajar yang selalu memberinya rasa nyaman dan semangat. Kota besar yang selama ini menjadi saksi kisah perjuangannya kini harus ia tinggalkan. Hutama merasa seperti berdiri di tepi jurang, antara kenyamanan yang ia kenal dan ketidakpastian yang menanti.
“Apakah aku siap?” tanyanya dalam hati, suara kecil penuh keraguan menggema di ruang sunyinya.
Malam itu, angin membawa aroma kenangan Yogyakarta yang sulit ia lupakan, kebisingan pasar tradisional, aroma kopi di sudut jalan, tawa sahabat di bawah lampu kota. Namun, semua itu harus ia tinggalkan demi sebuah panggilan yang lebih besar: mengabdi di daerah terpencil, membangun masa depan yang belum pernah ia jamah.
Hari-hari berikutnya dipenuhi dengan persiapan dan perpisahan yang berat. Pelukan hangat orang tua, air mata haru, dan janji-janji yang terucap lirih namun penuh makna. Lamandau bukan hanya sekadar tempat baru, melainkan medan ujian bagi impian dan tekadnya.
Ketika kereta terakhir melaju meninggalkan Yogyakarta, Hutama menatap ke luar jendela dengan mata yang penuh harap dan tekad. Di depan sana, hutan lebat dan sungai-sungai besar menanti, menyimpan tantangan dan cerita yang belum tergali.
Ini bukan sekadar perjalanan fisik, tapi perjalanan jiwa. Perjalanan seorang anak kota yang harus belajar bertahan, beradaptasi, dan menemukan makna pengabdian sejati di bumi Lamandau yang jauh di sana.
Langkah pertamanya di tanah baru itu akan menentukan masa depan bukan hanya bagi dirinya, tapi juga bagi ribuan jiwa yang berharap pada dirinya.
Dan dengan satu tarikan napas dalam, Hutama melangkah ke depan. Di antara kerumunan penumpang yang turun dari Pesawat , ia berdiri sendiri dengan tas punggung yang sudah lusuh, membawa harapan sekaligus beban berat. Tidak ada keramaian yang menyambut, tidak ada wajah-wajah akrab yang menanti. Hanya udara basah dan aroma tanah yang baru diguyur hujan, mengingatkannya pada betapa jauh dan asingnya tempat ini.
Seketika, rasa rindu membuncah dalam dadanya. Rindu pada rumah, pada ibu yang selalu menyediakan secangkir teh hangat, pada jalanan Malioboro yang ramai, dan pada teman-teman yang selalu memberinya semangat. Namun, di balik itu semua, ada tekad yang lebih besar,tekad untuk membuktikan bahwa dirinya mampu berkontribusi, meski jauh dari pusat kenyamanan.
Langkah pertama di bumi Lamandau menjadi saksi bisu sebuah permulaan. Permulaan yang tak hanya tentang pekerjaan sebagai PNS, tapi juga tentang perjalanan batin yang akan menguji siapa dirinya sebenarnya.
Hutama menarik napas dalam-dalam, merasakan dinginnya udara malam yang menusuk kulit. “Ini bukan sekadar tugas,” bisiknya pelan, “ini adalah pengabdian. Untuk negeri, untuk orang-orang yang menunggu harapan.”
Di bawah langit yang penuh bintang, ia melangkah keluar dari Bandara Iskandar yang berada di Kota Pangkalan Bun yang jaraknya sekitar 2,5 jam dengan Kabupaten Lamandau, menuju sebuah dunia baru yang penuh tantangan dan cerita.
Kreator : Galih Satria Hutama
Comment Closed: PROLOG : DI KALA SEBUAH KEBIMBANGAN DAN RASA SYUKUR BERTEMU
Sorry, comment are closed for this post.