Jalan menanjak dilewati perlahan oleh Arsyanendra dan Tiana walaupun sebenarnya mereka sudah lelah.
Semangat dari keduanya ternyata telah mengalahkan rasa lelah ketika harus melewati jalan menanjak pada sebuah perumahan di Megamendung, Bogor.
Kesejukan hawa pegunungan dan rindangnya pepohonan sekitar mereka telah menambah semangat bagi Arsyanendra dan Tiana. Desir angin sepoi-sepoi membuat kedua sejoli yang sedang dekat merasa dunia semakin indah.
Rasa saling membutuhkan makin hari semakin kuat hingga keduanya tak lagi peduli pada selisih usia mereka. Arsyanendra merasa Tiana sosok perempuan yang bisa membuatnya tersanjung sebab Tiana selalu memberi perhatian lebih padanya.
Arsyanendra merasa Tiana figur seorang ibu. Darinya, ia merasa dapat kasih sayang sebagai pengganti ibunya.
Perasaan seperti itu, telah membuat Arsyanendra tak ragu untuk membuka hati pada Tiana dan Arsyanendra merasa mantap menempatkan Tiana dihatinya.
Akan tetapi, pikiran Arsyanendra sangat bertolak belakang dengan pikirannya Tiana yang justru merasa ragu dan tidak pantas untuk bersanding dengan Arsyanendra.
Suasana romantis dengan pemandangan indah saat berada di jalan sepi, tampaknya tidak sesuai dengan pikiran Arsyanendra dan Tiana. Mereka merasa berada di tempat panas dan berdebu.
Sesampainya di vila milik bu Wati, Tiana langsung menuju dapur, mencari bu Yeyen, yaitu si penjaga vila sekaligus tukang masak. Pada siang ini, Tiana tiba-tiba merasa ingin membantu bu Yeyen masak untuk mengalihkan pikirannya. Dia menganggap dengan memasak, pikirannya akan tenang.
Tingkah yang langsung ke dapur, membuat Arsyanendra bertanya dalam hati, mengapa sikap Tiana tiba-tiba aneh. Tapi, setelah berpikir kalau itu akibat rasa hatinya sedang kalut, maka Arsyanendra maklum.
Lamunan Arsyanendra sambil melihat pemandangan indah di balkon, membuatnya lupa akan segala masalah. Akan tetapi, masalah tersebut timbul lagi ketika tangan halus Tiana menyentuh pundaknya sambil berkata, “Ayo kita makan.”
Di kala hendak menjawab ajakan itu, Arsyanendra melihat wajah Tiana muram. Diwajah Tiana, tidak ada lagi senyuman yang seperti biasanya. Karena itu, tanpa menjawab ajakan, Arsyanendra berdiri lalu jalan menuju ruang makan.
Selama makan siang, keduanya sama-sama diam. Namun terkadang, mereka saling pandang dan membuat keduanya tidak tahu harus bagaimana menghadapi rasa hati yang bertambah dalam.
Selesai makan, Arsyanendra kembali ke balkon melihat pemandangan sedangkan Tiana masuk ke kamar yang untuk tamu di lantai dua. Arsyanendra memandang jauh kedepan tetapi pikirannya melayang ke atas, hingga apa yang ada disekitarnya tak terlihat dan tidak dirasakan olehnya.
Keadaan itu membuat Arsyanendra tidak sadar kalau di sampingnya duduk sosok perempuan yang sudah pernah dia kenal waktu dia masih berada di USA. Perempuan itu diam namun terus memandang Arsyanendra seolah sedang melihat seorang kekasih yang sudah lama tak jumpa.
Keadaan itu terus berlangsung hingga senja tiba. Ketika langit di sebelah barat vila telah menjadi merah, Arsyanendra mulai tersadar dari lamunannya. Ia lalu berdiri untuk membuat kopi serta mengambil makanan ringan.
Saat berdiri lalu dia hendak berjalan ke dapur, terkejutlah Arsyanendra ketika melihat sosok perempuan yang sangat dia kenal, yaitu Faustina.
Arsyanendra tersentak, lalu diam dan didalam diamnya, Arsyanendra berpikir keras, mengapa Faustina bisa sampai ke vilanya bu Wati? Siapa yang memberi tahukan kalau dia sedang berada di vilanya bu Wati.
Dengan siapakah dia datang kemari? Pertanyaan demi pertanyaan muncul dibenaknya. Ia menduga Faustina datang ke vila di Megamendung bersama bu Wati? Tetapi, jawaban itu tidak juga keluar dari benaknya hingga akhirnya Arsyanendra bertanya, “Hai Tin….. Kamu kemari dengan siapa?”
Sosok perempuan itu diam. Tetapi berjalan mendekati Arsyanendra dengan membawa dua cangkir kopi dan setelah dekat, ia berkata, “Tin? Siapa itu?”
Arsyanendra terkejut lalu dia melihat sambil menlotot. “Eh, maaf…. aku kira kamu dia.”
“Dia siapa? Apakah kamu melihat aku seperti orang lain? Pacarmu?” Tanya Tiana sambil meletakkan ke dua cangkirnya di atas meja bundar yang ada di balkon.
“Enggak mbak, maaf….. Aku salah….. ”
“Arsya…… Berterus teranglah padaku, apakah kamu sedang memikirkan bekas pacarmu?”
“Maaf ya mbak, aku….. “
“Sudahlah….. Mungkin kamu susah melupakan pacarmu yang dulu.”
Tiana menggandeng Arsyanendra kemudian duduk sebelah Arsyanendra sambil melihat kerlipan lampu dari kejauhan.
“Arsya…… Aku sadar kalau aku ini terlalu tua untukmu…. Sepanjang siang dan sore, aku terus berpikir tentang kita. Rasanya akan sulit bagi kita kalau hubungan ini diteruskan.”
“Maksudnya? Apakah kamu menyerah pada situasi?”
“Aku bukan menyerah, tapi berpikir rasional.”
“Kenapa aku selalu merasa gagal mendapatkan perempuan yang kusayang. Sudah tiga kali aku mengalami hal yang sama, yaitu merasa ditinggalkan.”
“Aku punya alasan, yaitu aku nggak ingin menjadi duri dalam keluargamu.”
“Maksudnya duri gimana?”
“Ibumu lebih menyukai kamu bersanding dengan Rya dan Rya juga sangat berharap jadi pasanganmu.” Ucap Tiana dengan mata berkaca kaca.
“Aku tahu, tapi gimana aku bisa? Sedangkan denganmu aku sudah terlanjur suka dan kita sudah melakukan hubungan yang… “
“Asal kamu tidak cerita pada Rya, aku akan tutup mulut dan aku akan mengubur itu sebagai kenangan indah dari seseorang yang sangat ku cintai….. “
“Aku nggak bisa melupakan yang sudah kita lakukan.”
“Percayalah, kamu pasti bisa.”
“Sulit bagiku karena aku sangat suka dan akulah yang mulai untuk mengganggu mbak Tiana. “
“Yakinlah kalau itu akan hanyut bersama waktu.” Ucap Tiana dengan sedih.
“Percayalah aku sangat mengharapkan mbak Tiana segera menjadi istriku.”
“Iya, aku sangat percaya. Karena kamu selalu jadi gugup menerima sentuhanku.”
Arsyanendra tidak dapat berkata kata lagi. Dia memandang kerlipan indah lampu di Cipayung. Akan tetapi disaat pemandangan malam terlihat mulai indah, tiba-tiba udara sejuk di Megamendung berubah mendadak menjadi dingin.
Rasa dingin itu semakin membuat Arsyanendra dan Tiana menggigil ketika angin berhembus dan saat angin malam bertiup, kerlipan lampu di Cipayung hilang, tertutup awan mendung.
Beberapa saat setelah mendung menutupi pemandangan kerlipan lampu di Cipayung, hujan rintik-rintik mulai membasahi halaman vila.
“Masuk yuk, sekalian makan malam.” Ajak Arsyanendra.
Tiana mengangguk lalu berdiri dan meninggalkan balkon menuju ruang makan. Selama makan malam, tak ada pembicaraan antara Arsyanendra dan Tiana, mereka tenggelam dalam pikirannya masing-masing.
“Mbak, kenapa kita sekarang jadi saling diam?” Tanya Arsyanendra setelah mereka selesai makan lalu pindah ke ruang keluarga sambil nonton TV.
“Aku nggak tahu mau bicara apa sekarang. Aku merasa kita harus mulai saling membuang rasa kita masing-masing.”
Namun Arsyanendra tak menghiraukan perkataan Tiana. Ia justru menggenggam jari Tiana lalu mendekatkan bibirnya pada bibir Tiana dengan perlahan.
Gerakan perlahan itu disikapi Tiana dengan memejamkan mata lalu dia membiarkan Arsyanendra mencium bibirnya serta membiarkan Arsyanendra melakukan semua yang dia inginkan.
Pasrah, itulah kata yang tepat pada sikap Tiana malam ini. Tiana kembali tak kuasa menahan gejolak hatinya. Hingga akhirnya ia tergerak untuk merespon segala perlakuan Arsyanendra.
Malam ini, dua sejoli yang saling cinta, tidak lagi memakai akal sehat. Segala rencana Tiana untuk menjauhi Arsyanendra, ternyata tidak berjalan sesuai dengan keinginan semula. Segala kiat untuk menahan diri seperti yang sudah direncanakan sebelumnya ternyata tak berjalan dengan semestinya.
Hujan rintik-rintik yang berubah menjadi deras, membuat Arsyanendra dan Tiana hanyut pada suasana romantis dan suasana romantis itu telah membuat kedua insan melupakan janji mereka agar saling menahan diri dari perbuatan fatal.
Namun beruntunglah Arsyanendra. Disaat sudah hampir melakukan hal terlarang, tiba-tiba dihadapanya ada bayang-bayang wajah ibunya menggeleng.
“Mbak maaf, aku sudah mulai lagi berbuat kurang ajar.”
Tiana mendengar itu, akan tetapi, dia tak perduli. Ia terus meraba Arsyanendra pada bagian sentifnya dengan maksud untuk terus membangkitkan gairah sebagai lelaki normal sampai akhirnya Arsyanendra siap untuk melakukan hal terlarang. Disaat paling kritis, muncul bayangan wajah bu Kus tepat dihadapan Arsyanendra dan bayangan wajah bu Ningrum tepat di hadapan Tiana hingga dua sejoli yang sedang dimabuk asmara itu sangat terkejut lalu sadar.
Disaat sadar, mereka terkejut setelah melihat sama-sama dalam keadaan tanpa sehelai benangpun menutupi tubuh mereka. Beberapa saat setelah keduanya sadar, Arsyanendra dan Tiana sama-sama menarik nafas panjang kemudian mengenakan kembali pakaian mereka yang sebelumnya berserakan di sofa depan TV.
*
“Halo, halo selamat siang….. Mas, Mbak.” Terdengar suara lantang Naryama memanggil Arsyanendra dan Tiana sambil berlari lari kecil menuju ruang tamu vila Megamendung. Namun Naryama tidak menemukan keduanya, karena itulah Naryama lalu berjalan ke balkon memandang segala penjuru mencari Arsyanendra dan Tiana.
Kali ini Naryama melihat Arsyanendra dan Tiana duduk di bangku panjang membelakanginya. Naryama sangat terkejut dan sangat syok melihat Tiana bersandar dengan sikap mesra dibahu Arsyanendra dan tangan Arsyanendra memeluk bahu Tiana sambil sekali-sekali mencium rambut Tiana.
Jantungnya tiba-tiba berdebar kencang sekali dan hatinya panas setelah tahu kakaknya sedang berdua dengan Arsyanendra, pemuda yang sangat diinginkan untuk jadi kekasihnya.
Marah pada keadaan menyakitkan, membuatnya hanya bisa mengeluarkan air mata, tanpa bisa bergerak banyak.
Bu Kus, yang berada dibelakang Naryama, dengan lembut menenangkan Naryama. Namun Naryama tak mendengar perkataan bu Kus. Hati dan pikirannya buntu sebab dia tidak menyangka kalau Tiana melakukan itu padanya.
“Tenang dan jangan cepat ambil kesimpulan pada yang kamu lihat. Tanyalah mengenai hubungan mereka.” Ujar bu Kus.
“Bu…. Mereka mesra sekali…… “
Bu Kus menggeleng, kemudian keluar menuju taman, dengan diikuti Naryama. Setelah keduanya sampai tepat dibelakang Arsyanendra dan Tiana, bu Kus menyapa dengan suara lembut, “Kalian asyik sekali, sampai nggak sadar kalau ada orang lain.”
“Ibu…….. Rya…… “
“Bu Kus……. Rya……..”
“Halo Tiana…… Syan, tolong antar ibu ke Cipayung untuk membeli gas. Gas di dapur tinggal satu tabung, dan itu sudah lama belum diganti.” Kata bu Kus.
Arsyanendra dan Tiana sangat terkejut melihat bu Kus tiba-tiba dibelakangnya bersama Naryama. Keduanya menjadi pucat dan sangat shok.
Siang ini, Arsyanendra cepat-cepat mengantar ibunya ke Cipayung untuk membeli gas sedangkan Tiana terpaku melihat Naryama yang dadanya naik turun dan nafasnya memburu. Melihat keadaan adiknya seperti itu, Tiana merasa sangat bersalah pada Naryama sehingga dia tak tahu harus bicara apa padanya.
“Mbak Tavi kenapa berbuat sangat keji padaku.”
“Aku…. Maaf…… “
“Aku sangat kecewa dan nggak ngerti…… Aku menyesal percaya dan cerita semua tentang mas Syanen pada mbak Tavi. Aku menyesal mengatakan ingin mas Syanen jadi Suamiku…… “
“Percayalah, aku nggak akan merebut Syanen darimu.”
“Licik……. Nggak bisa dipercaya……. Baru kali ini aku tahu kalau mbak Tavi ternyata licik… Maka dari itu sampai sekarang nggak ada laki-laki yang tulus suka pada mbak Tavi….. Aku tahu, mbak Tavi pasti ingin merebut mas Syanen karena mas Syanen lugu yang belum pengalaman menghadapi perempuan.”
“Rya.. Kamu salah…. Aku justru ingin menyelamatkanmu dari kutukan butiran karang. Percayalah…. Syanen memegang batu kutukan penghancur hubungan asmara. Aku sadar mendekatinya supaya akulah yang akan kena akibat dari kutukan batu itu bukan kamu. Setelah kutukan itu kena aku, kamu sudah terbebas dari kutukan. Nah, kalau kamu sudah terbebas, artinya kamu bisa terus bersamanya. Aku nggak bohong. Semua itu kelakukan demi kamu, adikku yang kusayang.”
Naryama mendengar itu dengan perasaan ragu. Dia tahu kalau selama ini Tiana selalu berkorban untuknya. Karena itulah, Naryama bimbang dengan tuduhan kalau Tiana sedang bersungguh sungguh bermesraan dengan Aryanendra.
Ditaman sangat indah, kedua saudara kandung yang selama ini selalu rukun dan saling mendukung tiba-tiba saling mendiamkan, hingga udara sejuk di taman menjadi panas.
Pada keadaan seperti ini, walaupun Naryama percaya, tapi Naryama kecewa pada kakaknya yang sejak kecil selalu di sayang serta dihormati dan karena itulah Naryama tiba-tiba meninggalkan Tiana di taman seorang diri.
Sedangkan Tiana hanya diam, sambil membayangkan bila itu terjadi pada dirinya.
Hati Tiana gundah dan itu membuatnya mengurut dada lalu menangis. Ia tiba-tiba teringat seseorang yang selama ini selalu baik padanya disaat dia dalam keadaan terpukul atau dalam keadaan depresi berat.
Bayangan Firsanti tiba-tiba tampak di depan matanya, dan bayangan itu seolah memberinya nasihat serta membimbing agar Tiana berjalan ke dalam vila lalu duduk diruang keluarga.
Tiana segera bergerak perlahan menuju ruang keluarga lalu dia duduk di sofa. Disana, ia duduk depan meja kaca yang diatas mejanya ada sebuah vas kembang dan disekeliling vas tersebut ada butiran karang berwarna hitam pekat.
Ia heran, Mengapa tiba-tiba ada butiran karang di atas meja disekeliling vas, padahal seingatnya diatas meja kaca itu sejak dia datang ke vila, tidak ada vas nya.
Tiana ambil kesimpulan kalau di vila ini ada suatu kejadian aneh. Namun perhatian soal butiran karang dan vas dia abaikan setelah dia melihat Naryama matanya merah dan berair.
**
“Ibu kenapa kita ke Cirsarua? Bukannya tadi mengajak ke Cipayung?”
“Ibu mau bicara tentang hal lain.”
“Bicara tentang hal apa? Pasti tentang mbak Tiana ya.”
“Bukan, tapi tentang sikapmu.”
“Sikapku? Sikapku kenapa?”
“Sikapmu yang sudah mengabaikan nasihat ibu.”
Arsyanendra diam, tetapi pikirannya melayang saat ia akan pergi ke USA ketika baru tamat dari SD.
Kala itu, ibunya memberi nasihat agar dia menghormati perempuan dengan tidak boleh melakukan hubungan suami istri dengan perempuan bila belum menikah, termasuk dengan pacarnya bila kelak dia pacaran.
Saat mengingat nasehat itu, wajah Arsyanendra berubah menjadi pucat lalu dia berkata, “Bu, maaf…… Aku telah khilaf….. Aku janji nggak akan mengulangi lagi.”
“Ibu belum percaya pada janjimu sampai kamu selesai belajar melepaskan diri dari pengaruh butiran karang.”
“Maksud ibu?”
“Belajarlah mengendalikan diri dengan sungguh-sungguh agar kamu lepas dari pengaruh butiran karang.”
“Pengaruh butiran karang?”
“Iya, kamu sudah terkena pengaruh butiran karang.”
“Aku terkena pengaruh butiran karang? Kalau memang iya, berarti ibu yang salah. Ingat ya, butiran karang itu kan dari ibu?”
“Syan…… Sebenarnya butiran karang itu sudah melekat padamu sejak kamu datang ke Wates bersama Faustina.”
“HAH! Ibu pasti ngarang……. “
“Ibu nggak ngarang, sebab sebelum kamu dan Faustina ke Wates kalian mampir ke Parangtritis. Nah, disitulah kamu ditempel butiran karang yang merasa kalau kamu adalah wadahnya.”
“Ibu pasti mau bicara tentang hal yang abtrak….. Aku nggak ngerti dan aku ngak percaya.”
“Ibu sedih kalau kamu nggak percaya pada perkataan ibu. Percayalah ibu tidak bohong dan ibu sampai saat ini belum pernah berbohong padamu.”
“Kami ke pantai selatan Jawa tapi nggak ke Parangtritis.”
“Coba ingat-ingat lagi, kalian jalan-jalan melalui pinnggir pantai dari Parangtritis sampai Pacitan. Dipertengahan jalan yaitu dekat pantai Ngrenehan, kalian berhenti untuk makan siang lalu naik ke sebuah bukit karang. Nah disitulah peristiwanya dimulai.”
Arsyanendra coba mengingat ingat lagi perjalanan awalnya ketika datang ke Indonesia pertama kali untuk memperkenalkan Faustina sebagai calon istrinya. Ia ingat kalau perjalanan dimulai dari Jakarta, naik mobil sewaan ke Jogja melalui Semarang dan menginap di hotel saat berada di Jogja.
Keesokan paginya melanjutkan perjalanan menuju Wates melalui pantai selatan Jawa. Disana, Arsyanendra dan Faustina berhenti di pantai Ngrenehan, lalu makan siang disekitar sana.
Terbayanglah saat dia mulai bersitegang dengan Faustina ketika turun dari sebuah bukit karang yang dekat dengan pantai Ngrenehan. Arsyanendra teringat ketika Faustina marah padanya lalu melempar lobster dari piringnya gara-gara secara tak disengaja, Arsyanendra bertanya mengapa lipstick Faustina terlalu merah.
Arsyanendra berpikir sangat keras, mengenai itu. Dia lalu bertanya dalam hati mengapa Faustina segitu marahnya, padahal Arsyanendra sering berlaku seperti itu, yaitu mengkritik make up yang dipakai oleh Faustina.
Ia mulai goyah dan sedikit percaya pada perkataan ibunya kalau pertengkaran dengan Faustina dimulai sejak turun dari bukit karang di pantai Ngrenehan.
Terbayanglah ketika dia sedang di atas bukit tiba-tiba ada tumpukan batu kecil dalam jumlah banyak. Saat memegang batu itu, tiba-tiba badanya terasa melayang lalu beberapa saat kemudian dia sadar. Setelah tersadar, dia terkejut kalau ternyata dia dan Faustina berada dibawah disebuah pohon beringin yang sangat besar. Ia heran mengapa ada pohon disana padahal, pada awalnya di atas bukit karang itu kering serta tak ada pohon yang tumbuh disana.
Keheranan itu berlanjut sampai terlihat adanya seorang lelaki muda memakai pakaian seperti pemain wayang orang. Lelaki itu mengambil segenggam butiran batu kecil yang ada di dekat pohon beringin, lalu orang itu menghilang.
Arsyanendra segera sadar saat bu Kus menepuk bahunya kemudian beliau berkata, “Kamu sekarang sudah ingat?”
“Iya bu…… Aku ingat kejadian beberapa tahun yang lalu.”
“Tahukah kamu kalau yang kamu pegang adalah butiran karang pemutus cinta bagi orang pacaran?”
“Enggak….. Aku nggak tahu bu…. Tapi…… “
“Tapi kenapa?”
“Mbak Tiana pernah cerita tentang butiran karang yang asalnya dari pecahan karang karena diduduki oleh seseorang yang sedang patah hati. Tapi itu di Cilacap.”
“Tiana benar. Dia memang sudah tahu soal butiran karang yang selalu ikut denganmu. Kamu perlu tahu kalau Tiana memang sengaja membuatmu jatuh cinta demi berkorban untuk adiknya.”
“Berkorban demi adiknya? Aku nggak ngerti maksud ibu?”
“Tiana tahu kalau siapapun yang ada dihatimu akan selalu pergi dengan cara yang tidak menyenangkan. Dia ingin kalau dialah orang yang akan patah hati agar adiknya bisa terus bersanding denganmu.”
“Kenapa bisa gitu?”
“Sebab, selama butiran karang itu masih melekat padamu, kamu akan terus menerus mengalami kegagalan untuk mendapatkan pasangan hidup.”
“Lho….. Kalau gitu, sama aja.” Sahut Arsyanendra,
“Maksudmu sama aja gimana?”
“Kalau aku dekat Rya, pasti akan berakhir putus juga.”
“Itulah sebabnya, dia minta bantuan Nalini Paramesti.”
“Nalini Paramesti?….. Maksud ibu mbak Nalini?”
“Iya, dialah satu-satunya yang bisa menetralisir pengaruh buruk butiran karang.”
“Kenapa dia satu-satunya?”
“Ibu, bersama ayahmu dan lainnya sudah mencoba tetapi, tidak bisa.”
“Ayah sudah mencoba? Kapan?”
“Ayah sudah mengambil butiran karang darimu waktu ayah muncul sebagai bayangan dengan menyamar sebagai orang lain, saat kamu sedang nonton wayang kulit bersama Rya di Kediri.”
“Oooo…… Jadi, bayangan itu adalah ayah….”
“Iya, ayah mengambil darimu lalu mencoba menetralisir tetapi tidak berhasil. Petunjuk yang ayah dapat kalau pengaruh buruk butiran karang itu hanya bisa di netralisir oleh Nalini.”
“Bu…… “
“Kenapa berhenti? Kamu mau mengatakan apa?”
“Apakah putusnya aku dengan Faustina karena pengaruh butiran karang? Kalau memang iya, aku sangat menyesal karena mengajaknya ke Jogja.”
“Percaya nggak percaya itulah yang terjadi.”
“Tapi bu…… Angelina mengatakan padaku kalau Faustina sudah menduakan aku dengan sahabatku sendiri. Dia juga sudah tidur dengan sahabatku saat dia masih pacaran denganku.”
“Percayalah, Faustina adalah gadis yang sangat baik dan selalu memegang tata krama ketimuran. Dia tidak akan melakukan perbuatan seperti yang dituduhkan. Dalam pikirannya, dia hanya mau melakukan hubungan badan setelah dia menikah.”
“Tapi bu, Angelina nggak mungkin bohong padaku.”
“Percayalah…. Kamu nanti akan tahu.” Ucap bu Kus.
Setelah diam sejenak, bu Kus minta Arsyanendra kembali ke Megamendung. Ketika sampai dekat vila, bu Kus minta berhenti untuk membeli gas.
“Bu….. Kenapa setiap ketemu ibu aku selalu pusing.”
“Hihihihi…… Kamu pusing atau bingung?”
“Ya pusing, ya bingung. Pokoknya serba nggak nyaman.”
“Apakah karena nggak mau mendengar nasihat ibu?”
“Aku pingin ke rumah eyang yang di gunung Kawi aja…. Ibunya ibu mungkin bisa membuatku tenang.”
“Kalau gitu, ibu ikut.. Ibu sudah lama nggak ketemu eyang gunung Kawi.”
“Ibu pasti mau tahu urusanku ya.”
“Hihihihi…. Kenapa? Kamu malu ya.”
“Aku mau sendiri aja ke rumah eyang gunung Kawi.”
“Baiklah kalau kamu nggak membolehkan ibu ikut. Tapi, gimana kalau kamu kesana dengan Rya, dia juga kenal eyang gunung Kawi.”
“Dengan Rya? Aku…… Merasa besalah pada Rya, sebab aku pernah tidur dengan Tyana dan mbak Tiana, aku malu….. “
“Sudahlah nak…. Ibu mau memaklumi kelakuanmu kali ini karena itu pengaruh dari butiran karang. Tapi kalau lain kali kamu melakukan lagi, ibu akan menghukumu dengan sangat berat.”
“Bu…… Aku minta maaf karena sudah berbuat hal-hal yang diluar batas.”
“Sudahlah, ayo sekarang kita kembali ke vila. Mudah-mudahan Tiana dan Rya sudah akur kembali sebagai saudara.”
Kreator : Hepto santoso
Part 15: Warung Kopi Klotok Sesampainya di tempat tujuan, Rama mencari tempat ternyaman untuk parkir. Bude langsung mengajak Rani dan Rama segera masuk ke warung Kopi Klotok. Rama sudah reservasi tempat terlebih dahulu karena tempat ini selalu banyak pengunjung dan saling berebut tempat yang ternyaman dan posisi view yang pas bagi pengunjung. Bude langsung memesan […]
Part 16 : Alun – Alun Kidul Keesokan paginya seperti biasa Bude sudah bangun dan melaksanakan ibadah sholat subuh. Begitupun dengan Rani yang juga melaksanakan sholat subuh. Rani langsung ke dapur setelah menunaikan ibadah sholat subuh. Tidak lama disusul oleh Bude dan langsung mengambil bahan masakan serta mengiris bahan untuk memasak. Rani dan Bude sangat […]
Part 14: Kopi Klotok Pagi hari yang cerah, secerah hati Rani dan semangat yang tinggi menyambut keseruan hari ini. Ia bersenandung dan tersenyum sambil mengiris bahan untuk membuat nasi goreng. Tante, yang berada di dekat Rani, ikut tersenyum melihat Rani yang bersenandung dengan bahagia. “Rani, kamu ada rasa tidak sama Rama? Awas, ya. Jangan suka […]
Part 13 : Candi Borobudur Keesokan harinya Rama sibuk mencari handphone yang biasa membangunkannya untuk berolahraga disaat Rama berada di Jogja. Rama tersenyum dan semangat untuk bangun, membersihkan diri dan segera membereskan kamarnya. Tidak lupa Rama juga menggunakan pakaian yang Rapih untuk menemui Rani hari ini. Sementara Rani seperti biasa masih bermalas-malasan di dalam kamarnya […]
Part 12 : Cemburu Rama langsung memukul Jaka saat Jaka baru saja masuk ke ruang kerjanya Rama. Jaka yang meringis bukannya marah namun malah tersenyum terhadap Rama karena Jaka tahu bahwa Rama lagi cemburu terhadapnya. Rama males menjawab salam dari Jaka namun sebagai orang yang punya adab Rama harus menjawab salam dari Jaka dengan sopan. […]
Buy Pin Up Calendar E-book On-line At Low Prices In India After the installation is complete, you’ll have the flexibility […]
Karya Nurlaili Alumni KMO Alineaku Hampir 10 bulan, Pandemi Covid -19 telah melanda dunia dengan cepat dan secara tiba-tiba. Hal […]
Karya Lailatul Muniroh, S.Pd Alumni KMO Alineaku Rania akhirnya menikah juga kamu,,, begitu kata teman2nya menggoda, Yaa,,,Rania bukan anak.yang cantik […]
Karya Marsella. Mangangantung Alumni KMO Alineaku Banyak anak perempuan mengatakan bahwa sosok pria yang menjadi cinta pertama mereka adalah Ayah. […]
Karya Any Mewa Alumni KMO Alineaku Bukankah sepasang sejoli memutuskan bersatu dalam ikatan pernikahan demi menciptakan damai bersama? Tetapi bagaimana […]
Comment Closed: Rahasia Butiran Karang Bab 13
Sorry, comment are closed for this post.