KATEGORI
  • Adat & Budaya
  • Agrikultur
  • Aksi
  • Arsitektur
  • Artikel
  • Asmara
  • Autobiografi
  • autobiography
  • Bahasa & Sastra
  • Berita Alineaku
  • Bisnis
  • Branding
  • Catatan Harian
  • Cerita Anak
  • Cerita Pendek
  • Cerita Rakyat
  • Cerpen
  • Cinta
  • Cita – Cita dan Harapan
  • Dongeng
  • Drama
  • Ekonomi
  • Epos
  • Event
  • Fabel
  • Fantasi
  • Fiksi
  • Gaya Hidup
  • Hiburan
  • Hobi
  • Hubungan Antarpribadi
  • Hukum
  • Humanis
  • Humor
  • Ilmu Manajemen
  • Inspirasi
  • Istri
  • Kampus
  • Karir dan Kewirausahaan
  • Keagamaan
  • Keluarga
  • Kesehatan & Kecantikan
  • Kesehatan Mental
  • Ketenagakerjaan
  • Kisa Masa Kecil
  • Kisah Inspiratif
  • Kritik Media
  • Kuliner
  • Legenda
  • Lifestyle
  • Lingkungan Hidup
  • Manajemen
  • mengelola toko
  • Mental Health
  • Moralitas
  • Motivasi
  • Novel
  • Nutrisi
  • Nutrition
  • Opini
  • Organisasi
  • Otomotif
  • Parenting
  • Pemerintahan
  • Pendidikan
  • Pendidikan Karir
  • Pendidikan Keuangan
  • pengalaman hidup
  • Pengembangan Diri
  • Perjalanan Hidup
  • Pernikahan
  • Persahabatan
  • Pertemanan
  • Petualangan
  • Petualangan Alam
  • Pilih Kategori
  • Pilih Menu
  • Politik
  • Psikologi
  • Psikologi Sosial
  • Puisi
  • Romansa
  • Romantisme kehidupan
  • Rumah Tangga
  • Satir
  • SDM
  • Sejarah
  • Self-Acceptance
  • Self-Awareness
  • Seni & Budaya
  • Sosial
  • spiritual journey
  • Strategi
  • Teknologi
  • Tempat Wisata
  • Traveling
  • Uncategorized
  • Wanita
  • Beranda » Artikel » pulang ke rumah lama

    pulang ke rumah lama

    BY 12 Des 2024 Dilihat: 114 kali
    pulang ke rumah lama_alineaku

    Aku meraih ponsel di meja samping tempat tidur. Jemariku melayang di atas layar, menatap kontak terakhir yang kutandai: Bima. Foto profilnya menunjukkan wajah ceria dengan senyum yang khas. Aku menghela napas panjang, merasakan dorongan kuat untuk kembali melihat dunia yang dulu aku tinggalkan. Dunia di mana aku tahu pasti tempatku berada.

    Aku mengetik pesan singkat.

    “Bima, aku mau pulang malam ini. Kamu di rumah?”

    Tak sampai satu menit, balasannya muncul. 

    “Aku di rumah, Mbak. Cepat pulang. Aku kangen.”

    Ada rasa hangat yang menyebar di dadaku membaca pesannya. Di dunia lamaku, segalanya lebih sederhana, meskipun jauh dari sempurna. Aku merindukan kehangatan itu, tetapi kini, aku mulai menyadari bahwa aku juga tidak bisa sepenuhnya meninggalkan dunia baruku.

    Aku membuka pintu kamar dan melangkah menuju ruang tamu. Jay sedang duduk di sofa, membaca buku, sementara Mama sibuk di dapur. Keduanya menoleh ke arahku begitu mereka mendengar langkahku.

    “Mayang, sudah mau tidur?” tanya Jay, menutup bukunya.

    Aku menggeleng, sedikit tersenyum.

    “Aku mau pulang ke rumah, ambil beberapa barangku.”

    Mama muncul dari dapur, membawa cangkir teh yang masih mengepul.

    “Pulang malam-malam begini, Nak? Bagaimana kalau besok saja? Mama khawatir kalau kamu pergi sendiri.”

    Aku ragu sejenak. Tawaran Mama terasa tulus, tetapi aku tahu bahwa aku membutuhkan momen ini untuk diriku sendiri.

    “Nggak apa-apa, Ma. Aku cuma ambil barang sebentar. Lagipula, aku sudah kirim pesan ke Bima. Dia menunggu di rumah.”

    Jay bangkit dari sofa, menatapku dengan senyuman kecil.

    “Kalau begitu, aku antar. Nggak aman sendirian malam-malam.”

    Aku hendak menolak, tetapi tatapan Jay mengingatkanku pada Bima—tatapan protektif yang tak pernah kupikir akan kurasakan dari seseorang selain adikku.

    “Baiklah,” jawabku akhirnya.

    Di sepanjang perjalanan, Jay mengemudi dengan tenang. Lampu jalan yang redup memantulkan bayangan pohon di aspal, menciptakan suasana yang sunyi namun menenangkan. Aku menatap keluar jendela, melihat bayangan gedung-gedung dan rumah-rumah yang tampak asing, tetapi perlahan menjadi lebih akrab.

    “Kamu kelihatan lebih tenang sekarang,” kata Jay, memecah keheningan.

    Aku tersenyum kecil, meskipun mataku tetap menatap ke luar.

    “Aku cuma… butuh melihat rumah lama. Kadang aku merasa seperti terjebak antara dua dunia, Jay. Dunia lama yang penuh kenangan, dan dunia baru ini yang terasa… asing.”

    Jay mengangguk, matanya fokus ke jalan.

    “Aku ngerti, May. Tapi nggak apa-apa merasa seperti itu. Kamu nggak harus memilih salah satunya. Kadang, kita bisa berjalan di antara keduanya.”

    Kata-kata itu menggema di dalam pikiranku. Aku tidak menjawab, tetapi hatiku merasa sedikit lebih ringan.

    Ketika kami sampai di depan rumah lamaku, lampu teras sudah menyala, dan bayangan Bima terlihat dari jendela. Rumah itu kecil dan sederhana, berbeda jauh dari kemewahan tempat aku tinggal bersama Mama dan saudara-saudaraku. Namun, ada kehangatan yang langsung menyelimutiku begitu aku melangkah keluar dari mobil.

    “Aku tunggu di sini,” kata Jay sambil membuka jendela mobil.

    “Kalau butuh bantuan, panggil saja.”

    Aku mengangguk, merasa bersyukur atas kehadirannya. 

    Aku berdiri di depan pintu rumah lamaku, tempat di mana aku tumbuh besar bersama Bapak dan Bima. Aroma kayu tua bercampur tanah yang lembab menyapa indra penciumanku. Rumah ini kecil dan sederhana, jauh berbeda dari rumah besar yang kutinggali bersama Mama, Jay, dan Willy. Tapi, di sinilah aku merasa aman, meskipun kini perasaan itu terasa sedikit berubah.

    Ketukan pelan di pintu membuat langkah-langkah tergesa di dalam rumah terdengar mendekat. Tak lama, pintu terbuka, dan Bima berdiri di sana dengan senyum lebar.

    “Mbak!” serunya sambil langsung memelukku erat.

    Aku tertawa kecil, membalas pelukannya.

    “Aku pulang, Bim.”

    Dia melepas pelukannya, menatap wajahku dengan penuh antusias.

    “Aku kira kamu udah betah di sana dan nggak bakal pulang lagi.”

    “Mana mungkin aku lupa sama rumah ini, Bim” kataku, meskipun ada sedikit rasa bersalah dalam hatiku.

    Bima menarikku masuk, menutup pintu di belakangku. Rumah itu masih sama—meja kayu tua di ruang tamu, sofa yang sudah mulai usang, dan foto keluarga yang tergantung di dinding. Semuanya tampak kecil dan penuh, tetapi terasa hangat.

    Bima memegang lenganku, menarikku kembali ke dunia nyata.

    “Mbak, kamu kelihatan capek. Duduk dulu, aku ambilkan teh.”

    Aku mengangguk, mengikuti langkahnya ke ruang tamu. Aku duduk di sofa yang sudah mulai kendur, memandangi meja kecil di depanku. Di atasnya, ada sebuah foto lama yang tampaknya baru saja diletakkan di sana—foto aku, Bima, dan Bapak saat aku masih kecil.

    Mataku terfokus pada wajah Bapak dalam foto itu. Wajahnya yang lelah tetapi penuh kasih sayang masih tertanam jelas di ingatanku. Dia adalah segalanya bagiku, tetapi sekarang, aku merasa seperti telah meninggalkan dia dan semua kenangan ini di belakang.

    Saat aku menatap foto itu, wajah Bapak dan Bima dalam bingkai kayu tua itu terasa begitu nyata. Aku hampir bisa mendengar tawa Bima yang riang, bisa merasakan kehangatan rumah ini. Tapi kemudian, ada rasa asing yang menyusup ke dalam perasaanku—seperti aku sedang mengingat kenangan yang bukan sepenuhnya milikku. Dua puluh tahun hidup dengan mereka, namun aku merasa seperti tidak ada lagi tempatku di sini. Aku takut melupakan mereka, takut kehilangan semua kenangan ini. Tapi aku juga takut tidak bisa menerima dunia baru yang menawarkan cinta dan kehangatan yang tidak pernah kukenal sebelumnya. Dunia baru yang membuatku merasa lebih dihargai, lebih diterima.

    Namun, apakah aku bisa membawa keduanya bersama? Apakah aku harus memilih satu dari keduanya, atau bisa hidup berdampingan dengan keduanya?

    Bima kembali dengan dua cangkir teh, meletakkannya di atas meja. Dia duduk di sebelahku, memandangi wajahku dengan cermat.

    “Mbak, kamu kenapa? Kayak lagi kepikiran sesuatu.”

    Aku menghela napas panjang, mencoba mencari kata-kata yang tepat.

    “Aku cuma… merasa aneh, Bi. Setelah tinggal di tempat yang besar dan mewah itu, aku jadi takut kehilangan apa yang aku punya di sini.”

    Bima tersenyum kecil, menepuk tanganku.

    “Kamu nggak kehilangan apa-apa, Mbak. Rumah ini selalu ada buat kamu. Aku juga selalu ada.”

    Kata-kata itu terasa seperti pelukan yang tak kasat mata. Aku tahu dia benar, tetapi ada sesuatu yang masih membuatku merasa terombang-ambing.

    Belum sempat aku melangkah lebih jauh ke dalam rumah, suara langkah lain terdengar dari arah dapur. Bapak muncul, mengenakan kaus usang dan celana panjang yang sedikit terlalu besar. Rambutnya yang sudah banyak memutih tampak lebih tertata daripada biasanya.

    “Cimo?” suara Bapak terdengar rendah, seperti tak percaya.

    Aku menoleh, dan perasaan yang sulit ku gambarkan langsung menyeruak. Bapak—sosok yang selama ini selalu menjadi duniaku—berdiri di sana, memandangku dengan mata yang sedikit berkaca-kaca.

    “Bapak…” ucapku pelan.

    Dia melangkah mendekat, matanya tidak pernah lepas dari wajahku.

    “Kamu pulang Mo…”

    Aku mengangguk pelan, merasa emosiku mulai mengalir.

    “Aku pulang, Pak.”

    Tanpa banyak kata, Bapak meraih tanganku dan menggenggamnya erat. Itu bukan pelukan, tetapi aku tahu betapa dalamnya makna dari genggaman itu. 

    Bapak memandangku dengan mata penuh kasih, dan aku tahu dia melihat jauh lebih dalam daripada sekadar penampilan luarku.

    “Kamu sehat, Mo? Mereka baik-baik aja sama kamu di sana?” katanya, matanya penuh kekhawatiran.

    Aku mengangguk, tetapi perasaan tak terucapkan menggantung di dadaku.

    “Iya, Pak. Mereka baik.”

    Tapi… apakah aku bisa merasakan itu sepenuhnya? Apakah mereka benar-benar memahami perasaan takutku—takut jika aku terlalu lama di dunia baru ini, aku akan melupakan dunia lama yang memberiku segalanya? Aku ingin mengatakan itu pada Bapak, tapi kata-kata itu terasa berat.

    Aku masih merasa seperti terombang-ambing di antara dua dunia ini. Dunia lama yang penuh dengan kenangan manis bersama Bapak dan Bima, dan dunia baru yang penuh dengan harapan dan cinta. Aku takut kehilangan salah satunya, meskipun aku tahu aku tak bisa kembali ke masa itu. Aku tak bisa kembali menjadi anak kecil yang dulu… tapi di sisi lain, aku juga takut jika terlalu berpegang pada dunia baruku, aku akan melupakan semuanya yang telah kubangun sebelumnya.

    Bapak, yang selalu tahu apa yang aku rasakan, menarik tanganku dan menggenggamnya erat.

    “Jangan takut, Mo. Kamu nggak perlu memilih. Dunia lama dan baru itu bisa berjalan bersama, kalau kamu mau.”

    Saat aku menatap Bapak, ada rasa hangat yang membelai hatiku, tetapi juga rasa takut yang mendalam. Takut jika aku semakin jauh dari dunia lama ini, dunia yang memberiku kenyamanan meski sederhana. Namun, apakah aku bisa sepenuhnya menerima dunia baruku? Dunia yang menawarkan lebih banyak harapan dan kenyamanan daripada yang pernah aku bayangkan?

    Kami duduk di ruang tamu yang masih sama seperti terakhir kali aku tinggalkan. Bima sibuk membuat teh di dapur, sementara aku dan Bapak berbincang pelan.

    “Gimana kehidupanmu di sana, Mo?” tanya Bapak sambil menatapku.

    Matanya penuh perhatian, seperti selalu.

    “Baik, Pak. Mereka baik sama aku. Tapi… rasanya masih aneh,” jawabku jujur.

    Bapak mengangguk pelan, seolah mengerti tanpa aku perlu menjelaskan lebih jauh.

    “Wajar, Mo. Dunia mereka berbeda dari dunia kita. Butuh waktu untuk merasa cocok. Tapi yang penting, kamu tetap jadi dirimu sendiri.”

    Aku menatap wajahnya yang dipenuhi garis-garis usia, merasa sedikit lega mendengar kata-katanya.

    “Aku takut, Pak. Takut kehilangan semuanya—di sini, dan di sana.”

    Bapak menghela napas panjang, menyandarkan tubuhnya ke sofa.

    “Cimo, dunia itu nggak hitam putih. Kamu nggak harus memilih salah satu. Dunia lama dan dunia baru itu bisa berjalan bersama, kalau kamu mau menerima keduanya.”

    Kata-kata itu sederhana, tetapi terasa sangat berarti. Aku tahu Bapak selalu punya cara untuk membuatku merasa lebih tenang, meskipun aku tahu dia sendiri juga berjuang untuk memahami perubahan ini.

    Setelah beberapa waktu, aku berjalan ke kamarku, meninggalkan Bima dan Bapak di ruang tamu. Kamarku masih sama seperti dulu, dengan seprai bermotif bunga yang sedikit pudar dan rak buku kecil di sudut ruangan. Aku duduk di tepi tempat tidur, memandangi pigura kecil di meja samping. Foto aku, Bima, dan Bapak masih ada di sana, mengingatkanku pada hari-hari sederhana yang penuh cinta.

    Foto itu seakan menghidupkan kembali kenangan-kenangan masa kecil yang penuh kasih sayang, namun saat itu juga membangkitkan perasaan terpisah. Kenangan yang manis ini seakan menyelimuti hatiku dengan kehangatan, namun ada sesuatu yang mengganjal, seperti aku tidak bisa kembali ke masa itu lagi. Aku harus menerima kenyataan bahwa aku telah berubah, dunia ini telah berubah.

    Tak lama, Bima mengetuk pintu dan masuk dengan senyum lebarnya. Dia duduk di lantai, bersandar pada tempat tidur.

    “Mbak, seneng nggak bisa pulang lagi ke sini?”

    Aku tersenyum kecil, meskipun ada sedikit keraguan dalam hatiku.

    “Seneng, Bim. Tapi aku juga bingung.”

    “Kenapa?”

    Aku menghela napas panjang.

    “Aku merasa seperti terjebak di antara dua dunia. Dunia ini, yang penuh kenangan, dan dunia baru yang menawarkan banyak hal yang belum pernah aku bayangkan.”

    Bima menatapku lama, lalu mengangkat bahu.

    “Mbak, rumah itu bukan soal tembok atau barang-barang. Rumah itu soal orang-orangnya. Mbak Cimo punya kami di sini, dan mereka di sana. Jadi, Mbak punya dua rumah. Itu kan lebih baik daripada cuma satu.”

    Aku terdiam, membiarkan kata-katanya meresap.

    “Mungkin kamu benar, Bim.”

    “Ya jelas, dong! Aku kan adik yang bijak,” jawabnya dengan tawa kecil.

    Aku tertawa pelan, perasaan berat di dadaku mulai sedikit mereda.

    Aku duduk di tepi tempat tidur, memandangi foto itu. Wajah kami berdua tampak begitu ceria, tanpa beban. Aku mencoba mengingat bagaimana rasanya hidup hanya dengan mereka, tanpa tahu bahwa ada keluarga lain yang menungguku di tempat lain. Apa aku bisa membawa kedua dunia ini bersamaku?

    “Mayang?” suara Jay memanggil dari depan.

    “Sudah selesai?”

    Aku menghela napas panjang, meletakkan pigura itu kembali ke tempatnya. Aku tahu aku tidak bisa tinggal terlalu lama di satu tempat. Kedua dunia ini adalah bagian dari diriku, dan aku harus belajar untuk menjalani keduanya.

    “Belum. Aku ingin tinggal di sini lebih lama lagi, Jay.” jawabku, suara yang terdengar lebih yakin daripada sebelumnya.

    “Sebaiknya kamu pulang saja, Jay. Sampaikan salamku pada Mama dan Willy. Terima kasih sudah mau mengantar,” kataku pelan, saat Jay mulai mengemudikan mobil.

    Jay tersenyum, tatapannya penuh pengertian.

    “Nggak papa, kalau kamu di sini, dulu. Aku akan pulang dan memberitahu Mama dan Willy, kalau kamu mau menginap rumah lamamu. Kapan pun kamu mau datang ke rumah kita, pintu akan terbuka lebar. Kami senantiasa menunggumu.”

    Malam semakin larut, dan saat aku duduk sendiri di kamar, aku mulai merasa bahwa mungkin, kedua dunia ini—dunia lama dan dunia baru—memang bisa hidup berdampingan. Aku tak perlu memilih salah satunya, karena keduanya adalah bagian dari siapa diriku yang sebenarnya. Aku tak perlu merasa terjebak lagi, karena rumahku bukan hanya tentang tempat. Rumahku adalah tempat di mana aku merasa diterima, di mana aku merasa dicintai, baik di sini maupun di sana.

     

     

    Kreator : Fati Nura

    Bagikan ke

    Comment Closed: pulang ke rumah lama

    Sorry, comment are closed for this post.

    Popular News

    • Part 15: Warung Kopi Klotok  Sesampainya di tempat tujuan, Rama mencari tempat ternyaman untuk parkir. Bude langsung mengajak Rani dan Rama segera masuk ke warung Kopi Klotok. Rama sudah reservasi tempat terlebih dahulu karena tempat ini selalu banyak pengunjung dan saling berebut tempat yang ternyaman dan posisi view yang pas bagi pengunjung. Bude langsung memesan […]

      Okt 01, 2024
    • Part 16 : Alun – Alun  Kidul Keesokan paginya seperti biasa Bude sudah bangun dan melaksanakan ibadah sholat subuh. Begitupun dengan Rani yang juga melaksanakan sholat subuh. Rani langsung ke dapur setelah menunaikan ibadah sholat subuh. Tidak lama disusul oleh Bude dan langsung mengambil bahan masakan serta mengiris bahan untuk memasak. Rani dan Bude sangat […]

      Okt 16, 2024
    • Part 14: Kopi Klotok Pagi hari yang cerah, secerah hati Rani dan semangat yang tinggi menyambut keseruan hari ini. Ia bersenandung dan tersenyum sambil mengiris bahan untuk membuat nasi goreng. Tante, yang berada di dekat Rani, ikut tersenyum melihat Rani yang bersenandung dengan bahagia. “Rani, kamu ada rasa tidak sama Rama? Awas, ya. Jangan suka […]

      Sep 18, 2024
    • Part 13 : Candi Borobudur Keesokan harinya Rama sibuk mencari handphone yang biasa membangunkannya untuk berolahraga disaat Rama berada di Jogja. Rama tersenyum dan semangat untuk bangun, membersihkan diri dan segera membereskan kamarnya. Tidak lupa Rama juga menggunakan pakaian yang Rapih untuk menemui Rani hari ini. Sementara Rani seperti biasa masih bermalas-malasan di dalam kamarnya […]

      Sep 07, 2024
    • Part 12 : Cemburu Rama langsung memukul Jaka saat Jaka baru saja masuk ke ruang kerjanya Rama. Jaka yang meringis bukannya marah namun malah tersenyum terhadap Rama karena Jaka tahu bahwa Rama lagi cemburu terhadapnya. Rama males menjawab salam dari Jaka namun sebagai orang yang punya adab Rama harus menjawab salam dari Jaka dengan sopan. […]

      Sep 05, 2024

    Latest News

    Buy Pin Up Calendar E-book On-line At Low Prices In India After the installation is complete, you’ll have the flexibility […]

    Jun 21, 2021

    Karya Nurlaili Alumni KMO Alineaku Hampir 10 bulan, Pandemi Covid -19 telah melanda dunia dengan cepat dan secara tiba-tiba. Hal […]

    Des 07, 2021

    Karya Lailatul Muniroh, S.Pd Alumni KMO Alineaku Rania akhirnya menikah juga kamu,,,  begitu kata teman2nya menggoda, Yaa,,,Rania bukan anak.yang cantik […]

    Des 07, 2021

    Karya Marsella. Mangangantung Alumni KMO Alineaku Banyak anak perempuan mengatakan bahwa sosok pria yang menjadi cinta pertama mereka adalah Ayah. […]

    Des 07, 2021

    Karya Any Mewa Alumni KMO Alineaku Bukankah sepasang sejoli memutuskan bersatu dalam ikatan pernikahan demi menciptakan damai bersama? Tetapi bagaimana […]

    Des 07, 2021