KATEGORI
  • Adat & Budaya
  • Agrikultur
  • Aksi
  • Arsitektur
  • Artikel
  • Asmara
  • Autobiografi
  • autobiography
  • Bahasa & Sastra
  • Berita Alineaku
  • Bisnis
  • Branding
  • Catatan Harian
  • Cerita Anak
  • Cerita Pendek
  • Cerita Rakyat
  • Cerpen
  • Cinta
  • Cita – Cita dan Harapan
  • Dongeng
  • Drama
  • Ekonomi
  • Epos
  • Event
  • Fabel
  • Fantasi
  • Fiksi
  • Gaya Hidup
  • Hiburan
  • Hobi
  • Hubungan Antarpribadi
  • Hukum
  • Humanis
  • Humor
  • Ilmu Manajemen
  • Inspirasi
  • Istri
  • Kampus
  • Karir dan Kewirausahaan
  • Keagamaan
  • Keluarga
  • Kesehatan & Kecantikan
  • Kesehatan Mental
  • Ketenagakerjaan
  • Kisa Masa Kecil
  • Kisah Inspiratif
  • Kritik Media
  • Kuliner
  • Legenda
  • Lifestyle
  • Lingkungan Hidup
  • Manajemen
  • mengelola toko
  • Mental Health
  • Moralitas
  • Motivasi
  • Novel
  • Nutrisi
  • Nutrition
  • Opini
  • Organisasi
  • Otomotif
  • Parenting
  • Pemerintahan
  • Pendidikan
  • Pendidikan Karir
  • Pendidikan Keuangan
  • pengalaman hidup
  • Pengembangan Diri
  • Perjalanan Hidup
  • Pernikahan
  • Persahabatan
  • Pertemanan
  • Petualangan
  • Petualangan Alam
  • Pilih Kategori
  • Pilih Menu
  • Politik
  • Psikologi
  • Psikologi Sosial
  • Puisi
  • Romansa
  • Romantisme kehidupan
  • Rumah Tangga
  • Satir
  • SDM
  • Sejarah
  • Self-Acceptance
  • Self-Awareness
  • Seni & Budaya
  • Sosial
  • spiritual journey
  • Strategi
  • Teknologi
  • Tempat Wisata
  • Traveling
  • Uncategorized
  • Wanita
  • Beranda » Artikel » Rahasia Butiran Karang Bab 6

    Rahasia Butiran Karang Bab 6

    BY 23 Mei 2025 Dilihat: 57 kali
    Rahasia Butiran Karang_alineaku

    6. Kegelisahan Tyana dan Arsyanendra

    Pukul 15.20, Tyana merasa gundah karena itu ia menyudahi acara seminar tentang pendidikan anak pra sekolah dan dia sudah berkali-kali melihat jam tangannya. 

    Kegelisahan itu tertangkap oleh moderator acara seminar, hingga si moderator yang sudah sering bekerja sama dengan Tyana menghentikan acara seminarnya.

    Saat istirahat pukul 15.30, si moderator mendatangi Tyana lalu bertanya, “Kamu ada janji dengan orang?”

    “Iya, tapi janjinya nanti sekitar jam lima sore. Mas Sukur, apakah saya bisa pergi sebelum acara selesai? Materi dari saya kan sudah selesai.”

    “Boleh, silahkan.”

    Pukul 15.30, Tyana mengatakan pada bagian depan hotel kalau dia akan pergi ke Juanda dan akan naik pesawat ke Jakarta pada pukul 17.00. 

    Petugas bagian depan hotel tentu saja terkejut sebab ia berpikir apakah memungkinkan Tyana sampai Juanda dalam waktu 30 menit untuk mengejar jadwal penerbangan jam 17.00. 

    Tampaknya, Tyana menyadari pemikiran si petugas hotel. Karena itu Tyana berkata, “Jangan khawatir, Mas. Saya sudah biasa berangkat dengan waktu sangat mepet. Oh iya, kalau nanti ada orang mencari saya, tolong katakan saya sudah keluar dari hotel jam tiga sore untuk mengejar penerbangan jam lima ke Jakarta.”

    Petugas hotel tersebut lalu mencatat pesan dari Tyana dan menempatkannya di sebuah map, sedangkan Tyana pergi dengan seorang lelaki menaiki sebuah taksi dari hotel.

    Selama dalam perjalanan ke Juanda, hati Tyana gelisah sehingga si laki-laki bertanya, “Kamu kenapa?”

    “Aku…. ” Sahut Tyana sambil menuduk.

    “Kamu kenapa?”

    “Aku janjian sama orang yang aku suka dan aku minta supaya ibunya ikut ke hotel jam lima sore. Aku…..  Akan mengajak makan malam di hotel.”

    “Lho… Terus kenapa kamu mendadak telepon aku minta ditemani ke Juanda?”

    “Mas Andang, aku……. Aku malu, Mas.”

    “Malu? Malu sama siapa?”

    “Malu sama keluarganya Syanen.”

    “Syanen itu siapa? Pacarmu?”

    “Bukan. Tapi…… Aku merasa mulai tertarik pada Syanen padahal Syanen lebih muda sekitar dua tahun dari aku.”

    “Lho….. Kenapa malu? Apakah karena dia lebih muda?”

    “Aku malu, Mas. Aku kan janda karena terpaksa.”

    “Sudahlah, jangan mengungkit masalah itu lagi. Eeehh, apakah kamu tahu berita tentang Darmo?”

    “Enggak, Mas. Aku nggak peduli dan aku sangat kecewa pada masalah itu.”

    “Tya…. Bulan lalu Darmo meninggal karena kecelakaan.”

    “HAH!!!”

    “Kita nggak akan tahu apa yang bisa terjadi pada kita. Kami yang dulu satu kelompok belajar, rame-rame membawa jenazahnya kembali ke Semarang dari Kuala Lumpur.”

    “Mas… Aku malu karena aku sudah tidur dengannya.”

    “Maksudmu dengan siapa?”

    “Aku nggak tahan melihat Syanen yang menurutku sangat menarik dan aku menjerat dia untuk tidur denganku.”

    “Ah kamu…. “ Kata Andang, lalu membelai Tyana.

    Tyana tidak sedih ataupun gembira, namun dari sudut luar kedua matanya menetes air mata hingga membuat Andang, yaitu kakak laki-lakinya yang tinggal dan bekerja di Surabaya merasa kasihan pada Tyana. Karena itu, Andang minta taksinya putar haluan menuju perumahan di daerah Darmo Permai.

    Sesampainya di rumah Andang, Tyana bergegas masuk, lalu menuju kamar di lantai dua yang biasa dia tempati kalau sedang tinggal di rumah Andang.

    “Tyana kenapa, Mas?” Tanya istrinya Andang yaitu Suryati.

    “Dia lagi jatuh cinta sama orang.” Jawab Andang.

    “Lho……. Jatuh cinta kok menangis?” Kata Suryati sambil berjalan ke lantai dua untuk menyusul Tyana.

    Suryati melihat Tyana duduk depan meja rias memandang wajahnya, karena itu Suryati menghampirinya kemudian berkata, “Kenapa menangis?”

    “Mbak Sur…. Aku malu sama diriku… Aku merasa kotor.”

    “Tenangkan dirimu dulu.” Kata Suryati.

    Setelah melihat keadaan, Suryati membelai rambut Tyana dan berkata, “Mbak tahu kamu kecewa, tapi kamu harus kuat.”

    “Selama ini, aku sudah kuat dan sudah berhasil melupakan peristiwa itu, Mbak. Tapi…….. Waktu aku ke rumah kakek Syanen, tiba-tiba aku melihat anak kos di rumah kakek Syanen mirip dengan mbak Tavia.”

    “Tya, Mbak sudah lama nggak bertemu Tavia dan ketika Mbak lulus, Tavia masih cuti. Jadi, kami teman satu grup belajar sudah tidak tahu dia ada dimana. Menurut Mbak, sebaiknya kamu berpikir ke depan, dan jangan berpikir mundur.”

    “Iya Mbak, aku sudah berpikir ke depan.”

    “Apakah lelaki yang kamu suka sudah tahu keadaanmu?”

    “Sudah Mbak, aku sudah cerita semuanya.”

    “Reaksinya gimana?”

    “Dia bisa terima keadaanku.”

    “Nah….. Kalau gitu, apalagi yang jadi masalah?”

    “Aku minder….. “

    “Ayolah Tya, kamu harus bangkit. Kamu sebentar lagi akan ujian S3, kenapa masih minder bertemu lelaki yang kamu suka.”

    “Mbak……. Dia lah lelaki pertama yang aku suka sepenuh hati. Aku sangat sulit melupakan wajahnya dan ini pertama kali aku nggak mampu mengontrol diri bila bertemu dengannya sampai aku mengganggunya untuk tidur denganku… Tapi…….. Aku minder pada ibunya.”

    “Ibunya? Ibunya kenapa?”

    “Aku merasa ibunya berkarakter kuat sekali dan ibunya lebih suka pada orang lain yang mirip dengan mbak Tavia.”

    “Mungkin itu dugaanmu, atau kamu sedang cemburu?”

    “Bisa jadi aku cemburu. Tapi.. Aku merasakan ibunya lebih suka pada Naryama Puturini, yang biasa dipanggil Rya.”

    “Namanya bagus. Dia itu siapa?” 

    “Dia itu perempuan yang kos di rumah kakek Syanen. Orangnya kelihatan baik, lembut dan pintar meladeni……”

    “Siapa tadi nama pemuda yang kamu suka? Syanen?”

    “Iya. Syanen, nama lengkapnya Arsyanendra.”

    “Menurutmu, Syanen suka pada dia atau padamu?”

    “Aku sih menduga dia suka padaku.”

    “Itu dugaanmu, atau dia sudah mengatakan suka padamu?”

    “Aku yakin. Karena dia mau terbuka padaku walaupun dia belum menyatakan suka padaku, dan kalau tidak suka, kenapa dia mau tidur denganku dan mau melakukan apa saja yang kuminta selama kami tidur semalam.” Sahut Tyana, lalu keduanya diam.

    Keadaan saling diam berjalan cukup lama, dan mereka kembali bicara setelah mendengar Andang memanggil Suryati. 

    “Mas Andang memanggil, ayo kita turun.” Kata Suryati. 

    *

    Penerbangan jam 10.00 dari Juanda menuju Jakarta akan berangkat sekitar 30 menit lagi, karena itu Tyana bergegas masuk ke ruang tunggu penumpang. Hari ini, dia berangkat dari Juanda setelah 2 malam tinggal dirumah kakak laki-lakinya yaitu Andang yang sejak kecil selalu mengasuhnya.

    Saat ini, hatinya lebih mantap bila dibandingkan dengan 2 hari lalu ketika dia sengaja menghindari bertemu Syanen karena dia merasa kurang percaya diri. Rasa percaya dirinya hilang setelah Tyana melihat kalau di rumah kakeknya Syanen ada perempuan yang mirip dengan bekas guru lesnya saat dia masih di SMA.

    Ketika masuk pesawat, kegelisahan itu timbul lagi, sebab ia merasa hatinya seperti di iris pisau tajam hingga terasa perih.

    Selama dalam pesawat, beberapa kali Tyana ditegur oleh Pramugari, karena meletakkan tasnya di gang tengah pesawat.

    Setibanya di Soekarno-Hatta, Tyana merasa bingung sebab dia merasa di tempat asing dan itu membuatnya berdiri di tengah jalan sampai ada seorang anak kecil menyapanya,

    “Mbak, sedang sakit ya? Apa perlu dipanggilkan petugas kesehatan?”

    “Maaf ya, Dik.” Sahut Tyana lalu menelpon seseorang.

    Beberapa menit kemudian dia menuju tempat pengambilan bagasi dan Tyana kembali bingung. Lagi-lagi dia merasa berada di tempat asing. Namun ia tersadar setelah telepon genggamnya bunyi dan diseberang sana, terdengar suara orang menanyakan posisinya.

    “Aku akan keluar melalui Pintu 3.” Jawab Tyana.

     

    Setelah mengambil bagasinya, ia lalu berjalan menuju Pintu 3 kemudian dia menoleh ke arah kiri untuk mencari keberadaan kakak perempuannya yang tadi sudah dua kali menelepon.

    Ketika melihat kakaknya duduk di kursi, ia lalu berjalan ke arah kakak perempuannya dan menyapa.

    “Mbak Ana sendiri?”

    “Iya, Mas Johan sedang ada tamu bisnis.”

    “Terima kasih, baru kali ini mbak Ana menjemputku.”

    Kakak Tyana tersenyum, lalu mereka berjalan beriringan sambil cerita tentang keadaan penerbangan dari Surabaya sampai Jakarta yang bisa dikatakan aman dan cuacanya bagus.

    Dalam perjalanan ke tempat tinggal Tyana yaitu sebuah apartmen pada pusat belanja di daerah Kemang, Tyana banyak bertanya tentang kegiatan kakaknya bila akhir pekan. 

    Rupanya Tyana mendengar dari suami kakaknya kalau kakaknya sering pergi ke daerah Bogor bersama sahabatnya ketika mereka sekolah kedokteran di USA.

    “Ayo ke pusat belanja dekat apartemenku.” Ajak Tyana.

    “Ayo, tapi sebentar aja ya. Sebab mertuaku di Jakarta.”

    “Kalau gitu, kita makan siang aja.”

    “Baiklah. Setelah makan siang, aku pulang.” Kata Ana.

    Mereka lalu menuju ke tempat makan dan disana Tyana mengajukan beberapa pertanyaan tentang tempat dimana Ana suka pergi di akhir pekan bila anak-anaknya pergi bersama mertuanya. 

    Ana jarang ikut mertuanya karena mertua perempuannya selalu ingin mengurus cucunya sendiri dan selalu mengatakan agar beliau diijinkan untuk mengajak cucu-cucunya berlibur.

    “Kapan Mbak Ana mau ke Bogor lagi?”

    “Aku sih tergantung sama temanku.”

    “Temannya Mbak Ana, namanya siapa?”

    “Sahabatku juga dokter anak-anak yang dulu dia seniorku waktu kami kuliah di USA, nama panggilannya Isna.”

    “Ooooo…… Jadi itu teman kuliah Mbak Ana?”

    “Iya… Sekarang, kami praktek di rumah sakit yang sama.”

    “Wah hebat, kalian bersahabat sampai tua.”

    “Iya….. Soal umur, kami nggak pernah pusing yang penting kami bisa cocok satu sama lain.”

    “Rumahnya Mbak Isna dimana?”

    “Rumahnya di daerah Kemang juga. Dekat dari sini.”

    “Mbak, aku ingin dikenalkan pada Mbak Isna.”

    “Sebentar aku telpon dulu.” Jawab Ana.

    Saat menunggu Ana telepon, Tyana melihat ponselnya. Ia mengharapkan ada pesan dari Arsyanendra, walaupun dia tahu kalau itu sulit terjadi. Dia menduga Arsyanendra pasti marah karena ditinggalkan setelah janji untuk bertemu di hotel tiga hari yang lalu.

    Harapan itu sia-sia dan dia pun akan sangat tersinggung bila ada orang lain janji padanya untuk makan malam bersama, tiba-tiba membatalkan sepihak tanpa memberi kabar.

    Rasa bersalahnya makin hari semakin membuatnya selalu gelisah termasuk siang ini, sehingga Ana tertarik untuk bertanya.

    “Kamu kenapa?”

    “Aku bingung, Mbak. Aku jatuh cinta dengan pemuda yang usianya lebih muda dariku dan ibunya terlihat nggak setuju.”

    “Oh iya. Apakah ibunya sudah mengatakan nggak setuju?”

    “Belum, sih.”

    “Kamu sudah mau ujian S3 masih kurang percaya diri.”

    Tyana berpikir Ana ada benarnya. Karena itu, ia menarik nafas panjang beberapa kali untuk menetralisir kegelisahannya.

    Rupanya tingkah Tyana sangat mudah diketahui oleh Ana.

    “Nggak ada gunanya menduga masalah yang belum jelas. Lebih baik hadapi saja masalahnya supaya jelas.”

    “Mudah-mudahan dia kembali ke Jakarta secepatnya, sebab aku berharap dia meneleponku saat di Jakarta.” Sahut Tyana.

    Mereka lalu menikmati hidangan makan siangnya dengan lahap sambil bicara tentang kegiatan Tyana selama di Lombok dan Surabaya juga perkenalannya dengan Arsyanendra. 

    Di setiap cerita, dia selalu menekankan kalau Arsyanendra adalah pemuda baik-baik yang bisa dikatakan lugu walaupun sudah tinggal di USA sejak dia SMP.

    Keasyikan saling cerita ternyata membuat keduanya tidak menyadari bila di sebelahnya ada orang yang berdiri lalu bertanya, “Selamat siang mbak, mencari saya?”

    “Hai Isna….. Kenalkan ini adikku.” Sapa Ana.

    “Ini adikmu? Waw…… Adikmu lebih cantik dari kamu.”

    “Ah, mana mungkin… ” Bantah Ana.

    “Hihihi…. Bukan aku yang ngomong, lho…. ” Sahut Tyana.

    Ketiganya lalu berbincang dan bercanda sampai membuat Ana lupa waktu. Padahal sebelumnya, dia ingin cepat-cepat pulang untuk mengurus anak dan mertuanya dan setelah Ana pulang, Isna dan Tyana melanjutkan obrolannya di tempat minum kopi dalam pusat belanja tersebut. 

    Perkenalan antara Tyana dan Isna membuat Isna senang, sebab ia sekarang punya teman masih lajang dan ia berharap tidak lagi kesepian karena sudah sekitar dua tahun kedua anaknya di bawa oleh ibunya ke USA, dan Isna sudah sekitar dua setengah tahun pisah rumah dengan suaminya.

    Perbincangan kedua teman baru itu terus berlanjut hingga pukul 19.00. Oleh karena sudah mendekati jam makan malam, mereka keluar dari tempat minum kopi lalu menuju tempat makan.

    “Kamu mau makan apa?” Tanya Isna.

    “Apa aja boleh. Aku suka semua makanan.” Jawab Tyana.

    “Kamu suka semua makanan?” 

    “Gimana kalau kita makan bebek?”

     

    Di restoran yang menyajikan menu bebek, mereka duduk di meja bagian luar sambil sekali-sekali melihat orang lewat. Wajah keduanya kini terlihat ceria dan mereka merasa ada rasa kecocokan dalam segala perbincangan. 

    Adanya rasa kecocokan itu membuat mereka terus bercanda sampai dengan seorang pelayan restoran mengatakan kalau sebentar lagi restoran tutup, hingga mereka harus mengakhiri perbincangan malam ini dan sebelum berpisah, keduanya saling tukar nomer telepon, lalu membuat janji di akhir pekan akan ke Bogor.

    *

    “Selamat pagi, Mbak Tya.” Ucap Wati, pegawai kantornya.

    “Selamat pagi, Wati. Bu Sandra sudah ada?” Tanya Tyana.

    “Sudah. Kata beliau, ada rapat dengan Mbak Tyana.”

    Tyana bergegas menuju ruang rapat di kantornya. Ia ingat kalau pagi ini dia akan rapat membahas perkembangan usaha mereka dalam meningkatkan minat belajar bagi anak di bawah usia enam tahun.

    Setibanya di ruang rapat, Tyana terkejut ketika melihat para peserta rapat sudah lengkap.

    “Maaf saya terlambat.”

     

    Masukan, perdebatan serta diskusi membuat suasana rapat sangat panas. Namun, kepiawaian Bu Sandra sebagai pimpinan dalam menangani keadaan telah membuat peserta rapat akhirnya setuju pada usulan Tyana tentang perlunya melibatkan orang tua dan keluarga untuk membuat program pengajaran agar minat pada anak usia pra sekolah semakin meningkat.

    Keputusan rapat itu diakhiri dengan kesepakatan kapan dimulai menyebarkan undangan untuk orang tua yang mempunyai anak sebelum usia sekolah dan siapa penanggung jawabnya.

    Setelah rapat bubar, Tyana bergegas menuju ke ruangannya untuk membuat jadwal pertemuan dengan para pemilik tempat pendidikan anak usia pra sekolah.

    Akan tetapi, disaat dia baru membuka laptopnya, masuklah Priambodo, yaitu salah satu seniornya di kantor.

    “Nanti siang kita makan di luar yuk.” ajak Priambodo.

    Awalnya, Tyana seperti tidak mendengar. Karena itu, dia tetap menundukkan wajah dan berkonsentrasi pada rencana untuk membuat jadwal pertemuan.

    Priambodo mengulangi lagi ajakan itu dengan suara lebih keras. “Nanti siang aku traktir makan siang. Apakah kamu bisa?”

    Tyana terkejut, hingga menengadah.

    “Kenapa? Traktir makan siang? Iya, jam 11.30 ya kita ketemu disana.”

    “Disana? Dimana? Aku belum mengatakan tempatnya.”

    “Maksudku, tempatnya terserah kamu. Maaf, sebentar lagi aku harus berangkat ketemu orang bersama Bu Sandra sampai jam sebelas. Sedangkan, jadwal untuk minggu depan masih belum kubuat.”

    Priambodo akhirnya maklum. Karena akhir-akhir ini Tyana selalu sibuk mengisi acara di luar kantor. Kesibukan itu dikarenakan sang pemilik perusahaan yaitu bapak Joyokerto dan bu Sandra, sebagai direktur utama sering sekali menugaskan Tyana mengisi acara bila ada undangan dari pihak luar.

    “Aku tunggu di rumah makan khas Betawi di Senayan.”

    Beberapa waktu kemudian, masuklah Wati yaitu staf Bu Sandra yang terkejut melihat Priambodo di ruangan Tyana dan tadi mendengar Priambodo mengajak Tyana makan siang. Namun, Wati cepat menguasai diri dan setelah menenangkan diri, kemudian Wati berkata, “Bu Sandra sudah menunggu di lobi.”

    “Wah, Jadwalnya belum jadi.”

    “WA ke saya aja, Mbak. Nanti saya ketik di komputer saya.” Kata Wati sambil melihat Priambodo.

    Tyana secara tak sengaja melihat Wati melihat Priambodo dengan ekspresi tidak berkenan hingga mengejutkan Tyana. Ketika Tyana melangkah keluar ruangan, dia bertanya dalam hati mengapa Wati tampak kurang berkenan mendengar Priambodo mengajaknya makan siang. Apakah Wati ada hati pada Priambodo?

    Tyana lalu berpikir, apakah Priambodo ada hati padanya? Apakah ajakan nonton film diakhir pekan dan makan siang akhir-akhir ini adalah suatu cara pendekatan dari Priambodo padanya?

      Pikiran itu ternyata membuat Tyana menjadi gugup dan dia memutuskan akan selalu menjaga jarak dengan Priambodo sebab ia khawatir Priambodo salah duga pada dirinya. 

    *

    “Nasi uduknya sangat enak.” Kata Priambodo.

    “Baiklah, pesan nasi uduk dan es teh manis.” Sahut Tyana.

    “Harusnya kamu pesan es teh tawar, karena kamu sudah manis.” Kata seorang lelaki dari belakangnya.

    Tyana dan Priambodo terkejut, hingga mereka menoleh. Akan tetapi, setelah melihat siapa yang mengatakan dia manis, Tyana tertawa terbahak bahak. 

    “Hahahahahaha…….. Mas…. Sejak kapan ada di Jakarta? Sama siapa?” Tanya Tyana sambil menutup mulutnya yang sedang terbuka lebar.

    “Lho,  apakah kamu nggak tahu kalau aku kerja dan tinggal di Jakarta. Kalau kamu nggak percaya, boleh tanya pada istriku. Dia sebentar lagi menyusul kesini.” Kata lelaki itu dengan tersenyum.

    “Istri? Apakah mas Pras menikah dengan mbak Titik?”

    “Iya….. Siapa lagi yang mau sama aku selain Titik?”

    “Ah…. Mas Pras ini sejak kuliah selalu merendah. Padahal Mas Pras ini orang paling ganteng di Semarang.” Canda Tyana.

    “Kamu ini sejak SMA selalu suka menghinaku.”

    “Hihihi….. Masa mengatakan Mas Pras ganteng dianggap menghina. Oh iya, Pri. Kenalkan, ini teman kakakku dari Semarang.”

    Prasetio dan Priambodo lalu saling memperkenalkan diri, kemudian Tyana minta Prasetio duduk sebelahnya lalu mereka berbincang tentang kegiatan masing-masing dan saat sedang seru berbicara satu dengan lainnya, tiba-tiba datanglah seorang perempuan manis tetapi agak gemuk mendekati Prasetio.

    “Rupanya kamu di sini.” Tegur perempuan itu.

    “Eh… Kamu masih ingat sama Tya?” Tanya Prasetio.

    “Tya?” Sahut perempuan itu.

    Perempuan itu lalu melihat dengan melotot, dan beberapa saat kemudian tertawa terkekeh.

    “Ini adiknya Andang, ya? Wah, kamu sekarang cantik sekali. Kalau itu siapa? Suaminya? Namanya siapa? Perkenalkan, nama saya Titik Lantini.”

    “Nama saya Priambodo.”

    “Ayo, Mbak Titik. Silahkah duduk sebelah Mas Pras, saya pindah sebelahnya Priambodo. Oh iya….. Ini teman kantor, bukan suami atau pacar.” Kata Tyana

    “Oooo… Kalau gitu, maaf …… Eh Tya, di sini makanan yang paling menyenangkan adalah asinan, rawon, soto betawi, …. “

    Akan tetapi, sebelum Titik selesai mengucapkan kata-katanya, Prasetio tiba-tiba memotong dengan berkata, “Ini ya….. Kalau bicara makanan…. Langsung nggak mau berhenti.”

    “Hihihi…. Abis ini pasti aku dibilang gendut.” Sahut Titik.

    “Hahaha……… Orang dua ini, sejak pacaran jaman kuliah sampai sekarang selalu ribut soal makanan.” Ujar Tyana.

    Suara tawa dan canda ketiga orang itu membuat Priambodo merasa seperti orang asing. Dia hanya bisa ikut tertawa walaupun banyak hal lucu yang dia tidak tahu. Hal itu dikarenakan ketiganya cerita masa-masa saat tinggal di Semarang beberapa tahun lalu.

    Mereka terus bercanda dan bercerita tentang keadaan Semarang pada masa kini hingga tanpa terasa, jam makan siangnya sudah lewat. Karena itulah maka, mereka segera berpisah.

    Tyana mengatakan akan langsung ke kantor pembimbing S3-nya. Jadi, dia tidak akan kembali ke kantor bersama Priambono sedangkan lainnya akan kembali ke kantor masing-masing.

     

     

    Kreator : Hepto santoso

    Bagikan ke

    Comment Closed: Rahasia Butiran Karang Bab 6

    Sorry, comment are closed for this post.

    Popular News

    • Part 15: Warung Kopi Klotok  Sesampainya di tempat tujuan, Rama mencari tempat ternyaman untuk parkir. Bude langsung mengajak Rani dan Rama segera masuk ke warung Kopi Klotok. Rama sudah reservasi tempat terlebih dahulu karena tempat ini selalu banyak pengunjung dan saling berebut tempat yang ternyaman dan posisi view yang pas bagi pengunjung. Bude langsung memesan […]

      Okt 01, 2024
    • Part 16 : Alun – Alun  Kidul Keesokan paginya seperti biasa Bude sudah bangun dan melaksanakan ibadah sholat subuh. Begitupun dengan Rani yang juga melaksanakan sholat subuh. Rani langsung ke dapur setelah menunaikan ibadah sholat subuh. Tidak lama disusul oleh Bude dan langsung mengambil bahan masakan serta mengiris bahan untuk memasak. Rani dan Bude sangat […]

      Okt 16, 2024
    • Part 14: Kopi Klotok Pagi hari yang cerah, secerah hati Rani dan semangat yang tinggi menyambut keseruan hari ini. Ia bersenandung dan tersenyum sambil mengiris bahan untuk membuat nasi goreng. Tante, yang berada di dekat Rani, ikut tersenyum melihat Rani yang bersenandung dengan bahagia. “Rani, kamu ada rasa tidak sama Rama? Awas, ya. Jangan suka […]

      Sep 18, 2024
    • Part 13 : Candi Borobudur Keesokan harinya Rama sibuk mencari handphone yang biasa membangunkannya untuk berolahraga disaat Rama berada di Jogja. Rama tersenyum dan semangat untuk bangun, membersihkan diri dan segera membereskan kamarnya. Tidak lupa Rama juga menggunakan pakaian yang Rapih untuk menemui Rani hari ini. Sementara Rani seperti biasa masih bermalas-malasan di dalam kamarnya […]

      Sep 07, 2024
    • Part 12 : Cemburu Rama langsung memukul Jaka saat Jaka baru saja masuk ke ruang kerjanya Rama. Jaka yang meringis bukannya marah namun malah tersenyum terhadap Rama karena Jaka tahu bahwa Rama lagi cemburu terhadapnya. Rama males menjawab salam dari Jaka namun sebagai orang yang punya adab Rama harus menjawab salam dari Jaka dengan sopan. […]

      Sep 05, 2024

    Latest News

    Buy Pin Up Calendar E-book On-line At Low Prices In India After the installation is complete, you’ll have the flexibility […]

    Jun 21, 2021

    Karya Nurlaili Alumni KMO Alineaku Hampir 10 bulan, Pandemi Covid -19 telah melanda dunia dengan cepat dan secara tiba-tiba. Hal […]

    Des 07, 2021

    Karya Lailatul Muniroh, S.Pd Alumni KMO Alineaku Rania akhirnya menikah juga kamu,,,  begitu kata teman2nya menggoda, Yaa,,,Rania bukan anak.yang cantik […]

    Des 07, 2021

    Karya Marsella. Mangangantung Alumni KMO Alineaku Banyak anak perempuan mengatakan bahwa sosok pria yang menjadi cinta pertama mereka adalah Ayah. […]

    Des 07, 2021

    Karya Any Mewa Alumni KMO Alineaku Bukankah sepasang sejoli memutuskan bersatu dalam ikatan pernikahan demi menciptakan damai bersama? Tetapi bagaimana […]

    Des 07, 2021