
La illaaha illAllah, Muhammad Rasulullah. Aku bersaksi tidak ada tuhan yang disembah selain Allah dan Muhammad adalah utusan Allah. Kalimat ini bukan sekedar kata-kata. Ketika selesai diucapkan, Allah membuatku kembali suci tanpa dosa. Lisan mengucap, telinga mendengar alunan hikmah kalimat syahadat memenuhi kalbu hadir serupa air sejuk yang menyegarkan seluruh pori-pori tubuh dari ubun-ubun hingga ke telapak kaki. Membersihkan seluruh kerak dari dosa-dosa masa lalu. Kesadaran bahwa aku adalah pendosa lalu Dia Yang Maha Agung menerimaku kembali dalam keadaan bersih membuat butiran air mata tak dapat ditahan deras membasahi wajah disambut pelukan saudara seiman.
Komitmen ini membawa pada janji yang tak ingin aku ingkari. Serangkaian ritual telah menunggu, dengan penuh gairah akan aku jalani. Inilah satu-satunya penyerahan diri, jalan yang akan membawa semakin dekat dengan Sang Pencipta. Aku tak lagi tersesat. Jalan untuk pulang sudah tampak jelas terbentang tanpa keraguan. Walau sejujurnya hari-hari pertama sebagai seorang Muslimah tak semudah ketika mengucap kalimat syahadat yang aku lantunkan tahun 2016 di Asociacion Islamica Magdalena, Lima Peru.
Rangkaian ibadah dari kebiasaan baru ini tak serta merta hadir tanpa hambatan. Kadang aku tersenyum sendiri. Inilah perubahan paling radikal yang pertama kali aku lakukan dalam hidup. Dipaksa harus berubah 180 derajat dari diriku yang dulu. Kebiasaan untuk bangun hanya satu jam sebelum berangkat bekerja telah berubah. Shalat di waktu fajar dengan susah payah wajib dikerjakan. Bayangkan! Aku dengan suka rela harus memasang alarm sebanyak tiga kali. Alarm pertama akan berbunyi lima belas menit sebelum waktu shalat, alarm kedua berbunyi tepat di saat waktu subuh, dan alarm ketiga berbunyi lima belas menit setelahnya.
Tak ada azan berkumandang yang akan membangunkan tidurku selain alunan dari aplikasi Islamic Finder. Tentu saja trik ini tidak selalu berjalan mulus dan dapat sukses membangunkan setiap hari. Beberapa kali aku shalat subuh ketika matahari sudah terang benderang. Terpaksa aku shalat sambil membiarkan gordijn kamar tertutup rapat agar suasana di dalam kamar masih gelap. Shalat dzuhur dan maghrib kadang secara bergantian tidak dikerjakan, tergantung shift waktu bekerja. Jika shift pagi, waktu zuhur pasti terlewat, sebaliknya jika masuk sore maghrib kerap tertinggal. Di saat masih berjuang keras membangun kebiasaan menjadi seorang Muslimah yang baik, notifikasi dari whatsapp group komunitas mengumumkan dimulainya bulan Ramadhan.
Jujur secara mental, aku belum siap menghadapi Ramadhan 2016 ini. Betul-betul tidak siap secara fisik dan mental. Tidak menyempatkan diri untuk browsing mencari tahu apa esensi berpuasa, keutamaan atau fadhilah bagi yang menjalankan serta bagaimana pengaruhnya pada tubuh. Sekilas kupikir tentu pada akhir bulan nanti akan menjadi lebih langsing karena rasanya berpuasa sama dengan diet. Ternyata aku salah besar.
Hari-hari pertama terasa begitu berat. Sepanjang hari aku hanya memikirkan makanan saja. Secara emosi aku tidak siap dan tubuh ini selalu kelaparan. Aku mulai merasa gagal, terutama ketika dalam waktu sepuluh hari pertama berpuasa, berat badanku justru bertambah. Akibatnya semakin hari merasa tidak fit, kerap letih juga pusing, terpuruk dan sedih. Aku merasa depresi. Tak termotivasi untuk melanjutkan berpuasa pada hari-hari sisa Ramadan. Terlebih lagi ketika pada salah satu harinya bertepatan dengan ulang tahun ke-15 adik bungsuku.
Dalam tradisi Latin, quinceanera adalah momen penting yang menandai peralihan masa kanak-kanak menjadi seorang gadis remaja. Kami sekeluarga berkumpul, mengenakan pakaian yang indah. Adikku berdandan seperti Barbie dengan gaun ungu muda, rambutnya terurai rapi dengan hiasan mahkota kecil seperti seorang puteri. Ibuku menyediakan makanan yang lezat kesukaan kami semua namun aku tak bisa memakannya karena masih berpuasa. Selama ini keluarga tak pernah memprotes keputusanku menjadi seorang muslim, tapi sore itu aku sedih melihat ayah menatapku kecewa. Ibu tak henti membujuk agar mencicipi masakannya. Mataku tak bisa lepas dari hidangan di meja: flan, alfajores, empanada, pan con pollo, causa, picarones, teh, kopi, limonada, hierba luisa hingga Inca Cola. Adikku pun tak bisa menahan kata-kata, “Que pasa contigo? Buat apa hadir di sini kalau tidak mau makan?”
Saat matahari terbenam menjadi momen paling berharga bagiku pada hari itu. Ketika seteguk limonada membasahi kerongkongan, aku mulai menata emosi untuk memperbaiki yang keliru. Tiba-tiba aku merasa ingin menunjukan pada keluarga, bahwa apa yang aku lakukan tidak aneh. Jika mau aku bisa makan, tapi aku tidak melakukannya. Bisa minum, tapi aku bisa bertahan untuk menundanya. Bukankah dua hal kecil ini adalah bentuk pengendalian diri?
Semua aku lakukan karena menjalankan perintah Tuhanku. Tiba-tiba saja muncul semacam kekuatan dan motivasi yang akhir-akhir ini telah hilang entah kemana. Aku tidak boleh kelihatan lemah dan menderita dengan pilihan ini terutama di depan keluarga. Bagaimana dapat membawa pesan Islam yang indah, jika aku tak bisa merasakan keindahannya. Sepuluh hari berlalu, caraku menjalankan ibadah ini keliru. Masih belum terlambat. Ritme Ramadan yang kacau balau harus segera aku atur kembali.
Perasaan galau yang muncul kemarin, bukan karena ibadah puasa itu tetapi karena kesalahanku makan sepuas-puasnya pada saat berbuka puasa. Aku tidak mengkonsumsi asupan sehat. Makanan berlemak, tinggi karbohidrat, dan pencuci mulut yang manis menjadi teman penghiburku ketika berbuka puasa seorang diri. Tidak melihat ibadah ini sebagai mekanisme pendisiplin diri namun lebih kepada sekedar menahan lapar dan haus yang harus dipuaskan saat berbuka. Padahal justru aku harus meresapi rasa haus dan lapar itu agar memiliki empati terhadap mereka yang kurang beruntung.
Aku mulai mengatur pikiran, menetapkan niat agar secara fisik dan mental siap menjalani sisa puasa Ramadhan yang tinggal sekitar dua puluh hari. Ramadan bukan melulu tentang makanan, tetapi bagaimana kita melakukan refleksi diri, melakukan kontrol terhadap jiwa yang mungkin sudah berada di luar jalur pada bulan-bulan di luar Ramadhan. Aku harus membuang pikiran kotor, menjauhi kebiasaan buruk, dan meninggalkan perbuatan yang tidak bermanfaat. Jika selama sebelas bulan, fisik selalu mendapat pasokan makan, untuk satu bulan ini jiwa perlu mendapat hak-nya memperoleh asupan energi spiritual.
Mulailah aku mencari podcast dan dakwah tentang puasa atau hal lain yang muncul menjadi pertanyaan, berharap agar kekosongan ilmu tidak berlarut-larut. Akhirnya aku memutuskan untuk kembali mendatangi komunitas Islam tempat dulu bersyahadat di Mezquita Magdalena. Terus terang aku jarang kembali ke sana karena merasa belum cukup merepresentasikan diri sebagai seorang Muslimah. Aku belum berhijab.
Sore itu setelah mengalahkan ego yang bertahta di kepala. Aku ambil satu-satunya pashmina krem dan segera menyiapkan diri untuk berangkat ke mezquita. Empat jam waktuku habis di sana untuk berbuka puasa, shalat maghrib, isya, dan tarawih bersama. Ada satu hal yang didapat selama menghabiskan waktu malam itu. Aku merasa diterima dengan segala keterbatasan ini. Komunitas tak melihat para mualaf sebagai orang asing. Ada perasaan aman bersama mereka, sepertinya aku tak mau pulang. Ketakutan akan diremehkan yang selama ini menghantui sungguh tak beralasan.
Pada malam itu juga aku memutuskan untuk berhijab. Hari selanjutnya jika tak bentrok dengan jam kerja aku sudah menuju lokasi mezquita di Jiron Tacna pada pukul 5 sore untuk berkumpul dengan saudaraku seiman. Kami saling bertukar pengalaman dan tentunya mendapati banyak sekali hal baru yang sebelumnya tidak aku ketahui tentang Islam. Ramadhan bagi mereka yang memiliki rezeki berlebih adalah saat yang tepat untuk saling berbagi.
Masjid ini memiliki tradisi mengundang kedutaan besar dari negara Islam atau negara mayoritas berpenduduk muslim untuk menyediakan menu berbuka puasa bagi jamaahnya. Selama Ramadan aku sempat mencicipi menu dari Indonesia, Qatar, Maroko, UAE, Mesir dan Saudi Arabia. Bahkan pada satu kesempatan, istri seorang diplomat yang telah berakhir masa tugasnya, membagikan koleksi hijabnya kepada kami para mualaf. Alhamdulillah.
Setelah banyak bergaul dengan sesama Muslim, ibadah di waktu fajar akhirnya lebih mudah aku jalani ketika belajar kalimat istighfar: astaghfirullah aku memohon ampun kepada Allah. Sebelum menutup mata, dengan tulus kalimat singkat ini aku ucapkan dari lubuk hati yang paling dalam, lalu aku memohon agar Allah melepaskan nyawaku yang digenggamNya selama tidur pada dua pertiga malam hingga aku dapat bangun sahur dan melakukan ibadah lainnya. Langkah kecil ini ternyata sangat membantu membuatku cepat terjaga di waktu-waktu krusial itu.
Ada kekuatan lebih untuk terbangun meski kedua mata masih saling melekat satu sama lain. Walau tak bisa memasak karena khawatir akan menimbulkan kegaduhan atau menyebabkan aroma keras di dapur sehingga diprotes tetangga sebelah, aku berjanji akan menyiapkan makanan yang sehat dan bergizi. Aku yakin tak satu pun tetangga paham serba-serbi Ramadan dan pernak-pernik ritual yang harus dilakukan saat menjalaninya. Cukuplah aku menyiapkan roti dengan selai, oatmeal dan berries yang sudah aku siapkan sehabis tarawih dan tentu saja tidak lupa kurma, secangkir susu, segelas jus, dan sebotol air putih. Aku harap semua amunisi ini dapat membuatku bertahan tanpa makan dan minum selama dua belas jam ke depan dengan hati bahagia dan pikiran positif.
Sehabis sahur, aku paksakan menunggu subuh sambil menyelesaikan bacaan Al Quran. Tentu saja aku baru bisa membaca terjemahannya. Betapa aku merasa tertinggal dengan saudara-sadara mualaf lain yang telah berulangkali mengkhatamkan bacaan Al Quran dalam Bahasa Arab. Bahkan menghafalnya! Aku ingat beberapa bulan lalu ketika pertama kali berhasil khatam, sangat kuat tertangkap kesan betapa Allah sangat penyayang. Dia-lah kebaikan yang sesungguhnya. Rasa haru akan kasih sayangNya, meremukan hati dan membuat menangis sepanjang malam hingga membawaku sampai pada titik balik dalam hidup: mengucap dua kalimat syahadat.
Kini kisah-kisah dalam Al Quran sangat menarik minat dan mampu membuatku terjaga hingga tiba waktu pergi bekerja. Satu lagi yang mengagumkan Al Quran tidak berisi kisah bisu, ayat-ayat yang sama seolah menyampaikan berbagai macam hikmah dalam setiap kesempatan berbeda aku membacanya. Satu ayat dapat memberikan hikmah yang berbeda jika dibaca berulang-ulang.
Jika shift-ku bekerja dimulai sore hari, biasanya aku kembali tidur sehabis subuh. Tapi aneh kepala selalu terasa pening jika terbangun pada pukul 11-12. Belakangan baru aku belajar bahwa sebaiknya tidak usah tidur lagi sehabis subuh. Bertebaranlah mencari rizki Allah. Juga waktu sehabis ashar tidak dianjurkan digunakan untuk tidur. Sebaiknya tidurlah di pertengahan siang atau biasa disebut tidur qailulah. Dan ketika tips yang diberikan Rasulullah ini dikerjakan, ternyata aku merasa lebih fit dan segar walau harus bekerja di sore hari hingga pukul 10 malam tanpa tidur dari subuh hingga pukul sebelas di pagi hari.
Pada hari terakhir Ramadhan aku memutuskan untuk berjalan di sekitar apartemen. Dua setengah bulan tinggal di distrik San Isidro, tak pernah sekalipun mengambil waktu untuk memperhatikan lingkungan sekitar apartemen. Selama ini aku hanya menganggap distrik ini tidak lebih dari sekedar tempat untuk kembali pulang dan beristirahat dari manapun aku pergi. Pagi itu aku memutuskan untuk mengenakan jaket dan sepatu olah raga. Ketika pintu lobi kaca terbuka, terpaan sejuk angin musim semi seperti memberi salam kepadaku membawa kabar gembira. Aku berjalan mengikuti kemana kaki melangkah.
Ahad pagi biasanya di Parque Mariscal Ramon Castilla, di distrik tetangga Lince mengadakan bazar yang diikuti oleh pebisnis lokal. Ketika berjalan di sekitar tenda makanan, aku mendengar suara dengan antusias mengucapkan salam. Ketika aku menoleh ke arah itu, sekelompok gadis berhijab sedang mempersiapkan dagangan mereka. Aku balas salam dan senyum antusias mereka sambil menghampiri. Ternyata mereka adalah mahasiswa Turki yang menjual makanan khas seperti baklava, kunefe, dan lokum. Aku beli beberapa dagangan mereka dan berjanji untuk bertemu besok pagi di mezquita untuk shalat ied.
Bahagia rasanya, hijab membuatku dikenali. Kini ada perasaan bangga ketika mengenakannya. Bagiku ini adalah cara bagaimana Allah yang aku ketahui melalui bacaan Al Quran bersifat penyayang ternyata secara personal juga menyayangiku. Dia menjagaku melalui perintahnya kepada seluruh Muslimah untuk menutup aurat.
Delapan tahun lalu ketika mengucapkan syahadat, aku tak mengenal seorang pun yang beragama Islam. Saat ini aku berada di shaf pertama shalat Idul Fitri, di sekelilingku mungkin ada sekitar dua ratus Muslimah. Hari ini aku memiliki 15.000 saudara seiman di negaraku dan 2 milyar di seluruh dunia. Betapa aku merasa kecil sebagai seorang individu yang terberkati di tengah alam raya ini.
Biodata Narasi

Dini Masitah ibu dua anak yang sangat menikmati karya sastra. Pendidikan sarjana diselesaikan di Fakultas Sastra Jurusan Sastra Inggris Universitas Nasional, Jakarta dan master di Fakultas Ilmu Budaya, Program Studi Inggris di Universitas Indonesia. Pernah mengajar di LBPP LIA dan UIN Jakarta Jurusan Bahasa dan Sastra Inggris.
Kreator : Dini Masitah
Part 15: Warung Kopi Klotok Sesampainya di tempat tujuan, Rama mencari tempat ternyaman untuk parkir. Bude langsung mengajak Rani dan Rama segera masuk ke warung Kopi Klotok. Rama sudah reservasi tempat terlebih dahulu karena tempat ini selalu banyak pengunjung dan saling berebut tempat yang ternyaman dan posisi view yang pas bagi pengunjung. Bude langsung memesan […]
Part 16 : Alun – Alun Kidul Keesokan paginya seperti biasa Bude sudah bangun dan melaksanakan ibadah sholat subuh. Begitupun dengan Rani yang juga melaksanakan sholat subuh. Rani langsung ke dapur setelah menunaikan ibadah sholat subuh. Tidak lama disusul oleh Bude dan langsung mengambil bahan masakan serta mengiris bahan untuk memasak. Rani dan Bude sangat […]
Dalam dunia pendidikan modern, pendekatan sosial emosional semakin banyak dibahas. Salah satu model yang mendapatkan perhatian khusus adalah **EMC2 sosial emosional**. Namun, apa sebenarnya yang dimaksud dengan Definisi EMC2 sosial emosional? Mengapa pendekatan ini penting dalam pembelajaran? Mari kita bahas lebih lanjut untuk memahami bagaimana EMC2 berperan dalam perkembangan siswa secara keseluruhan. Definisi EMC2 Sosial […]
Part 14: Kopi Klotok Pagi hari yang cerah, secerah hati Rani dan semangat yang tinggi menyambut keseruan hari ini. Ia bersenandung dan tersenyum sambil mengiris bahan untuk membuat nasi goreng. Tante, yang berada di dekat Rani, ikut tersenyum melihat Rani yang bersenandung dengan bahagia. “Rani, kamu ada rasa tidak sama Rama? Awas, ya. Jangan suka […]
Part 13 : Candi Borobudur Keesokan harinya Rama sibuk mencari handphone yang biasa membangunkannya untuk berolahraga disaat Rama berada di Jogja. Rama tersenyum dan semangat untuk bangun, membersihkan diri dan segera membereskan kamarnya. Tidak lupa Rama juga menggunakan pakaian yang Rapih untuk menemui Rani hari ini. Sementara Rani seperti biasa masih bermalas-malasan di dalam kamarnya […]
Buy Pin Up Calendar E-book On-line At Low Prices In India After the installation is complete, you’ll have the flexibility […]
Karya Nurlaili Alumni KMO Alineaku Hampir 10 bulan, Pandemi Covid -19 telah melanda dunia dengan cepat dan secara tiba-tiba. Hal […]
Karya Lailatul Muniroh, S.Pd Alumni KMO Alineaku Rania akhirnya menikah juga kamu,,, begitu kata teman2nya menggoda, Yaa,,,Rania bukan anak.yang cantik […]
Karya Marsella. Mangangantung Alumni KMO Alineaku Banyak anak perempuan mengatakan bahwa sosok pria yang menjadi cinta pertama mereka adalah Ayah. […]
Karya Any Mewa Alumni KMO Alineaku Bukankah sepasang sejoli memutuskan bersatu dalam ikatan pernikahan demi menciptakan damai bersama? Tetapi bagaimana […]
Comment Closed: RAMADAN DI HATIKU
Sorry, comment are closed for this post.