KATEGORI
  • Adat & Budaya
  • Agrikultur
  • Aksi
  • Arsitektur
  • Artikel
  • Asmara
  • Autobiografi
  • autobiography
  • Bahasa & Sastra
  • Berita Alineaku
  • Bisnis
  • Branding
  • Catatan Harian
  • Cerita Anak
  • Cerita Pendek
  • Cerita Rakyat
  • Cerpen
  • Cinta
  • Cita – Cita dan Harapan
  • Dongeng
  • Drama
  • Ekonomi
  • Epos
  • Event
  • Fabel
  • Fantasi
  • Fiksi
  • Gaya Hidup
  • Hiburan
  • Hobi
  • Hubungan Antarpribadi
  • Hukum
  • Humanis
  • Humor
  • Ilmu Manajemen
  • Inspirasi
  • Istri
  • Kampus
  • Karir dan Kewirausahaan
  • Keagamaan
  • Keluarga
  • Kesehatan & Kecantikan
  • Kesehatan Mental
  • Ketenagakerjaan
  • Kisa Masa Kecil
  • Kisah Inspiratif
  • Kritik Media
  • Kuliner
  • Legenda
  • Lifestyle
  • Lingkungan Hidup
  • Manajemen
  • mengelola toko
  • Mental Health
  • Moralitas
  • Motivasi
  • Novel
  • Nutrisi
  • Nutrition
  • Opini
  • Organisasi
  • Otomotif
  • Parenting
  • Pemerintahan
  • Pendidikan
  • Pendidikan Karir
  • Pendidikan Keuangan
  • pengalaman hidup
  • Pengembangan Diri
  • Perjalanan Hidup
  • Pernikahan
  • Persahabatan
  • Pertemanan
  • Petualangan
  • Petualangan Alam
  • Pilih Kategori
  • Pilih Menu
  • Politik
  • Psikologi
  • Psikologi Sosial
  • Puisi
  • Romansa
  • Romantisme kehidupan
  • Rumah Tangga
  • Satir
  • SDM
  • Sejarah
  • Self-Acceptance
  • Self-Awareness
  • Seni & Budaya
  • Sosial
  • spiritual journey
  • Strategi
  • Teknologi
  • Tempat Wisata
  • Traveling
  • Uncategorized
  • Wanita
  • Beranda » Artikel » Rahasia Butiran Karang Bab 3

    Rahasia Butiran Karang Bab 3

    BY 11 Feb 2025 Dilihat: 88 kali
    Rahasia Butiran Karang_alineaku

    3. Kepulangan Arsyanendra

    “Tya, saya bingung pada perbuatan kita tadi malam.”

    “Sudah lah, anggap saja itu sebagai kado ulang tahun saya yang ke-25 dari sahabat baru.”

    “Kalau sahabat, rasanya bukan seperti itu kadonya.”

    “Anggap saja kamu sahabat istimewa.”

    “Tya, apakah hubungan kita bisa berlanjut? Aku nggak ingin hanya sampai disini, karena kita sudah melakukan hal yang lebih dari sekedar sahabat baru.”

    “Nanti lah saya pikir lagi, apakah kita terus atau enggak.” 

    Kemudian, tidak terdengar lagi suara dari masing-masing hingga beberapa saat sampai Tyana membuka suara. 

    “Kamu sampai kapan di Surabaya?” 

    “Belum tahu, mungkin hanya sebentar.”

    “Kok hanya sebentar?” Tanya Tyana lagi.

    “Saya ke rumah Eyang dari pihak Ayah di Surabaya hanya sebentar, terus lanjut ke rumah Eyang dari pihak Ibu di lereng Gunung Kawi, lalu ke Wates.”

    “Kamu nggak kerja?”

    “Saya minta off sama Bu Wati, pemilik perusahaan, sampai pikiran saya tenang.”

    “Kenapa masih risau, padahal sudah lama putus?”

    “Bukan hanya itu, tapi kamu juga sudah membuat saya jadi serba salah untuk melangkah. Satu sisi saya ingin hubungan kita tak hanya sekedar hubungan semalam, tapi tampaknya kamu tak ingin hubungan kita berlanjut.”

    “Syan, tunggulah dan beri aku waktu.”

    “Kenapa harus menunggu?”

    “Sudah kukatakan beberapa hari yang lalu kalau aku susah percaya pada lelaki untuk menjadi pasangan.”

    “Terus, kemarin malam itu menurut kamu apa?”

    “Aku hanya ingin merasakan kemampuanmu sebagai lelaki yang sudah membuatku tak bisa melupakanmu dan ternyata kamu orang yang mampu membuatku menyerah pada setiap permainan tadi malam. Aku ingin mengatakan sebenarnya Faustina itu bodoh, karena kamu ternyata sangat superior diranjang. Seharusnya dia bisa membandingkan dengan suaminya yang sekarang.”

    Arsyanendra, mengangkat wajahnya karena sangat terkejut dan keterkejutan itu secara tak sengaja telah menyenggol cangkir kopi yang baru diminum sedikit.

     Ia menatap mata Tyana, kemudian berkata, “Kamu pasti menduga saya sudah tidur dengan Faustina karena kami tinggal di USA. Ku beri tahu ya, saya nggak pernah melakukan hal menyimpang, walaupun saya tinggal di USA. Tapi… saya nggak memaksa kamu percaya. Tya, kamulah yang pertama membuat aku melakukan hal seperti tadi malam.”

    “Apakah benar begitu? Baiklah aku percaya.” Kata Tyana yang kemudian berkata lagi, “rasanya terlalu formal pakai kata-kata saya. Kamu keberatan? Kalau memakai kata-kata AKU.”

    “Enggak, aku suka.” Jawab Arsyanendra.

    Hahaha….. Mereka lalu sama-sama tertawa terbahak bahak dan mulai siang ini keduanya membahasakan diri masing-masing dengan “aku” sebagai ganti dari kata “saya.”

    “Minta alamatmu di Wates, Jakarta dan Surabaya.”

    “Aku juga minta alamatmu di Jakarta.” Sahut Arsyanendra, kemudian dia menuliskan alamat pada secarik kertas.

    Sedangkan Tyana, memberi alamat di Jakarta dan alamat orang tuanya di Semarang. Setelah itu, mereka saling tersenyum dan saling pandang seolah saling berkata bila hari ini adalah hari yang sangat menyenangkan dan hari baru untuk menjalani hidup yang selanjutnya.

    “Syan, kamu nggak keberatan kan kalau aku telepon? Kalau ada lIbur, aku pasti akan meneleponmu. Siapa tahu kamu mau ke rumah Ibumu di Wates. Aku ingin ikut kesana.

    Aku juga suka bertualang melihat sawah, gunung, pedesaan. Pokoknya semua tempat yang berhawa sejuk adalah tempat yang sangat kusuka.” 

    “Oh ya?…….. Tapi kenapa waktu kami mengajak ke Gili Meno, kamu kelihatan ragu dan nggak suka?”

    “Maaf……  Waktu itu kita baru saling kenal. Jadi, aku harus berhati-hati pada kalian….. Syan….. Aku bukan tidak suka tapi…. Berhati hati….. ” Ucap Tyana sambil tersenyum.

    “Hahaha…… Aku bisa menerima jawabanmu.”

    “Hahaha…… Kamu lama-lama lucu juga ya.”

    “Lucu?…. Hahaha….. Tya, kalau kamu suka pada suasana pedesaan, aku akan mengajakmu ke rumah adiknya Ibuku di dekat Bogor. Kalau kamu nggak keberatan, aku juga akan meneleponmu kalau aku sudah ada di Jakarta.”

    “Waw…… Aku suka sekali ke daerah pedesaan di Bogor….. Jangan lupa telepon ya begitu tiba di Jakarta. Aku nggak keberatan ketemu walaupun di tempat minum kopi.” 

    “Benarkah?”

    “Benar……… “

    Kemudian terdengarlah panggilan bagi penumpang tujuan Jakarta, lalu Tyana masuk ke ruang  keberangkatan bandar udara Praya, Nusa Tenggara Barat.

    Setelah Tyana tidak lagi nampak, Arsyanendra lalu duduk sendiri di restoran sambil membaca beberapa berita melalui telepon genggamnya sambil menunggu panggilan.

    Beberapa saat setelah dia mendapat panggilan dan ketika Arsyanendra hendak masuk ruang tunggu, ia melihat di dalam ruang tunggu ada Bondan yang sedang mengantri masuk pesawat. Tapi Arsyanendra tampaknya tidak terlalu risau. 

    Rupanya, Arsyanendra sudah menerima keadaan dirinya agar tidak berlama-lama patah hati dan ia berharap hubungannya dengan Tyana akan terus berlanjut sebagai pengisi hatinya.  

    Arsyanendra saat ini sudah merasa punya harapan untuk mendekati Tyana sebagai pendamping. Dia merasa Tyana adalah perempuan yang menggairahkan dan tegar, walaupun dia adalah seorang janda akibat kesalahan sesaat ketika masih SMA. 

    Arsyanendra mengakui Tyana adalah tipe perempuan kuat dan tangguh menghadapi masalah dan mampu berpikir kedepan dalam menghadapi betapa kerasnya hidup dan ia mulai kagum pada karakter tersebut.

    Selain itu, secara perlahan dia mengakui bila Tyana telah menyembuhkan luka hatinya, karena itulah dia berharap bisa dekat padanya dikemudian hari dan ia juga berharap agar Tyana merubah pemikiran pada lelaki yang selama ini ada dibenaknya.

    Sejak Tyana cerita kisah yang menimpanya, Arsyanendra seolah merasa ada signal yang mengusik hatinya untuk mendekati Tyana sebab sebelum ini, Arsyanendra tak pernah berpikir bahwa ada perempuan bernama Tyana telah membuat jantungnya kadang berdetak kencang bila berdekatan dengannya dan rasa itu semakin lama semakin kuat.

    *

    Arsyanendra menunggu di ruang kedatangan bandar udara Juanda karena dia enggan berdesakan dengan penumpang lain yang sedang berebut untuk keluar. 

    Setelah orangnya mulai berkurang, Arsyanendra berjalan ke pintu keluar lalu membeli tiket taksi untuk mengantarnya ke rumah Kakek dan Neneknya dari pihak Ayah.

    Perasaan gundah telah membuatnya tidak tenang selama perjalanan menuju rumah Kakeknya karena dia sudah lama tidak berjumpa dengan Kakek dan Neneknya yaitu sudah sekitar 11 tahun. 

    Sebenarnya dia punya kesempatan untuk bertemu Kakek dan Neneknya setahun yang lalu saat Arsyanendra datang bersama Faustina guna memperkenalkan Faustina pada kedua orang tuanya, namun dengan diputuskannya hubungan mereka oleh Faustina, ia mengurungkan niat untuk mengunjungi Kakek dan Neneknya.

    Setibanya di depan pintu ruang tamu sang Kakek, ia merasa ragu untuk mengetuk dan gerak gerik itu terlihat oleh seorang perempuan muda dari pintu masuk rumah Kakeknya.

    Perempuan muda itu lalu menyapa dengan ramah, “mau bertemu siapa?”

    “Saya ingin bertemu Kakek.” Jawab Arsyanendra.

    “Maaf, Eyang kakung dan Eyang putri sedang ke Jogja, menengok cucunya disana. Kembalinya minggu depan.”

    “Mbak ini siapa?”

    “Saya Naryama, tetangganya cucu beliau yang di Jogja. Saya disini kos sekalian jaga Eyang kakung dan Eyang putri.”

    “Apakah ada keluarganya Eyang lainnya?”

    “Tidak ada, Mas.”

    “Baiklah.” Kata Arsyanendra, lalu dia balik badan sambil berpikir mengapa ada gadis manis dengan lesung pipit dan rambut pendek kos dirumah Kakeknya. 

    Pikiran itu membuatnya berjalan makin lambat sambil terus memikirkan gadis yang bernama Naryama hingga dia tak sadar bila sudah sampai pintu gerbang depan rumah tersebut.

    Ia berpikir sebaiknya dia langsung ke stasiun Gubeng lalu menunggu kereta ke Blitar yang melewati Wates, rumah Ibunya. 

    Akan tetapi, disaat Arsyanendra berdiri ditepi jalan, dia melihat seseorang. Karena itu, ia berseru, “Ibu!…..”

    “Kamu mau kemana nak? Kenapa membawa ransel?”

    “Eyang nggak ada. Aku mau pulang ke Wates aja.”

    “Rumah di Wates juga kosong. Ayahmu sedang di Jakarta. Ibu datang kemari karena Eyang minta Ibu menunggu orang dari Malang yang akan datang malam ini.”

    Arsyanendra balik badan lalu ikuti Ibunya masuk. Saat depan pintu, Arsyanendra masih melihat Naryama berdiri depan pintu dengan sikap tegak dan terpaku. 

    Namun saat melihat kedatangan Ibunya Arsyanendra, dia segera menyapa, “Selamat siang bu Kus.”

    “Selamat siang Rya. Kamu kenapa mematung? Sudah kenal anak saya?”

    “Hah! Ini putranya bu Kus? Tadi kami baru bertemu. Maaf saya belum tahu kalau ini putranya bu Kus. Oh iya, saya juga belum tahu namanya.”

    “Kenalkan saya Arsyanendra, panggilannya Syanen.”

    “Saya Naryama Puturini, panggilannya Rya.”

    “Nama panggilan yang bagus.” Sahut Arsyanendra.

    Setelah berbasa basi, ketiganya masuk rumah Kakeknya Arsyanendra. Kemudian, Naryama membantu bu Kus menyiapkan kamar untuk Arsyanendra. Akan tetapi, saat dia akan memasang sprei, tiba-tiba bu Kus masuk kemudian berkata, “terima kasih. Tapi…. Biarlah saya yang mengurus segala keperluan Syanen.”

    “Baik bu.” Jawab Naryama dengan menganggukkan kepala, lalu memberikan sprei tersebut pada bu Kus.

    Dia teringat bila bu Kus selalu membereskan rumah bila beliau sedang menginap disini. Hati kecilnya juga sangat kagum pada bu Kus yang sangat cekatan meladeni mertuanya.

    Setelah sprei dan perlengkapan tidur siap, bu Kus mengajak Naryama keluar, lalu ke ruang keluarga untuk berbincang.

    “Rya masih kuliah? Kuliah dimana?”

    “Saya kuliah di kedokteran gigi, Mas. Kalau Mas Syanen?”

    “Saya kerja di perusahaan investasi saham.”

    “Ooo.. Sudah kerja. Maaf, saya sangka masih kuliah.”

    Arsyanendra hanya memandang Naryama lalu ia tersenyum, sedangkan Bu Kus melihat Naryama dan anaknya secara bergantian, lalu beliau menduga Naryama tertarik pada anaknya.

    Naryama adalah mahasiswa fakultas kedokteran gigi dari Jogjakarta. Rumah orang tuanya hanya berjarak dua rumah dari salah satu istri Ayah Arsyanendra atau ibu tirinya yang tinggal di Jogja. 

    Sebagai mahasiswa tingkat akhir dan masih belum punya pacar, Naryama tertarik pada Arsyanendra, sehingga senyuman manisnya terlihat oleh Bu Kus. 

    Ketika beliau melihat itu, dengan lembut dan keibuan Bu Kus berkata, “Rya, apakah saya bisa minta tolong untuk memberi tahu dimana tempat kopi yang saya bawa buat Ayahnya Syanen? Kopi itu Syanen juga suka.”

    “Baik, Bu.”

    “Syan, kamu ikuti aja Rya untuk ditujukkan tempat kopinya Ayah. Setelah itu kamu bisa membuat kopi sendiri.”

    Bibir Arsyanendra maju seolah mengejek Ibunya. Namun setelah itu, Arsyanendra tersenyum lalu ke dapur. Sampai disana, dia diberitahu tempat kopi Ayahnya, lalu Arsyanendra memasak sendiri air panas buat kopi dan mengisi termos.

    “Mau kopi atau teh? Mau sekalian saya buatkan?”

    “Nggak usah Mas, biar saya sendiri aja.” 

    “Tolong temani Ibu.” Pinta Arsyanendra.

    Beberapa saat kemudian Arsyanendra masuk ruang keluarga lalu berkata, “Ini kopi tanpa gula untuk Ibu dan yang ini kopi manis untuk Rya.”

    “Lhoooo…… Mas….. Nggak usah membuatkan saya.”

    “Sudah lah, Syanen memang gitu orangnya.” Kata Bu Kus sambil tersenyum.

    “Saya jadi malu, Bu Kus….. Mas, terima kasih ya.”

    “Terima kasih kembali.” Jawab Arsyanendra.

    Sore ini, ketiga orang itu duduk di ruang keluarga sambil berbincang tentang kondisi kesehatan Kakek dan Nenek yang masih baik walaupun sudah berusia lanjut. Pembicaraan itu berakhir ketika jam kuno di ruang keluarga berdenting 6 kali dan tak lama setelah itu terdengar suara bel, lalu Naryama membukakan pintu.

    “Selamat malam, apakah Bu Kus sudah ada di rumah?”

    “Sudah, mari silahkan masuk.” Ajak Naryama.

    “Selamat malam, apakah ini Pak Budiharjo?”

    “Benar, saya Budiharjo. Ini Bu Kus, menantunya Pak Sam yang dari Wates?”

    “Iya Pak Bud, saya Bu Kus. Saya diminta oleh mertua saya untuk menunggu Pak Budiharjo. Mertua saya mengatakan kalau Pak Budi adalah kenalan suami saya saat berada di Bogor. Jadi saya diminta beliau untuk menunggu Pak Bud.”

    “Benar, Bu. Tiga hari lalu, Pak Sam memberitahu saya kalau beliau sudah minta Bu Kus sebagai menantunya akan mewakili beliau. Oh iya, suami Bu Kus bagaimana kabarnya?”

    “Suami saya baik-baik. Dia sekarang ada di Bogor.”

    “Syukurlah. Apakah Bu Kus tahu keperluan saya kemari?”

    “Menurut mertua saya, Pak Bud mau menyerahkan barang yang sudah di beli oleh Ibu mertua saya.”

    “Maaf saya tidak menjual barang, tapi memberi.” Kata Pak Budiharjo, lalu mengeluarkan sebuah pundi-pundi.

    Dari dalam pundi-pundi tersebut, dikeluarkanlah beberapa butir pecahan batu karang yang semua bentuknya segi empat dan masing-masing sebesar biji kacang ijo. 

    Arsyanendra dan Naryama heran melihat butiran karang tersebut sebab warnanya bisa berubah. Kadang putih, kadang coklat dan kadang menghitam. Namun, Bu Kus tetap tenang.

    “Itu batu karang? Kenapa kecil-kecil?” Tanya Arsyanendra.

    “Benar. Ini memang pecahan batu karang.”

    “Batu karang itu untuk apa ya, Pak? Apakah sekedar hiasan? Tapi, Pak…. Ibu mertua saya mengatakan kalau beliau membeli dan saya sudah diberi uang untuk membayar.”

    “Jangan, Bu. Saya sudah mengatakan tidak usah membeli.”

    “Begini saja, anggap uang ini sebagai ongkos transport Pak Budi dari Malang ke Surabaya dan kembali ke Malang lagi.”

    “Baiklah.” Jawab Pak Budiharjo, lalu beliau pergi.

    Selanjutnya, Bu Kus minta Arsyanendra menemani beliau dan mempersilahkan Naryama untuk meninggalkan bu Kus.

    Bu Kus dan Arsyanendra lalu mengeluarkan semua butiran karang dari pundi-pundi di atas meja kaca lalu bu Kus mengamati butiran-butiran tersebut dengan cermat. 

    Keduanya melihat butiran itu tak ada yang istimewa hingga mereka heran kenapa Pak Budiharjo mengatakan pada mertuanya ini barang aneh yang ingin berada di dekat keluarga mertuanya.

    Hal itu membuat Bu Kus heran, apa yang melatarbelakangi Pak Budiharjo ingin menyerahkan barang ini pada mertua Bu Kus.

    Kebetulan, Bu Kus ingat cerita mertuanya tentang asal mula dihubungi Pak Budiharjo, lalu beliau mengatakan bahwa lima hari yang lalu, di telepon Pak Budiharjo yang mengatakan bahwa beliau adalah kenalan dari suami Bu Kus yang dapat informasi dari salah satu pegawai sebuah tempat penyimpanan benda kuno di Bogor bahwa ada warisan dari mertua Pak Budiharjo yaitu butiran karang, ingin segera kembali pada tuannya yang ternyata keluarganya Pak Uko, yaitu suami Bu Kus yang dikenal oleh Pak Budiharjo sebagai petani asal Bogor walaupun Pak Uko tinggal di Wates.

    Karena itulah, Pak Budiharjo mencari Pak Uko dan setelah bertemu, Pak Uko menyarankan agar Pak Budiharjo menyerahkan butiran karang itu pada Ibu Pak Uko di Surabaya. 

    Akan tetapi, mertua Bu Kus minta Bu Kus mewakili mereka menerima barang dari Pak Budiharjo sebab kedua mertuanya sudah terlanjur janji untuk pergi ke Yogyakarta mengunjungi cucunya yang baru lulus ujian sebagai dokter ahli penyakit dalam di Yogyakarta.

    Itulah cerita singkat Bu Kus pada anaknya yang ingin tahu mengapa ibunya menerima butiran karang pada sebuah pundi-pundi dari orang yang belum dikenal dan Arsyanendra juga merasa kalau butiran karang itu terlihat aneh.

    Beberapa kali butiran karangnya berubah warna dan bentuk hingga terkesan membingungkan. Arsyanendra yang sejak tamat SD tinggal di USA, merasa tidak mengerti tentang keanehan seperti itu.

    “Bu, Ibu kenapa terkesan biasa saja?”

    “Kalau nggak biasa, terus Ibu harus gimana?”

    “Menurutku ini aneh. Kenapa butiran karang ini berubah bentuk dan warna terus. Mengapa Eyang memberikan barang aneh pada Ibu agar Ibu yang mengurus butiran karang aneh ini.”

    “Nak, kamu sejak kecil tinggal di USA. Jadi, kamu sulit ngerti masalah semacam ini. Sekarang Ibu beritahu mengapa butiran karang ini berubah warna dan bentuk. Intinya, butiranya akan berwarna tetap bila sudah bertemu tuannya.”

    “Pasti Ibu mau cerita hal yang nggak masuk akal.”

    “Kalau nggak masuk akal, Ibu nggak akan cerita lagi.”

    “Tapi……. Nggak apa-apa juga sih, ayo cerita, Bu.” 

    “Benarkah? Ibu juga baru dapat bisikan tentang ini.”

    “Aaaaaahhhh, Ibu ini selalu cerita yang serem.”

    “Kamu ini, membuat jadi Ibu semakin gemas.” Kata Bu Kus sambil mencubit pipi Arsyanendra lalu mengecup dan memeluknya.

    “Ih…… Ibu ini menganggap aku seperti anak SD.”

    “Hihihi…….. Maklum, Ibu sudah kangen padamu…… “

    “Setelah ini pasti mengecup hidungku, membuat rambutku berantakan karena mengusap kepalaku.” 

    “Hihihihi…….. Sudahlah, sekarang Ibu mau cerita.”

    “Ayo Bu, cepat ceritakan.”

    “Eh, sebentar… Ibu mau ambil minum dulu.”

    Bu Kus lalu mengambil air minum dan teh, lalu memulai ceritanya.

    “Awal mula mengapa butiran karang itu ingin kembali, karena ini adalah milik Eyang Wareng nya Ibu yang mahasakti dan juga sangat bijaksana sehingga beliau jadi panutan bagi seluruh masyarakat sekitar rumah keluarga besar beliau di daerah Trowulan.

    “Waw…… Berarti beliau hebat ya.”

    “Iya, beliau memang hebat. Sampai sekarang pesan turun temurunnya yang masih terus harus dijalankan adalah gimana agar kita mengenal diri masing-masing.” 

    “Mengenal diri masing-masing? Maksud Ibu?”

    “Itu adalah pelajaran tertinggi dari beliau.”

    “Aku semakin bingung bu. Eyang Wareng itu siapa?”

    Eyang Wareng….. adalah lima generasi di atas Ibu.”

    “Menurut Ibu, apakah aku harus mengenal diriku?”

    “Iya, kamu harus mengenal dirimu sendiri.”

    “Haahh. Kalau gitu, aku perlu santai dulu. Semakin aku bicara mengenai hal abstrak, aku semakin pusing.”

    *

    Ting tung…. Ting tung….

    Arsyanendra berlari menuju pintu keluar.

    “Siapa Syan? Kenapa lari-lari?” Tanya Bu Kus penasaran.

    “Itu pasti Tyana, sahabat baruku.”

    “Kamu punya sahabat baru? Sahabat atau pacar?”

    “Ibu ini………….. “

    “Hayo……… Kamu suka ya pada sahabat barumu?”

    “Ah, malas menjawab….. ” Sahut Arsyanendra.

     Arsyanendra lalu membuka pintu sambil tersenyum lebar menyambut kedatangan Tyana sebagai sahabat baru. Tyana pun tersenyum melihat Arsyanendra membuka pintu rumah.

    “Halo Syan, selamat siang.”

    “Selamat siang Tya, ayo masuk.” Ajak Arsyanendra.

    “Selamat siang, ini Tyana teman barunya Syanen? Nama saya Ria, Ibunya Syanen. Tapi….. Kebanyakan orang memanggil saya bu Kus. Eh, kamu ternyata cantik.” Kata bu Kus.

    “Ih, Ibu ini ……… ” Potong Arsyanendra.

    “Selamat siang, Tante. Benar nama saya Tyana dan saya sahabat baru Syanen. Kami memang baru saling kenal. Tapi, saya merasa cocok berteman dengan Syanen.” Kata Tyana sambil tersenyum lalu memandang Arsyanendra,

    “Ayo, silahkan masuk.”

    “Terima kasih, Tante.”

    “Tya, karena kamu datang saat kami makan siang, kamu nggak boleh menolak makan siang bersama kami.” Ajak bu Kus.

    “Ayo makan……. ” Ajak Arsyanendra juga.

    “Baiklah.” Kata Tyana, kemudian mereka menuju ruang makan.

    “Naik apa kemari?”

    “Naik taksi, Tante.” Jawab Tyana lalu duduk di meja makan.

    Mereka makan sambil berbincang mengenai perkenalan Arsyanendra dan Tyana saat di Lombok dan bu Kus mendengarkan dengan penuh perhatian sambil mengamati keduanya.

    Arsyanendra melihat Ibunya memperhatikan Tyana dengan sorot mata yang tajam. Hal itu membuat Arsyanendra curiga, dan ia berpikir, Ibunya sedang menilai karakter Tyana.

    Perasaannya mengatakan, Ibunya kurang menyukai Tyana. Namun, Arsyanendra belum yakin pada pikirannya sebab selama ini, Ibunya selalu bersikap baik padanya dan Ibunya membebaskannya untuk memilih teman atau pasangan. 

    Dugaan bila Ibunya kurang menyukai Tyana, timbul karena senyum Ibunya tak memancarkan kegembiraan hingga Arsyanendra mulai berhati-hati bicara didepan Ibunya. 

    Sebaliknya, sikap yang berubah dapat dirasakan Ibunya. Hal itu dianggap sebagai signal kegundahan hati dari Arsyanendra.

    “Tyana di Surabaya sampai kapan?” Tanya bu Kus.

    “Rencananya saya disini dua malam.”

    “Sedang ada acara?” 

    “Iya, Tante. Ada seminar. Siang ini istirahatnya dua jam dan jam dua siang kami akan mulai acara lagi. Jadi, saya masih punya waktu sekitar satu setengah jam.”

    “Hari ini sampai jam berapa?” Tanya Arsyanendra.

    “Sesi kedua mulai jam 2 sampai jam 5 dengan istirahat 15 menit. Oiya, kalau nggak keberatan, saya mengundang tante dan Syanen ke hotel tempat seminar diadakan.” Kata Tyana.

    “Hotelnya dimana?”

    “Di sebelah pusat pertokoan di Tunjungan, Tante.”

    “Oooo….. disana rupanya.” Sahut Arsyanendra.

    “Baiklah, mudah-mudahan saya bisa. Seandainya tidak bisa, Syanen akan datang sendiri.” Kata Bu Kus.

    “Saya dengar dari Syanen, Tante tinggal di kaki Gunung Kelud. Apakah masih tinggal disana?”

    “Masih. Saya baru sampai di sini dua hari yang lalu karena mertua saya memanggil untuk menemui seseorang. Besok atau dua hari lagi, saya akan pulang ke rumah bersama Syanen.”

    “Tante kenapa nggak tinggal di sini?”

    Bu Kus tersenyum lalu bekata, “Saya lebih nyaman tinggal di kaki Gunung Kelud, walaupun mertua saya beberapa kali minta agar saya pindah kemari sejak saya menikah.”

    “Maaf Tante, kenapa merasa lebih nyaman disana?”

    “Rumah itu adalah rumah kenangan saya dan Ayah Syanen.”

    **

     

    Kreator : Hepto Santoso

    Bagikan ke

    Comment Closed: Rahasia Butiran Karang Bab 3

    Sorry, comment are closed for this post.

    Popular News

    • Part 15: Warung Kopi Klotok  Sesampainya di tempat tujuan, Rama mencari tempat ternyaman untuk parkir. Bude langsung mengajak Rani dan Rama segera masuk ke warung Kopi Klotok. Rama sudah reservasi tempat terlebih dahulu karena tempat ini selalu banyak pengunjung dan saling berebut tempat yang ternyaman dan posisi view yang pas bagi pengunjung. Bude langsung memesan […]

      Okt 01, 2024
    • Part 16 : Alun – Alun  Kidul Keesokan paginya seperti biasa Bude sudah bangun dan melaksanakan ibadah sholat subuh. Begitupun dengan Rani yang juga melaksanakan sholat subuh. Rani langsung ke dapur setelah menunaikan ibadah sholat subuh. Tidak lama disusul oleh Bude dan langsung mengambil bahan masakan serta mengiris bahan untuk memasak. Rani dan Bude sangat […]

      Okt 16, 2024
    • Part 14: Kopi Klotok Pagi hari yang cerah, secerah hati Rani dan semangat yang tinggi menyambut keseruan hari ini. Ia bersenandung dan tersenyum sambil mengiris bahan untuk membuat nasi goreng. Tante, yang berada di dekat Rani, ikut tersenyum melihat Rani yang bersenandung dengan bahagia. “Rani, kamu ada rasa tidak sama Rama? Awas, ya. Jangan suka […]

      Sep 18, 2024
    • Part 13 : Candi Borobudur Keesokan harinya Rama sibuk mencari handphone yang biasa membangunkannya untuk berolahraga disaat Rama berada di Jogja. Rama tersenyum dan semangat untuk bangun, membersihkan diri dan segera membereskan kamarnya. Tidak lupa Rama juga menggunakan pakaian yang Rapih untuk menemui Rani hari ini. Sementara Rani seperti biasa masih bermalas-malasan di dalam kamarnya […]

      Sep 07, 2024
    • Part 12 : Cemburu Rama langsung memukul Jaka saat Jaka baru saja masuk ke ruang kerjanya Rama. Jaka yang meringis bukannya marah namun malah tersenyum terhadap Rama karena Jaka tahu bahwa Rama lagi cemburu terhadapnya. Rama males menjawab salam dari Jaka namun sebagai orang yang punya adab Rama harus menjawab salam dari Jaka dengan sopan. […]

      Sep 05, 2024

    Latest News

    Buy Pin Up Calendar E-book On-line At Low Prices In India After the installation is complete, you’ll have the flexibility […]

    Jun 21, 2021

    Karya Nurlaili Alumni KMO Alineaku Hampir 10 bulan, Pandemi Covid -19 telah melanda dunia dengan cepat dan secara tiba-tiba. Hal […]

    Des 07, 2021

    Karya Lailatul Muniroh, S.Pd Alumni KMO Alineaku Rania akhirnya menikah juga kamu,,,  begitu kata teman2nya menggoda, Yaa,,,Rania bukan anak.yang cantik […]

    Des 07, 2021

    Karya Marsella. Mangangantung Alumni KMO Alineaku Banyak anak perempuan mengatakan bahwa sosok pria yang menjadi cinta pertama mereka adalah Ayah. […]

    Des 07, 2021

    Karya Any Mewa Alumni KMO Alineaku Bukankah sepasang sejoli memutuskan bersatu dalam ikatan pernikahan demi menciptakan damai bersama? Tetapi bagaimana […]

    Des 07, 2021