KATEGORI
  • Adat & Budaya
  • Agrikultur
  • Aksi
  • Arsitektur
  • Artikel
  • Asmara
  • Autobiografi
  • autobiography
  • Bahasa & Sastra
  • Berita Alineaku
  • Bisnis
  • Branding
  • Catatan Harian
  • Cerita Anak
  • Cerita Pendek
  • Cerita Rakyat
  • Cerpen
  • Cinta
  • Cita – Cita dan Harapan
  • Dongeng
  • Drama
  • Ekonomi
  • Epos
  • Event
  • Fabel
  • Fantasi
  • Fiksi
  • Gaya Hidup
  • Hiburan
  • Hobi
  • Hubungan Antarpribadi
  • Hukum
  • Humanis
  • Humor
  • Ilmu Manajemen
  • Inspirasi
  • Istri
  • Kampus
  • Karir dan Kewirausahaan
  • Keagamaan
  • Keluarga
  • Kesehatan & Kecantikan
  • Kesehatan Mental
  • Ketenagakerjaan
  • Kisa Masa Kecil
  • Kisah Inspiratif
  • Kritik Media
  • Kuliner
  • Legenda
  • Lifestyle
  • Lingkungan Hidup
  • Manajemen
  • mengelola toko
  • Mental Health
  • Moralitas
  • Motivasi
  • Novel
  • Nutrisi
  • Nutrition
  • Opini
  • Organisasi
  • Otomotif
  • Parenting
  • Pemerintahan
  • Pendidikan
  • Pendidikan Karir
  • Pendidikan Keuangan
  • pengalaman hidup
  • Pengembangan Diri
  • Perjalanan Hidup
  • Pernikahan
  • Persahabatan
  • Pertemanan
  • Petualangan
  • Petualangan Alam
  • Pilih Kategori
  • Pilih Menu
  • Politik
  • Psikologi
  • Psikologi Sosial
  • Puisi
  • Romansa
  • Romantisme kehidupan
  • Rumah Tangga
  • Satir
  • SDM
  • Sejarah
  • Self-Acceptance
  • Self-Awareness
  • Seni & Budaya
  • Sosial
  • spiritual journey
  • Strategi
  • Teknologi
  • Tempat Wisata
  • Traveling
  • Uncategorized
  • Wanita
  • Beranda » Artikel » Rahasia Butiran Karang Bab 14

    Rahasia Butiran Karang Bab 14

    BY 08 Jun 2025 Dilihat: 2 kali
    Rahasia Butiran Karang_alineaku

    14. Kedamaian Rasa

    Gemericik air mengalir di celah bebatuan dan pohon besar yang tumbuh sekitar sungai di dusun Kebun Kopi, membuat hati dan pikiran Tyana tenang.

    Di tempat tidak jauh dari lokasi Tyana duduk, terlihatlah olehnya Isna sedang asyik berbicara dengan seorang perempuan muda cantik yang baru tiba di dekat Isna. 

    Wajah perempuan muda itu bercahaya seolah sebuah bola lampu dan bila diamati lebih detail oleh Tyana, perempuan itu sangat berwibawa. 

    Mata bulat, hidung mancung dengan rambut di potong pendek seperti lelaki, sungguh tampak serasi dengan postur tubuh yang tinggi langsing dan tegap. Kulit bagian wajah dan leher berwarna putih bagaikan warna batu pualam, menunjukkan kalau dia adalah perempuan yang berkarakter.

    Saat Tyana terpaku melihat Isna bicara dengan perempuan itu, niatnya untuk memanggil Isna karena ia hendak mengajak jalan di tengah sungai berbatu, menjadi urung karena tiba-tiba nyali Tyana menjadi ciut saat dia memandang si perempuan di sebelah Isna. Lalu, hatinya bergetar dan jantungnya berdetak kencang.

    Tyana tak mengerti mengapa dia merasakan hal sangat aneh saat memandang wajah perempuan itu, hingga akhirnya dia hanya tertunduk melihat aliran air deras dari atas batu di tengah sungai berbatu itu.

    Lebih kurang sepuluh menit kemudian, terdengar suara Isna memanggilnya. 

    “Tya, cepat kemarilah. Aku akan mengenalkanmu dengan seseorang.”

    Panggilan itu mengejutkan Tyana hingga dia sadar dari keadaan gugupnya. Setelah melihat Isna, Tyana turun dari batu besar tempatnya duduk ditengah sungai, lalu menghampiri Isna.

    “Selamat siang. Saya Tyana adik dari sahabatnya Mbak Isna yang namanya juga Tyana.” Ucapnya dengan sopan.

    “Halo, saya Nalini Paramesti, panggilannya Lini.”

    “Nalini….. Namanya bagus sekali.” Sahut Tyana.

    “Tya, Nalini adalah adik tiriku. Dia satu ayah dengan ku tapi lain ibu. Ibunya dia adalah Ibu Ati, yang tadi pagi memasak untuk kita di rumah om Rio.”

    “Oooooo….. ” Sahut Tyana dengan tetap menunduk.

    “Kamu kenapa menunduk terus? Lihatlah wajah adikku.” 

    “Anu Mbak…… Aku silau melihat wajahnya Lini.”

    “Nah……. Sekarang pasti nggak silau.” Sahut Nalini.

    Setelah mendengar itu, Tyana memandang lurus kedepan. Betapa terkejutnya dia saat melihat wajah Nalini yang sangat cantik, berkulit lembut. Senyumannya menunjukkan kalau dia adalah gadis terpelajar dan sangat anggun.

    Tyana sangat kagum melihat sosok Nalini sebab selama ini, Tyana belum pernah melihat orang seperti Nalini dan kekaguman pada sosok Nalini secara utuh ternyata telah membuat mulut Tyana terbuka sebagai tanda tak mampu berkata tentang sosok perempuan di depannya.

    “Kamu kenapa bengong terus?” Tanya Isna.

    “Anu….. Nalini sungguh mengagumkan……. “

    “Hahahaha……. Kalau kamu laki-laki, pasti sudah jatuh cinta ya.” Sahut Isna.

    “Iiihh… Mbak Prisna ini.” Ujar Nalini sambil tersenyum.

    “Mbak Prisna? Lho…. Namanya Mbak Isna atau Mbak Prisna?” Tanya Tyana.

    “Sama aja…..” Kata Isna, dengan gugup.

    “Kok, Mbak Isna gugup.”

    “Mbak Prisna selalu gugup kalau ada yang memanggilnya dengan nama itu.” Sahut Nalini.

    “Kenapa?” Tanya Tyana.

    “Karena Mbak Prisna ingin melupakan peristiwa buruk saat dia memakai nama itu dan nama itu membuatnya selalu terbayang pada seseorang.” Kata Nalini sambil tersenyum menggoda.

    “Ooo… Hihihihi….. Mbak Isna ternyata punya kenangan buruk. Kenapa? Pasti patah hati ya.” Goda Tyana

    “Bukan sekedar patah hati….. Tapi….. Sudahlah, kita nggak usah membahas masalah nama. Sekarang yang penting, mari kita tanya Nalini, kenapa tiba-tiba pulang kampung, padahal sekarang bukan musimnya liburan. Aku tahu dari mami kalau dua bulan lagi kamu harus ujian S3 bidang Arkeolog, di New York.”

    “Aku pulang karena ibuku dan Ibu Maria memanggilku.”

    “Ibumu dan Ibu Maria memanggilmu? Ada apa ya?”

    “Katanya ada hal yang sangat penting.”

    “Ada apa ya?” Tanya Isna.

    “Aku bisa menebak, tapi lebih baik kita tunggu saja. Eh, Mbak, ada lagi yang aku heran….. Tadi pagi, tiba-tiba Ibu Ningrum dan Mbak Argyanti telepon aku. Mereka juga mengatakan sangat memerlukan bantuanku.

    “Ibu Ningrum kembarannya mamiku?” Tanya Isna.

    “Iya Mbak.”

    “Ada apa ya…… Kok aneh…… ” Ujar Isna.

    “Kalau itu, aku belum bisa menebak.” Sahut Nalini.

    Pembicaraan antara Isna dan Nalini hanya didengarkan saja oleh Tyana. Dia tidak mengerti tentang apa isi pembicaraannya. Namun setelah beberapa saat Isna dan Nalini bicara, mereka lalu ingat kalau ada orang lain sedang diam karena tak tahu mengenai arah pembicaraan mereka.

    “Maaf ya Tyana, kami tadi bicara ngelantur.” Kata Nalini.

    “Nggak apa-apa, aku bisa melihat pemandangan disini.”

    Akan tetapi, Nalini merasa kurang enak membiarkan Tyana melihat keindahan pemandangan alam seorang diri. Karena itu, dia mengajak jalan-jalan Isna dan Tyana di sekitar sungai lalu menuju ke hutan cemara kemudian belok ke arah sebuah bukit rindang yang penuh pepohonan.

    “Mbak Isna, kita mau kemana?” Tanya Tyana.

    “Kita jalan menembus bukit ini lalu berjalan menyusuri sungai.” Sahut Nalini.

    “Menyusuri sungai?” Tanya Tyana lagi.

    “Iya, kita akan berjalan menuju ke bukit itu.” Jawab Nalini sambil menunjuk bukit didepannya.

    Ketiganya lalu berjalan melalui jalan setapak menembus bukit yang penuh pohon besar dan rindang. Sebenarnya Tyana tidak terlalu suka pada perjalanan ini sebab merasa fisiknya tidak kuat naik bukit dan melalui jalan setapak yang penuh rintangan. 

    Namun ia heran, sebab walaupun dia sudah berjalan hingga dua jam disana, Tyana tidak merasa lelah sama sekali.

    Dalam hatinya dia berpikir, apakah rasa lelah itu tidak muncul karena dia sedang menikmati keindahan pemandangan di sekitar dusun Kebun Kopi yang kata Nalini akan ada air terjun hingga dia senang atau karena sebab lain. Akan tetapi, Tyana tak menemukan jawabannya, yang ada, dia merasa heran saat melihat Nalini, tersenyum padanya setiap kali hati Tyana merasa takut atau lelah berjalan di jalan tanjakan. 

    Untuk mengalihkan rasa takutnya, Tyana cerita tentang beberapa kejadian di kantornya yang dirasa lucu oleh Tyana. Tapi, rasa lucu itu hanyalah untuk Tyana sendiri karena yang tertawa dan senang pada ceritanya Tyana adalah Tyana sendiri, sedangkan Isna dan Nalini diam saja. Keduanya tidak mengerti bagian mana yang dianggap lucu oleh Tyana sampai dia tertawa.

    Akan tetapi saat Isna hendak menanyakan tentang bagian mana yang membuat Tyana tertawa, tiba-tiba Nalini mengedipkan matanya seolah minta agar Isna tidak bertanya tentang mengapa Tyana tertawa pada ceritanya sendiri.

    Tepat setelah tiga jam ketiganya berjalan, mereka melihat keindahan sebuah air terjun dari atas bukit.

    “Yuk kita turun lewat sini.” Ajak Nalini.

    Isna dengan cepat melonjat kebelakang Nalini, yaitu di samping kiri Nalini. Saat melihat Tyana hanya berdiri disebelahnya Nalini, Isna menarik tangan Tyana hingga sekarang Tyana berada di belakang Isna tanpa perduli pada rasa penasaran Tyana.

    Tanpa disadari oleh Tyana, dan entah gimana kejadiannya, tiba-tiba ketiga orang itu sudah berada di sebelah sungai, hingga mereka bisa melihat air terjun dari bawah.

    “Lho.. Kok, kita dibawah?” Tanya Tyana terkejut.

    “Hihihi…… Inilah ulah adikku yang hebat.” Sahut Isna.

    Tyana tentu saja heran karena itu ia lalu ingin bertanya dan saat Tyana hendak mengatakan sesuatu, tiba-tiba tenggoraknnya terasa kaku sampai dia tak bisa bicara.

    Ia heran, namun ketika Tyana memutuskan tidak lagi ingin bertanya tentang mengapa mereka tiba-tiba berada dibawah, Tyana sudah dapat bersuara.

    “Pemandangan disini indah sekali.” Ujar Tyana.

    Mendengar itu, Isna dan Nalini tersenyum lalu mengajak Tyana jalan-jalan menyusuri sungai.

    Setelah merasa puas melihat keindahan air terjun, Ketiga orang itu balik badan lalu berjalan dijalan setapak yang menurun dengan mengikuti aliran sungai dari air terjun sambil melihat keindahan alam. 

    Mereka menuju arah jalan raya dan sekitar tiga puluh menit setelah berjalan jalan di jalan setapak, akhirnya sampailah mereka di jalan raya. 

    “Mbak Isna, apakah aku boleh istirahat? Kakiku rasanya pegal.” Ujar Tyana.

    “Pegal? Ayolah kita istirahat dulu.” Sahut Nalini.

    “Terima kasih.” Ucap Tyana.

    Ketika Tyana hendak duduk di rerumputan pinggir jalan, tiba-tiba Isna teriak, “Pak Yayan, apa kabar?”

    Teriakan Isna membuat Tyana melihat sebuah mobil bak terbuka yang tiba-tiba berhenti, lalu dari belakang kemudinya, keluarlah seseorang laki-laki setengah tua tersenyum ramah sambil melambaikan tangan, lalu berkata, “Halo Isna, dari mana saja? Apa baru jalan-jalan ke air terjun?”

    “Iya pak. Pak Yayan sekarang mau kemana?”

    “Mau bawa singkongnya pak Argono.” Sahut pak Yayan.

    “Pak, kami numpang sampai hutan cemara ya.” Pinta Isna.

    “Ayo.” Jawab pak Yayan.

    Tanpa berkata lagi, Isna bersama Nalini dan Tyana menaiki mobil bak terbuka yang sedang kosong karena akan diisi singkong hasil panen dari kembun pak Argono yaitu salah satu penduduk di dusun Kebun Kopi yang jadi tetangga bu Ati, yaitu ibunya Nalini.

    Sesampainya di tepi hutan cemara, ketiga orang itu turun lalu masuk ke dalam hutan cemara. Melalui jalan setapak dalam hutan cemara. Rupanya mereka memotong jalan menuju ke sebuah rumah kecil di tengah kebun jagung dan singkong.

    Rumah itu adalah sebuah rumah kecil namun ketika Tyana ada didalamnya dia heran. Rumah yang tampak sederhana dari luar, ternyata dalamnya terasa sangat nyaman.

    “Silahkan duduk, ini rumah Ibu saya.” Ajak Nalini.

    “Waw, rumah ini nyaman sekali.” Puji Tyana.

    “Kamu suka?” Tanya Isna.

    “Suka sekali. Perpaduan warna cat tembok dan perabotan di dalam rumah ini sangat membuat hati sejuk.” Kata Tyana.

    Nalini hanya tersenyum lalu berjalan ke belakang menuju dapur untuk membuatkan minuman.

    Beberapa saat kemudian, Nalini muncul lagi membawa nampan besar berisi tiga buah cangkir dan sebuah teko besar serta dua kaleng kue kering.

    “Ayo silahkan diminum.” Kata Nalini.

    “Terima kasih.” Sahut Tyana.

    “Oiya Lin, tadi kamu mengatakan ingin bicara dengan Tyana. Bolehkah aku tahu kamu mau bicara apa? Apakah aku boleh ikut mendengarkan?” Tanya Isna.

    “Boleh.” Sahut Nalini.

    “Bicara padaku? Bicara tentang apa?” Tanya Tyana.

    “Bicara ini.” Kata Nalini sambil menunjukkan sebuah foto.

    Tyana lalu melihat fotonya dan tiba-tiba wajahnya pucat, tangannya gementar, nafasnya tersengal sengal dan gugup.

    “Kamu kenapa?” Tanya Isna sambil meminta fotonya.

    “Aku…… Bingung…. ” Jawab Tyana.

    “Kamu suka pada adiku?” Tanya Nalini.

    “HAH!.. Adiknya?” Tanya Tyana dengan mata terbelalak.

    “Ini siapa Lin? Kenapa kamu katakan ini adikmu? Kenapa kamu mesra sekali sama dia di foto ini?” Tanya Isna.

    “Itu Arsyanendra, anaknya Ibu Maria yang bungsu. Aku selalu mesra dengan dia karena aku memang sayang dengan adik-adik yang tinggal di Boston dan di New York selama kami disana.”

    “Oooo….. Iya, aku juga dengar dari tante Fira kalau kamu sangat dekat dengan saudara se ayah. Nah… yang aku heran, kenapa Tyana wajahnya pucat melihat dia? Apakah kamu kenal dengan dia? Atau suka padanya, tapi bertepuk sebelah tangan?”

    “I….. Ya…… Aku jatuh cinta pada Syanen….. Dialah cinta pertamaku…. Aku nggak sanggup menahan rasa hatiku padanya. Dia itu sangat beda dengan lelaki lainnya.”

    “Kalau jatuh cinta, kenapa gugup.” Kata Isna.

    “Aku malu.” Ujar Tyana dengan wajah menunduk.

    “Sudahlah….. Kamu nggak usah malu.” Kata Nalini.

    “Mbak, aku sungguh nggak tahu kalau Syanen adalah adik tirinya Mbak Isna. Aku malu menyampaikan kalau Bu Kus, ibunya Syanen kelihatan kurang merestuiku.”

    “Bu Kus? Oh….. Iya, aku lupa kalau namanya Ibu Maria adalah Maria Kustini. Jadi, Ibu Maria pakai nama belakangnya ya.” Kata Isna dengan tersenyum.

    “Sudahlah… Itu nggak penting. Masalah penting yang kamu harus tahu kenapa Ibu Maria nggak merestui? Karena Ibu Maria ingin Syanen menikah dengan Naryama.” Kata Nalini.

    “Iya, aku tahu soal itu dan yang membuat aku bingung adalah statusku sebagai janda. Terus wajah Rya, si anak kos, sangat mirip dengan orang yang pernah kusakiti batinnya karena aku harus menikah dengan calon suaminya.”

    “Sebenarnya dia nggak sakit hati padamu.” Kata Nalini.

    “Aku kan dianggap merebut colon suaminya.”

    “Aku nggak sakit hati padamu.” Sahut seseorang di depan pintu masuk.

    “Mbak…… Ta….via….. ” Kata Tyana dengan terbata bata.

    “Aku nggak pernah menyalahkan kamu. Aku tahu kamu adalah gadis lugu yang terpaksa harus menikah karena diperkosa oleh tunanganku.” Kata Tiana.

    “Oh iya, kenalkan ini adalah Tiana Vinanda, panggilannya Tavia.” Kata Bu Kus yang tiba-tiba muncul di depan pintu rumah.

    “Ibu Mar…. ” Kata Isna dan Nalini secara bersamaan, lalu keduanya berebut memeluk Bu Kus sambil tertawa gembira.

    Melihat keadaan seperti itu, Tyana semakin gugup. Dia tidak mengerti kenapa pikirannya menjadi kacau. Ia sama sekali tidak menduga akan bertemu lagi dengan Tiana yang dulu adalah guru les matematika dan pelajaran untuk kelas IPA saat dia masih SMA di Semarang.

    Suasana gembira pada Bu Kus, Isna dan Nalini ternyata menutup suasana sedih Tyana dan Tiana. Ketika Nalini membaca suasana hati Tyana dan Tiana, dia segera menyatakan, “Kalian rupanya punya ganjelan. Tapi menurutku, sekarang ini lebih baik kalian damai saja sebab masalah kalian bisa diselesaikan dengan kepala dingin.”

    “Lin, sekarang aku tahu kenapa Ibu Maria, Ibu Ningrum dan ibumu memanggil kamu pulang……… Ternyata, masalahnya karena Syanen kena kutukan.”

    “HAH!! Kena kutukan?” Seru Tyana.

    “Iya….. Adiku nggak sengaja kena kutukan.” Kata Nalini.

    “Benar Lin, Syanen kena kutukan dan hanya kamulah yang bisa menetralisir, karena kamu adalah pemegang amanat tertinggi di keluarga kita.”  Kata Bu Kus.

    Isna mulai mengerti mengapa Nalini pulang ke Indonesia, tetapi Tiana dan Tyana masih belum mengerti arah pembicaraan Nalini dan Bu Kus, namun keduanya tidak mau bertanya.

    “Terus…… Sekarang Syanen akan diapakan?” Tanya Isna.

    “Ibu Mar, Nendu ada dimana?” Tanya Nalini.

    “Dia ada dirumah om Rio.” Jawab Bu Kus.

    “Nendu itu siapa?” Tanya Tiana.

    “Itu panggilan sayang untuk Arsyanendra.” Sahut Nalini.

    “Syanen banyak sekali nama panggilannya.” Ujar Tyana.

    “Hihihi….. Waktu kecil dia menggemaskan.” Kata Nalini.

    “Lin, ayo kita ke rumah om Rio.” Ajak Bu Kus.

    Tanpa menjawab, Nalini memberi isyarat agar semua ikut. Akan tetapi Tiana dan Tyana merasa ragu untuk mengikuti Nalini sebab mereka ingin saling mendengarkan kisah mereka beberapa tahun yang lalu ketika Tyana harus menikah dengan tunangannya Tiana dan kisah Tiana terpaksa harus masuk rumah sakit jiwa akibat tunangannya menikah dengan Tyana.

    Namun keraguan Tyana dan Tiana tidak berjalan lama karena keduanya segera di gandeng Bu Kus agar pergi bersamanya.

    Setibanya dirumah pak Rio, Tyana sangat terkejut ketika melihat Arsyanendra ada disana. Tapi beberapa saat kemudian dia tersenyum lalu berkata, “Halo Syan.”

    “Halo Tya, kamu ternyata teman Mbak Prisna ya.”

    “Sebenarnya Mbak Prisna adalah teman kakakku.”

    “Oooo…. ” Sahut Arsyanendra.

    Pembicaraan antara Arsyanendra dan Tyana tampak kaku. Ketika dilihat oleh Nalini, dia tiba-tiba tersenyum kemudian berkata, “Nendu….. Sini dik, Mbak mau mengatakan sesuatu.”

    Nalini lalu menggandeng Arsyanendra menuju ke sungai di tengah hutan cemara. Ajakan Nalini ini menjadi tanda tanya bagi Tyana dan Tiana namun keduanya tak bisa bicara mengenai hal itu sebab mereka bukanlah termasuk anggota keluarga Arsyanendra.

    *

    “Mbak Lini, ini dimana? Kenapa kita berada di tepi laut? Tadi bukannya kita menuju hutan cemara?”

    “Ssstttt….. ” 

    “Mbak Lin, ya sudah, aku diam.” Sahut Arsyanendra lalu dia ikut Nalini berjalan menuju ke sebuah bukit karang 

    Di atas bukit tersebut, hanya ada beberapa tumbuhan yang hidup. Salah satunya adalah sebuah pohon beringin. Saat melihat sekeliling pohon beringin itu, hati Arsyanendra langsung dipenuhi tanda tanya besar. Mengapa ada meja dan kursi di bawah pohon beringinnya, lalu ia melihat Nalini menuju ke arah pohon beringin yang tumbuh tepat di tengah bukit. 

    “Duduklah dulu di sana.” Kata Nalini.

    “Mbak Lini…. “

    “Sstt..” Kata Nanili sambil meletakkan telunjuk di bibirnya.

    Arsyanendra kembali diam, walaupun dalam hatinya terus bertanya apa yang akan dilakukan oleh Nalini. 

    Nalini berjalan perlahan menuju ke bangku dibawah pohon beringin dengan diikuti oleh Arsyanendra.

    “Duduklah di kursi yang menghadap laut.” Pinta Nalini.

    Arsyanendra langsung duduk. Tidak lama kemudian, secara samar-samar, dia melihat seseorang berdiri di sebelahnya dan orang yang terlihat samar-samar itu menundukkan kepala lalu terjadilah hal yang diluar dugaan, yaitu dari kantong celana sebelah kanannya Arsyanendra keluar sebuah pundi-pundi berisi butiran karang tanpa dikeluarkan oleh Arsyanendra.

    Arsyanendra terkejut lalu berdiri. Akan tetapi, Nalini segera mengibaskan tangannya sampai bisa membuat Arsyanendra duduk kembali di kursinya lalu terdengar suara sayup-sayup, “Maaf kalau barangku sudah membuatmu sengsara.”

    Ia sangat terkejut mendengar suara lelaki, padahal disana hanya ada dia dan Nalini yang sedang berdiri dihadapannya. 

    Tak lama setelah itu, mata Arsyanendra terpejam dengan sendirinya lalu dia tidak sadar dan ketika dia sadar, keadaan sekelilingnya gelap, hanya seberkas sinar dari lampu senter besar yang dipegang oleh Nalini. 

    “Kamu sudah bangun? Ayo kita kembali.” Kata Nalini.

    “Ini dimana?” Tanya Arsyanendra.

    “Ini di hutan Cemara, dekat rumah om Rio.”

    Arsyanendra mengikuti Nalini berjalan keluar dari hutan cemara, lalu melalui jalan setapak menuju ke rumah pak Rio.

    Selama dalam perjalanan Arsyanendra terus saja berpikir, apakah dia tadi mimpi. Bila dia bermimpi, mengapa kejadiannya sangat nyata, dan sekarang kenapa tiba-tiba dia ada di hutan Cemara dalam keadaan gelap gulita.

    Pertanyaan itu terus berkecamuk dalam benaknya hingga dia tidak konsentrasi melihat jalan didepannya. 

    “Nendu, kalau jalan lihat kedepan… Kamu sudah beberapa kali menabrakku.”

    “Maaf Mbak Lini, aku…… Bingung… Kita ……. “

    “Sudahlah, sekarang kamu ikut aja di belakangku dan jalan yang benar. Besok pagi aku akan menjelaskan tentang peristiwa yang kamu alami.”

    “Mbak……. “

    “Kenapa lagi?”

    “Ceritanya sekarang aja.”

    “Kalau kamu nggak ngantuk, nanti akan aku ceritakan.”

    Namun, ketika Nalini selesai mengucap kata itu, tiba-tiba Arsyanendra jatuh dengan mata yang terpejam. Melihat keadaan Arsyanendra yang tiba-tiba tertidur di tengah jalan, Nalini membelai Arsyanendra, lalu dengan gerakan cepat tangan Nalini mengangkat tubuh Arsyanendra kemudian membopongnya.

    *

    Kicauan burung di luar kamar, terdengar nyaring ketika Arsyanendra bangun. Matanya melihat ke kiri dan kanan lalu dia berdiri, kemudian jalan ke jendela yang sudah terbuka, sehingga Arsyanendra merasakan kesejukan udara pegunungan di pagi hari. 

    Di kejauhan, ia melihat dengan cara samar-samar beberapa orang berjalan menuju ke rumah pak Rio. Dia tidak dapat melihat dengan jelas karena terhalang kabut tebal di pagi hari. 

    “Kamu sudah bangun. Minumlah ini, supaya kamu segar.”

    “Mbak Lin….. Kenapa aku merasa seperti berada di tempat asing, padahal ini kan rumahnya om Rio.”

    “Minumlah dulu, terus mandi. Nanti setelah ini aku akan menceritakan kenapa kamu seperti sedang bermimpi.”

    “Baiklah…..  Tapi, orang-orang yang jalan kemari itu siapa saja? Kenapa ada banyak orang yang belum aku kenal?”

    “Mereka adalah bayangan orang-orang yang pernah terkena kutukan butiran karang.”

    “HAH!!!….. Mbak Lini pasti ngarang.”

    “Sudahlah, minumlah dulu nanti aku akan cerita.”

    “Mbak….. “

    “Kenapa? Kamu nggak percaya? Nendu… Kamu adalah salah satu adikku yang paling ku sayang. Jadi jangan menganggap aku berbohong, sebab selama aku bisa, aku selalu membantumu dengan seluruh kemampuanku.

    “Iya sih.. Aku juga sayang pada Mbak Lini.. Ya sudah, sekarang aku minum.”

    Arsyanendra minum segelas air putih yang diberi oleh Nalini. Setelah dia meminum sampai habis, tiba-tiba matanya terbelalak. Entah dari mana datangnya, depannya ada beberapa orang yang dia sangat kenal yaitu, Faustina, Tyana, Naryama dan Tiana. 

    Dia sangat terkejut ketika melihat ada empat perempuan yang dikenal. Arsyanendra heran kenapa mereka ada di rumah pak Rio? Dan yang lebih membuat dia tidak habis pikir karena tidak jauh dari keempat perempuan itu, berdirilah empat laki-laki yaitu, Bondan, Mardiono, Dino, dan Priambodo. 

    Arsyanendra tidak mengenal semuanya, tetapi perasaannya mengatakan kalau keempat perempuan di depannya adalah pasangan dari empat lelaki di belakangnya.

    Arsyanendra jadi bingung tetapi, disaat dia hendak bersuara, tiba-tiba Nalini tersenyum lalu menggelengkan kepalanya, seolah memberi isyarat agar Arsyanendra tidak bertanya tentang kenapa ada empat pasang lelaki dan perempuan di depannya.

    “Pejamkan mata, duduklah bersila di tempat tidurmu lalu tarik nafas melalui hidung dan keluarkan melalui mulut.”

    Arsyanendra segera mengikuti petunjuk dari Nalini, yaitu kakak tirinya yang selama ini selalu sayang padanya sejak dia kecil, walaupun selisih usia mereka tidak terpaut jauh.

    Setelah lebih kurang 30 menit Arsyanendra melakukan hal itu, akhirnya dia mendengar suara Nalin kembali berkata, “Sekarang bukalah kembali matamu lalu tersenyumlah. Nah lihat apa yang terjadi di sekelilingmu.”

    “Mereka berpasangan?” Tanya Arsyanendra.

    “Iya, ke empat perempuan itu akhirnya memilih lelaki yang mencintainya dari pada mengejar cintamu.” Sahut Nalini.

    “Faustina juga? Mbak….. Kamu kan tahu kalau sejak SMP aku sangat suka pada Faustina. Dialah yang membuatku patah hati.”

    “Relakan Faustina dengan Bondan. Kamu harus tahu bila Bondan rela melakukan apa saja demi mendapatkan Faustina.”

    “Tapi…… Dia kan tahu kalau Faustina adalah pacarku. Kenapa dia melakukan itu padaku?”

    “Sebenarnya kamu secara nggak sadar telah meninggalkan Faustina di Jogja ketika kalian akan ke gunung Kelud.”

    “Meninggalkan Faustina? Lho… aku sampai gunung Kelud dengan Faustina, dan ibuku sudah dikenalkan pada Faustina.”

    “Itu yang membuat ibumu, ibuku dan ayah, meminta aku segera pulang.”

    “Hubungannya apa?”

    “Mereka tidak bisa menghilangkan pengaruh buruk butiran karang yaitu batu lambang perpisahan bagi sepasang kekasih seperti kamu dan Faustina.”

    “Maksud Mbak Lini, yang datang ke Wates bersamaku bukan Faustina?”

    “Kamu benar, yang datang memang bukan Faustina.”

    “Kalau bukan Faustina, lalu siapa?”

    “Dia adalah bayang pesona.”

    “Bayang pesona? Siapa bayang pesona?”

    “Dialah penghancur cinta lelaki dan perempuan.”

    “Mbak Lini sejak pulang ke Indonesia setelah lulus 4 tahun yang lalu, rasanya jadi aneh…. Mirip ayah dan para ibu… “

    “Lho… Bukannya aku sudah cerita kalau waktu itu aku diangkat sebagai orang yang menjadi pimpinan seluruh trah kita.”

    “Halah….. Aku sekarang semakin pusing kalau bicara soal yang abstrak.”

    “Kalau gitu, kita sudahi saja pembicaraan tentang butiran karang yaitu batu kecil yang membuat orang berpisah.”

    “Mbak Lini juga tahu tentang butiran karang ya. Menurutku butiran karang itu bahaya. Aku nggak ingin orang lain mengalami kejadian seperti aku yaitu harus putus pada orang yang dicintai.” 

    “Jangan khawatir…. Kemarin malam kutukan dari butiran karang itu sudah aku menetralisir supaya nggak ada korban lagi.”

    “Berarti aku bisa mendapat Faustina kembali ya.”

    “Nggak bisa, bahkan kamu juga nggak bisa mendapatkan Naryama yang juga disayang ibumu, Tyana yang disayang Mbak Prisna dan Tiana sahabat kecilnya Mbak Frisanti.”

    “Kenapa?”

    “Nendu…. Kamu tanya kenapa?”

    “Iya, kenapa aku nggak bisa mendapatkan mereka?”

    “Mereka sudah terlanjur kena imbas dari butiran karang. Jadi, mereka nggak akan bisa bersatu denganmu walaupun aku tahu, kalau kamu sekarang sangat jatuh cinta pada Mbak Tiana.”

    “Kenapa? Apakah kamu nggak setuju ya kalau aku menikah dengan perempuan yang sudah tidak suci lagi. Mbak Lin, aku benar-benar cinta pada Tiana walaupun dia lebih tua 7 tahun dariku.

    “Hahaha……. Kamu ini semakin tua bukan semakin bijak dalam berpikir, tetapi semakin emosional.”

    “Maksudmu?”

    “Aku sama sekali nggak peduli dia suci atau enggak.”

    “Terus kenapa kamu menentang?” Tanya Arsyanendra.

    “Aku sama sekali nggak menentang. Tapi, itulah jalan yang akan kamu lalui yaitu tidak mendapatkan perempuan yang kamu cintai karena pengaruh kutukan dari butiran karang. Jangan kuatir, sekarang kutukan itu sudah aku menetralisir dan sudah kubuang butiran karang itu ke pantai selatan. yaitu tempat asalnya.”

    “Mbak…….. Aku bingung, sekarang harus gimana?”

    “Nen, kamu sudah dewasa dan sudah kerja di tempat Ibu Lanlan eh Ibu Wati. Jadi, kamu harus bisa berpikir sendiri. Jangan terus mengandalkan aku untuk membimbing seperti di USA.”

    “Mbak….. Kadang aku kangen masakanmu dan belaianmu kalau aku lagi suntuk…… “

    “Hahahahaha……. Carilah pacar lagi dan pandanglah ke depan lalu langkahkan kakimu menuju masa depan. Ayo bangkit… Jangan larut pada masalah cinta.”

    “Baiklah, besok aku balik ke rumah Ibu Lanlan eh, Ibu Wati untuk lapor kalau aku siap kerja dan siap menghadapi tantangan.”

    “Hahahahaha…… Itu baru namanya adikku yang tersayang.”

    “Gombal.” Sahut Arsyanendra sambil menjulurkan lidah.

     

     

    Kreator : Hepto santoso

    Bagikan ke

    Comment Closed: Rahasia Butiran Karang Bab 14

    Sorry, comment are closed for this post.

    Popular News

    • Part 15: Warung Kopi Klotok  Sesampainya di tempat tujuan, Rama mencari tempat ternyaman untuk parkir. Bude langsung mengajak Rani dan Rama segera masuk ke warung Kopi Klotok. Rama sudah reservasi tempat terlebih dahulu karena tempat ini selalu banyak pengunjung dan saling berebut tempat yang ternyaman dan posisi view yang pas bagi pengunjung. Bude langsung memesan […]

      Okt 01, 2024
    • Part 16 : Alun – Alun  Kidul Keesokan paginya seperti biasa Bude sudah bangun dan melaksanakan ibadah sholat subuh. Begitupun dengan Rani yang juga melaksanakan sholat subuh. Rani langsung ke dapur setelah menunaikan ibadah sholat subuh. Tidak lama disusul oleh Bude dan langsung mengambil bahan masakan serta mengiris bahan untuk memasak. Rani dan Bude sangat […]

      Okt 16, 2024
    • Part 14: Kopi Klotok Pagi hari yang cerah, secerah hati Rani dan semangat yang tinggi menyambut keseruan hari ini. Ia bersenandung dan tersenyum sambil mengiris bahan untuk membuat nasi goreng. Tante, yang berada di dekat Rani, ikut tersenyum melihat Rani yang bersenandung dengan bahagia. “Rani, kamu ada rasa tidak sama Rama? Awas, ya. Jangan suka […]

      Sep 18, 2024
    • Part 13 : Candi Borobudur Keesokan harinya Rama sibuk mencari handphone yang biasa membangunkannya untuk berolahraga disaat Rama berada di Jogja. Rama tersenyum dan semangat untuk bangun, membersihkan diri dan segera membereskan kamarnya. Tidak lupa Rama juga menggunakan pakaian yang Rapih untuk menemui Rani hari ini. Sementara Rani seperti biasa masih bermalas-malasan di dalam kamarnya […]

      Sep 07, 2024
    • Part 12 : Cemburu Rama langsung memukul Jaka saat Jaka baru saja masuk ke ruang kerjanya Rama. Jaka yang meringis bukannya marah namun malah tersenyum terhadap Rama karena Jaka tahu bahwa Rama lagi cemburu terhadapnya. Rama males menjawab salam dari Jaka namun sebagai orang yang punya adab Rama harus menjawab salam dari Jaka dengan sopan. […]

      Sep 05, 2024

    Latest News

    Buy Pin Up Calendar E-book On-line At Low Prices In India After the installation is complete, you’ll have the flexibility […]

    Jun 21, 2021

    Karya Nurlaili Alumni KMO Alineaku Hampir 10 bulan, Pandemi Covid -19 telah melanda dunia dengan cepat dan secara tiba-tiba. Hal […]

    Des 07, 2021

    Karya Lailatul Muniroh, S.Pd Alumni KMO Alineaku Rania akhirnya menikah juga kamu,,,  begitu kata teman2nya menggoda, Yaa,,,Rania bukan anak.yang cantik […]

    Des 07, 2021

    Karya Marsella. Mangangantung Alumni KMO Alineaku Banyak anak perempuan mengatakan bahwa sosok pria yang menjadi cinta pertama mereka adalah Ayah. […]

    Des 07, 2021

    Karya Any Mewa Alumni KMO Alineaku Bukankah sepasang sejoli memutuskan bersatu dalam ikatan pernikahan demi menciptakan damai bersama? Tetapi bagaimana […]

    Des 07, 2021