Bab 14 Rasa yang Terluka
Aku berlari menembus lorong-lorong kampus yang lengang, dengan tas selempang melambai-lambai di bahuku. Hari ini, kelas selesai lebih awal, dan aku berjanji untuk mampir ke tempat Cleo. Rasanya sudah lama sekali kami tidak menghabiskan waktu bersama, hanya berdua seperti dulu.
Begitu sampai di depan kafe kecil tempat Cleo biasa bekerja paruh waktu, aku berhenti untuk mengatur napas. Di dalam, Cleo sedang sibuk mengelap meja, tetapi wajahnya tampak kosong, tanpa senyum hangat yang biasa ia berikan saat melihatku. Aku melambaikan tangan, tapi dia hanya mengangguk kecil, seperti formalitas semata.
“Cleo!”
Aku memanggil dengan riang, mencoba memecahkan suasana. Tapi dia hanya melirik sekilas, lalu kembali ke pekerjaannya.
Aku mendekat, menyandarkan siku di meja yang baru saja dia bersihkan.
“Aku pesan es kopi susu, ya. Tapi buatan kamu,” kataku, berharap ini bisa sedikit melonggarkan ketegangannya.
“Maaf, aku di bagian bersih-bersih sekarang. Minta barista yang lain saja,” jawabnya datar.
Aku tertegun, mengamati setiap gerak-geriknya yang terasa asing. Cleo yang kukenal selalu penuh semangat, dengan tawa renyah yang menghidupkan suasana. Tapi kali ini, dia hanya bergerak mekanis, menyeka meja tanpa antusiasme, dengan pandangan kosong yang sulit diartikan. Bibirnya terkatup rapat, seolah ada beban besar yang tak mampu ia bagikan. Jantungku berdegup kencang, mencoba mencerna apa yang berubah. Sesuatu terasa mengganjal, seperti ada cerita yang dia sembunyikan, tetapi aku tidak tahu apa.
“Kamu sibuk banget, ya, sekarang? Sama Jay, Willy, Mama…”
Cleo mengucapkannya pelan, nyaris seperti gumaman. Matanya melirik ke arahku sebentar sebelum kembali menunduk, seolah takut apa yang ia ucapkan terlalu menyakitkan untuk didengar. Jemarinya mulai bermain dengan ujung kain lap yang digenggam, menggulungnya, lalu meluruskannya lagi, berulang-ulang. Aku menangkap sekilas nada getir dalam suaranya, seperti riak kecil di tengah permukaan yang tenang, tapi cukup untuk membuatku merasa gelisah.
“Lho, aku tetap punya waktu buat kamu kok. Buktinya sekarang aku di sini.”
Aku mencoba tersenyum, tetapi dia hanya mengangguk lagi, tanpa ekspresi. Raut wajahnya datar, tapi matanya berbicara lain—ada sesuatu yang ia sembunyikan. Jemarinya gemetar sedikit saat menyeka meja, dan bahunya terlihat tegang, seakan berusaha menahan sesuatu yang ingin meledak dari dalam dirinya. Aku mencoba membaca gerak-geriknya, tapi semua terasa seperti tembok tak kasat mata, sulit untuk ditembus.
“Cleo, kamu baik-baik saja?” tanyaku pelan, mencoba meraih kembali celah komunikasi yang selama ini kami miliki.
Namun, dia hanya mengangguk lagi, kali ini sambil berpaling sedikit ke arah lain, seolah menghindari tatapanku.
“Aku mau ke belakang dulu. Pekerjaanku belum selesai,” katanya, lalu pergi meninggalkanku.
—
Beberapa hari berlalu, Cleo tetap bersikap dingin padaku. Dia mulai menjauhiku dengan cara yang tak kasat mata, tetapi sangat terasa. Pesan-pesanku hanya dibalas singkat, dan itu pun sering kali berjam-jam kemudian. Kadang, aku bahkan hanya mendapatkan tanda centang biru tanpa respons. Dalam setiap pertemuan, tatapannya tidak lagi penuh canda, melainkan kosong, seperti ada tembok tak terlihat yang dia bangun di antara kami. Aku mencoba menyangkal apa yang terjadi, mencari alasan untuk mengabaikan kekosongan itu, tetapi semakin hari perasaan gelisah kian mencengkram pikiranku. Ada sesuatu yang salah, dan aku tidak tahu bagaimana cara memperbaikinya.
Hari itu, aku nekat mendatangi flat-nya tanpa pemberitahuan. Aku tahu Cleo sedang libur dari kafe, jadi kemungkinan besar dia ada di rumah. Ketika pintu terbuka, aku disambut oleh wajah Cleo yang terkejut sekaligus tidak terlalu senang.
“Mayang? Kamu nggak bilang mau datang,” katanya sambil menahan pintu agar tidak terbuka sepenuhnya.
“Aku tahu. Tapi aku mau bicara,” jawabku cepat. “Boleh aku masuk?”
Dia ragu sejenak sebelum akhirnya membuka pintu lebar-lebar. Aku melangkah masuk ke ruang tamu yang sederhana, dengan sofa tua dan meja kecil yang penuh dengan buku dan catatan. Aku duduk di sofa, sementara Cleo berdiri di dekat jendela, memunggungiku.
“Ada apa, Mayang?” tanyanya tanpa berbalik.
Aku menarik napas dalam-dalam.
“Cleo, kamu kenapa akhir-akhir ini? Kamu berubah. Kamu menjauh. Aku merasa seperti kehilangan kamu.”
Dia diam cukup lama sebelum akhirnya berbicara.
“Aku nggak berubah. Aku cuma sibuk. Kamu kan juga sibuk.”
“Ini bukan soal sibuk, Cleo. Ada yang kamu sembunyikan dariku, dan aku nggak tahu kenapa.” Aku berdiri, mendekatinya.
“Tolong, Cleo. Aku mau kita seperti dulu lagi.”
Cleo berbalik perlahan. Matanya berkaca-kaca, tetapi dia tersenyum tipis, seolah berusaha menyembunyikan apa yang sebenarnya dia rasakan.
“Kamu udah punya keluarga sekarang, Mayang. Mama, Jay, Willy… Mereka semua sayang sama kamu. Kamu nggak perlu aku lagi.”
Kata-katanya menusuk hatiku seperti belati.
“Apa maksudmu? Kamu tahu itu nggak benar, Cleo. Kamu adalah bagian dari hidupku. Kamu selalu begitu.”
“Tapi aku bukan prioritasmu lagi,” potong Cleo, suaranya bergetar.
“Aku cuma… aku cuma takut kehilangan kamu, Mayang. Kamu udah punya semuanya. Dan, aku… aku cuma Cleo. Aku nggak bisa kasih kamu apa-apa.”
Aku terpaku mendengar pengakuannya. Perlahan, aku meraih tangannya, tetapi dia menariknya kembali.
“Kamu nggak pernah kehilangan aku, Cleo. Aku di sini. Aku akan selalu ada buat kamu. Keluargaku mungkin bertambah, tapi kamu tetap orang yang paling berarti dalam hidupku. Aku nggak akan biarkan kamu merasa ditinggalkan,” kataku dengan suara yang serak.
Cleo menatapku lama, lalu akhirnya air matanya jatuh. Aku menariknya ke dalam pelukan, dan kali ini dia tidak menolak. Kami berdua terdiam, membiarkan keheningan berbicara lebih banyak daripada kata-kata yang bisa kami ucapkan.
—
Malam itu, aku dan Cleo menghabiskan waktu bersama seperti dulu. Kami tertawa, berbagi cerita, dan bahkan membuat rencana kecil untuk akhir pekan. Aku tahu ini tidak akan memperbaiki semuanya dalam sekejap, tetapi setidaknya, kami telah mengambil langkah pertama untuk kembali menemukan satu sama lain.
Ketika aku pulang, aku merasa lega. Aku tahu bahwa hubungan kami tidak akan pernah benar-benar hilang. Cleo adalah rumah pertama yang kutemukan, dan aku akan selalu memastikan dia tahu itu.
Kreator : Fati Nura
Comment Closed: Rasa yang Terluka
Sorry, comment are closed for this post.