Sehari setelah kembali dari Gili Meno, Tyana tidak merasa canggung lagi saat bertemu Boni seorang diri di restoran hotel dan Tyana sudah menganggap Arsyanendra dan Boni adalah teman baru yang menyenangkan.
“Syanen kemana?” Tanya Tyana tanpa basa basi.
“Dia sedang hunting foto.” Jawab Boni.
“Eh…… Bon, yang kemarin ketemu kita di Gili Meno itu apanya kamu? Kamu kelihatan dekat dengan dia.”
“Faustina? Dia adalah saudara sepupuku.”
“Kalian kenapa kelihatan kaku saat bertemu mereka.”
Boni menarik nafas panjang lalu diam, karena itulah lalu Tyana bertanya lagi sampai akhirnya Boni menjawab, “Syanen dan Austi sudah pacaran sejak di senior high school sampai tamat, saat kami di Boston. Tetapi sejak tamat, hubungan mereka renggang lalu putus, setelah itu Austi menikah dengan Bondan, yang juga teman dekat kami sejak kami sekolah di boarding school, di Boston.”
“Jadi kalian sekolah Amerika Serikat sejak lama ya.”
“Iya, kami sekolah disana sejak masih kecil.”
“Waw……. Berarti kalian orang berada ya…… “
“Enggak juga. Saya dan Syanen orang beruntung, karena kami sekolah disana bukan dibiayai oleh orang tua kami. Lain dengan Faustina atau Austi dan Bob. Keduanya anak orang kaya.
Ayahnya Austi orang Amerika, dan bekerja sebagai lawyer, sedangkan ayahnya Bob, adalah pemilik gedung dan real estate di pinggiran Boston.”
“Terus kalian sekolahnya dibiayai siapa?”
“Syanen dibiayai oleh tantenya yang menikah dengan orang Amerika. Kalau saya dapat beasiswa dari perusahaan milik ibu tirinya Syanen.”
“Ibu tirinya Syanen?”
“Maaf, saya keceplosan tentang keluarganya Syanen.”
“Maksudnya?”
Boni diam, sebab ia tak ingin bicara tentang Arsyanendra, yaitu sahabat dekatnya sejak mereka kecil. Karena itu, Tyana akan bertanya langsung pada Arsyanendra tentang latar belakangnya. Sebab Tyana mulai tertarik pada Arsyanendra yang beberapa hari ini telah mengisi pikirannya.
Keduanya lalu bicara mengenai pekerjaan Boni selama di Mataram yaitu mengaudit cabang sebuah perusahaan tambang di Mataram.
Tak lama setelah bicara, datanglah Arsyanendra kemudian mereka berbincang mengenai rencana selanjutnya untuk mengisi waktu hingga akhir pekan selama Tyana di Lombok.
Kali ini, Boni memberi pendapat tentang daerah yang bagus untuk dikunjungi. Akan tetapi, Boni tidak dapat ikut karena harus kembali kerja setelah mendapat libur 2 hari dari kantornya.
“Jadi, kamu mau balik sekarang?” Tanya Arsyanendra.
“Maaf ya, atasanku baru telepon dan beliau minta aku fokus pada satu masalah yang menurut beliau janggal.”
“Kalau gitu, kami langsung ke Cakra.” Ujar Arsyanendra.
Setelah Boni meninggalkan Arsyanendra dan Tyana, kedua orang itu bersiap untuk makan malam keluar hotel menuju kota dengan mengendarai mobil sewaan.
Setibanya di Cakra, tiba-tiba Tyana mengatakan bila dia ingin makan masakan Cina seperti di Jakarta dalam sebuah mal dalam kota, karena itu, Arsyanendra putar haluan menuju mal di tengah kota Mataram.
“Kok tahu ada restoran Cina seperti di Jakarta?”
“Malam sebelum seminar, kami makan malam di mal ini. Nah, ayo kita sekarang jalan ke arah kanan.” Ajak Tyana setelah mereka berada di dalam mal.
“Kamu kapan pulang? Tanya Tyana. Eh, kamu tinggal di Jakartanya dimana? Siapa tahu kita bisa saling kontak disana.”
“Saya tinggal di daerah Kebayoran.”
“Dengan orang tua?”
“Saya numpang di rumah istrinya ayah saya.”
“Hahaha…….. Kamu ternyata pandai melawak juga.”
“Melawak? Maksudnya?” Tanya Arsyanendra.
“Kenapa kamu nggak mengatakan tinggal dengan ibumu?”
“Oooo…….. Baiklah aku di Kebayoran tinggal dengan ibu Wati, istrinya ayahku.”
“Haduh….. Eh, kenapa kamu mengatakan ibu Wati? Bukan ibu saja, tidak usah pakai embel-embel Wati.”
“Ibu Wati adalah istrinya ayahku tapi bukan ibu kandungku. Ibu kandungku tinggal di kaki gunung Kelud, tepatnya di daerah Wates. Disanalah ayah tinggal bersama ibu kandungku.”
Tyana melotot dan memandang Arsyanendra dengan mulut tertutup rapat. Dia sama sekali tidak menyangka kalau ternyata Arsyanendra tidak bercanda soal istri ayahnya. Karena itu Tyana menyesal telah menganggap itu bercanda.
“Maaf, saya tidak bermaksud ……” Kata Tyana.
“Bermaksud apa? Ingin mengatakan kalau ayah saya doyan kawin terus mau menjauh dari saya seperti Ina… Eh….. Faustina?” Kata Arsyanendra dengan nada datar.
“Syan…….. Kamu kenapa main tuduh seperti itu?”
Arsyanendra tidak menanggapi Tyana lagi, sebab dia malas membahas orang tuanya, setelah itu keduanya diam.
Beberapa saat kemudian, Tyana bicara lagi, “Syan, saya minta maaf kalau kamu tersinggung. Saya sama sekali tidak ingin menyinggung perasaanmu.”
“Saya juga minta maaf kalau salah bicara.”
“Percayalah, saya ingin terus berteman dan terus terang, saya merasa tertarik dan senang bisa kenalan denganmu.”
Arsyanendra lalu menatap mata Tyana yang terbuka lebar dan tatapan itu membuat keduanya saling pandang. Namun Tyana tidak tahan memandang mata bening Arsyanendra yang menusuk kalbunya sehingga Tyana yang pernah nikah tidak mampu menatap pandangan Arsyanendra hingga ia menunduk.
“Pesanan kita datang.” Kata Arsyanendra singkat.
“Ayo kita makan.” Ajak Tyana.
“Ayo, aku sudah lapar.” Sahut Arsyanendra.
Mereka makan sambil saling menatap mata dan saling tatap itu berakhir dengan Tyana yang berkata, “Saya ingin memberitahu tentang tebakan mengenai saya. Saya sudah menikah waktu saya masih kelas 2 SMA di Semarang.”
“Kelas 2 SMA? Masih belum 17 tahun?”
“Bisa dikatakan perkawinan karena kecelakaan.”
“Maaf, saya tidak bermaksud untuk menyinggung.”
“Nggak masalah, itu sudah lama sekali.”
“Baiklah, saya akan mendengarkan.”
“Ceritanya dari saya ikut merayakan pesta kelulusan kakak laki-laki saya yaitu mas Andang, bersama para sahabatnya ke Candi. Malam itu, kakak perempuan saya menyusul bersama pacarnya yang sudah pindah ke Indonesia. Pada pukul 10 malam mereka datang dan membawa minuman keras.”
“Jadi pacar kakakmu yang melakukan?”
“Bukan. Mas Subiakto, pacarnya Mbak Tyana datang bawa minuman atas pesanan Mas Agung, teman akrab Mas Andang, kakak tertua saya.”
“Jadi, siapa yang melakukan? Teman Mas Andang?”
“Iya, namanya Mas Darmo. Dia sebenarnya minum-minuman keras karena disuruh bertanding adu kuat minum dengan temannya Mas Andang lainnya.
Mereka taruhan siapa yang menang akan dapat perlakuan istimewa, yaitu boleh menyuruh teman lain seperti mencuci motor atau membersihkan kamar kos. Maklumlah, teman mas Andang semua anak perantauan dari Jawa Barat dan Jawa Timur.”
“Lalu? ” Potong Arsyanendra.
Setelah Mbak Tyana pulang pukul 11 malam bersama pacarnya, teman-teman Mas Andang mulai minum beramai ramai, sampai mereka mabuk. Tanpa sadar, Mas Darmo masuk kamarku lalu melakukan perbuatan tercela itu tanpa kami sadari. Malam itu, saya juga mabuk berat karena meminum minuman Mas Darmo.”
“Kamu juga minum?”
“Iya, saya minum bersama Mas Darmo.”
“Ooooo………. ” Komentar Arsyanendra.
“Kejadian itu membuat Mas Andang dan temannya yang lain merasa sangat bersalah dan mereka sangat menyesal. Pagi harinya, Mas Darmo seperti orang gila.
Dia sebenarnya sudah tunangan dengan Mbak Tavia. Mereka akan segera menikah 3 bulan lagi. Karena itulah saya sangat menyesal pada kejadian itu. Mbak Tavia adalah guru les matematika saya. Sejak saat itu, saya minta dipindah ke Jakarta, tapi Mbak Tyana mengatakan saya harus menikah dulu dengan Mas Darmo.”
“Lalu…..” Tanya Arsyanendra.
“Kami menikah seminggu setelah itu. Namun Mas Darmo menceraikan saya atas persetujuan kami sekeluarga setelah tahu bila ternyata saya tidak hamil.”
“Wah… Menyedihkan, Terus, Mbak Tavia gimana?”
“Mbak Tavia sangat terpukul. Dia segera minta cuti kuliah 6 bulan, padahal tinggal 1 mata kuliah yaitu skripsi. Mas Darmo setelah cerai dengan saya, dia ke Malaysia jadi dosen dengan meninggalkan Mbak Tavia.”
“Saya yang dikenal sebagai gadis judes dan suka bertengkar sama teman laki-laki yang coba-coba mendekati saya, akhirnya harus pindah sekolah ke Klaten ikut Eyang dari pihak Ayah untuk menyelesaikan sekolah SMA dengan perasaan tertekan.”
“Kenapa ke Klaten? Sebab, Mbak Tyana sangat marah dan menarik omongannya tentang diperbolehkannya saya sekolah di Jakarta, menjadi ditolak ikut dengannya ke Jakarta. Saat itu, saya merasa jadi perempuan hina, seperti comberan dan karena saya sudah tidak punya harga diri, akhirnya saya tidak mau melanjutkan sekolah. Tapi, ibu saya telah membangunkan saya dari rasa hina menjadi tegar. Lalu, ibu dan ayah menemani saya di Klaten.
Ayah dan Ibu menitipkan usaha mereka pada pakde, kakak tertua ayah yang juga tinggal di kota Semarang. Syan… Itulah cerita kisah hidup saya. Sejak kejadian mabuk hingga terjadi hubungan suami istri dengan mas Darmo tanpa adanya rasa cinta, saya sudah kehilangan rasa pada lawan jenis.
“Tadi kamu menyebut mbak Tyana. Itu siapa?”
“Iya, nama depan kami sama. Nama lengkap kakak saya adalah Tyana Silva. Dan suaminya bernama Johansyah.”
“Ooo… Kalau gitu, kartu nama yang kemarin saya lihat di atas meja restoran, adalah kartu namanya kakakmu?”
“Kartu nama? Ah… Kartu nama ini?” Tanya Tyana sambil mengeluarkan kartu nama dari dompetnya.
“Iya.” Jawab Arsyanendra.
“Johansyah adalah suaminya Mbak Tyana. Setelah kejadian di Candi, dia marah pada pacarnya yang kemudian diputus oleh Mbak Ilva. Dialah yang membawa minuman ke Candi sampai peristiwa itu terjadi.
Sebenarnya, Mbak Ilva, panggilan dari Tyana Silva, sudah sering melarang pacarnya berurusan dengan minuman keras apalagi sampai membawa. Tapi, hari itu, diam-diam dia menyembunyikan minumannya karena atas permintaan Mas Sugiharto, teman Mas Andang, yang janji memberinya uang bila membawa minuman.
“Wah, ceritanya tragis…… “
“Sudahlah, kejadiannya sudah lebih dari 5 tahun.”
“Ayo dimakan…… ” Ajak Arsyanendra.
Maksud Tyana menceritakan kisahnya yang menyakitkan, adalah agar Arsyanendra juga tidak keberatan menceritakan tentang dirinya sebab Tyana ingin tahu latar belakang Arsyanendra sejak dia menangkap tasnya yang jatuh di bandara Praya.
Akan tetapi, ia tidak akan bertanya mengenai latar belakang Arsyanendra sekarang, sebab ia punya rencana ingin bicara latar belakangnya Arsyanendra pada keadaan santai bukan saat ini.
Setelah makan direstoran, mereka jalan-jalan ke beberapa toko yang menjual pakaian, kemudian mereka masuk ke sebuah tempat minum kopi, dan disana mereka bicara ringan yang diselingi candaan untuk menghidupkan suasana.
Sebenarnya ada yang ingin ditanyakan Arsyanendra, tapi dia kuatir pertanyaannya akan menyinggung perasaan Tyana, tetapi Tyana membaca pikiran Arsyanendra hingga dia berkata, “Syan, kita sudah kenalan selama lebih kurang seminggu, dan selama beberapa hari ini saya sudah mempelajari kebiasaanmu.”
“Saya belum menangkap maksudnya.”
“Saya nebak kalau kamu sedang menyimpan suatu.”
“Oiya, kamu kan psikolog. Ya sudah, saya kenapa?”
“Saya merasa ada hal yang ingin kamu katakan pada saya.”
“Kenapa kamu menceritakan hal menyakitkan?”
“Saya ingin kamu mengenal secara utuh karena saya merasa cocok berteman denganmu dan saya mulai tertarik padamu, jadi saya bisa menilai bagaimana sikapmu setelah tahu siapa sebenarnya saya. Kalau kamu menerima keadaan, perkenalan kita akan bisa berlanjut, tapi kalau tidak bisa menerima keadaan, berarti malam ini adalah malam terakhir kita berbincang-bincang.”
“Saya sudah sejak di pesawat tertarik padamu dan saya bisa terima kamu apa adanya kalau kamu membuka hati untuk saya.” Kata Arsyanendra sambil terus memandang mata Tyana.
Kedua kenalan baru itu, tiba-tiba saling menatap mata masing-masing lalu saling tersenyum. Lalu bicara dalam hati yang intinya, mereka saling menghargai.
Malam ini, perasaan kedua insan yang baru saling kenal itu tiba-tiba berubah menjadi rasa saling suka.
*
Kecerahan senja di Senggigi menjadi gelap saat mendung menutup langit sekitar tempat Arsyanendra nginap dan itu membuat Arsyanendra ragu meneruskan langkahnya menuju kamar Tyana, padahal Tyana baru minta agar Arsyanendra ke kamarnya melalui telepon internal hotel.
Ketika menghentikan langkahnya, Arsyanendra mendengar Tyana memanggil, “Syan, ayo cepat kemari.”
Arsyanendra kemudian melangkah ke kamar Tyana yang jaraknya sudah tidak jauh lagi dari taman tempatnya berdiri.
Di depan kamar, dia disambut dengan senyum manis, lalu Tyana berkata, “Saya ingin mengatakan sesuatu padamu.”
“Mengatakan apa?”
“Masuklah dulu.” Ajak Tyana.
Di dalam kamar, dia melihat ada kue black forest diatas meja dan beberapa piring makanan seperti nasi goreng, burung dara goreng, sayuran hijau serta bakmi.
“Ini ada apa? Makanannya banyak sekali.”
“Hari ini saya ulang tahun ke 25.” Jawab Tyana.
“Hah! Ulang tahun yang ke 25? Tapi, kenapa waktu saya menebak umur 26, katanya benar?”
“Nggak masalah dengan tebakan itu. Pokoknya, hari ini adalah hari ulang tahun saya yang ke 25.”
“Selamat ya.” Kata Arsyanendra.
Saat bersalaman, Tyana menggerakkan wajahnya dan itu ditangkap sebagai isyarat agar Arsyanendra mencium pipinya sebagai ucapan selamat ulang tahun, karena itu Arsyanendra tidak ragu menempelkan pipinya ke pipi Tyana sebagai ucapan selamat.
“Sekali lagi, selamat ulang tahun.”
“Terima kasih.” Jawabnya.
“Semoga mbak Tyana selalu sukses dan sehat.”
“Sekali lagi, terima kasih.” Ucap Tyana.
Malam ini mereka menikmati hidangan ulang tahun dengan suka cita. Suasana gembira terlihat di wajah keduanya walaupun acara ini hanya dirayakan berdua.
“Jadinya, kapan ke Jakarta?” Tanya Arsyanendra.
“Tiket pesawat saya untuk penerbangan Sabtu siang. Kalau kamu? Kapan kembali ke Jakarta?”
“Saya belum pasti, saya ke Surabaya bukan ke Jakarta.”
“Ke Surabaya?”
“Saya akan mengunjungi nenek dan kakek, lalu kerumah ibu saya di Wates, di kaki gunung Kelud.” Ujar Arsyanendra.
“Saya kok tiba-tiba tertarik juga mendengar Wates. Kapan-kapan saya pingin jalan-jalan ke sana.”
“Apakah nggak salah, nanti menyesal melihat rumah ibu saya yang sangat sederhana seperti In……… tapi sebaiknya jangan, nanti nggak mau berteman dengan saya lagi.”
Tyana menduga Arsyanendra tidak terbuka masalah rumah ibunya, hingga dia semakin penasaran, karena itu, ia lalu berkata, “Maaf, apakah kamu menganggap saya adalah Faustina, orang yang bertemu kita di Gili Meno? Sekali lagi maaf, saya adalah Tyana, jadi, belum tentu pemikiraannya sama dengan Faustina. Saya tidak kenal dia, tapi bila melihat wajahmu kecewa dan terpukul. Dugaan saya Faustina adalah perempuan sangat istimewa buat kamu.”
Arsyanendra kemudian berkata, “Kami berpacaran sejak di SMA saat kami tinggal di USA, dan tak jarang saya bertemu orang tuanya. Dia juga sering sekali bertemu dengan tante Fira, adiknya ayah saya yang sudah jadi warga USA karena tante Fira menikah dengan orang sana.
Tapi keadaan berubah setelah saya mengajak dia ke Wates, untuk kenalan dengan ibu sebelum kami menikah.
Sejak itu, hubungan kami renggang, Faustina menjauh dari saya dan selalu mencari alasan untuk menghindari saya.” Kemudian Arsyanendra terlihat kecewa setelah cerita masalah cintanya.
Tyana dengan keahliannya sebagai seorang psikolog yang mempelajari karakter manusia, merasa tertantang untuk mengatasi masalah itu, sehingga dia berkata, “Kalau mau, kamu bisa cerita supaya saya bisa bantu meringankan beban pikiran, tapi kalau kamu keberatan, saya tidak memaksa.”
Arsyanendra mengambil nafas panjang lalu berkata, “Kami berlima sudah akrab sejak masih sekolah dasar. Empat orang dari kelimanya kamu sudah kenal saat di Gili Meno yaitu saya, Boni, Bondan, Faustina dan orang kelima adalah sepupu saya, yaitu anaknya tante Fira, si Angelina.
Saya berpacaran dengan Faustina sejak kami masih SMA, dan berlanjut sampai tamat kuliah. Tetapi ketika saya mengajak Faustina untuk berkenalan dengan keluarga besar saya, dia merasa sangat kecewa dan mengatakan bahwa dia tidak dapat meneruskan hubungan kami setelah dia tahu bahwa ayah saya memiliki beberapa istri, lalu dia melihat kondisi rumah ibu dan ayah di daerah Wates. Rumah ibu yang sangat sederhana, membuatnya sering mencibir.
Dia menganggap saya telah menipunya, dia menganggap saya menyembunyikan informasi kalau dibiayai oleh tante saya dan dia juga menganggap ayah saya pemalas yang menyerahkan anak-anaknya pada para istri yang dinikahinya serta adiknya untuk di sekolahkan dan menghidupinya.
Keluarganya Faustina sangat melihat 3B yaitu bibit, bobot, bebet, jadi ketika dia mengetahui ayah saya punya banyak istri dan miskin, Faustina memutuskan hubungan kami dan nerima Bondan yang sejak lama suka pada Faustina secara diam-diam.
Karena itu, persahabatan kami pecah, Boni ke Indonesia karena kecewa pada sepupunya. Angelina menganggap Faustina pikirannya sempit. Sebab, tak mendengarkan perkataan Angelina yang akan memberitahukan mengapa istrinya ayah banyak.”
“Sudahlah, sebaiknya kita sambung ceritanya untuk besok. Hari ini adalah hari ulang tahun saya. Jadi malam ini saya ingin pesta dengan sahabat baru saya.”
“Hahaha…. Saya setuju, saya juga ingin makan lagi..”
“Ah kamu ini……… ” Ucap Tyana sambil tersenyum, lalu dia berjalan perlahan mendekati Arsyanendra kemudian memegang tangan Arsyanendra dengan perlahan, mengelus sambil dia terus memandang matanya sampai membuat Arsyanendra gugup.
“Tya… “ Ucap Arsyanendra. Namun dia tidak bisa berkata lagi sebab, bibirnya terkunci oleh kecupan Tyana yang mendadak.
Kecupan Tyana membuat Arsyanendra sangat terkejut dan ia tidak tahu harus bagaimana menyikapi ulah Tyana yang menurut Arsyanendra sangat di luar dugaan.
Tyana yang sudah tak bisa menahan diri, dengan perlahan membuka kancing bajunya lalu dia melepas kaos Arsyanendra dan dengan gerakan perlahan ia melepas resleting rok bawahnya, hingga sekarang, yang tinggal hanya pakaian dalamnya.
Kulit Tyana dari pusar hingga ke dada sangat bersih, mulus dan lembut saat tangan Arsyanendra menyentuh dada Tyana yang kemudian tangan itu diarahkan ke punggung Tyana untuk membuka pengait pakaian dalam Tyana, sehingga ia sekarang terbuka pada bagian atas tubuhnya yang selanjutnya, Tyana mengarahkan tangan Arsyanendra untuk melepas satu satunya penutup bagian terlarang Tyana hingga ia sudah dalam keadaan tak lagi tertutup oleh pakaian yang tadi telah dipakai saat makan hidangan ulang tahunnya.
Selanjutnya, tangan Tyana dengan ritme perlahan melepas kancing celana jeans Arsyanendra dan menurunkan resleting celana tersebut sekaligus juga melepas pakaian dalam Arsyanendra hingga dia sudah tak lagi tertutup oleh sehelai benang pun ditubuhnya.
Pada keadaan seperti itu, detak jantung Arsyanendra telah berdetak sangat kencang dan Tyana dengan lembut telah berhasil mengendalikan keadaan dengan mendorong perlahan Arsyanendra ke tempat tidur yang hanya beberapa langkah dari tempat mereka berdiri dan selanjutnya, dengan senyuman manis yang menggoda, Tyana telah membangkitkan hasrat kelelakian Arsyanendra hingga dia tak mampu membendungnya.
Tyana dengan ritme perlahan dan konstan mengendalikan permainan malam ini dengan berada diatas Arsyanendra sehingga membuat Arsyanendra yang sama sekali tidak pengalaman, hanya memandang kecantikan wajah dan bagian dada Tyana yang kadang diarahkan oleh Tyana pada bibir Arsyanendra agar Arsyanendra melumatnya sampai membuat Tyana menggeliat.
Tyana dan Arsyanendra pada malam ini hingga menjelang matahari terbit telah beberapa kali melakukan hubungan terlarang bagai pasangan yang sudah resmi, walaupun perkenalan mereka bisa dikatakan sangat singkat.
**
Kreator : Hepto Santoso
Part 15: Warung Kopi Klotok Sesampainya di tempat tujuan, Rama mencari tempat ternyaman untuk parkir. Bude langsung mengajak Rani dan Rama segera masuk ke warung Kopi Klotok. Rama sudah reservasi tempat terlebih dahulu karena tempat ini selalu banyak pengunjung dan saling berebut tempat yang ternyaman dan posisi view yang pas bagi pengunjung. Bude langsung memesan […]
Part 16 : Alun – Alun Kidul Keesokan paginya seperti biasa Bude sudah bangun dan melaksanakan ibadah sholat subuh. Begitupun dengan Rani yang juga melaksanakan sholat subuh. Rani langsung ke dapur setelah menunaikan ibadah sholat subuh. Tidak lama disusul oleh Bude dan langsung mengambil bahan masakan serta mengiris bahan untuk memasak. Rani dan Bude sangat […]
Part 14: Kopi Klotok Pagi hari yang cerah, secerah hati Rani dan semangat yang tinggi menyambut keseruan hari ini. Ia bersenandung dan tersenyum sambil mengiris bahan untuk membuat nasi goreng. Tante, yang berada di dekat Rani, ikut tersenyum melihat Rani yang bersenandung dengan bahagia. “Rani, kamu ada rasa tidak sama Rama? Awas, ya. Jangan suka […]
Part 13 : Candi Borobudur Keesokan harinya Rama sibuk mencari handphone yang biasa membangunkannya untuk berolahraga disaat Rama berada di Jogja. Rama tersenyum dan semangat untuk bangun, membersihkan diri dan segera membereskan kamarnya. Tidak lupa Rama juga menggunakan pakaian yang Rapih untuk menemui Rani hari ini. Sementara Rani seperti biasa masih bermalas-malasan di dalam kamarnya […]
Part 12 : Cemburu Rama langsung memukul Jaka saat Jaka baru saja masuk ke ruang kerjanya Rama. Jaka yang meringis bukannya marah namun malah tersenyum terhadap Rama karena Jaka tahu bahwa Rama lagi cemburu terhadapnya. Rama males menjawab salam dari Jaka namun sebagai orang yang punya adab Rama harus menjawab salam dari Jaka dengan sopan. […]
Buy Pin Up Calendar E-book On-line At Low Prices In India After the installation is complete, you’ll have the flexibility […]
Karya Nurlaili Alumni KMO Alineaku Hampir 10 bulan, Pandemi Covid -19 telah melanda dunia dengan cepat dan secara tiba-tiba. Hal […]
Karya Lailatul Muniroh, S.Pd Alumni KMO Alineaku Rania akhirnya menikah juga kamu,,, begitu kata teman2nya menggoda, Yaa,,,Rania bukan anak.yang cantik […]
Karya Marsella. Mangangantung Alumni KMO Alineaku Banyak anak perempuan mengatakan bahwa sosok pria yang menjadi cinta pertama mereka adalah Ayah. […]
Karya Any Mewa Alumni KMO Alineaku Bukankah sepasang sejoli memutuskan bersatu dalam ikatan pernikahan demi menciptakan damai bersama? Tetapi bagaimana […]
Comment Closed: Rahasia Butiran Karang Bab 2
Sorry, comment are closed for this post.