KATEGORI
  • Adat & Budaya
  • Agrikultur
  • Aksi
  • Arsitektur
  • Artikel
  • Asmara
  • Autobiografi
  • autobiography
  • Bahasa & Sastra
  • basedonmyrealitylife
  • Berita Alineaku
  • Bisnis
  • Branding
  • Catatan Harian
  • Cerita Anak
  • Cerita Bersambung
  • Cerita Pendek
  • Cerita Rakyat
  • Cerpen
  • Cinta
  • Cita – Cita dan Harapan
  • Dongeng
  • Drama
  • Ekonomi
  • Epos
  • Event
  • Fabel
  • Fantasi
  • Fiksi
  • Gaya Hidup
  • Hiburan
  • Hobi
  • Hubungan Antarpribadi
  • Hukum
  • Humanis
  • Humor
  • Ilmu Manajemen
  • Inspirasi
  • Istri
  • Kampus
  • Karir dan Kewirausahaan
  • Keagamaan
  • Keluarga
  • Kesehatan & Kecantikan
  • Kesehatan Mental
  • Ketenagakerjaan
  • Kisa Masa Kecil
  • Kisah Inspiratif
  • Kritik Media
  • Kuliner
  • Legenda
  • Lifestyle
  • Lingkungan Hidup
  • Madhoe Retna
  • Manajemen
  • mengelola toko
  • Mental Health
  • Moralitas
  • Motivasi
  • Novel
  • Nutrisi
  • Nutrition
  • Opini
  • Organisasi
  • Otomotif
  • Parenting
  • Pemerintahan
  • Pendidikan
  • Pendidikan Karir
  • Pendidikan Keuangan
  • pengalaman hidup
  • Pengembangan Diri
  • Perjalanan Hidup
  • Pernikahan
  • Persahabatan
  • Pertemanan
  • Petualangan
  • Petualangan Alam
  • Pilih Kategori
  • Pilih Menu
  • Politik
  • Psikologi
  • Psikologi Sosial
  • Puisi
  • Romansa
  • Romantisme kehidupan
  • Rumah Tangga
  • Satir
  • SDM
  • Sejarah
  • Self-Acceptance
  • Self-Awareness
  • Seni & Budaya
  • Sosial
  • spiritual journey
  • Strategi
  • Teknologi
  • Tempat Wisata
  • Traveling
  • Uncategorized
  • Wanita
  • Beranda » Artikel » Proyek Origo

    Proyek Origo

    BY 24 Agu 2025 Dilihat: 41 kali
    Proyek Origo_alineaku

    “Kita tidak akan menghapus, hanya menyusun ulang.”

    Suara pria itu memantul pelan di dalam ruang observasi yang sepi. Cahaya redup dari panel kontrol menyinari wajahnya yang pucat dan kaku. Namanya Prof. Satya Raditya, ahli neurosains eksperimental dengan reputasi brilian dan kontroversial. Di hadapannya, serangkaian layar menampilkan gelombang otak dan rekaman detak jantung dari seorang anak lelaki yang tengah duduk tenang di balik dinding kaca. Anak itu adalah Irwin, putranya.

    Usia Irwin baru delapan tahun. Tubuh kecilnya terbungkus piyama biru langit, dan helm sensor EEG melingkari kepalanya. Ia duduk dengan tenang di kursi logam, tangannya di pangkuan. Terlalu tenang, pikir asistennya, Laras. Ia berdiri di sebelah Prof. Satya, menggenggam tablet yang merekam data.

    “Efek sampingnya belum diuji secara luas,” bisik Laras, nyaris seperti desahan ketakutan. “Apa Bapak yakin? Ini bukan sekadar teori di atas kertas. Ini memori anak kandung Bapak sendiri.”

    Prof. Satya tidak menjawab. Pandangannya terpaku pada layar yang menampilkan potongan-potongan gambar dari ingatan Irwin. Wajah seorang wanita tersenyum. Suara tawa. Sebuah tangan mengusap kepala. Kemudian… kosong. Fragmentasi mulai terjadi. Gambar-gambar itu perlahan memudar, disusun ulang dalam pola baru yang telah diprogram oleh algoritma Origo.

    Origo adalah proyek besar pertama yang diajukan ke lembaga riset mandiri tiga tahun lalu. Tujuannya sederhana, setidaknya diatas proposal yaitu untuk memulihkan trauma anak-anak dengan menyusun ulang ingatan traumatis menjadi versi yang tidak menyakitkan. Tapi sesungguhnya, Origo adalah tentang kontrol. Tentang arah. Tentang mengarahkan masa depan seseorang dari titik nol, tanpa perlu menghapus seluruh identitasnya.

    Prof. Satya menjelaskan pada semua orang bahwa ini demi anaknya. Bahwa setelah kematian istrinya—ibunya Irwin—sang anak mulai kehilangan arah. Menarik diri. Mengigau di malam hari. Menolak bicara. Namun, di dalam benaknya sendiri, Satya menyimpan rasa bersalah yang dalam. Ia merasa gagal melindungi keluarganya. Dan kini, satu-satunya hal yang bisa ia lakukan adalah memastikan bahwa Irwin tidak tumbuh dengan luka yang sama.

    “Apa dia akan ingat ibunya?” tanya Laras pelan.

    “Dia akan ingat seseorang yang menyayanginya. Tapi, tidak cukup jelas untuk membentuk luka.” Prof. Satya menjawab perlahan.

    Laras menghela napas.

    Di dalam ruangan isolasi, Irwin tiba-tiba menoleh ke arah kaca. Matanya tajam, meski kosong. Ia tidak mungkin bisa melihat mereka dari balik lapisan kaca reflektif. Tapi detik itu, seolah ia tahu. Laras bergidik.

     “Gelombangnya naik. Ada resistensi,” kata Laras panik.

     “Biarkan. Origo sedang mengoreksi.”

    Garis-garis gelombang otak di layar melonjak, kemudian… berhenti. Lurus. Satu detik. Dua detik. Jantung Laras nyaris berhenti.

    “Irwin!” jerit Laras hendak berlari menuju ruangan isolasi.

    Namun, sebelum ia sempat berlari, grafik itu hidup kembali. Perlahan. Tenang. Tapi berbeda. Garisnya tidak seperti sebelumnya. Tidak kacau, tapi juga tidak sepenuhnya manusiawi. Ada pola yang terlalu simetris, terlalu teratur.

    Irwin tetap dalam posisinya, tidak bergerak. Terlalu tenang malah. 

    Laras ketakutan. Ia menoleh cemas pada Prof. Satya yang ternyata matanya membelalak penuh harap dan cemas, tampak dari caranya memandang lurus ke dalam ruangan isolasi. Fokus pada Irwin. Pandangan seolah tak mau melepaskan sedikitpun gerakan yang muncul pada Irwin. Rasanya seperti waktu berjalan lambat. Deru halus mesin pada laboratorium itu pun terdengar seperti mesin pengeruk tanah yang sibuk dalam pendengaran kedua orang tersebut. Keringat dingin Prof. Satya mulai membasahi dahi dan tengkuknya, dan membuat jantungnya berdetak dua kali lebih cepat dari biasanya makin membuat tubuhnya sedingin di kutub utara. 

    “Ayo, Irwin! Buka matamu, nak. Ayah tahu kamu kuat dan sehat. Kamu pasti bisa melewati ini semua Nak.. ayo Irwin bangun.. bangun Nak!” desis tertahan di bibirnya diucapkan berulang-ulang tanpa sadar oleh Prof. Satya. Sementara di sebelahnya, keadaan Laras pun tak jauh berbeda, mengucapkan doanya dalam hati untuk Irwin sambil meneteskan air matanya, sedih dengan nasib Irwin yang tidak tahu bahwa dia telah menjadi eksperimen ayahnya yang sebenarnya juga menderita dengan kondisi Irwin yang terlalu sedih dan merana sejak kematian ibunya. Meskipun Laras tahu Prof. Satya berniat baik untuk kesembuhan mental anaknya.

    Dan, mereka berdua pun bernafas lega setelah kedua kelopak mata Irwin akhirnya bergerak-gerak diikuti gerakan halus pada kaki dan tangannya. Tak lama Irwin terbatuk-batuk dan membuka matanya perlahan memandang lurus kedepan. Sejurus kemudian menoleh ke kanan seolah tahu persis letak ayahnya berada dibalik kaca ruang isolasi yang sedang mengamatinya dengan cemas. Irwin memanggil “Ayah” perlahan. Lalu menoleh ke kanan ke kiri seolah mencari sesuatu. Prof. Satya lalu menekan tombol hijau yang ada di antara panel-panel di depannya.

    “Irwin.. Ayah ada di sini. Kamu sudah boleh keluar sekarang Nak.” ucap Prof. Satya pelan.

    Irwin pun mengangguk, menjawab tanpa suara.

    Irwin melepaskan helm di kepalanya, sambil menunduk pelan. Perlahan bergerak turun dari kursinya. Lalu pandangan matanya menelusuri meja yang ada dihadapannya. Tangannya meraih sebuah buku catatan kecil diatasnya. Buku yang ia bawa sendiri, yang tak pernah bisa dibuka siapapun. Buku itu kosong, secara kasat mata. Tapi Irwin menulis. Selalu menulis.

    Laras memandang Satya dengan ngeri. “Apa itu efek Origo juga?”

    Prof. Satya tak menjawab. Matanya terpaku pada tulisan tangan Irwin di layar—yang diambil dari kamera pengawas di atas. Kalimat yang ditulis anaknya membuat darahnya membeku:

    “Apa yang hilang bukan kenangan, tapi pilihan. Jika aku tidak diizinkan mengingat, maka aku akan menulis ulang semuanya.”

     

     *******

    Tiga Bulan Kemudian

     

    Irwin terlihat seperti anak biasa. Tertawa sewajarnya. Bermain di halaman belakang. Tapi, di malam hari, ia duduk di bawah lampu meja kecil di kamarnya, mencatat.

    Setiap malam, selalu ada satu halaman baru. Dengan tulisan tangan yang semakin dewasa, dengan narasi yang tidak mungkin ditulis anak berusia delapan tahun. Ia tidak lagi menyebutkan nama ibu, tapi ia mengganti dengan dia yang selalu membawa cahaya.

    Ia mulai menggambar simbol. Simbol yang mirip dengan pola gelombang otaknya. Lalu, ia juga mulai menyembunyikan buku itu. Pertama, di rak. Lalu, di bawah lantai kayu. Hingga akhirnya, ia menyelipkannya ke rak perpustakaan tua di kampus tempat ayahnya mengajar—rak nomor tujuh, baris ketiga dari bawah.

    Ia tidak tahu kenapa ia melakukannya. Atau mungkin… tahu. Tapi memilih untuk tidak mengingat. 

    Tak lama, Irwin mulai melupakan bukunya itu.

    Prof. Satya mencatat semuanya. Ia tahu bahwa Origo belum selesai bekerja. Ia tahu bahwa putranya mungkin sudah lebih dari sekadar ‘disusun ulang’.

    Ia juga tahu, suatu hari nanti, Irwin akan mencari dan menemukan dirinya kembali. Apakah mungkin seperti itu? Atau Irwin akan menjadi ‘seseorang’ yang berbeda?

    Dan, saat hari itu tiba, satu-satunya yang bisa ia lakukan adalah berharap—anaknya memilih arah yang berbeda dari yang sudah dipetakan. 

    “Karena kau tak bisa mengendalikan arah hidup seseorang… selamanya.”

    Dan, itu adalah pelajaran yang paling ditakutinya.

     

     

    Kreator : Mala Elgwosh

    Bagikan ke

    Comment Closed: Proyek Origo

    Sorry, comment are closed for this post.

    Popular News

    • Part 15: Warung Kopi Klotok  Sesampainya di tempat tujuan, Rama mencari tempat ternyaman untuk parkir. Bude langsung mengajak Rani dan Rama segera masuk ke warung Kopi Klotok. Rama sudah reservasi tempat terlebih dahulu karena tempat ini selalu banyak pengunjung dan saling berebut tempat yang ternyaman dan posisi view yang pas bagi pengunjung. Bude langsung memesan […]

      Okt 01, 2024
    • Part 16 : Alun – Alun  Kidul Keesokan paginya seperti biasa Bude sudah bangun dan melaksanakan ibadah sholat subuh. Begitupun dengan Rani yang juga melaksanakan sholat subuh. Rani langsung ke dapur setelah menunaikan ibadah sholat subuh. Tidak lama disusul oleh Bude dan langsung mengambil bahan masakan serta mengiris bahan untuk memasak. Rani dan Bude sangat […]

      Okt 16, 2024
    • Dalam dunia pendidikan modern, pendekatan sosial emosional semakin banyak dibahas. Salah satu model yang mendapatkan perhatian khusus adalah **EMC2 sosial emosional**. Namun, apa sebenarnya yang dimaksud dengan Definisi EMC2 sosial emosional? Mengapa pendekatan ini penting dalam pembelajaran? Mari kita bahas lebih lanjut untuk memahami bagaimana EMC2 berperan dalam perkembangan siswa secara keseluruhan. Definisi EMC2 Sosial […]

      Okt 02, 2024
    • Pancasila sebagai dasar negara Indonesia tidak lahir begitu saja. Di balik perumusan lima sila yang menjadi pondasi bangsa ini, ada pemikiran mendalam dari para tokoh pendiri bangsa, salah satunya adalah Soekarno. Pemikiran Soekarno dalam merumuskan Pancasila sebagai dasar negara menjadi salah satu tonggak penting dalam sejarah Indonesia. Lalu, apa saja pemikiran Soekarno tentang dasar negara […]

      Des 02, 2024
    • Rumusan dasar negara yang dikemukakan oleh Mr. Soepomo memiliki peran sangat penting dalam pembentukan dasar negara Indonesia. Dalam sidang BPUPKI, Mr. Soepomo menjelaskan gagasan ini dengan jelas, menekankan pentingnya persatuan dan keadilan sosial. Dengan demikian, fokusnya pada teori negara integralistik membantu menyatukan pemerintah dan rakyat dalam satu kesatuan. Lebih lanjut, gagasan ini tidak hanya membentuk […]

      Okt 21, 2024

    Latest News

    Buy Pin Up Calendar E-book On-line At Low Prices In India After the installation is complete, you’ll have the flexibility […]

    Jun 21, 2021

    Karya Nurlaili Alumni KMO Alineaku Hampir 10 bulan, Pandemi Covid -19 telah melanda dunia dengan cepat dan secara tiba-tiba. Hal […]

    Des 07, 2021

    Karya Lailatul Muniroh, S.Pd Alumni KMO Alineaku Rania akhirnya menikah juga kamu,,,  begitu kata teman2nya menggoda, Yaa,,,Rania bukan anak.yang cantik […]

    Des 07, 2021

    Karya Marsella. Mangangantung Alumni KMO Alineaku Banyak anak perempuan mengatakan bahwa sosok pria yang menjadi cinta pertama mereka adalah Ayah. […]

    Des 07, 2021

    Karya Any Mewa Alumni KMO Alineaku Bukankah sepasang sejoli memutuskan bersatu dalam ikatan pernikahan demi menciptakan damai bersama? Tetapi bagaimana […]

    Des 07, 2021