Bu Kus mengajak Arsyanendra dan Naryama makan siang bandeng bakar di Gresik pada sebuah warung yang sudah berjualan bandeng bakar dan goreng sejak Bu Kus masih kecil.
Beliau mengatakan sangat suka makan bandeng di warung itu dengan adik laki-lakinya dan ketika Naryama menoleh untuk melihat Bu Kus di bangku belakang, ia melihat Bu Kus meneteskan air mata. Karena itu, Naryama bertanya? “Bu Kus kenapa?”
Bu Kus cepat-cepat mengusap matanya sambil tersenyum getir, kemudian beliau memandang Naryama lalu berkata, “Setiap pergi ke Gresik, saya jadi teringat masa-masa bahagia saat saya dan Rio, adik kembar saya makan bandeng.”
“Bu Kus anak kembar?”
“Iya, adik kembar saya tinggal di Bogor seorang diri.”
“Ibu sedang bernostalgia ya.” Sahut Arsyanendra.
“Iya, Nak. Ibu tiba-tiba rindu pada adik Ibu yang sejak kecil selalu menuruti apapun kemauan Ibu.”
“Ibu ini sudah tua masih mellow…… ” Kata Arsyanendra.
“Apakah Bu Kus ingin bertemu adiknya? Gimana kalau nanti malam Bu Kus telepon lalu mengajaknya bertemu. Siapa tahu dengan telepon, rasa rindunya Bu Kus bisa terobati.” Usul Naryama.
“Dia selalu punya alasan untuk menolak bertemu saya di sini. Dia mau ketemu kalau saya datang ke rumahnya.”
“Ayo ke rumah Om Rio.” Sahut Arsyanendra.
“Sebenarnya Ibu juga ingin mengajak Rya, kalau Rya ada liburan lagi.”
“Bu Kus ingin mengajak saya? Saya mau.” Sahut Naryama.
“Memang ada baiknya kamu kenal Om Rio.”
“Berarti liburan seminggu pada minggu depan, saya nggak perlu lagi pulang ke Jogja.” Kata Naryama dengan berseri-seri.
“Rya perlu tahu kalau adik saya tinggalnya di desa daerah sekitar gunung Salak, bukan di kota Bogor.”
“Saya tahu. Mbak Frisanti sering cerita.”
Bu Kus gembira mendengar Naryama ingin ikut. Dalam benaknya beliau ingin mendekatkan Naryama dengan Arsyanendra karena Bu Kus lebih menyukai Arsyanendra dekat dengan Naryama dari pada dekat dengan Tyana.
Alasan utama mengapa Bu Kus suka bila Naryama dekat dengan Arsyanendra adalah Naryama baik hati, penuh tata krama ketimuran, bersikap lembut serta terbaca menyukai Arsyanendra walaupun tidak diperlihatkan pada orang lain.
Akan tetapi, beliau juga sedih setelah menduga Arsyanendra menyukai Tyana, yang menurut Bu Kus, adalah perempuan dominan, arogan dan terkadang tidak peduli pada orang lain.
Namun, Bu Kus sadar bila tidak boleh berprasangka buruk pada orang sebab beliau bisa merubah karakter seseorang seperti itu menjadi karakter yang lebih baik dengan caranya.
Setibanya di rumah makan bandeng di Gresik, ketiganya memesan bandeng bakar, bandeng goreng dan otak-otak bandeng. Setelah memesan, Bu Kus mengatakan ingin ke kamar kecil.
“Kamu nggak bercanda kan ikut ke rumah adiknya Ibu?”
“Enggak, Mas. Saya memang sejak kecil ingin kesana, tapi nggak pernah ada yang mengajak. Padahal saya sudah mengatakan pada mbak Frisanti mau ikut bila mbak Frisanti pergi kesana.”
“Rasanya Mbak Frisanti jarang kesana, malahan rumah dia yang sering sekali dijadikan sebagai pos.” Sahut Arsyanendra.
“Kalau gitu memang belum ada kesempatan bagi saya.”
Setelah itu, keduanya diam. Beberapa saat kemudian Bu Kus datang dari kamar kecil dan setelah beliau duduk, Arsyanendra berdiri lalu dia pergi ke kamar kecil.
“Rya, apakah kamu suka pada Syanen? Saya melihat kamu sering melirik dia.” Tanya Bu Kus.
Wajah Naryama langsung merah dan bibirnya tertutup rapat hingga beberapa waktu sampai Bu Kus merasa kasihan padanya lalu beliau memembelainya sampai akhirnya dia berani menjawab, “Iya Bu Kus, saya tertarik pada Mas Syanen. Tapi, sayang sepertinya Mas Syanen suka pada Mbak Tyana.”
“Kalau memang berjodoh denganmu, Syanen pasti akan datang lagi. Jadi kamu jangan putus asa ya. Yang penting kamu harus mencoba bicara dengan Hardi. Dia orangnya baik hati dan sudah jatuh cinta padamu sejak kalian di semester satu.”
“Hardi baik, Mardiono juga selalu baik pada saya. Dua-duanya sering memberi sinyal kalau suka pada saya, tapi hati kecil saya masih belum sreg berdekatan dengan mereka.”
“Jadi, baru Syanen yang tidak ditolak oleh hati kecilmu?”
“Iya, Bu. Maafkan saya, karena suka pada Mas Syanen.”
“Ssssttt.” Bisik Bu Kus, setelah Arsyanendra kembali.
“Bu, aku tiba-tiba memikirkan seseorang yang sudah lama tidak ketemu, yaitu Mbak Argyanti. Dia sekarang ada dimana?”
“Dia ikut suaminya, yang sudah pindah praktek disana.”
“Bu, ayo ke Semarang. Ibu pasti suka.”
“Kalau gitu sekalian ke Bogor ya.” Usul Bu Kus.
“Iya……. Kita naik kereta ya, Bu.”
“Iya. Eh…… Tapi berangkatnya hari Jum’at depan ya. Ibu ingin mengajak Rya supaya dia kenal sama adik Ibu.”
“Baiklah, aku setuju.”
Keceriaan terpancar dari ketiga orang yang merencanakan ke Semarang dan Bogor, hingga mereka kembali ke Surabaya.
Naryama gembira diajak Bu Kus ke Bogor, sampai ia terus memikirkan apa yang akan dia lakukan selama di Bogor nanti.
Rasa suka pada Arsyanendra semakin membuatnya sering melamun, sampai beberapa acara penting di kampus diabaikan.
Seringnya Naryama absen pada beberapa acara di kampus, seperti latihan paduan suara, membuat teman aktivis mahasiswa penggerak seni bertanya-tanya. Namun, saat dihubungi, Naryama selalu beralasan dia sedang belajar untuk persiapan ujian akhir.
*
Bu Kus, Arsyanendra dan Rya akan dijemput di stasiun Tawang, Semarang oleh salah satu kenalan Arsyanendra waktu dia sekolah di USA pada siang ini.
Teman Arsyanendra itu juga sudah berjanji akan mengajak jalan-jalan di sekitar Semarang untuk menunjukkan kalau Semarang adalah kota yang banyak memiliki obyek wisata.
Sesuai dengan janjinya untuk menjemput, Subiantoro yaitu kenalan yang janji menjemput melambaikan tangan ketika melihat Arsyanendra pada pukul 11.55 WIB.
“Halo, Bianto.” Sapa Arsyanendra.
“Halo, Syan. Halo semuanya.” Kata Subiantoro.
“Halo, kenalkan saya ibunya Syanen.” Kata Bu Kus.
“Saya Naryama Puturini. Nama panggilan saya Rya.” Ujar Naryama sambil nempel pada Arsyanendra dengan maksud ingin menunjukkan kedekatannya dengan Arsyanendra pada Subiantoro.
Setelah saling memperkenalkan diri, keempatnya berjalan ke mobil Subiantoro, kemudian ia bertanya, “Mau makan apa?”
“Apa aja boleh, yang penting bisa membuatku kenyang.”
“Hahaha…… Kamu ini nggak berubah ya. Baiklah, aku akan mengajakmu ke restoran ikan bakar sekitar daerah sini. Aku yakin kamu pasti suka.”
Selama makan siang, mereka membuat beberapa rencana jalan-jalan di Semarang diantaranya akan ke Ungaran dan menginap di rumah kerabatnya Subiantoro di Salatiga.
Bu Kus yang sudah sejak lama selalu tinggal di kaki Gunung Kelud, tentu saja senang pada ajakan tersebut. Karena itu, beliau selalu tersenyum sendiri.
“Ibu pasti senang diajak ke Salatiga.” Kata Arsyanendra.
“Ibu senang dan pingin mendaki Merbabu.”
“Waw…. Tante Kus, mau mendaki?” Tanya Subiantoro.
“Kata Tante Fira, Ayah dan Ibuku waktu masih muda senang berpetualang dan mendaki gunung.” Kata Arsyanendra.
“Tante suka mendaki gunung? Berarti sama dengan Tante Fira. Dua minggu lalu waktu saya bertemu tante Fira di USA. Tante Fira cerita sama kami kalau beliau suka berpetualang dan mendaki gunung.” Ujar Subiantoro.
“Waktu Ibu masih seumur kalian, hampir setiap liburan diisi dengan mendaki gunung dan bertualang. Kalau akhir pekan, kami juga sering berkemah. Eh, Tante Fira apa kabarnya? Kamu masih sering ketemu Tante Fira?” Tanya Bu Kus.
“Hahaha….. Ibu rasanya perlu tahu kalau Bianto ini calon mantu kesayangan Tante Fira….. Eh tapi, apakah sekarang ibu masih kuat mendaki? Ibu sudah tua lho… ” Ujar Arsyanendra.
“Mudah-mudahan Ibu masih kuat. Bianto, kamu beruntung ya dapat anaknya tante Fira…. dia cantik….. ” Kata Bu Kus.
“Iya lho, kamu beruntung dapat Angel. Bu, kalau Ibu mau mendaki, aku ikut.” Kata Arsyanendra.
“Ayo, supaya Ibu ada temannya.”
“Maaf Bu Kus, sejak lulus SMA, saya sudah nggak pernah mendaki. Tapi saya ingin ikut.” Potong Naryama.
“Kalau Subianto gimana? Mau ikut juga?”
“Saya nggak pernah mendaki gunung.” Jawabnya.
“Rya, apakah benar-benar ingin ikut?”
“Kalau Bu Kus mengijinkan, saya ikut.” Jawab Naryama.
“Nanti saya pikir dulu.” Ujar Bu Kus sambil melihat ke atas.
Acara selanjutnya, Subiantoro mengajak jalan-jalan ke Ungaran lalu terus ke arah Salatiga, sebab Bu Kus ingin melihat candi Klero di daerah sana.
Ajakan Bu Kus itu membuat Naryama dan Subiantoro heran, kenapa Bu Kus tahu candi Klero, sedangkan keduanya yang berasal dari daerah sana, tidak terlalu memperhatikan candi Klero.
“Kalian belum pernah ke candi Klero?” Tanya Bu Kus.
“Saya belum pernah bu, tapi sering melihat papan penunjuk jalannya bila saya jalan-jalan dari Jogja lalu ke Semarang terus ke Solo.” Jawab Naryama.
“Saya nggak pernah kesana.” Kata Subiantoro.
“Harusnya kalian tidak boleh lupa peninggalan sejarah.”
Setelah sampai di candi Klero, Bu Kus mengatakan ingin ditinggal seorang diri. Akan tetapi Arsyanendra ingin bersamanya hingga akhirnya Naryama dan Subianto meninggalkan Bu Kus dan akan menjemput Bu Kus dan Arsyanendra pada keesokan harinya.
Keinginan Bu Kus itu, membuat Naryama kecewa, namun dia tidak berani membantahnya. Karena itu, Naryama mencari cara agar tidak menganggur saat meninggalkan Bu Kus di candi Klero.
Hal lain yang membuatnya kecewa adalah Naryama merasa tidak nyaman atau rikuh dan merasa kurang berkenan bila dia harus berduaan ke Semarang bersama Subiantoro.
Rasa kurang berkenan itu karena dia baru kenal Subiantoro dan dia menganggap Subiantoro sombong serta perlente. Karena itu, Naryama mempertimbangkan untuk pulang ke Jogja atau ke rumah kakaknya yang tinggal di Salatiga, dan berjanji akan kembali ke candi Klero besok siang menjemput Bu Kus dan Arsyanendra.
Naryama berjalan mencari tumpangan kendaraan umum setelah dia minta turun di dekat terminal. Dalam hatinya perasaan senang dan sedih bercampur menjadi satu. Tapi yang membuatnya bersemangat, yaitu merasa selalu dekat dengan Arsyanendra.
Sepeninggalan Subianto dan Naryama, Bu Kus mengajak Arsyanendra mengitari Candi Klero, lalu beliau duduk di bawah sebuah pohon sambil memandang candi Klero hingga Arsyanendra heran tentang apa yang sebenarnya dipikirkan oleh ibunya.
Namun Bu Kus hanya menoleh sesaat ketika beliau melihat Arsyanendra bingung. Bu Kus tidak mau bicara tentang pikirannya, yang dianggap aneh pada Arsyanendra sebab beliau merasa khawatir Arsyanendra tidak bisa menerimanya.
Setelah duduk diam selama lebih kurang dua jam, akhirnya Bu Kus berdiri lalu mengajak Arsyanendra ke jalan besar Semarang-Solo, untuk mencari kendaraan ke pos pendaki gunung bagi orang yang hendak naik ke gunung Merbabu dan setelah tiba di pos, Bu Kus minta agar Arsyanendra siap-siap untuk mendaki.
Arsyanendra terkejut, hingga ia cemberut. Akan tetapi, Bu Kus tak memperdulikan rasa kecewanya Arsyanendra. Beliau terus konsentrasi pada telapak tangannya yang sedang memegang butiran karang, yang diminta dari Arsyanendra,
Tingkah aneh itu membuat Arsyanendra makin kecewa karena merasa tidak digubris. Karena itulah maka Arsyanendra bertanya, “Ibu kenapa melihat butiran karang terus?”
Namun, Bu Kus hanya tersenyum sambil memandang butiran karang di telapak tangannya dan beberapa detik setelah Bu Kus tersenyum, tiba-tiba butiran karang itu memancarkan cahaya terang.
Arsyanendra terbelalak karena terkejut. “Kok bercahaya?”
“Butiran karang ini mengandung fosfor. Ayo keluar. Ibu merasa disini terlalu banyak pendaki lain yang akan bermalam.”
Arsyanendra penasaran pada perkataan ibunya, hingga dia melihat dari dekat lalu mengambil beberapa biji butiran karang kemudian dia memandangnya lebih cermat, sambil terus berjalan.
Beberapa saat kemudian Arsyanendra terkejut dan berseru.
“Hah, kenapa ada gelembung-gelembung udara keluar dari butiran karang ini?!”
“Itu bukan gelembung udara, tapi gelembung bayangan.”
“Gelembung bayangan? Maksud Ibu apa?”
“Gelembung bayangan itu untuk menyimpan gambar atau peristiwa sejak butiran karang ini ada.”
“Bu, Aku semakin bingung.”
“Ibu mengerti bila kamu semakin bingung.”
“Ibu ngerti? Tapi kenapa selalu membuat aku bingung?”
“Sudahlah…… Sebaiknya kamu ikut aja apa kata Ibu.” Ujar Bu Kus, kemudian berjalan ke arah puncak gunung Merbabu hingga mau tidak mau Arsyanendra terpaksa mengikuti ibunya.
“Bu, mau kemana?” Tegur sekumpulan anak muda yang akan mendaki.
“Kami akan naik ke puncak.” Jawab Bu Kus.
“Apa tidak sebaiknya besok pagi? Kita bisa jalan ramai-ramai…. Tapi, kenapa jalannya kesana? Jalan itu bukan jalan ke arah puncak gunung, Bu.” Ucap para anak muda tersebut.
“Kami memang sengaja lewat sini.” Jawab Bu Kus.
“Apakah Ibu pernah mendaki ke gunung Merbabu?”
“Waktu SMA, Ibu beberapa kali kemari dengan saudara sepupu Ibu yang sangat baik hati.”
“Tapi, kenapa orang-orang itu mengatakan ini bukan jalan ke puncak Merbabu.” Sahut Arsyanendra.
“Ibu memang harus melewati jalan ini sekarang.”
“Ah….. Ibu ini selalu begitu. Selalu maunya sendiri.”
“Percayalah pada Ibu, karena Ibu tidak berbohong padamu.”
Mendengar ucapan seperti itu, akhirnya Arsyanendra diam dan terus berjalan mengikuti ibunya yang jalannya lambat sambil menoleh kanan dan kiri.
Arsyanendra heran kenapa gerak gerik ibunya terlihat aneh. Sebenarnya sudah sering dia melihat ibunya bertingkah aneh, tetapi kali ini dia melihat ibunya lebih aneh lagi. Karena ibunya mengajak naik gunung pada malam hari dan ibunya juga sering tersenyum sendiri seolah olah bicara dengan orang, padahal Arsyanendra tak melihat orang lain, sampai dia berpikir kalau ibunya perlu diperiksa dokter jiwa.
Keanehan kali ini membuatnya tidak tahan pada tingkah laku ibunya yang sering membuatnya bingung dan bertanya-tanya tentang kenapa Bu Kus selalu mengumbar keanehan bila berdekatan dengannya? Apakah ibunya normal atau sering berhalusinasi seperti orang sakit pikiran. Akan tetapi, pertanyaan dalam hati Arsyanendra kali ini membuat Bu Kus berhenti.
“Nak, Ibu bukan orang gila atau sedang berhalusinasi seperti dugaan yang sering kamu pikirkan.”
“Bu… Kenapa Ibu sering membuatku bingung. Dan, kenapa Ibu sering sekali membahas apa saja yang sedang kupikirkan.”
“Kamu jangan terlalu bingung pada tingkah Ibu.”
“Jadi, aku harus gimana menyikapi tingkah Ibu yang aneh?”
“Bersikaplah biasa….. Ibu sayang padamu…… “
“Maaf ya, Bu….. Aku juga sayang sekali pada Ibu….. Jadi aku tidak bermaksud membuat Ibu sakit hati.”
“Sudahlah… Ibu tidak sakit hati. Kamu tetap si kecilnya Ibu yang Ibu sayang.” Kata Bu Kus, kemudian tersenyum lalu mengajak jalan lagi.
Kali ini, Arsyanendra sangat terkejut saat melihat keadaan sekitar yang tiba-tiba menjadi hamparan rumput yang sangat luas. Lalu ketika menoleh ke arah selatan, Arsyanendra tiba-tiba bisa melihat puncak gunung Merapi dan yang membuatnya terkejut, saat Arsyanendra menyadari kalau sudah di puncak Merbabu padahal ia baru berjalan sekitar 10 menit. Pikirannya cepat bekerja karena itu, ia bertanya, “Bu, apakah ini puncak gunung Merbabu?”
“Iya, ini puncak Merbabu.”
“Kenapa begitu cepat kita sampai di puncak?”
“Kita kepuncak dengan cara memperpendek jarak.”
“Memperpendek jarak? Gimana caranya?”
“Ibu membawamu melewati dimensi ruang.”
“Melewati dimensi ruang? Aku semakin nggak mengerti maksudnya Ibu. Bu……. Sebaiknya Ibu jangan mengajakku masuk ke dunia aneh seperti ini.”
Bu Kus diam dan memandang ke arah selatan. Karena itu, Arsyanendra ikut melihat ke selatan. Ia melihat adanya semburan api dari puncak gunung. Hingga dia kembali terkejut lalu berkata, “Bu, gunung Merapi meletus lagi.”
“Meletus? Ibu tidak melihat ada gunung meletus.”
Arsyanendra heran, tetapi dia tidak bertanya lagi sebab ibunya sering bicaranya bertolak belakang dengannya.
Angin dingin bertiup spoi-sepoi menyapu wajah mereka. Namun dinginnya hawa puncak Merbabu tidak membuat Bu Kus merasa kedinginan. Beda halnya dengan Arsyanendra yang terus berusaha menahan udara dingin dengan berjalan kian kemari lalu menggerakkan badannya.
“Kamu sedang apa?” Tanya Bu Kus.
“Gerak badan supaya nggak kedinginan, Bu.”
“Coba dengar, Ibu akan memberi tahu cara agar badanmu hangat.” Kata Bu Kus, lalu duduk sila kemudian mengatur nafas.
Arsyanendra lalu mengikuti cara ibunya menarik nafas dari hidung lalu membuang nafas dari mulut sampai beberapa kali dan akhirnya dia merasa tubuhnya jadi lebih hangat.
“Wah, Ibu hebat. Aku sudah nggak kedinginan lagi.”
Bu Kus menoleh sejenak lalu melanjutkan menarik nafas dan menghembuskan secara teratur selama lebih kurang 20 menit. Setelah itu, Bu Kus berdiri. Kemudian beliau mengeluarkan butiran karang lalu melemparnya ke atas.
Setelah berada di atas kepala mereka, butiran karang itu mengeluarkan cahaya. Namun Arsyanendra diam karena dia sudah tahu kalau butiran karang itu mengandung pospor.
Cahaya butiran karang kali ini lebih menarik Arsyanendra untuk bertanya tentang mengapa butiran karang itu berpospor. Akan tetapi, Bu Kus tidak menjawab dan beliau hanya fokus pada salah satu butiran lalu melemparkan ke atas lagi.
Hal aneh terjadi lagi ketika sebutir karang itu berada diatas kepala mereka dan bersebelahan dengan butiran karang yang tadi dilempar oleh Bu Kus. Butiran karang itu tiba-tiba berpijar lagi bagai lampu yang menerangi alam sekitar mereka sampai membuat Arsyanendra bertambah heran.
Diambilnyalah pundi-pundi itu dari ibunya, kemudian dia mengambil satu butir untuk dilemparkan ke atas seperti ibunya. Tetapi, butiran itu tidak bercahaya seperti butiran tadi.
Ia tentu saja penasaran pada kejadian tersebut. Karena itu, dia mencoba lagi mengambil sebutir kemudian melemparkannya ke atas, akan tetapi butiran karang tersebut tetap tidak menyala seperti butiran yang dilempar oleh ibunya.
“Jangan dilempar ke atas lagi, sebab tidak akan menyala.”
“Kenapa tadi bisa menyala?”
“Itu tergantung pada si pelempar.”
“Maksud Ibu?”
“Kalau si pelempar mampu mengendalikan diri, mengenal dirinya, dan berdamai dengan diri sendiri, maka butiran karang itu akan mengikuti apa yang jadi keinginan si pelempar.”
“Jadi, Ibu sudah bisa semua itu?”
“Iya, sejak umur lima tahun Ibu sudah bisa.”
“Bu, aku jadi ingin belajar mengendalikan diri.”
“Apakah kamu bersungguh-sungguh?”
“Benar Bu, aku bersungguh-sungguh.”
“Jadi, kamu sudah mau berlatih dengan Ibu?”
“Iya, aku mau….. “
“Baiklah. Setelah turun dari sini, Ibu akan memberitahukan langkah-langkah yang harus kamu lewati agar bisa mengendalikan diri dan mengenal dirimu sendiri.”
Arsyanendra mengangguk tanda setuju untuk belajar cara mengendalikan diri agar mampu berdamai dengan dirinya dan bisa lebih mengenal dirinya sendiri. Akan tetapi, saat berpikir tentang itu, wajah Tyana nampak di depannya hingga dia merasa terganggu.
Untuk menghilangkan gangguan dia mengedipkan matanya beberapa kali. Namun ketika wajah Tyana hilang, munculah sesosok wajah lain yaitu Naryama yang sedang tersenyum manis padanya sampai Arsyanendra tidak bisa konsentrasi.
Arsyanendra kembali mengedipkan mata agar wajahnya Naryama hilang. Tapi sayangnya, wajah Naryama tidak juga hilang sampai Arsyanendra menyerah lalu berkata, “Bu, mengapa aku selalu terbayang wajahnya Rya?”
Bu Kus menoleh lalu berkata, “Artinya hati dan pikiranmu sedang terisi oleh Rya. Nanti setelah turun dari Gunung Merbabu, Ibu akan memberi tahu cara menghindari gangguan seperti itu.”
“Bu…… Aku nggak suka dengan cara nggak masuk akal.”
“Percayalah pada Ibu. Ibu tidak akan menyesatkanmu. Kalau gitu, sekarang ikuti Ibu.”
Arsyanendra diam lalu dia pindah duduk sila di belakang Ibunya, kemudian fokus pada ujung rambut Ibunya yang panjang hingga hampir mengenai tanah.
Arsyanendra mengikuti gerakan tangan dan badan Bu Kus tanpa bertanya lagi sampai beberapa waktu. Setelah menjelang pagi, badan Arsyanedra terasa ringan. Dia tidak lagi merasa kedinginan walaupun angin malam di puncak gunung Merbabu pada malam ini, bertiup cukup kencang.
Kreator : Hepto santoso
Part 15: Warung Kopi Klotok Sesampainya di tempat tujuan, Rama mencari tempat ternyaman untuk parkir. Bude langsung mengajak Rani dan Rama segera masuk ke warung Kopi Klotok. Rama sudah reservasi tempat terlebih dahulu karena tempat ini selalu banyak pengunjung dan saling berebut tempat yang ternyaman dan posisi view yang pas bagi pengunjung. Bude langsung memesan […]
Part 16 : Alun – Alun Kidul Keesokan paginya seperti biasa Bude sudah bangun dan melaksanakan ibadah sholat subuh. Begitupun dengan Rani yang juga melaksanakan sholat subuh. Rani langsung ke dapur setelah menunaikan ibadah sholat subuh. Tidak lama disusul oleh Bude dan langsung mengambil bahan masakan serta mengiris bahan untuk memasak. Rani dan Bude sangat […]
Part 14: Kopi Klotok Pagi hari yang cerah, secerah hati Rani dan semangat yang tinggi menyambut keseruan hari ini. Ia bersenandung dan tersenyum sambil mengiris bahan untuk membuat nasi goreng. Tante, yang berada di dekat Rani, ikut tersenyum melihat Rani yang bersenandung dengan bahagia. “Rani, kamu ada rasa tidak sama Rama? Awas, ya. Jangan suka […]
Part 13 : Candi Borobudur Keesokan harinya Rama sibuk mencari handphone yang biasa membangunkannya untuk berolahraga disaat Rama berada di Jogja. Rama tersenyum dan semangat untuk bangun, membersihkan diri dan segera membereskan kamarnya. Tidak lupa Rama juga menggunakan pakaian yang Rapih untuk menemui Rani hari ini. Sementara Rani seperti biasa masih bermalas-malasan di dalam kamarnya […]
Part 12 : Cemburu Rama langsung memukul Jaka saat Jaka baru saja masuk ke ruang kerjanya Rama. Jaka yang meringis bukannya marah namun malah tersenyum terhadap Rama karena Jaka tahu bahwa Rama lagi cemburu terhadapnya. Rama males menjawab salam dari Jaka namun sebagai orang yang punya adab Rama harus menjawab salam dari Jaka dengan sopan. […]
Buy Pin Up Calendar E-book On-line At Low Prices In India After the installation is complete, you’ll have the flexibility […]
Karya Nurlaili Alumni KMO Alineaku Hampir 10 bulan, Pandemi Covid -19 telah melanda dunia dengan cepat dan secara tiba-tiba. Hal […]
Karya Lailatul Muniroh, S.Pd Alumni KMO Alineaku Rania akhirnya menikah juga kamu,,, begitu kata teman2nya menggoda, Yaa,,,Rania bukan anak.yang cantik […]
Karya Marsella. Mangangantung Alumni KMO Alineaku Banyak anak perempuan mengatakan bahwa sosok pria yang menjadi cinta pertama mereka adalah Ayah. […]
Karya Any Mewa Alumni KMO Alineaku Bukankah sepasang sejoli memutuskan bersatu dalam ikatan pernikahan demi menciptakan damai bersama? Tetapi bagaimana […]
Comment Closed: Rahasia Butiran Karang Bab 8
Sorry, comment are closed for this post.