KATEGORI
  • Adat & Budaya
  • Agrikultur
  • Aksi
  • Arsitektur
  • Artikel
  • Asmara
  • Autobiografi
  • autobiography
  • Bahasa & Sastra
  • Berita Alineaku
  • Bisnis
  • Branding
  • Cerita Anak
  • Cerita Pendek
  • Cerita Rakyat
  • Cerpen
  • Cinta
  • Cita – Cita dan Harapan
  • Dongeng
  • Drama
  • Ekonomi
  • Epos
  • Event
  • Fabel
  • Fantasi
  • Fiksi
  • Gaya Hidup
  • Hiburan
  • Hobi
  • Hubungan Antarpribadi
  • Hukum
  • Humanis
  • Humor
  • Ilmu Manajemen
  • Inspirasi
  • Istri
  • Kampus
  • Karir dan Kewirausahaan
  • Keagamaan
  • Keluarga
  • Kesehatan & Kecantikan
  • Kesehatan Mental
  • Ketenagakerjaan
  • Kisa Masa Kecil
  • Kritik Media
  • Kuliner
  • Legenda
  • Lifestyle
  • Lingkungan Hidup
  • mengelola toko
  • Mental Health
  • Moralitas
  • Motivasi
  • Novel
  • Nutrisi
  • Nutrition
  • Otomotif
  • Parenting
  • Pendidikan
  • Pendidikan Karir
  • Pendidikan Keuangan
  • pengalaman hidup
  • Pengembangan Diri
  • Perjalanan Hidup
  • Pernikahan
  • Persahabatan
  • Pertemanan
  • Petualangan
  • Petualangan Alam
  • Pilih Kategori
  • Pilih Menu
  • Politik
  • Psikologi
  • Psikologi Sosial
  • Puisi
  • Romansa
  • Romantisme kehidupan
  • Rumah Tangga
  • Satir
  • Sejarah
  • Self-Acceptance
  • Self-Awareness
  • Seni & Budaya
  • Sosial
  • spiritual journey
  • Strategi
  • Teknologi
  • Tempat Wisata
  • Traveling
  • Uncategorized
  • Wanita
  • Beranda » Artikel » Putus atau Lulus

    Putus atau Lulus

    BY 16 Sep 2024 Dilihat: 23 kali
    Putus atau Lulus_alineaku

    Aku punya seorang sahabat, Lily namanya. Perempuan paruh baya yang sedang sakit keras. Lily diserang autoimun langka yang membuatnya lumpuh total. Secara apa yang terlihat, tinggal tersisa mata, tulang, kulit, otak, dan nafas. Maaf, Ly, di penglihatanku, terlihat seperti alien yang sedang cosplay jadi manusia. Melihat keadaan Lily aku tidak berani berharap banyak. Aku nyaris yakin bahwa yang terbaik untuk Lily adalah pulang saja pada damai-Nya. Tapi, betapa mustahil pun keadaannya, Lily masih bernafas, melihat, dan masih sangat mampu berpikir. Di ranjang rumah sakit tempatnya berbaring diam, aku tahu Lily terus berpikir keras.

    Keluarga Lily sedang menuju kehancuran, meluncur turun. Tempat tinggal mungilnya yang hangat, laksana dihembus angin taufan yang muncul tiba-tiba, tanpa ampun menghempasnya tanpa sisa, menjadi serpihan puing-puing yang lenyap ditiup sisa angin diujung badai.


    Yang mampu Lily lakukan beberapa waktu ini adalah memikirkan penyebab penyakit langkanya itu, memikirkan bagaimana nasib anak-anaknya tanpa dirinya, memikirkan segala kemungkinan dari situasi dan kondisinya yang sedang sangat sakit. Aku cukup tahu bagaimana selama ini, Lily-lah tulang punggung keluarga kecilnya. Anak-anak tentu bergantung padanya. Bahkan suaminya, yang sekarang sudah jadi mantan, juga bergantung padanya di sepanjang masa pernikahan mereka, delapan belas tahun lebih beberapa bulan itu. 

    Sejak tahun lalu, Lily yang sakit keras itu, harus terpaksa kehilangan kendali atas anak-anaknya. Bagai induk ayam yang selalu melindungi anak-anaknya, Lily dipaksa oleh keadaan untuk tidak berdaya sama sekali, membiarkan anak-anak nya direnggut darinya. Dalam lumpuhnya, Lily dipaksa melihat rumah tangga sederhana nya yang tentram, porak-poranda hanya dalam hitungan puluhan hari.

    Anak-anak terpaksa ikut Papa mereka dengan situasi dan kondisi yang memprihatinkan. Dengan alasan standar yang bodoh, mantan suami Lily bersikeras mengambil hak asuh atas anak-anak yang seharusnya menurut putusan sidang diberikan pada Lily, yang masih punya adik yang bersedia mengasuh mereka selama Lily sakit. Si putri sulung, terpaksa menunda kuliah dan mulai bekerja berbekal ijazah SMA. Ibu tirinya, Tante Dian, yang mencarikannya pekerjaan administrasi dengan gaji jauh di bawah UMR. Si bungsu, baru naik kelas tiga SMP, masih terserah bagaimana dia diatur dan diurus. Anak-anak itu benar-benar seperti anak ayam yang tiba-tiba terpisah dari induknya karena mendadak hujan deras, bahkan badai menerpa kandang mereka.

    Ini bulan Maret. Bulan dimana para orang tua mulai lebih serius lagi mempersiapkan anaknya yang kelas tiga SMP untuk menghadapi ujian akhir di sekolah. Namun, berbeda dengan putra bungsu Lily, Papa mereka semakin sibuk mengurus rumah tangga barunya. Masalah keuangan hampir selalu mendominasi dalam rumah tangga menengah ke bawah itu. Jangankan untuk memenuhi kebutuhan sekolah Si Bungsu, untuk kebutuhan dasar sehari-hari pun sudah terasa berat membebani. 


    Tentu sudah bisa diduga bahwa secara keuangan anak-anak Lily berada dalam masalah yang cukup besar. Kebutuhan dasar harian saja, juga sudah cukup menjadi beban dan memprihatinkan. Lebih-lebih lagi untuk kebutuhan sekolah yang tentunya cukup besar. Bahkan, Papa mereka menyebut itu sebagai masalah yang sangat besar.


    Dalam sakitnya, Lily yang awalnya sama sekali tidak bisa apa-apa, sekarang sudah mulai bisa mengangkat ponsel, walaupun masih harus dibantu. Ketika ada orang baik yang bersedia meminjamkan ponsel, tentu saja dua nomor pertama yang Lily input adalah kontak anak-anaknya. Dan, anak-anak pun merasa mendapat anugrah, ketika mereka akhirnya bisa berbincang lagi dengan mama mereka, meskipun hanya melalui chat


    Karena memang masih anak-anak, mereka menceritakan apapun yang mereka hadapi dan rasakan. Lily serasa dipaksa menelan banyak pil pahit kehidupan, menyimak semua keluh kesah anak-anaknya. Si Sulung yang diminta menjual laptop baru milik Lily untuk membantu menyambung hidup, hingga Si Bungsu yang terpaksa membolos sekolah karena tidak ada ongkos. Bahkan mereka hanya makan sekali sehari dengan menu seadanya. Tak tertahankan untuk Si Bungsu yang ketika bersama Lily makan bisa sampai lima kali sehari.

    Masalah keuangan semakin memburuk ketika datang tagihan dari sekolah. Si Bungsu harus segera melunasi semua tagihan itu agar bisa ikut ujian akhir. Kemungkinan terbesar adalah Si Bungsu akan terpaksa putus sekolah.

    Bukan hanya keributan suami istri yang sedang dalam tekanan ekonomi itu, tapi juga tagihan yang terus berdatangan. Sewa rumah yang harus dibayar, token listrik yang harus diisi, dan lainnya yang masih banyak lagi. Tentu hal ini semakin memperburuk keadaan. Hingga akhirnya, mantan suami Lily minggat meninggalkan keluarga barunya, meninggalkan Si Bungsu dan Ibu tirinya.


    Lily yang masih terbaring lemah dalam lumpuhnya, dalam sakitnya, dipaksa keadaan untuk bangkit, bergerak dalam diamnya. Pikirannya yang masih sangat sehat, berputar sedemikian rupa untuk menolong anak-anaknya, terutama Si Bungsu. Namun, apa dayanya? Apa yang Lily bisa? Bahkan untuk bangkit dari berbaringnya pun Lily tidak mampu. Jangankan bangkit, untuk sekedar menggerakkan bagian-bagian tubuhnya pun nyaris tidak mungkin. Hidupnya benar-benar bergantung pada orang-orang baik yang masih peduli pada keadaan Lily. Lalu, ia memohon mereka menolong Si Bungsu yang masih punya Ayah, yang dengan congkak dan arogan merebut anak-anak dari tangan-tangan baik yang bersedia menolong. Sungguh, tak ada cara yang masuk akal yang masih mungkin dilakukan. 


    Tante Dian, sang Ibu tiri, juga sudah kehilangan akal. Sampai-sampai dengan tega meminta Si Bungsu keluar dari rumah sewaannya. Pemilik rumah pun sudah mulai kehilangan kesabaran dan meminta mereka keluar dari kontrakan itu.
    Dengan dua anak kecil, satu anak tujuh tahunan  dari suaminya terdahulu dan satu bayi dari mantan suami Lily, tentu memang tidak mudah baginya. Ditambah beban anak tiri yang sedang membutuhkan biaya cukup besar untuk bisa lulus dari SMP, cukup bisa dimengerti oleh orang-orang tabah tentunya, bahwa tidak mungkin menanggung sang anak tiri ini. Dia berencana pulang ke orang tuanya, yang tentu saja mustahil membawa Si Bungsu bersamanya. Menurutnya rumah orang tuanya juga tidak besar, tidak ada cukup kamar untuk menampung Si Bungsu di sana. 


    Si Bungsu benar-benar merasa tersesat, tak tahu harus apa, kemana, dan bagaimana. Yang masih dia bisa hanya mengetik chat, mencurahkan semua pada sang Mama, yang notabene masih belum bisa apa-apa. Namun setidaknya, dia masih punya cara untuk mengeluarkan seluruh sampah yang memadati hati dan jiwanya. Mempertanyakan semua hal yang entah melukainya atau menghancurkannya atau entah apa nama rasa-rasa yang sedang dirasakannya. Hingga di ujung akhir asa, Si Bungsu pun bertanya, 

    “Kenapa keluarga kita jadi begini, Ma? Tanpa Papa seharusnya tidak apa-apa asal ada Mama. Sekarang aku harus apa, Ma? Kayaknya meninggal barengan lebih baik untuk kita daripada berantakan menderita tidak jelas begini. Ya kan, Ma?”

    Tidak kalah berat penderitaan batin yang Lily tanggung dalam hal ini. Berusaha menguatkan diri, Lily pun menjawab,

    “Tenang, Nak. Mama masih bisa berdoa. Kamu juga masih bisa berdoa, kan? Kita, Mama, kamu, dan kakak masih bisa berdoa dengan nafas yang ada. Di tempat kita masing-masing, kita berdoa masing-masing juga, ya. Mama tidak berani janji apa-apa. Kita berdoa dan kita tunggu saja akan bagaimana ini semua.”

    Waktu terus bergulir. Bulan Maret pun akan segera berakhir. Awal bulan April, Si Bungsu harus sudah bertindak. Pergi, pindah entah kemana, membayar tagihan sekolah kalau masih mau ikut ujian akhir, dan harus makan untuk tetap hidup. Sahabatku, Lily, selalu bilang padaku, alasannya hidup sekarang hanya untuk Tuhan saja. Secara logika, hidup Lily sudah hancur rata dengan tanah. Dia sudah tidak punya alasan untuk apapun lagi. Tapi kali ini dia bilang kalau dia masih bernafas, berarti dia masih bisa bercerita pada Tuhan. Dan, itulah yang dilakukannya sepanjang masa sakit parahnya ini. Sepanjang masa lumpuhnya.

    Berjuang menahan semua rasa tidak baik yang bertubi menyerang pikirannya, Lily terus berdoa sambil tentu mulai mencari solusi untuk menolong anak-anaknya, setidaknya kali ini untuk menolong Si Bungsu. Jujur, aku tak berani membayangkan ada di posisi Lily saat ini. Rasanya hampir yakin aku tidak akan mampu. Berbaring lumpuh, tanpa siapa-siapa, selain orang-orang berbelas kasihan yang tidak tega melihatnya, hingga mau menolong Lily, yang aku yakin beberapa berpikir, bisa saja tidak lama lagi, apa salahnya membantu dia sekarang. Dikasihani, aku tahu pasti adalah hal yang sangat tidak disukai Lily.

    Beberapa opsi solusi berkelebatan di kepalanya. Semua berujung rasa malu. Berbulan-bulan merepotkan. Dilema yang membingungkan, apalagi untuk otaknya yang belum benar-benar sembuh dari depresi. Harus ada cara, harus ada jalan untuk menolong si bungsu, itu yang terus menghantam kepalanya waktu-waktu ini. Sementara situasi dan kondisi nya yang sama sekali tidak berdaya, memperparah tekanan pada otak dan jiwa nya. Oh, Lily, maafkan aku yang juga tak berdaya untuk menolongmu, selain menyimak semua cerita mu.

    Waktu yang terus bergulir, memaksa Lily untuk segera membuat keputusan. Tidak hanya menimbang tapi juga memutuskan apa yang harus dilakukan. Semua kenyataan yang ada, menghimpit jiwa dengan leluasa pada raga yang hanya bernyawa namun tak mampu berbuat apa-apa.

    Kelebat kenangan akan betapa tentram hidupnya sebelum sakit ini datang, sebelum situasi dan kondisi memaksa Lily dan anak-anak nya tercerai-berai bagai anak ayam dan induk nya, semakin menekan dan berkemungkinan menghancurkan Lily dan si bungsu, dan si sulung juga, yang merasa menderita karena tak mampu berbuat apa-apa untuk menemukan cara menolong dirinya sendiri dan adik nya.

    Lelah menangis dalam doa-doa, Lily merasa sedang berhadapan dengan keputusasaan. Entah dimana di dalam dirinya, ada arahan untuk diam, berhenti berpikir dan berhenti menyiksa diri dengan berbagai kemungkinan buruk yang akan segera terjadi. Dan, entah dengan kemampuan dari mana, kali ini Lily menurutinya. Ia coba menarik nafas panjang, menghembuskannya perlahan, dan berusaha menggapai ketenangan.

    Entah kemana perginya rasa malu dan tertekan yang belakangan ini begitu menyiksa. Dengan tenang, pagi itu Lily mengetik kalimat demi kalimat yang terlintas di kepalanya, menjelaskan situasi dan kondisinya dengan Si Bungsu. Pesan itu ditujukan pada seorang teman yang sebenarnya tidak cukup dekat untuk menjadi alasan mengapa Lily memilihnya untuk berkemungkinan membantu. Di ujung kalimat, Lily hanya memberi titik beberapa karena bingung menyebutkan angka kebutuhan uang kali ini. Jumlah yang terbilang besar untuk kebutuhan ini. Uang SPP empat bulan, uang ujian praktek, uang ujian sekolah, biaya tugas-tugas akhir syarat kelulusan, dan lain sebagainya. Belum lagi untuk kebutuhan sehari-hari, dan ini tentu lebih banyak dan rumit, karena mencakup uang makan, transport, dan biaya kos dua bulan sampai kelulusan nanti.

    From Lily :
    Selamat pagi, Pak. Mohon maaf mengganggu.
    Anak lelaki saya, terancam putus sekolah, Pak.
    Semua tunggakan biaya sekolah harus segera dilunasi
    kalau mau ikut ujian-ujian sekolah. Papanya minggat
    meninggalkannya pada mama tirinya yang malah tega
    mengusir dia. Saya bingung, Pak.
    Sekiranya Bapak tergerak menolong.
    Untuk tagihan biaya-biaya sekolah, bayar kos, transport
    dan biaya hidup anak lelaki saya sampai lulus SMP ini, Pak.
    Sekitar dua bulan ke depan, Pak. Support donatur hanya cukup
    untuk aku makan sederhana dan kebutuhan dasar sehari-hari, Pak.
    Kosan 700rb per bulan,
    Transport 500rb per bulan,
    Makan juga.
    Bingung aku, Pak. Berapa ya?
    Seikhlasnya Bapak saja.


    From : Bapak
    Nanti aku transfer ke mana?


    From : Lily
    Bank Inni 1357911131
    a.n. Lily Rianti

    From : Bapak
    Ok.. agak siang ya.
    Transfer masuk dalam jumlah cukup untuk semua kebutuhan Si Bungsu sampai lulus.

    From: Lily
    Makasih banyak banget ya, Pak.

     

    From: Bapak
    It’s OK..

     

    From: Lily
    Thank you very very much, Pak.


    From: Bapak
    U r welcome.. GBU.

    Semudah itu.

    Ya, semudah itu Bapak baik itu menolong Lily. Mereka bukan sahabat. Mereka hanya sekedar kenalan yang bersinggungan karena ada sekali dua kali acara yang sama-sama mereka hadiri, yang secara logika tidak mungkin pria tersebut membantu sejumlah besar uang yang Si Bungsu butuhkan. Tapi saldo yang terlihat di layar ponsel Lily menjadi bukti bahwa pertolongan itu nyata. Tuhan masih menjawab doa. Doa yang dinaikkan tanpa tuntutan, hanya mencurahkan semua rasa yang terasa. Doa yang dipanjatkan karena masih adanya rasa percaya bahwa Tuhan mendengar dan menjawab doa, entah seperti apa jawaban-Nya.

    Si Bungsu hanya mengirim emoticon menangis ketika diberi tahu Lily bahwa dia akan menyelesaikan sekolahnya dengan baik. Uang nya sudah tersedia, Si Bungsu tinggal mengambil bagian yang menjadi kewajibannya dengan baik.

    Proses selanjutnya masih tidak mudah. Drama mencari kos, pindahan, mantan suami yang tiba-tiba muncul kembali meminta Si Bungsu tetap bersamanya membuat rusuh yang tidak perlu di sana sini, dan drama-drama lain. Tetapi selagi masih ada Tuhan, dan masih bisa bernafas untuk berdoa, selalu bisa dilewati, apapun dan bagaimanapun keadaannya.

    Hari ini, pertengahan Juni 2024, jam empat sore, dengan tenang, bangga, dan bersyukur yang sangat, Si Bungsu menghadiri wisuda SMP didampingi Si Sulung, yang selalu tabah dan cantik. Masih tanpa mama mereka. Masih tanpa Lily, sahabatku yang masih berjuang pulih. Meskipun Lily sudah tidak berbaring lagi, sudah berkursi roda, tapi belum mampu berdiri sempurna di samping anak-anaknya. Namun tidak mengapa, karena Lily, sahabatku, adalah perempuan tabah, yang masih percaya akan ada momen-momen besar anak-anak berikutnya, yang mungkin akan bisa dihadiri olehnya. Lily, sahabatku yang setia, masih percaya, semua akan indah pada waktu-Nya…

    Selesai…

     

     

    Kreator : E.B. Mustafa

    Bagikan ke

    Comment Closed: Putus atau Lulus

    Sorry, comment are closed for this post.

    Popular News

    • Menurut Stephen Covey Manusia Memiliki Kebutuhan Dasar, Kecuali? a. To Live b. To Love c. To Listen d. To Leave the Legacy Jawaban: c. To Listen Menurut Stephen Covey Manusia Memiliki Kebutuhan Dasar, Berikut Pembahasannya: Stephen Covey, seorang penulis dan konsultan manajemen terkenal, dalam karya-karyanya sering membahas tentang kebutuhan dasar manusia. Dalam bukunya yang terkenal, […]

      Jun 25, 2024
    • Hari sudah menunjukkan pukul 14.30. Suasana di sekolah tempat Ustadz Hamdi mengabdikan diri sudah mulai sepi. Anak-anak sudah banyak yang pulang. Ustadz Hamdi masih duduk di meja kerjanya sambil memeriksa satu persatu tugas murid-muridnya. Saat itu tiba-tiba HP Ustadz Hamdi berdering “Kriiing, kriiing, kriiing…”  “Halo…., Assalamu alaikum !”  “Wa alaikum salam. Ini Lisa, pak Ustadz.” […]

      Jun 06, 2024
    • Aku adalah teman sekelas Sky di SMP, kami berada dikelas yang sama selama 3 tahun. Sekarang setelah masuk SMA kami berada di sekolah dan kelas yang sama. Sky selalu menjadi orang terpopuler di sekolah, Sky tinggi,  tampan, dan sangat ramah. Namun sayangnya aku merasa dia selalu dingin hanya padaku, aku bahkan tidak tau alasan dibalik […]

      Jun 10, 2024
    • Mahaga Belom Bahadat adalah bahasa Dayak Ngaju yang mempunyai makna yaitu menjaga kehidupan yang saling menghargai, menghormati serta menjunjung tinggi kehidupan Adat Istiadat maupun tradisi kearifan lokal di wilayah yang kita tempati. Era zaman sekarang ini sudah banyak sekali para generasi yang melupakan prinsif-prinsif hidup yang telah dulu ditinggalkan para leluhur(nenek moyang) kita, padahal banyak […]

      Jun 02, 2024
    • Part 13 : Candi Borobudur Keesokan harinya Rama sibuk mencari handphone yang biasa membangunkannya untuk berolahraga disaat Rama berada di Jogja. Rama tersenyum dan semangat untuk bangun, membersihkan diri dan segera membereskan kamarnya. Tidak lupa Rama juga menggunakan pakaian yang Rapih untuk menemui Rani hari ini. Sementara Rani seperti biasa masih bermalas-malasan di dalam kamarnya […]

      Sep 07, 2024

    Latest News

    Buy Pin Up Calendar E-book On-line At Low Prices In India After the installation is complete, you’ll have the flexibility […]

    Jun 21, 2021

    Karya Nurlaili Alumni KMO Alineaku Hampir 10 bulan, Pandemi Covid -19 telah melanda dunia dengan cepat dan secara tiba-tiba. Hal […]

    Des 07, 2021

    Karya Lailatul Muniroh, S.Pd Alumni KMO Alineaku Rania akhirnya menikah juga kamu,,,  begitu kata teman2nya menggoda, Yaa,,,Rania bukan anak.yang cantik […]

    Des 07, 2021

    Karya Marsella. Mangangantung Alumni KMO Alineaku Banyak anak perempuan mengatakan bahwa sosok pria yang menjadi cinta pertama mereka adalah Ayah. […]

    Des 07, 2021

    Karya Any Mewa Alumni KMO Alineaku Bukankah sepasang sejoli memutuskan bersatu dalam ikatan pernikahan demi menciptakan damai bersama? Tetapi bagaimana […]

    Des 07, 2021