KATEGORI
  • Adat & Budaya
  • Agrikultur
  • Aksi
  • Arsitektur
  • Artikel
  • Asmara
  • Autobiografi
  • autobiography
  • Bahasa & Sastra
  • Berita Alineaku
  • Bisnis
  • Branding
  • Catatan Harian
  • Cerita Anak
  • Cerita Pendek
  • Cerita Rakyat
  • Cerpen
  • Cinta
  • Cita – Cita dan Harapan
  • Dongeng
  • Drama
  • Ekonomi
  • Epos
  • Event
  • Fabel
  • Fantasi
  • Fiksi
  • Gaya Hidup
  • Hiburan
  • Hobi
  • Hubungan Antarpribadi
  • Hukum
  • Humanis
  • Humor
  • Ilmu Manajemen
  • Inspirasi
  • Istri
  • Kampus
  • Karir dan Kewirausahaan
  • Keagamaan
  • Keluarga
  • Kesehatan & Kecantikan
  • Kesehatan Mental
  • Ketenagakerjaan
  • Kisa Masa Kecil
  • Kisah Inspiratif
  • Kritik Media
  • Kuliner
  • Legenda
  • Lifestyle
  • Lingkungan Hidup
  • Manajemen
  • mengelola toko
  • Mental Health
  • Moralitas
  • Motivasi
  • Novel
  • Nutrisi
  • Nutrition
  • Opini
  • Organisasi
  • Otomotif
  • Parenting
  • Pemerintahan
  • Pendidikan
  • Pendidikan Karir
  • Pendidikan Keuangan
  • pengalaman hidup
  • Pengembangan Diri
  • Perjalanan Hidup
  • Pernikahan
  • Persahabatan
  • Pertemanan
  • Petualangan
  • Petualangan Alam
  • Pilih Kategori
  • Pilih Menu
  • Politik
  • Psikologi
  • Psikologi Sosial
  • Puisi
  • Romansa
  • Romantisme kehidupan
  • Rumah Tangga
  • Satir
  • SDM
  • Sejarah
  • Self-Acceptance
  • Self-Awareness
  • Seni & Budaya
  • Sosial
  • spiritual journey
  • Strategi
  • Teknologi
  • Tempat Wisata
  • Traveling
  • Uncategorized
  • Wanita
  • Beranda » Artikel » Rahasia Butiran Karang Bab 1

    Rahasia Butiran Karang Bab 1

    BY 11 Feb 2025 Dilihat: 83 kali
    Rahasia Butiran Karang_alineaku

    I. Perkenalan

    Pemberitahun agar penumpang pesawat mematikan telepon genggam selama penerbangan, tidak dipatuhi oleh seorang lelaki muda yang terus bicara ditelepon, dan kejadian ini baru pertama kali dialami Tyana selama dia menggunakan pesawat terbang.

     Ketika seorang pramugari mengingatkannya, lelaki itu hanya memandang lalu memakai telepon genggamnya lagi. 

    Pramugari itu memandang si penelepon lalu berkata dengan suara lebih kencang, “Pak, mohon dimatikan teleponnya.” 

    “Sebentar, ini penting sekali.” Jawab si lelaki muda.

    “Tolong, matikan!” Kata penumpang sebelah si lelaki, lalu lelaki muda itu mematikan telepon genggamnya sambil menggerutu dan Tyana lega karena pemuda itu mematikan telepon genggamnya.

    Selama penerbangan dari Cengkareng, Jakarta ke Praya, Lombok sore hari, berjalan mulus karena cuacanya cerah, sehingga penerbangan itu sangat memuaskan. 

    Bandara Praya tergolong baru di NTB dan suasananya bisa dikatakan sepi, walaupun saat pesawat berhenti, Tyana melihat ada dua pesawat kecil yang baru mendarat.

    Di tempat pengambilan bagasi, Tyana berdiri sebelah kanan si pemuda pengguna telepon genggam ketika pesawat tadi hendak berangkat. 

    Sepintas Tyana melihat si pemuda dan melihat pandangan pemuda itu kosong, wajahnya kusut dan berkali-kali mengambil nafas panjang lalu menggeleng.

    Tyana menduga kalau pemuda tersebut sedang risau dan tak lama setelah Tyana mengambil kopernya, ia melihat pemuda itu jalan ke pintu keluar membawa kopernya, lalu berhenti di tempat pembelian tiket bis untuk ke Mataram serta kawasan Senggigi.

    Ketika melewati pemuda itu, ia sempat melirik dan Tyana ingat bila pemuda itu pernah bertemu dengannya ketika dia potong rambut pada salon di pusat belanja di kawasan Senayan. Akan tetapi, Tyana tak mengingatnya lagi karena dia ditunggu penjemput dari tempatnya menginap.

    Keramaian para penjemput, membuat Tyana sulit untuk melangkah ke tempat parkir, sehingga membuat dia menggeleng-gelengkan kepala, lalu berhenti di tengah jalan. 

    Saat berhenti, secara tak sengaja seseorang dibelakangnya menyenggol tas jinjingnya sehingga tas dalam genggaman Tyana jatuh. Namun saat dia hendak mengambil tas tersebut, pemuda yang tadi di konter tiket bus, tersenyum lalu menyerahkan tas Tyana.

    Rupanya, saat tasnya Tyana tersenggol, si pemuda dengan sigap menangkapnya hingga tas Tyana tidak sampai jatuh. Melihat keadaan itu, Tyana lalu tersenyum kemudian mengucap, “Terima kasih. Nama saya Tyana Venya.”

    “Terima kasih kembali, saya Arsyanendra.” Jawabnya.

    Perkenalan yang singkat itu membuat mereka jadi saling pandang seolah ingin mengatakan sesuatu. Akan tetapi, Tyana cepat berpaling karena dari sebelah kiri ada orang menepuk bahunya lalu menyapa, “Selamat malam mbak Tyana.”

    “Selamat malam……. Eh, Wati sudah sampai disini. Kapan kamu berangkatnya?”

    “Kemarin Mbak, bersama beberapa rekan.” Jawab Wati.

    “Persiapan acaranya gimana?”

    “Beres, semua materi seminar sudah siap. Oh iya, seluruh panitia ingin mengajak pembicara utama makan malam.” Kata Wati. Kemudian mereka ke Mataram, yaitu ke tempat Tyana tinggal dan seminar pada keesokan harinya.

    *

    Acara seminar dua hari tentang minat belajar bagi balita, berjalan lancar. Para peserta puas pada materi yang dibawakan oleh Tyana Venya, seorang psikolog dari Jakarta.

    Selesai acara seminar, Tyana ingin memperpanjang tinggal di Lombok, karena itu, ia lalu pindah menginap di sebuah hotel di jalan raya Klui, daerah Senggigi yang letaknya di tepi pantai.

    Sore itu, Tyana jalan di pantai, dalam area hotel tempatnya menginap. Ia merasa tenang, karena tak ada yang mengganggunya seperti saat dia kerja sebagai psikolog di Jakarta. 

    Butiran pasir yang terhempas air laut ke ketepian, membuat Tyana terpaku beberapa saat, seolah memikirkan sesuatu. Akan tetapi, tak lama kemudian dia kembali berjalan ke arah utara. 

    Ketika dia melihat kedepan, matanya tertuju pada seorang lelaki yang tidak asing baginya, yaitu Arsyanendra, dan Tyana bisa melihat dengan jelas bila Arsyanendra duduk sambil menggenggam pasir lalu menjatuhkannya lagi sampai berkali-kali tanpa peduli pada keadaan sekelilingnya, dan beberapa saat setelah melihat itu ia berpaling ke arah batu karang di kejauhan. 

    Ia terus mengamati bongkahan batu karang itu yang dalam pandangannya, batu karang tersebut bagai butiran perhiasan yang disatukan oleh alam, karena itu Tyana berpikir tentang keagungan sang pencipta yang telah membuat itu tampak indah dipandang.

    Butiran pasir di pantai dan butiran karang sekitarnya telah membawa Tyana hanyut pada peristiwa beberapa tahun lalu yang sangat menyakitkan. Namun rasa sakit itu telah terkikis oleh nasihat ibunya yang masuk ke lubuk hati bagai kelembutan air laut yang mengikis karang dan pasir pantai dengan perlahan.

    Setelah puas jalan ditepi pantai dan mengitari taman, dia menuju restoran di area hotelnya untuk menikmati teh dan hidangan ringan sore hari, sambil memandang selat Lombok.

    Ketenangan saat duduk di restoran telah membuatnya dapat merencanakan kegiatan selama masa liburan. Beberapa informasi baik itu dari brosur atau dari pegawai hotel, telah dicatat baik-baik.

    Satu per satu brosur di meja dilihat perlahan. Rupanya, dia ingin mempelajari jarak dan waktu tempuh dari hotel tempatnya menginap, sampai lokasi obyek wisata. 

    Keasyikannya mempelajari obyek wisata membuatnya tak menghiraukan keadaan sekeliling. Hal itu menyebabkan seseorang yang melambaikan tangan untuk menyapa tidak terlihat olehnya. 

    Akhirnya orang yang menyapa menghampiri Tyana lalu manyapa lagi dengan berkata ramah, “Halo Tyana, apakabar? Masih ingat sama saya?”

    Tyana terkejut lalu bertengadah untuk melihat siapa yang menyapanya, dan ketika tahu, ia lalu berkata, “Hai…… Kamu kan…… Arsyanendra.”

    “Iya saya Arsyanendra. Panggilan saya Syanen.” 

    “Waw….. Nama panggilannya bagus.”

    “Terima kasih. Tyana ingin berwisata?”

    “Iya, saya sedang mempelajari lokasi-lokasinya.” 

    “Saya juga ingin jalan-jalan di pulau Lombok.”

    “Apakah kamu tahu tempat mana yang bagus?”

    “Saya belum tahu, tapi saya ingin ke Gili Meno.”

    “Gili Meno? Jauh atau enggak dari sini?” 

    “Nyebrangnya nggak jauh, tapi jalan ke pelabuhan Bangsal, untuk naik speed boat cukup jauh.” 

    “Apakah fasilitasnya memadai?”

    “Saya belum pernah kesana, tapi kata teman yang sudah pernah kesana, disana nyaman untuk santai dan sangat cocok untuk berlibur karena masih belum banyak pengunjung.”

    “Sepertinya menarik, saya pelajari dulu ya.”

    “Tyana ke Lombok liburan? Atau ada acara kantor?”

    “Saya sebagai psikolog, baru selesai mengadakan seminar 2 hari di Mataram dengan topik minat belajar bagi anak-anak. Jadi, di waktu senggang ini, saya ingin jalan-jalan sampai akhir pekan.”

    “Sampai akhir pekan? Kalau sekarang senin, berarti masih banyak waktu untuk jalan-jalan di Lombok.”

    “Kalau kamu sendiri, kemari dalam rangka apa?”

    “Saya sedang mencari inspirasi. Maklum….  Pikiran saya sedang buntu.” Sahut Arsyanendra.

    “Mencari inspirasi karena pikiran buntu?” 

    Akan tetapi, Arsyanendra tak menanggapi perkataan Tyana. Sedangkan Tyana menunggu tanggapan Arsyanendra hingga sama-sama diam. Setelah sama-sama tak mengeluarkan suara, akhirnya keadaan menjadi kaku. 

    Keduanya lalu tenggelam dalam lamunan, sampai pelayan restoran datang membawa pesanannya Arsyanendra.

    “Ini pak pesanannya.”

    “Terima kasih.” Jawab Arsyanendra, lalu mereka diam dan saling diam itu berlanjut sampai terdengar panggilan dari telepon genggam Tyana. Karena itu Tyana berkata, “Permisi, ada panggilan dari kakak saya di Jakarta.” 

    Arsyanendra mengangguk lalu meninggalkan meja menuju kamarnya yang dekat pantai, sedangkan mata Tyana mengikuti jalannya Arsyanendra hingga Arsyanendra tak nampak lagi.

    *

    Wajah tampan dengan kulit putih serta tinggi badan sekitar 174 cm, semakin membuat Tyana ingin mengenal Arsyanendra lebih dekat. Ketika Arsyanendra masuk ke salah satu kamar yang menghadap laut, Tyana terus teringat pada hidung mancung dan badan yang padat berisi seperti seorang atlet. Tyana menduga bila Arsyanendra rajin berolahraga.

    Di lain sisi, secara tidak disadari, Arsyanendra terus teringat pada wajah cantik Tyana yang tingginya sekitar 168 cm, dengan rambut hitam sebahu. Bentuk wajah bulat telur dan mata bulat, sangat menarik bila dipadukan dengan warna kulit wajah yang terang hingga Arsyanendra terus terbayang wajah itu.

    Bila diamati lebih cermat, kulit Tyana  tipikal kulit orang Eropa, sampai Arsyanendra menduga Tyana berdarah campuran.

    Badan padat berisi serta langsing, membuat Arsyanendra susah untuk menyingkirkan bayangan itu dari pikirannya. Namun, Arsyanendra tiba-tiba ragu, lalu berusaha mengingkari pikirannya. Sebab, tadi melihat sepintas sebuah kartu nama bertuliskan nama, Tyana Johansyah. 

    Arsyanendra menduga bila Tyana perempuan bersuami dan kalau diamati dari usianya, Tyana bertampang lebih tua dibanding dengan dirinya yang masih lajang dan berusia 23 tahun.

    Pikiran yang kacau, membuat Arsyanendra mengalihkan perhatiannya dengan melihat keluar kamar melalui jendela kaca. 

    Saat melihat langit senja berwarna kemerahan dari jendela kamarnya, dia merasa tertarik. Karena itu, dia keluar dari kamar kemudian menuju tepi pantai untuk mengambil foto suasana senja di pantai Senggigi. Namun, keindahan itu tak membuatnya senang.

    Seiring dengan redupnya mentari, perasaan Arsyanendra makin galau. Baginya, keredupan senja di Senggigi membuatnya teringat peristiwa beberapa bulan yang lalu hingga membawanya ke Lombok untuk menjumpai sahabatnya sejak dia masih anak-anak. 

    Peristiwa itu adalah lenyapnya impian hati yang sudah lama terpupuk di kalbu dan saat kesedihannya semakin dalam, tiba-tiba seseorang menepuk bahunya dan berseru. “Hai…. Ayo makan ayam Taliwang di Cakra.”

    “Eh………. Boni…….. Kamu sudah datang.”

    “Kamu sedang melamun?” Tanya Boni.

    “Mmmm…. Anuu…”

    “Sudahlah, percumah mikir orang yang nggak memikirkan kamu, ayo tegakkan kepala dan busungkan dada, lalu langkahkan kaki untuk menyongsong masa depan yang panjang. Percayalah, aku nggak akan meninggalkanmu sebagai sahabat.” 

    “Ah, kamu.” Sahut Arsyanendra sambil cengar cengir.

    Keduanya lalu berjalan menuju pintu keluar di jalan raya Senggigi. Namun, sebelum sampai pintu gerbang, Boni melihat seseorang melambaikan tangannya, lalu menunjuk ke Arsyanendra. Karena itu, Boni berhenti kemudian berkata, “Syan, sebelah kanan kita ada orang memanggilmu.”

    Arsyanendra menoleh lalu berseru. “Hai….” 

    “Kamu mau kemana?” Tanya Tyana.

    “Saya mau ke Cakranegara, ingin makan ayam Taliwang. Tempat itu hanya buka sore sampai jam 9 malam. Jadi, kami harus cepat-cepat karena takut tutup.” 

    “Makan ayam Taliwang? Em……. “

    Tampaknya, Tyana ragu untuk mengatakan sesuatu. Tetapi akhirnya dia mengatakan maksudnya. Yaitu, ia ingin menitip ayam Taliwang bakar. 

    Arsyanendra mengangguk, kemudian dia melanjutkan jalan ke pintu gerbang hotel, setelah memperkenalkan Boni pada Tyana. 

    “Itu siapa?” Tanya Boni saat didepan pintu gerbang.

    “Dia psikolog yang baru seminar di Mataram.”

    “Oooo…… Aku dengar, hari sabtu dan minggu kemarin, ada seminar tentang bagaimana cara membuat balita senang belajar.”

    “Nah…… Selesai seminar, dia liburan di Senggigi.”

    “Kamu kenal dia dimana?” Tanya Boni lagi.

    “Aku kenalnya di bandara, waktu itu dia jengkel melihatku telepon kamu sebelum pesawat berangkat dari Jakarta.”

    “Oooo…. Waktu kamu tanya tentang transport dari bandara Praya ke Senggigi ya, hahaha…….. Kamu juga kacau, telepon kok di pesawat yang mau terbang.”

    Keduanya sama-sama tertawa kemudian masuk ke mobil sewaan yang di sewa Arsyanendra selama dia berada di Lombok. 

    *

    Tok…Tok…Tok… Tyana membuka pintu, lalu dia berkata, “Masuk Syan, masuk Bon……. Silahkan duduk.”

    Keduanya masuk lalu duduk santai untuk memandang ke lautan lepas walaupun diluar keadaannya sudah gelap. 

    Bau harum di kamar, tercium lembut oleh Arsyanendra dan seingatnya itu adalah bau sebuah aroma terapi.

    “Terima kasih, ayam Taliwangnya. Harganya berapa?”

    “Gratis, anggap saja ini hadiah.” Jawab Arsyanendra.

    “Waw…..  Rupanya saya ditraktir.” Sahut Tyana 

    “Ayo makan, kalau dingin nggak enak.” Ajak Boni.

    “Lho…….. Kalian belum makan?” Tanya Tyana.

    “Oiya….. Maaf, kami tidak jadi makan disana.”

    “Oooooo….. Wah, saya merepotkan ya.”

    “Enggak mbak.” Kata Boni.

    “Kok mbak? Apakah kalian lebih muda dari saya?”

    “Rasanya gitu, hahaha, jangan tersinggung ya.” Sahut Boni.

    “Maaf…… Saya mengatakan pada Boni, bila Tyana terlihat sudah lama tamat belajarnya dan saya hanya menduga saja karena saya dan Boni baru tamat satu setengah tahun.” Jawab Arsyanendra.

    “Kalian bisa menebak usia saya?” Tanya Tyana.

    “Dugaan saya, 26 tahun dan sudah menikah.” 

    “Kalau saya berusia 26 tahun, kalian umur berapa?”

    “Kami masih berusia 23 tahun.” Jawab Arsyanendra.

    “Hahaha……..” Tawa Tyana

    Keduanya saling pandang dan Tyana merasa ada sesuatu yang disembunyikan sedangkan Arsyanendra memandang Tyana karena melihat ada kekecewaan yang sangat mendalam, yang sangat berpengaruh di hidupnya dan itu terpancar di sorot mata Tyana.

    Keduanya tersenyum, tapi keadaan seperti itu hanya sesaat, sebab Tyana mengalihkan perhatiannya pada bungkusan makanan. 

    Sambil makan, mereka membicarakan obyek wisata daerah Lombok serta membuat rencana untuk mengunjungi tempat-tempat tersebut. Rupanya Tyana tertarik pada Gili Meno yang ada tempat penangkaran penyu, taman burung dan danau di pulau tersebut.

    Arsyanendra setuju pergi ke pulau Gili Meno pagi hari, lalu kembali ke hotel pada sore harinya. Namun Boni menyarankan agar mereka tinggal disana satu malam.

    Tyana menyatakan setuju besok pagi ke Gili Meno tetapi masih belum sepakat untuk tinggal semalam, sebab ia tidak yakin pada keadaan pulaunya, dan Tyana janji akan menjawabnya besok pagi sebelum berangkat dari hotel menuju ke pelabuhan Bangsal.

    *

    Mentari pagi menyambut Arsyanendra, Tyana dan Boni di Bangsal yaitu pelabuhan untuk penyeberangan ke Gili Air, Gili Meno dan Gili Trawangan serta kapal cepat dengan rute, Lombok ke Bali dan sebaliknya. 

    “Jadi, mau tinggal atau nanti sore kembali?” Tanya Boni.

    “Saya ragu, tapi, saya bawa pakaian untuk jaga-jaga kalau berubah pikiran. Kalau Syanen gimana?” Tanya Tyana.

    “Saya bawa baju ganti, untuk jaga-jaga seandainya basah saat turun dari speed boat di pantai.”

    “Lho…. ?” Sahut Tyana.

    “Disana nggak ada dermaganya.” Kata Arsyanendra.

    “Maaf, saya lupa memberi tahu kalau dermaganya rusak, jadi, sampai sana, kita turun di tepi pantai lalu jalan di pinggir laut. Tapi, kalau celana panjangnya digelung, pasti aman. Lagi pula, sekarang lautnya dalam keadaan tenang dan arusnya tidak deras. Oh iya, saya sarankan mbak Tyana ganti sandal karet, supaya sepatunya tidak basah kalau turun.” Kata Boni dengan suara meyakinkan.

    “Apa benar begitu?” Tanya Tyana.

    “Benar, saya serius.” Jawab Boni.

    Tyana merasa kecewa. Namun Arsyanendra meyakinkan Tyana dengan berkata, “Jangan takut mbak, nanti saya gendong.” 

    “Ah kamu ini, belum tahu ya kalau saya beat.” Kata Tyana, lalu ia melihat suasana. Keadaan di sana membuat Tyana mengakui kondisi pelabuhan cukup baik serta orang-orang disana tertib. 

    “Saya mau beli tiket, kalian kesana saja.” Kata Boni dengan menunjuk pada sebuah rumah makan kecil.

    Disana, Arsyanendra dan Tyana memesan kopi dan teh panas. Saat menunggu pesanan, keduanya diam tapi saling pandang, sampai akhirnya Tyana bicara, “Saya merasa pernah melihat kamu di sebuah mal di Senayan.”

    “Iya saya sering potong rambut disana. Tapi, itu kan tempat potong rambut lelaki, kenapa kamu melihat saya?”

    “Saya kesana karena mengantar anaknya kakak saya lalu nonton film untuk anak-anak disana.”

    “Bukan anaknya sendiri?” Sahut Arsyanendra dengan mata yang menyorot untuk menyelidik.

    Tyana memandang Arsyanendra, lalu memalingkan wajah pada kerumunan orang ditepi pantai.

    “Maaf, kalau menyinggung.” Kata Arsyanendra, tapi Tyana tak bereaksi. Pandangannya kosong, dan wajahnya sedih.

    Terbayanglah masa suramnya ketika dia masih SMA dan masih tinggal di Semarang bersama keluarganya dan saat teringat ia sangat marah pada teman karib kakak laki-lakinya yang berakhir dengan pernikahan dirinya dengan teman karib kakak laki-lakinya itu secara terpaksa karena harus menutupi aib keluarga. 

    Keadaan sama-sama membisu itu tak berjalan lama setelah Boni datang lalu duduk bersama mereka untuk minum kopi sambil menunggu speed boat.

    “Orang berkerumun itu sedang apa?” Tanya Arsyanendra.

    “Mereka menunggu perahu yang murah.” Jawab Boni.

    “Apakah ada bedanya dengan kapal yang akan kita naiki?”

    “Ada, perahu itu disebut public boat dan harganya sangat murah, kalau kita naik speed boat, dan harganya lebih mahal. 

    Penumpang public boat biasanya rakyat kecil sedangkan yang naik speed boat biasanya turis lokal atau turis mancanegara. Tapi banyak juga backpacker naik public boat bersama penduduk yang membawa belanjaan sehari-hari.

    Setelah berbicara cukup lama, Boni mengajak mereka menuju speed boat yang siap berangkat. 

    Selama dalam penyeberangan, Arsyanendra turus memotret beberapa objek pemandangan yang ada di tepi pantai dengan penuh semangat tanpa menghiraukan penumpang lain, dan itu membuat Tyana mulai ingin mengenal Arsyanendra lebih jauh.

    Sampai Gili Meno, Boni bertindak sebagai pemandu wisata bagi Arsyanendra dan Tyana dengan berjalan kaki keliling pulau.

    Sampai siang, beberapa tempat telah mereka kunjungi dan tempat yang mereka sukai adalah tempat penangkaran penyu, lalu Tyana menyukai danau, walaupun Arsyanendra tak menyukainya.

    Keengganan Arsyanendra berhenti lama di danau membuat ia ingin ke pelabuhan, karena itu ia mengatakan hendak menunggu Tyana dan Boni di pelabuhan.

    Selama perjalanan, Arsyanendra tidak mengerti mengapa hatinya terdorong untuk ke pelabuhan, karena itulah Arsyanendra bertanya dalam hati dan mengapa seolah ada yang menyuruh ke pelabuhan.

    Ia juga tidak mengerti mengapa tiba-tiba meninggalkan Tyana dan Boni walaupun Boni sudah beberapa kali memberi kode agar tidak ditinggal berdua dengan Tyana.

    Di pelabuhan, dia mencari tempat makan dan minum yang nyaman yang ternyata dia melihat ada beberapa tempat makan dan minum yang bersih, lalu Arsyanendra masuk ke tempat makan yang berlantai kayu dan menjorok ke laut.

    Pemandangan dari restoran itu sangatlah indah hingga dia beberapa kali memotretnya dengan menggunakan tele lens setelah ia memesan kentang goreng dan segelas kopi panas tanpa gula.

    Keasyikannya memotret membuat Arsyanendra tidak tahu bila ada sepasang kekasih yang sedang berkasih mesra dan saling merangkul, duduk di saung yang tidak jauh dari tempatnya dan si perempuan terkejut ketika melihat Arsyanendra. Namun, dia segera berpaling melihat laut, sedangkan yang laki-laki, tidak melihatnya sehingga dia terkadang mengecup dahi dan bibir si perempuan.

    Setelah beberapa lama berkasih mesra, perempuan itu lalu menunjuk-nunjuk Arsyanendra beberapa kali sedangkan si lelaki beberapa kali mencibir sambil melihat Arsyanendra. Kejadian itu berlanjut hingga kedatangan Tyana dan Boni dan ketika bergabung kembali, Boni tiba-tiba melotot saat melirik ke arah kanannya lalu memberi kode dengan berkedip kedip pada Arsyanendra. Namun Arsyanendra tak paham.

    Ulah Boni membuat Tyana bertanya, “Ada apa Bon?”

    “Enggak…….. ” Jawab Boni.

    “Enggak, tapi kok kelihatan aneh?”

    Jawaban itu tidak memuaskan Tyana, karena itu ia menoleh ke kanan dan setelah melihat adanya orang yang sedang bermesraan, Tyana menduga kalau Boni ingin menunjukkan kedua orang itu.

    “Syan, Boni ingin kamu menoleh ke kanan.”

    Arsyanendra wajahnya memerah setelah ia menoleh, entah marah atau malu sedangkan Tyana memandang ke laut, kemudian berkata, “Pemandangan disini sungguh indah.” Sebagai cara Tyana untuk menyelimur sebab dia menyakini adanya persoalan antara sejoli di kanan mereka dengan Arsyanendra.

    “Itulah penyebab orang kemari.” Sahut Boni 

    Setelah itu, mereka antusias membuat rencana kunjungan ke obyek wisata lain, hingga tidak memperhatikan saat sepasang kekasih dari kanan mereka, menghampiri. 

    “Bon.. Kamu kenapa acuh melihatku?” 

    Ketiganya lalu menoleh ke sepasang perempuan dan lelaki yang bergandengan mesra. “Eh….. Aku memang sudah lihat, tapi karena kamu sedang asyik, Aku jadi nggak enak.”

    “Halo Nendu….. ” Sapa si perempuan.

    “Hai Tin, hai Bob.” Balas Arsyanendra dengan kaku.

    “Halo Syan.” Sapa Bondan yang dipanggil Bob.

    “Kalian sedang berlibur?” Tanya Boni.

    “Iya, kami sedang cuti dan senang sekali berbulan madu di Gili Meno. Bon, kamu kenapa nggak datang waktu pernikahan kami. Ibu menanyakan kamu kemana? Weny, adik bungsuku yang dulu suka kamu gendong juga bertanya kamu kenapa nggak datang. Lalu eyang Kanthi juga mencarimu. Mereka heran kamu nggak datang, karena mereka tahu kita selalu bersama sejak kecil. Tapi…….. Sudahlah……. Bon, aku akan kembali ke New York 5 hari lagi.” Jawab Faustina, yang dipanggil Tin oleh Arsyanendra.

    “Ayah dan ibumu kabarnya gimana?” Tanya Boni.

    “Mereka baik-baik.” Sahut Faustina.

    Suasananya tetap kaku walaupun Boni berusaha membuat keadaan cair dan Arsyanendra tetap berwajah tegang.

    “Ina, Bob, aku mau kembali ke Mataram. Maklum hari sudah sore. Salam buat ibumu.” Kata Boni, lalu mereka bersiap siap kembali ke Bangsal.

    Tyana dan Arsyanendra lalu mengikuti Boni menunggu kapal ke pelabuhan Bangsal.  

    **

     

    Kreator : Hepto Santoso

    Bagikan ke

    Comment Closed: Rahasia Butiran Karang Bab 1

    Sorry, comment are closed for this post.

    Popular News

    • Part 15: Warung Kopi Klotok  Sesampainya di tempat tujuan, Rama mencari tempat ternyaman untuk parkir. Bude langsung mengajak Rani dan Rama segera masuk ke warung Kopi Klotok. Rama sudah reservasi tempat terlebih dahulu karena tempat ini selalu banyak pengunjung dan saling berebut tempat yang ternyaman dan posisi view yang pas bagi pengunjung. Bude langsung memesan […]

      Okt 01, 2024
    • Part 16 : Alun – Alun  Kidul Keesokan paginya seperti biasa Bude sudah bangun dan melaksanakan ibadah sholat subuh. Begitupun dengan Rani yang juga melaksanakan sholat subuh. Rani langsung ke dapur setelah menunaikan ibadah sholat subuh. Tidak lama disusul oleh Bude dan langsung mengambil bahan masakan serta mengiris bahan untuk memasak. Rani dan Bude sangat […]

      Okt 16, 2024
    • Part 14: Kopi Klotok Pagi hari yang cerah, secerah hati Rani dan semangat yang tinggi menyambut keseruan hari ini. Ia bersenandung dan tersenyum sambil mengiris bahan untuk membuat nasi goreng. Tante, yang berada di dekat Rani, ikut tersenyum melihat Rani yang bersenandung dengan bahagia. “Rani, kamu ada rasa tidak sama Rama? Awas, ya. Jangan suka […]

      Sep 18, 2024
    • Part 13 : Candi Borobudur Keesokan harinya Rama sibuk mencari handphone yang biasa membangunkannya untuk berolahraga disaat Rama berada di Jogja. Rama tersenyum dan semangat untuk bangun, membersihkan diri dan segera membereskan kamarnya. Tidak lupa Rama juga menggunakan pakaian yang Rapih untuk menemui Rani hari ini. Sementara Rani seperti biasa masih bermalas-malasan di dalam kamarnya […]

      Sep 07, 2024
    • Part 12 : Cemburu Rama langsung memukul Jaka saat Jaka baru saja masuk ke ruang kerjanya Rama. Jaka yang meringis bukannya marah namun malah tersenyum terhadap Rama karena Jaka tahu bahwa Rama lagi cemburu terhadapnya. Rama males menjawab salam dari Jaka namun sebagai orang yang punya adab Rama harus menjawab salam dari Jaka dengan sopan. […]

      Sep 05, 2024

    Latest News

    Buy Pin Up Calendar E-book On-line At Low Prices In India After the installation is complete, you’ll have the flexibility […]

    Jun 21, 2021

    Karya Nurlaili Alumni KMO Alineaku Hampir 10 bulan, Pandemi Covid -19 telah melanda dunia dengan cepat dan secara tiba-tiba. Hal […]

    Des 07, 2021

    Karya Lailatul Muniroh, S.Pd Alumni KMO Alineaku Rania akhirnya menikah juga kamu,,,  begitu kata teman2nya menggoda, Yaa,,,Rania bukan anak.yang cantik […]

    Des 07, 2021

    Karya Marsella. Mangangantung Alumni KMO Alineaku Banyak anak perempuan mengatakan bahwa sosok pria yang menjadi cinta pertama mereka adalah Ayah. […]

    Des 07, 2021

    Karya Any Mewa Alumni KMO Alineaku Bukankah sepasang sejoli memutuskan bersatu dalam ikatan pernikahan demi menciptakan damai bersama? Tetapi bagaimana […]

    Des 07, 2021