Suara ayam, gemercik air, dan cicit burung adalah hiasan alam yang selalu menemani pagi Ratih di desa Boro-boro. Desa tempat tinggal Ratih yang berhawa sejuk karena terletak di lembah sungai Boro-Boro.
“Aaaah…,” Ratih menguap dan merentangkan badan.
Ratih adalah murid kelas VI SDN I Boro-Boro, seorang anak yang ulet dan pantang menyerah. Dia menoleh ke kiri ternyata adiknya belum bangun, biasalah si Ruri, panggilan untuk adik Ratih yang baru duduk di kelas III sekolah dasar, bangun agak siang sebab sekolahnya masuk pukul 10.00 setelah kelas I pulang. Kakak Ratih, Joko, sudah lebih dulu bangun dan bersekolah di SMPN Angkasa.
Hari ini, hari Senin, Ratih harus cepat bangun dan bersiap-siap ke sekolah. Ratih meninggalkan tempat tidurnya dan bergegas ke kamar mandi. Beberapa menit kemudian, Ratih sudah berada di dalam kamarnya kembali. Ingin sekali ia membereskan tempat tidurnya, tapi tidak sampai hati membangunkan adiknya yang masih tertidur pulas.
“Bu, baju seragam hari Senin mana?” Tanya Ratih kepada Ibu yang berada di dapur menyiapkan sarapan.
“Di gantung di belakang pintu dekat baju Kakak,” jawab Ibu tanpa menoleh ke Ratih.
“Iya, Bu.” Ratih segera beranjak dari dapur.
Dengan agak tergesa, Ratih mengenakan baju seragam hari Senin yaitu putih merah, lengkap dengan dasi dan topinya. Hari Senin akan dilaksanakan upacara bendera jadi kelengkapan pakaian seragam menjadi faktor utama yang harus diperhatikan. Begitu halnya dengan Ratih.
Setelah selesai menghabiskan makan pagi yang disiapkan Ibu, Ratih berpamitan untuk segera berangkat ke sekolah, disusul Joko. Jarak sekolah Ratih dengan rumah lumayan jauh kira-kira 2 kilometer, sedangkan kakaknya lebih jauh lagi dan harus ditempuh menggunakan kendaraan.
Jalan setapak yang dilalui Ratih dan dua orang temannya, Emi dan Iva, memang agak sepi. Tanpa canda yang biasa mereka lakukan, hanya dedaunan yang melambai dan semilir angin yang ikut mengiringi langkah mereka.
“Ayo, cepat nanti kita terlambat,” ajakan Emi memecah kebisuan.
“Iya,” jawab Ratih.
Ratih dan kedua temannya, berlari kecil saat terdengar sayup bunyi lonceng sekolah yang dipukul oleh batu. Lonceng yang terbuat dari sisa besi tua berbentuk balok.
Hari berganti hari, minggu berganti minggu, bulan berganti bulan, tanpa terasa tibalah mereka harus menghadapi ulangan caturwulan I yang disingkat dengan Cawu I, zaman kurikulum lama menggunakan istilah untuk ulangan semester adalah ulangan Cawu I, Cawu II, Cawu III. Dengan segala keterbatasan sarana dan prasarana terutama buku-buku pelajaran, membuat Ratih dan beberapa temannya kesulitan dalam mencari informasi tentang beberapa materi yang kurang mereka kuasai. Tapi itu bukanlah satu-satunya hambatan untuk meraih yang terbaik.
Selama seminggu Ratih berjuang mengerjakan yang terbaik yang dapat ia lakukan, perasaan lega bercampur penasaran untuk mengetahui hasil yang telah mereka capai. Akankah nilainya bagus? Ataukah? Segala pikiran timbul di benak Ratih.
Hari Sabtu, hari yang amat ditunggu-tunggu oleh Ratih dan semua murid SDN I Boro-Boro sebab hari ini pengumuman ranking kelas mulai dari kelas I sampai kelas VI di masing-masing kelas. Berbagai perasaan timbul di hati Ratih dan teman-teman sekelasnya, saat mereka harus masuk ke kelas. Terlihat Bu Wayan, wali kelas Ratih berjalan masuk kelas sambil membawa setumpuk buku laporan yang berwarna merah. Senyumnya tak pernah hilang saat menyapa kami.
“Pagi, anak-anak.”
“Pagi, Bu Guru!” jawab seluruh murid serempak.
“Hari ini Ibu akan membagikan buku laporan kalian sekaligus mengumumkan ranking kelas untuk caturwulan pertama ini. Ibu berharap setelah membagikan dan mengumumkan ranking dan kalian melihat hasil yang kalian peroleh pada buku laporan ini, kalian akan lebih giat belajar agar nilai kalian dapat ditingkatkan dan yang mendapat peringkat pertahankan cara belajarnya, agar prestasinya tetap bertahan pada catur wulan berikutnya.”
Seisi kelas terdiam mendengar apa yang disampaikan Bu Wayan kepada kami. Si Yopi teman yang paling bandel dan usil juga terdiam dan menunduk, memperhatikan ujung meja.
“Ratih Dwi Ningsih, meraih ranking I, dengan jumlah nilai 75 rata-rata 7.5,”
Ratih sempat kaget dan terkejut, mungkinkah ini? Ratih segera menguasai diri dengan mengucap syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa.
Ratih Dwi Ningsih, maju ke depan untuk menerima buku laporan dari Bu Wayan, wali kelas VI. Tepuk tangan teman-temannya bergemuruh memenuhi ruangan kelas karena ia dinyatakan sebagai juara pertama catur wulan I ini. Keberhasilan Ratih ini dilengkapi dengan hadiah berupa buku tebal, pensil dan bolpoin sebagai penambah semangat belajar baginya dan motivasi untuk anak-anak yang lain, kata bu Wayan setelah Ratih dan beberapa teman yang juga memperoleh ranking dan hadiah serupa. Tak dapat kami tutupi rasa bahagia pada wajah kami.
***
“Pelajaran yang kita dapatkan dari cerita Ratih bahwasanya dengan keterbatasan sarana dan prasarana sekolah bukanlah masalah dalam menyurutkan semangat untuk meraih prestasi. Kerja keras dan pantang menyerah menjadi prinsip Ratih kecil.”
Kreator : Indarwati Suhariati Ningsi
Comment Closed: R A T I H
Sorry, comment are closed for this post.